Pages

Thursday, November 5, 2015

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN Oleh Edi Sucipno



ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Edi Sucipno

A.      Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam
Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat, melebihi agama-agama lain. Karena Akal dan Wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang Kholiq,  akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari Rasulullah Saw. Tidak hanya itu  dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang Allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian Allah yang sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid, karena ketauhidan sang Kholiq tak akan terukur dalam menemukan titik akhir, begitu pula dengan wahyu sang Kholiq, karena wahyu diberikan kepada orang-orang terpilih dan semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam menangani antara wahyu dan akal harus selalu mengingat bahwa semua itu karena Allah semata. Dan tidak akan terjadi jika Allah tak mengijinkannya. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kemusyrikan terhadap Allah karena kesombongannya.
Untuk lebih jelas tentang kedudukan akal dan wahyu dalam Islam, berikut dipaparkan tentang masing-masing pengertian akal dan wahyu serta fungsi dan kekuatannya.

1.        Akal
a.    Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti paham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.

b.    Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
1)        Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan
2)        Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan dating
3)        Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar
Masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut.  Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan.

c.    Kekuatan Akal
Kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti, seperti contoh:
1)        Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatNya
2)        Mengetahui adanya hidup akhirat
3)        Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaran tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat
4)        Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan
5)        Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat
6)        Membuat hukum-hukum mengnai kewajiban-kewajiban itu.


2.   Wahyu
a.    Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang didapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainnya.

b.    Fungsi Wahyu
 Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi informasi di sini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan diterima manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan Allah kepada nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaannya. Selain itu, sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah Swt.

c.    Kekuatan Wahyu
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karena itu wahyu diyakini memiliki kekuatan karena beberapa faktor antara lain:
1)        Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2)        Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu al-qur’an dan as-sunnah.
3)        Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
4)        Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5)        Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
Kedudukan akal dan wahyu dalam Islam sama-sama penting. Karena Islam tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal dalam umat  Islam. Dapat dilihat dalam hukum Islam, antara wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum Islam berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segera menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut. Karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah. Namun kalau wahyu hanya orang-orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahui, dan akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat islam dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu baik berupa alqur’an dan hadits bersumber dari Allah Swt, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. Baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa alquran dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugerah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan semua itu wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Karena masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah di antara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antra lain:
a.         Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.
b.        Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
c.         Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
d.        Sementara itu aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.  Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan Mu’tazilah,  dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat As-Sajdah, surat Al-Ghosiyah ayat 17 dan surat Al-A’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri. Dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil Al-Qur’an surat Hud ayat 24. Sementara itu aliran kalam tradisional mengambil beberapa ayat Al-Qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . Ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat Al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.
Dalam menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh dengan pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal. Seperti  Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai kemunduran umat islam dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat Islam yang dinilai dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat Islam karena kurang mengoptimalkan  potensi akal yang dimiliki. Bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan memahami agama tersebut.   
       
B.       Klasifikasi dan Karakteristik Ilmu dalam Islam
1.        Sumber dan Metode Ilmu
Kehidupan agama Islam di panggung sejarah peradaban manusia memiliki arti tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan inti wahyu Allah Swt. Tujuan dari semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam ialah untuk menunjukkan kesatupaduan dan saling berhubungan dari segala yang ada. Turunnya wahyu Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, membawa semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan, memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada sumber-sumber pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi intel-induktif.
al-qur’an menganggap ”anfus” (ego) dan ”afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah menumpahkan tanda-tandaNya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas, pengalaman batin merupakan pengembangan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya. Jiwa kebudayaan Islam yang diarahkan kepada yang konkrit dan terbatas serta yang telah melahirkan metode observasi dan eksperimen bukanlah sebuah hasil kompromi dengan pikiran Yunani.

2.        Keterbatasan Ilmu
Manusia diberi anugerah oleh Allah dengan alat-alat kognitif yang alami terpasang pada dirinya. Dengan alat ini manusia mengadakan observasi, eksperimentasi, dan rasionalisasi. ”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur (AnNahl:78)
Keterbatasan ilmu manusia tidak menghilangkan makna ayat-ayat Allah di alam semesta yang diciptakan agar manusia dapat mengenal eksistensinya. Makna ayat-ayat Allah tetap relevan mengantarkan manusia kepada Tauhid dari dahulu hingga sekarang, dari zaman batu hingga zaman komputer.

3.        Ilmu-Ilmu Semu
Banyak orang yang mempelajari ilmu pengetahuan tetapi dirinya bersikap sekuler. Tak terkesan sedikitpun kecenderungan kepada Islam. Ilmu-ilmu seperti inilah yang disebut sebagai ilmu yang semu karena tidak membawa manusia kepada tujuan hakiki.
Pertama, sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa ajaran Islam benar-benar dari Allah Swt, dan berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Kedua, terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta terhadap karya-karya pendahulu (nenek moyang) mereka. Ketiga, mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh, hanya bersifat spekulatif belaka.

4.        Klasifikasi Ilmu
Beberapa tipe klasifikasi telah dihasilkan dengan berbagai aspek peninjauan dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu yang berkembang, diantaranya klasifikasi oleh Al-Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi (870 – 950 M), Al-Ghazali (1058 – 1111 M), dan Ibn Khaldun (wafat 1406 M).
Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua bagian besar, yakni ilmu-ilmu Tanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah SWT baik dalam kitab-Nya maupun hadits-hadits Rasulullah SAW, dan ilmu-ilmu Kauniyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam. Bersumber pada al-qur’an dan hadits, ilmu-ilmu Tanziliyah telah berkembang sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang yang sangat banyak, di antaranya Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, Tarikhulanbiyaa, Sirah Nabawiyah, dan lain-lain. Masing-masing ilmu tersebut melahirkan ilmu-ilmu, seperti dalam Ulumul Qur’an ada ilmu Qiroat, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Tajwid, dan lain-lainnya.
Bersumber pada ayat-ayat Allah SWT, di alam raya ini akal manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman, terkait dengan pribadi manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), dan terkait dengan interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu kealaman melahirkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya. Ilmu-ilmu humaniora melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya.
Antara ilmu Tanziliyah dan Kauniyah tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling melengkapi bagi kehidupan manusia. Ilmu Tanziliyah berfungsi menuntun jalan kehidupan manusia, sedangkan ilmu Kauniyah menjadi sarana manusia dalam memakmurkan alam ini. Kadang kala ayat- ayat Al-Qur’an atau teks-teks hadits memberikan rangsangan bagi manusia untuk lebih menekuni lagi ilmu-ilmu Kauniyah. Sebaliknya, ilmu-ilmu Kauniyah dapat memperkuat bukti-bukti keagungan dan kebesaran ayat-ayat Allah.

C.      Kewajiban Menuntut Ilmu
Penghargaan terhadap Ilmu Agama Islam bersumber dari wahyu Allah Swt, sedangkan ilmu pengetahuan bersumber dari pikiran manusia yang disusun berdasarkan hasil penyelidikan alam, yang bertujuan mencari kebenaran ilmiah. IPTEK dalam Islam dipandang sebagai kebutuhan manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan memberi kemudahan pada peningkatan Ubudiyah kepada Allah.
IPTEK dalam Islam juga sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah yang berakal. Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi sekali karena hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi manusia itu sendiri. Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya:
1.        Turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah Saw (Al Alaq: 1–5)
2.        Banyaknya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal,  pikiran, dan pemahaman (Al Baqarah: 44)
3.        Allah Swt memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi akalnya sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih rendah lagi (Al Araaf: 179)
4.        Allah memandang lebih tinggi derajat orang-orang yang berilmu (Az Zumar : 9 dan Al Mujadilah:11)
5.        Allah akan meminta pertanggungjawaban orang-orang yang melakukan sesuatu tidak   berdasarkan ilmu (Al Israa:36)
6.        Pemahaman terhadap ajaran agama harus berdasarkan ilmu (Ali Imran:18)
7.        Dalam menentukan orang-orang pilihan yang menjadi Khalifah di muka bumi ini Allah melihat sisi keilmuannya (Al Baqarah: 247).
8.        Allah menganjurkan kepada seorang yang beriman untuk sentiasa berdo'a bagi pertambahan kekuasaan ilmunya (Thaha: 114).
Menuntut ilmu adalah bagian yan sangat penting dari pengamalan ajaran Islam yang menunjukkan seseorang pada jalan kehidupan yang memberikan keyakinan. Ilmu yang diperlukan bagi pembangunan masyarakat yang pemanfaatannya dapat meningkatkan kemampuan produksi dalam berbagai sektor kehidupan, sehingga Islam mewajibkan untuk menuntuti ilmu, baik secara pribadi maupun kelompok.
1.        Model Kewajiban Menuntut Ilmu
Ada ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seseorang pribadi terkait dengan status dirinya, sebagai seorang muslim dengan kondisi-kondisi yang menyertainya. Seseorang yang telah mencapai usia baligh, maka wajib bagi dirinya untuk mengetahui pokok-pokok ajaran agamanya. Kewajiban-kewajiban lainnya datang menurut kondisinya. Kewajiban menuntut ilmu yang terkait dengan kepentingan tiap individu muslim disebut fardhu 'ain.
Yusuf Qardhawi menyebutkan empat macam ilmu yang termasuk dalam fardhu 'ain:
Ilmu mengenai Aqidah Yaqiniyah yang benar, selamat dari syirik dan khufarat.
a.         Ilmu yang membuat ibadah seseorang terhadap Tuhannya berjalan dengan benar  sesuai dengan ketentuan yang disyariatkan.
b.        Ilmu yang dengannya jiwa dibersihkan, hati disucikan, segala keutamaan dikenal untuk kemudian diamalkan.
c.         Ilmu yang bisa mendisiplikan tingkah laku dalam hubungan seseorang dengan dirinya atau dengan keluarganya atau dengan khalayak banyak.
d.        Ilmu-ilmu yang keberadaannya terkait dengan kepentingan masyarakat muslim dan umum termasuk fardhu kifayah. Ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah di antaranya ilmu-ilmu yang terkait dengan pendalaman pemahaman syariat seperti Tafsir, ilmu Mustalah Hadits, ilmu Ushul Fiqh, dan sebagainya. Juga ilmu-ilmu yang terkait dengan kebutuhan hidup di dunia seperti ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan sebagainya.
2.        Studi Kasus Islam dalam Konteks Bidang Studi
a.         Ilmu Kealaman
Arahan-arahan alquran terhadap ilmu-ilmu kealaman terdapat dalam banyak tempat, mencakup beberapa bidang yang sangat penting dalam kehidupan manusia, di antaranya:
1)        Penciptaan alam semesta (Ali Imran: 190)
2)        Fisika Inti : Hakikat Zarah (elemen terdasar) (Yunus: 61)
3)        Astronomi (Luqman: 29)
4)        Asal usul kehidupan (An Anbiya: 30)
5)        Geologi (An Naazi'aat: 30-31)
b.        Ilmu Kemanusiaan, di antaranya:
1)        Psikologi (Al Mudatsir: 38)
2)        Bahasa (Ar Ruum: 22)
3)        Sastra (Asy Syu’raa: 224-227)
c.         Ilmu Sosial
Ilmu yang terkait dengan ilmu sosial di antaranya:
1)        Politik (Ali Imran: 26)
2)        Ekonomi (At Tatfik: 1-3)
3)        Hukum (Al An'aam: 57)
4)        Pendidikan (Al Alaq: 1-5)










0 komentar:

Post a Comment