WAHYU
DALAM KAJIAN TAFSIR TEMATIK
Oleh: Edi Sucipno
Pendahuluan
Alquran sebagai kumpulan kalam Allah
yang diturunkan dalam bentuk wahyu kepada Nabi Muhammad
Saw yang
berfungsi sebagai petunjuk (huda)
dan pedoman hidup bagi umat manusia di dunia mau pun di akhirat. Kesemuannya itu
dapat diwujudkan jika kandungan ajaran alqur’an dapat dipahami oleh manusia itu
sendiri yang selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kerangka memahami alqur’an upaya
yang dilakukan adalah melalui penafsiran-penafiran. Dengan cara ini diharapkan segala kandungan makna alqur’an yang
masih terselubung dalam teks (lafaz) dapat
terbuka sehingga menjadi sesuatu yang jelas.
Bila
ditinjau dari sudut pandang
sejarah penafsiran alquran
tentunya beraneka ragam metode serta bentuk dalam penafsirannya. Para ulama telah membagi metode penafsiran alqur’an kepada
empat metode, yaitu: metode tahlili (analitik),
metode ijmali (umum),
metode muqarin
(komparasi), dan metode Maudh’i (tematik).
Di antara penafsiran
yang akan dikaji lebih jauh yaitu bagaimana analisa penulis terhadap sebuah
tema, dalam hal ini adalah wahyu, dengan memperdalamnya melalui metode maudhu’i
(tafsir tematik) yang berarti tema atau pembicaraan.
Sebuah kajian penafsiran
dan pemahaman yang paling dibutuhkan ketika menggeluti studi-studi alquran
adalah penafsiran dan pemahaman tentang wahyu, sebab wahyu adalah hakikat dari
alqur’an itu sendiri. Maka memahami alqur’an tanpa memahami wahyu terlebih
dahulu akan menjadikan pemahaman itu lemah dengan sendirinya. Jika wahyu adalah
sumber inspirasi tunggal bagi alqur’an, maka peletakan konsepsi yang mapan
tentang wahyu mutlak dibutuhkan. Hal ini tertuang dalam firman Allah Swt:
Artinya:
Demikianlah
Kami wahyukan kepadamu alqur’an dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi
peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri)
sekelilingnya, serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat)
yang tidak ada keraguan padanya. segolongan masuk surga, dan segolongan masuk
Jahannam.
Pengertian
Wahyu
Secara etimologi wahyu merupakan
bentuk mashdar yang berasal dari akar kata wâw, hâ’ dan yâ’.
Makna awal dari kata wahy adalah “isyarat yang cepat”, pemberitahuan
secara rahasia dan cepat. Menurut para ulama seperti Ar-Raghib
menuliskan, “Wahyu adalah sebuah petunjuk yang sangat cepat. Wahyu terkadang dengan
perkataan simbolik, terkadang dalam bentuk suara tanpa susunan, terkadang
dengan isyarah sebagian anggota badan, dan terkadang dengan tulisan.”
Menurut Ibnu Katsir,
“Kata wahyu dalam hadis sering dimaknakan sebagai tulisan, isyarat, risalah,
ilham dan bisikan.”Sedangkan
menurut Thaba-thabai, “Wahyu ialah suatu isyarat
dan petunjuk yang cepat.” Dan penulis tafsir Ruhul al-Bayan mengatakan, “Makna
inti wahyu ialah isyarat yang cepat, sesuatu dikatakan sebagai wahyu karena
terlaksana dengan cepat, wahyu adalah pemahaman itu sendiri, memahamkan itu
sendiri, dan yang dipahami itu sendiri.”
Secara istilah, wahyu berarti
pemberitahuan dari Allah Swt kepada para nabi-Nya dan para rasul-Nya tentang
syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan
perantara atau tanpa perantara.Wahyu secara istilah ini jelas lebih khusus,
dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya,
sasarannya maupun isinya.
Kata wahyu dan
derivasinya disebutkan 78 kali dalam alqur’an dan seluruhnya memiliki makna
yang berbeda-beda, di antaranya sebagai berikut:
1.
Insting dan fitrah
Allah Swt berfirman:
وَأَوْحَى
رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتاً وَمِنَ
الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
Artinya:
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia.
2.
Sunnatullah dan hukum alam
Allah Swt berfirman:
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ
لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعاً أَوْ كَرْهاً قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ
(11) فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي
كُلِّ سَمَاء أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظاً
ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (12)
Artinya:
Kemudian Dia menuju pada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ” datanglah kamu
keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya
menjawab: “kami datang dengan suka hati.” Maka dia menjadikannya tujuh langit
dalam dua masa dan dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan kami
hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui”.
Tuhan menciptakan
bumi, langit, dan alam materi sesuai dengan “sunnah” dan hukum
sebab-akibat (kausalitas). Dan alam
semesta tersebut berjalan sesuai dengan “sunnah”. Alam semesta memiliki hukum
dan “sunnah” tersendiri dan diatur sesuai dengan “sunnah” tersebut.“Sunnah”
tersebut berasal dari Tuhan dan berjalan sesuai dengan perintah-Nya. Jadi yang
dimaksud dengan wahyu Ilahi dalam ayat tersebut yaitu sunnatullah dan hukum
alam.
3.
Ilham, bisikan, dan inspirasi ke dalam hati
Alqur’an dalam masalah ibu Nabi Musa As mengatakan:
إِذْ
أَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّكَ مَا يُوحَى (38) أَنِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ
فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ فَلْيُلْقِهِ الْيَمُّ بِالسَّاحِلِ يَأْخُذْهُ عَدُوٌّ
لِي وَعَدُوٌّ لَهُ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى
عَيْنِي (39)
Artinya:
Yaitu ketika kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan yaitu
letakkanlah ia (Musa) di dalam peti kemudian lemparkanlah ia kesungai Nil maka
pasti sungai itu membawanya ke tepi supaya di ambil oleh musuh-Ku.
Dalam ayat lain
dikatakan,
وَأَوْحَيْنَا
إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي
الْيَمِّ وَلا تَخَافِي وَلا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ
مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Artinya:
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, susukanlah dia apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam sungai nil dan janganlah kamu
khawatir dan jangan pula bersedih hati karena sesungguhnya kami akan
mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya salah seorang dari para rasul.
Penerima wahyu pada
kedua ayat tersebut adalah ibu nabi Musa As, dan sudah tak bisa dipungkir bahwa
wahyu tersebut bukanlah wahyu yang diterima para nabi As tetapi satu bentuk
pemberian pemahaman secara sembunyi, ilham, inspirasi dan bisikan ke dalam hati
baik dalam tidur maupun ketika terjaga.
4.
Isyarah
Allah Swt berfirman:
قَالَ
رَبِّ اجْعَل لِّيَ آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلاَّ تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ إِلاَّ رَمْزًا وَاذْكُر رَّبَّكَ كَثِيراً وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ
وَالإِبْكَارِ
Artinya:
Zakaria berkata: ya Tuhanku berilah aku suatu tanda, Allah Swt
berfirman tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan
manusia selama tiga malam padahal kamu sehat. maka ia keluar dari mihrab menuju
kaumnya lalu ia memberi isyarat kepada mereka, hendaklah kamu bertasbih di
waktu pagi dan petang.
5.
Wahyu kepada hawariyyun
(pengikut khusus Nabi Isa As)
Allah swt berfirman:
وَإِذْ
أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا
وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ
Artinya:
Dan ingatlah ketika Aku ilhamkan kepada pengikut nabi Isa As yang
setia, “berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. Mereka menjawab: “kami
telah beriman dan saksikanlah wahai rasul bahwa sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).”
6.
Wahyu kepada Malaikat
Allah swt berfirman:
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلآئِكَةِ أَنِّي
مَعَكُمْ فَثَبِّتُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ
كَفَرُواْ الرَّعْبَ فَاضْرِبُواْ فَوْقَ الأَعْنَاقِ وَاضْرِبُواْ مِنْهُمْ كُلَّ
بَنَانٍ
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “sesungguhnya Aku
bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”.
Kelak akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir maka
penggallah kepala mereka dan potonglah tiap-tiap ujung jari mereka.
7.
Wahyu dari Setan
Allah Swt berfirman:
وَلاَ
تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ
أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
Artinya:
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama
Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu
kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi
orang-orang musyrik.
Dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman,
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي
بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا
فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Artinya:
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan
dari jenis manusia dan dari jenis jin sebagian dari mereka membisikkan atas
sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu, jikalau Allahmu
menghendaki niscaya mereka tidak megerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan
apa yang mereka ada-adakan.
8.
Wahyu kepada Para Nabi
Sekalipun dalam alqur’an
kata wahyu digunakan untuk selain para nabi sebagaimana telah kami sebutkan,
akan tetapi mayoritas kata wahyu tersebut digunakan untuk para nabi. Sebagai
contoh, Allah Swt berfirman:
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ
وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ
وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ
وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُدَ زَبُورًا
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami
telah berikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi kemudiannya, dan Kami telah
berikan wahyu pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak-anak cucunya.
Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud.
Dan dalam surah Yusuf
Allah Swt berfirman:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ القَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ هَذَا القُرْآنَ وَإِن كُنتَ مِن قَبْلِهِ لَمِنَ الغَافِلِينَ
Artinya:
Dan Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan
alqur’an kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukannya) adalah
termasuk orang-orang yang belum mengetahui.
Asbabun Nuzul dan Munasabah Wahyu
Pertama, Taklimullah (Allah Swt berbicara langsung)
kepada Nabi-Nya dari belakang tabir/hijab. Yaitu Allah Swt menyampaikan apa
yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan
tidur.
Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah Swt berbicara langsung dengan Musa As, dan juga dengan Nabi Muhammad Saw pada peristiwa isra' dan mi'raj. Allah Swt berfirman tentang nabi Musa:
Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah Swt berbicara langsung dengan Musa As, dan juga dengan Nabi Muhammad Saw pada peristiwa isra' dan mi'raj. Allah Swt berfirman tentang nabi Musa:
وَكَلَّمَ
اللّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
Artinya:
Adapun contoh ketika dalam keadaan
tidur, yaitu sebagaimana diceritakan dalam hadis dari Ibnu Abbas dan Mu'adz bin
Jabal. Rasulullah Saw bersabda:
أَتَانِي
رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَبِّ
وَسَعْدَيْكَ قَالَ فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى قُلْتُ رَبِّ لَا
أَدْرِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيَّ فَوَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيَيَّ
فَعَلِمْتُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ فَقُلْتُ
لَبَّيْكَ رَبِّ وَسَعْدَيْكَ قَالَ فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى قُلْتُ
...
Artinya:
Aku
didatangi (dalam mimpi) oleh Rabb-ku dalam bentuk terbaik, lalu Dia berfirman:
"Wahai, Muhammad!" Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika."
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"Aku menjawab, "Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu," lalu Dia meletakkan tangan-Nya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan barat. Allah Swt berfirman, "Wahai, Muhammad!" Aku menjawab, "Labbaik wa sa'daika! "Dia berfirman, "Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?" Aku menjawab,"………".
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"Aku menjawab, "Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu," lalu Dia meletakkan tangan-Nya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan barat. Allah Swt berfirman, "Wahai, Muhammad!" Aku menjawab, "Labbaik wa sa'daika! "Dia berfirman, "Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?" Aku menjawab,"………".
Dalam hal wahyu ini, para ulama
salaf, Ahli Sunnah wal Jama'ah memegangi pendapat, bahwa Nabi Musa As dan Nabi
Muhammad Saw, keduanya pernah mendengar kalamullah
al azaliy al qadim, yang merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat
Allah Swt.
Kedua, Allah Swt menyampaikan risalah-Nya
melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu:
1. Malaikat Jibril menampakkan diri
dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi
dua kali: pertama, saat Malaikat
Jibril mendatangi Nabi Saw setelah masa vakum dari wahyu, yakni setelah Surat al
'Alaq diturunkan, lalu Nabi Saw tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini
disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua,
Rasulullah Saw melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat
Rasulullah Saw dimi'rajkan.
2. Malaikat Jibril as terkadang datang
kepada Nabi Saw dalam wujud seorang lelaki. Dalam penyampaian wahyu seperti
ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan
tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana
diceritakan dalam hadis Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang
iman, Islam dan ihsan. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
3. Malaikat Jibril mendatangi Nabi Saw,
namun ia tidak terlihat. Nabi Saw mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan
suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti
dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah Saw, sehingga dilukiskan
saat menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Saw berubah. Meski pada cuaca
yang sangat dingin, beliau saw bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot
fisik Rasulullah Saw berubah secara mendadak. Sebagaimana diceritakan oleh
salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit ra, dia berkata: "Allah Swt
menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw, sementara itu paha beliau Saw sedang
berada di atas pahaku. Lalu paha beliau Saw menjadi berat, sampai aku khawatir
pahaku akan hancur". (HR. Bukhari).
4. Wahyu disampaikan dengan cara
dibisikkan ke dalam kalbu, yaitu Allah Swt atau Malaikat Jibril meletakkan
wahyu yang hendak disampaikan ke dalam kalbu Nabi Saw disertai pemberitahuan
bahwa, ini merupakan dari Allah Swt. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Dunya dalam kitab al Qana'ah, dan Ibnu Majah, serta al Hakim dalam al Mustadrak.
Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ
رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوْعِي : لَنْ تَمُوْتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ
رِزْقَهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ وَلاَ يَحْمِلَنَّ
أَحَدَكُمْ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ
اللهَ لاَ يُنَالُ مَاعِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
Artinya:
Sesungguhnya
Ruhul Quds (Malaikat Jibril) meniupkan ke dalam kalbuku: "Tidak akan ada
jiwa yang mati sampai Allah Swt menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian
bertakwa kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah
keterlambatan rizki membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara
bermaksiat kepada Allah Swt. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah Swt tidak akan
bisa diraih, kecuali dengan mentaati-Nya".
5.
Wahyu diberikan Allah Swt dalam bentuk ilham, yaitu Allah
Swt memberikan ilmu kepada Nabi Saw, saat beliau berijtihad pada suatu masalah.
6.
Wahyu diturunkan melalui mimpi, yaitu Allah Swt terkadang
memberikan wahyu kepada para nabi-Nya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh,
yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim As agar menyembelih anaknya.
Peristiwa ini diceritakan oleh Allah Swt:
فَلَمَّا
بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي
أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya:
Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! "Ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Demikian cara-cara penerimaan wahyu
Allah Swt yang diberikan kepada Rasulullah Saw. Semua jenis wahyu ini dibarengi
dengan keyakinan dari si penerima wahyu, bahwa apa yang diterima tersebut
benar-benar datang dari Allah Swt, bukan bisikan jiwa, apalagi tipu daya setan.
Pendapat
Para Ahli Tentang Wahyu
Ada beberapa pendapat para ahli yang
berbeda mengenai kajian wahyu, hal ini dikarenakan paradigma, kualifikasi ilmu
serta latar belakang pendekatan pemikiran yang mendasar dilahirkan
masing-masing ahli tersebut, seperti pendekatan bayani (pengamatan), irfani (hati) dan burhani (akal), di antaranya ahli ilmu kalam dan teologi, serta
filosofis.
Menurut Muhammad Abduh, wahyu adalah
firman Allah Swt yang diberikan kepada orang yang menjadi pilihan-Nya (nabi dan
rasul) untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidupnya
agar dalam perjalanan hidupnya senantiasa
padajalur yang benar.
Wahyu mempunyai peran yang sangat penting dalam perjalanan hidupmanusia, merupakan
sumber utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Muhammmad Abduh
menguraikan wahyu sendiri pada klasifikasikannya menjadi dua, yakni wahyu Qauliyah
dan wahyu Kauniyah.
Dalam prespektif teologi keberadaan wahyu
mendapatkan perhatian yang serius dari kalangan umat Islam. Hal tersebut ditandai
oleh kuatnya pertentangan yang terjadi pada sebagian aliran teologi dalam Islam
seperti Mu’tazilah dan Ahlussunah.
Menurut Mu’tazilah tanpa bantuan
wahyu manusia dapat mengetahui akan adanya Tuhan sekalipun kendati dengan Akal.
Apun fungsi wahyu adalah sebagai konfirmasi dan informasi atas apa yang telah diketahui
oleh akal. Sedangkan menurut Ahlussunah khusus pada firqah Asy’ariah menyatakan
bahwa betul manusia dengan akalnya dapat mengetahui adanyaTuhan, namun untuk mengetahui
tatacara menyembahnya (beribadah) diperlukan wahyu.
Dari dua pandangan aliran teologi di
atas jika dibuat perbandingan keduanya mengenai fungsi wahyu adalah nampak dalam
bagan berikut ini :
Aliran
|
Fungsi
Akal
|
Fungsi
Wahyu
|
Mu’tazilah
|
1. Mengetahui adanya Tuhan
2. Kewajiban Mengetahui Tuhan
3. Mengetahui Baik dan buruk
4. Kewajiban mengerjakan yang baik dan
meninggalkan yang buruk
|
Hanya sebagai alat untuk konfirmasi
dan informasi atas apa yang di dapat melalui akal
|
Asy’ariah
|
Untuk mengetahui adanya Tuhan (MT)
|
1.
Kewajiban
mengetahui adanya Tuhan (KMT)
2.
Mengetahui
baik dan buruk (MBB)
3.
Kewajiban
mengerjakan yang baik dan meninggalkan
yang buruk (KMBB)
|
Maturidiah
· Samarkand
· Bukhara
|
1. MT
2. KMT
3. MBB
1. MT
2. MBB
|
1. KMBB
2. KMT
1. KMBB
|
Al-Juwaini
|
1. MT
2. MST (Mengetahui Sifat Tuhan)
3. MBJ (M) Mengetahui baik dan jahat
menurut hukum manusia
4. MKJ (Mengetahui Kebangkitan
Jasmani)
|
1. MWT (Mengetahui kewajiban untuk
mengetahui Tuhan)
2. MBJ (S) Mengetahui baik dan jahat
menurut hukum syariat
3. MWTT (Mengetahui kewajiban
terhadap Tuhan)
4. MWBJ (S) Mengetahui kewajiban
berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat menurut syariat
|
Di sisi lain, para ahli ilmu
teologi/kalam telah tengelam dalam cara-cara para filosof dalam menjelaskan
wahyu Allah itu dengan sebutan Kalam Allah, sehingga mereka telah sesat dan
menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus. Mereka membagi kalam Allah
menjadi dua bagian: kalam nafsi
yang kekal yang ada pada zat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan
tidak pula bahasa. Dan kalam lafzi (verbal),
yaitu yang diturunkan kepada para Nabi As, yang di antaranya adalah empat buah
kitab. Para ahli ilmu teologi/kalam ini semakin terbenam dalam perselisihan
skolastik yang mereka adakan: apakah qur’an dalam pengertian kalam lafzi, makhluk atau bukan? Mereka
memperkuat pendapat bahwa qur’an dalam pengertian kalam lafzi di atas adalah makhluk. Dengan demikian, mereka telah keluar
dari jalan para mujtahid dahulu dalam hal yang tidak ada nashnya dalam kitab
dan sunnah. Mereka juga menggarap sifat-sifat Allah dengan analisis filosofis
yang hanya menimbulkan keraguan dalam akidah tauhid.
Sedang mazhab Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sudah ditetapkan oleh
Allah atau ditetapkan oleh Rasulullah Saw dalam hadis shahih yang datang dari
Nabi. Bagi kita sudah cukup dengan beriman bahwa kalam itu adalah salah satu
sifat di antara sekian sifat Allah. Allah berfirman. “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung”.(QS.
an-Nisa’: [4] 164), demikian pula alqur’anul karim, wahyu yang diturunkan
kepada Muhammad Saw adalah kalamullah, bukan makhluk, sebagaimana tersirat dalam
ayat yang artinya: “Jika orang di antara
orang-orang musryik itu yang meminta perlindungan kepadamu, lindungilah dia
supaya dia sempat mendengar kalam Allah” (QS. At-Taubah: [9] 6).
Dalam penafsiran M. Quraish Shihab
mengatakan bahwa wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya
bersumber dari Tuhan, dan menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw dan fungsi
utamanya menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia, petunjuk yang dimaksud
adalah petunjuk agama, atau yang biasa disebut syariat.
Hal senada diungkapkan oleh Muhammad
Husain Al-Thabathaba’iy, yang mengatakan bahwa wahyu itu berkaitan dengan sifat
dan ciri-ciri yang diperkenalkan menyangkut diri Allah, yang tetap dapat
ditemukan sebagaimana keadaannya.
Menurut analisis falsafat dan tasawwuf
atau mistisisme dalam Islam, wahyu adalah suatu bentuk komunikasi antara Tuhan
yang bersifat imateri dan manusia yang bersifat materi, seperti contoh pada
falsafat emanasi, jiwa dan akal manusia yang telah mencapai derajat perolehan,
dapat mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh, yang dalam penjelasan Ibn Sina
adalah Jibril. Komunikasi itu bisa terjadi karena akal perolehan telah begitu
terlatih dan begitu kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal
yang bersifat abstrak murni. Akal demikian mempunyai kekuatan suci (qudsiah) dan diberi nama hads. Akal ini hanya diperoleh oleh para
Nabi dan Rasul Allah.
Menurut ajaran tasawwuf, komunikasi
dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati
sanubari, dengan cara menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan
usaha pada pensucian jiwa, baik jiwa maupun kata-kata, baik isi maupun
bentuknya, “adalah suci dan diwahyukan”.
Selanjutnya Al-Farabi, filosof Islam
mengatakan bahwa wahyu itu dipancarkan Tuhan melalui akal-akal yang bersifat
abstrak murni dan akal seperti daya fikir, dan dari daya fikir inilah
selanjutnya memancarkan materi. Konsep inilah Tuhan sebagai sumber energi, dan
energi itu memadat menjadi materi.
Penutup
Dalam penafsiran alqur’an dengan
mengangkat tema “wahyu” melalui tafsir tematik, pada hakekatnya tidak atau
belum mengemukakan seluruh kandungan ayat alqur’an yang ditafsirkannya itu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridh,
Ali Hasan, Sejarah Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada, 1994.
Al-Farabi dalam Mysterieuze Krachten van de Geest, Amsterdam
Book, 1976.
Al-Qattan Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1994.
Ar-Rifa’i,
Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 1-4, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Ash-Shabuni,
Syaikh Muhammad Ali, Ikhtisar ‘Ulumul
Quran, Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
Al-Thabathaba’iy,
Muhammad Husain, Al-Qur’an fi Al-Islam, Taheran:
Markaz I’lam Al-Dzikra Al-Khamisah li Intizhar Al-Tsawrah Al-Islamiyah,tt.
Kiswati,
Tsuroya, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam,
Jakarta, Penerbit Erlangga, 2002.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwar, Yogyakarta: 1984.
Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, London: Allen and Unwin, 1975.
Nasution, Harun,
Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Shalahuddin,
Henri, Serangan Terhadap Konsep Wahyu dan
Tafsir di Zaman Modern, www.scribd.com, www.insist.net
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1993.
0 komentar:
Post a Comment