ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Edi Sucipno
A.
Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam
Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat, melebihi
agama-agama lain. Karena Akal dan Wahyu adalah suatu yang sangat
urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai
derajat ketaqwaan kepada sang Kholiq,
akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekerti
yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari Rasulullah
Saw. Tidak hanya itu dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan
pilihan yang Allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu
juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian Allah yang sangat luar
biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid,
karena ketauhidan sang Kholiq tak akan terukur dalam menemukan titik akhir,
begitu pula dengan wahyu sang Kholiq, karena wahyu diberikan kepada orang-orang
terpilih dan semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam
menangani antara wahyu dan akal harus selalu mengingat bahwa semua itu karena
Allah semata. Dan tidak akan terjadi jika Allah tak mengijinkannya. Hal
tersebut dilakukan untuk mencegah kemusyrikan terhadap Allah karena
kesombongannya.
Untuk lebih jelas tentang kedudukan akal dan wahyu dalam Islam,
berikut dipaparkan tentang masing-masing pengertian akal dan wahyu serta fungsi
dan kekuatannya.
1.
Akal
a. Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk
kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun
(تعـقـلون)
24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun
(يعـقـلون)
22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti paham dan mengerti. Maka dapat diambil
arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan
yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat
luas.
Dalam pemahaman
Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan
praktis (practical intelligence) yang
dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang
berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala
mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh
berpendapat bahwa akal adalah: suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh
karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.
b. Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
1)
Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan
2)
Sebagai alat untuk
menemukan solusi ketika permasalahan dating
3)
Sebagai alat untuk
mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar
Masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai
mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan
dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal
yang akan dikerjakan tersebut. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah
sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan
pada pendapat dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan.
c. Kekuatan Akal
Kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti, seperti
contoh:
1)
Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatNya
2)
Mengetahui adanya hidup
akhirat
3)
Mengetahui bahwa
kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik,
sedang kesengsaran tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan
jahat
4)
Mengetahui wajibnya
manusia mengenal Tuhan
5)
Mengetahui wajibnya
manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiannya di akhirat
6)
Membuat hukum-hukum
mengnai kewajiban-kewajiban itu.
2. Wahyu
a. Pengertian
Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah
kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan
kecepatan. Ketika Al-Wahyu berbentuk masdar
memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu wahyu sering
disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang
terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap
Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu
adalah pengetahuan yang didapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri
disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui
perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam
telinga ataupun lainnya.
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud
memberi informasi di sini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara
berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan
yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan diterima
manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang
diberikan Allah kepada nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari
ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaannya. Selain itu, sebagai bukti
bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah Swt.
Memang sulit
saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak mampu
mengelak sejarah wahyu ada, oleh karena itu wahyu diyakini memiliki kekuatan
karena beberapa faktor antara lain:
1)
Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu
ada karena pemberian Allah.
2)
Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu al-qur’an
dan as-sunnah.
3)
Membuat suatu keyakinan
pada diri manusia.
4)
Untuk memberi keyakinan
yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5)
Wahyu turun melalui
para ucapan nabi-nabi.
Kedudukan akal dan wahyu dalam Islam
sama-sama penting. Karena Islam tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu
maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal dalam
umat Islam. Dapat dilihat dalam hukum
Islam, antara wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum Islam
berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segera menerima dan
mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena
hukum tersebut. Karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang
diberikan Allah. Namun kalau wahyu hanya orang-orang tertentu yang
mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahui, dan akal adalah hadiah terindah
bagi setiap manusia yang diberikan Allah.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian
bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam
memiliki aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok
dengan syariat islam dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu baik berupa alqur’an dan hadits bersumber dari Allah Swt, pribadi Nabi
Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu
ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas
seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu
disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal,
bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori
perbuatan manusia. Baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa alquran dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup
panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu
dan akal, karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai
wahyu adalah sebuah anugerah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang
mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah
ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan semua itu wahyu. Seperti
pendapat Abu Jabbar
bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih
besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian
pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar
dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat
diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan
perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Karena masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering
dibicarakan dalam konteks, yang manakah di antara kedua akal dan wahyu itu yang
menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia
berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta
tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para
aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antra lain:
a.
Aliran Mu’tazilah
sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mempunyai
kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.
b.
Sementara itu aliran
Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional,
mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan
mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
c.
Sebaliknya aliran
Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa
akal hanya mampu mengetahui Tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang
baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
d.
Sementara itu aliran
Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional
berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui Tuhan dan
mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dengan akal, sedangkan dua hal
lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban
melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui
dengan wahyu. Adapun ayat-ayat yang
dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan Mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat
mereka adalah surat As-Sajdah, surat Al-Ghosiyah ayat 17 dan surat Al-A’rof
ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi
hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa
Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri. Dan untuk
memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil Al-Qur’an surat Hud ayat 24.
Sementara itu aliran kalam tradisional mengambil beberapa ayat Al-Qur’an
sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . Ayat-ayat
tersebut adalah ayat 15 surat Al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat
An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.
Dalam menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh
dengan pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal.
Seperti Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya
sebagai kemunduran umat islam dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan
adalah suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat Islam yang dinilai
dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat Islam karena kurang
mengoptimalkan potensi akal yang dimiliki. Bagi Harun Nasution agama dan
wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan
memahami agama tersebut.
B.
Klasifikasi
dan Karakteristik Ilmu dalam Islam
1.
Sumber dan Metode Ilmu
Kehidupan agama Islam di panggung sejarah peradaban manusia
memiliki arti tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu dalam
Islam berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan inti wahyu Allah Swt.
Tujuan dari semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam ialah untuk menunjukkan
kesatupaduan dan saling berhubungan dari segala yang ada. Turunnya wahyu Allah
Swt kepada Nabi Muhammad Saw, membawa semangat baru bagi dunia ilmu
pengetahuan, memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada
sumber-sumber pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi
intel-induktif.
al-qur’an menganggap ”anfus” (ego) dan ”afak” (dunia) sebagai
sumber pengetahuan. Allah menumpahkan tanda-tandaNya dalam pengalaman batin dan
juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas,
pengalaman batin merupakan pengembangan manusia terhadap seluruh potensi jiwa
dan inteleknya. Jiwa kebudayaan Islam yang diarahkan kepada yang konkrit dan
terbatas serta yang telah melahirkan metode observasi dan eksperimen bukanlah
sebuah hasil kompromi dengan pikiran Yunani.
2.
Keterbatasan Ilmu
Manusia
diberi anugerah oleh Allah dengan alat-alat kognitif yang alami terpasang pada
dirinya. Dengan alat ini manusia mengadakan observasi, eksperimentasi, dan rasionalisasi.
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur (AnNahl:78)
Keterbatasan ilmu manusia tidak menghilangkan makna ayat-ayat Allah
di alam semesta yang diciptakan agar manusia dapat mengenal eksistensinya.
Makna ayat-ayat Allah tetap relevan mengantarkan manusia kepada Tauhid dari
dahulu hingga sekarang, dari zaman batu hingga zaman komputer.
3.
Ilmu-Ilmu Semu
Banyak orang yang mempelajari ilmu pengetahuan tetapi dirinya
bersikap sekuler. Tak terkesan sedikitpun kecenderungan kepada Islam. Ilmu-ilmu
seperti inilah yang disebut sebagai ilmu yang semu karena tidak membawa manusia
kepada tujuan hakiki.
Pertama, sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa ajaran Islam benar-benar dari Allah Swt, dan berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Kedua, terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta terhadap karya-karya pendahulu (nenek moyang) mereka. Ketiga, mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh, hanya bersifat spekulatif belaka.
Pertama, sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa ajaran Islam benar-benar dari Allah Swt, dan berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Kedua, terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta terhadap karya-karya pendahulu (nenek moyang) mereka. Ketiga, mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh, hanya bersifat spekulatif belaka.
4.
Klasifikasi Ilmu
Beberapa tipe klasifikasi telah dihasilkan dengan berbagai aspek
peninjauan dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu yang berkembang, diantaranya
klasifikasi oleh Al-Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi (870 – 950 M), Al-Ghazali
(1058 – 1111 M), dan Ibn Khaldun (wafat 1406 M).
Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua bagian besar, yakni
ilmu-ilmu Tanziliyah yaitu ilmu-ilmu
yang dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah
SWT baik dalam kitab-Nya maupun hadits-hadits Rasulullah SAW, dan ilmu-ilmu Kauniyah yaitu ilmu-ilmu yang
dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam. Bersumber pada al-qur’an
dan hadits, ilmu-ilmu Tanziliyah
telah berkembang sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang yang sangat banyak, di antaranya
Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh,
Tarikhulanbiyaa, Sirah Nabawiyah, dan lain-lain. Masing-masing ilmu
tersebut melahirkan ilmu-ilmu, seperti dalam Ulumul Qur’an ada ilmu
Qiroat, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Tajwid, dan lain-lainnya.
Bersumber pada ayat-ayat Allah SWT, di alam raya ini akal manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman, terkait dengan pribadi manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), dan terkait dengan interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu kealaman melahirkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya. Ilmu-ilmu humaniora melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya.
Bersumber pada ayat-ayat Allah SWT, di alam raya ini akal manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman, terkait dengan pribadi manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), dan terkait dengan interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu kealaman melahirkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya. Ilmu-ilmu humaniora melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya.
Antara ilmu Tanziliyah
dan Kauniyah tidak bisa dipisahkan
karena keduanya saling melengkapi bagi kehidupan manusia. Ilmu Tanziliyah berfungsi menuntun jalan
kehidupan manusia, sedangkan ilmu Kauniyah
menjadi sarana manusia dalam memakmurkan alam ini. Kadang kala ayat- ayat
Al-Qur’an atau teks-teks hadits memberikan rangsangan bagi manusia untuk lebih
menekuni lagi ilmu-ilmu Kauniyah.
Sebaliknya, ilmu-ilmu Kauniyah dapat
memperkuat bukti-bukti keagungan dan kebesaran ayat-ayat Allah.
C.
Kewajiban
Menuntut Ilmu
Penghargaan terhadap Ilmu Agama Islam bersumber dari wahyu Allah Swt,
sedangkan ilmu pengetahuan bersumber dari pikiran manusia yang disusun
berdasarkan hasil penyelidikan alam, yang bertujuan mencari kebenaran ilmiah.
IPTEK dalam Islam dipandang sebagai kebutuhan manusia dalam rangka mencapai
kesejahteraan hidup di dunia dan memberi kemudahan pada peningkatan Ubudiyah
kepada Allah.
IPTEK dalam Islam juga sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah yang berakal. Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi sekali karena hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi manusia itu sendiri. Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya:
IPTEK dalam Islam juga sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah yang berakal. Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi sekali karena hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi manusia itu sendiri. Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya:
1.
Turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah Saw (Al Alaq: 1–5)
2.
Banyaknya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan
manusia untuk menggunakan akal, pikiran, dan pemahaman (Al Baqarah: 44)
3.
Allah Swt
memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi akalnya
sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih rendah lagi (Al A’raaf: 179)
4.
Allah memandang lebih tinggi derajat
orang-orang yang berilmu (Az Zumar : 9 dan Al Mujadilah:11)
5.
Allah akan meminta pertanggungjawaban orang-orang
yang melakukan sesuatu tidak
berdasarkan ilmu (Al Israa:36)
6.
Pemahaman terhadap ajaran agama harus berdasarkan
ilmu (Ali Imran:18)
7.
Dalam menentukan orang-orang pilihan yang
menjadi Khalifah di muka bumi ini Allah melihat sisi keilmuannya (Al Baqarah: 247).
8.
Allah menganjurkan kepada seorang yang beriman
untuk sentiasa berdo'a bagi pertambahan kekuasaan ilmunya (Thaha: 114).
Menuntut ilmu adalah bagian yan sangat penting dari pengamalan
ajaran Islam yang menunjukkan seseorang pada jalan kehidupan yang memberikan
keyakinan. Ilmu yang diperlukan bagi pembangunan masyarakat yang pemanfaatannya
dapat meningkatkan kemampuan produksi dalam berbagai sektor kehidupan, sehingga
Islam mewajibkan untuk menuntuti ilmu, baik secara pribadi maupun kelompok.
1.
Model
Kewajiban Menuntut Ilmu
Ada ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seseorang pribadi terkait
dengan status dirinya, sebagai seorang muslim dengan kondisi-kondisi yang
menyertainya. Seseorang yang telah mencapai usia baligh, maka wajib bagi
dirinya untuk mengetahui pokok-pokok ajaran agamanya. Kewajiban-kewajiban
lainnya datang menurut kondisinya. Kewajiban menuntut ilmu yang terkait dengan
kepentingan tiap individu muslim disebut fardhu 'ain.
Yusuf Qardhawi menyebutkan empat macam ilmu yang termasuk dalam fardhu 'ain:
Ilmu mengenai Aqidah Yaqiniyah yang benar, selamat dari syirik dan khufarat.
Yusuf Qardhawi menyebutkan empat macam ilmu yang termasuk dalam fardhu 'ain:
Ilmu mengenai Aqidah Yaqiniyah yang benar, selamat dari syirik dan khufarat.
a.
Ilmu yang membuat ibadah seseorang terhadap
Tuhannya berjalan dengan benar sesuai
dengan ketentuan yang disyariatkan.
b.
Ilmu yang dengannya jiwa dibersihkan, hati disucikan,
segala keutamaan dikenal untuk kemudian diamalkan.
c.
Ilmu yang bisa mendisiplikan tingkah laku dalam
hubungan seseorang dengan dirinya atau dengan keluarganya atau dengan khalayak banyak.
d.
Ilmu-ilmu yang keberadaannya terkait dengan
kepentingan masyarakat muslim dan umum termasuk fardhu kifayah. Ilmu-ilmu yang
termasuk fardhu kifayah di antaranya
ilmu-ilmu yang terkait dengan pendalaman pemahaman syariat seperti Tafsir, ilmu
Mustalah Hadits, ilmu Ushul Fiqh, dan sebagainya. Juga ilmu-ilmu yang terkait dengan
kebutuhan hidup di dunia seperti ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian,
dan sebagainya.
2.
Studi
Kasus Islam dalam Konteks Bidang Studi
a.
Ilmu Kealaman
Arahan-arahan alquran terhadap ilmu-ilmu kealaman terdapat dalam
banyak tempat, mencakup beberapa bidang yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, di antaranya:
1)
Penciptaan
alam semesta (Ali Imran: 190)
2)
Fisika
Inti : Hakikat Zarah (elemen terdasar) (Yunus: 61)
3)
Astronomi
(Luqman: 29)
4)
Asal
usul kehidupan (An Anbiya: 30)
5)
Geologi
(An Naazi'aat: 30-31)
b.
Ilmu Kemanusiaan, di antaranya:
1)
Psikologi
(Al Mudatsir: 38)
2)
Bahasa
(Ar Ruum: 22)
3)
Sastra
(Asy Syu’raa: 224-227)
c.
Ilmu Sosial
Ilmu
yang terkait dengan ilmu sosial di antaranya:
1)
Politik
(Ali Imran: 26)
2)
Ekonomi
(At Tatfik: 1-3)
3)
Hukum
(Al An'aam: 57)
4)
Pendidikan
(Al Alaq: 1-5)
0 komentar:
Post a Comment