EPISTEMOLOGI ISLAM:
BEBERAPA PRINSIP DASAR
A. Pendahuluan
Secara
etimologi, kata “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani; “episteme”
dan “logs”. “Episteme” berarti pengetahuan, sedangkan “logos” berarti
teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi berarti sebuah teori tentang
pengetahuan. Dalam bahasa Inggeris dikenal dengan istilah “Theory of
knowledge.”[1]
Secara
terminologi, menurut Dagobert D. Runes dalam bukunya “Dictionary of
Phlisophy,” mengatakan bahwa “Efistemologi sebagai cabang filsafat yang
menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode, dan validitas
pengetahuan"[2]
Jika
dikaitkan dengan Islam maka epistemologi Islam dapat dipahami sebagai teori
pengetahuan atau filsafat yang dijiwai oleh nilai-nilai dan ajaran Islam, dan
didedikasikan sebagai ibadah (pengabdian) kepada Sang Pencipta (lihat QS.
51:56).
Berdasarkan
analisis penulis, setidaknya ada tiga alasan mengapa masalah ini penting
dibahas. Pertama, pertimbangan strategis; kebanyakan ilmuan mengatakan
pengetahuan itu adalah kekuatan (knowledge is power), satu contoh bahwa
teknologi berawal dari penemuan, penemuan akibat pengetahuan, dan pengetahuan
merubah sejarah manusia, dalam hal ini Islam tentu saja tidak boleh
ketinggalan. Kedua, pertimbangan kebudayaan; revolusi pengetahuan merupakan salah satu
dinamisator kebudayaan modern, dan hal itu mempengaruhi agama. Ketiga,
pertimbangan pendidikan; pengetahuan adalah sesuatu yang dicari, digali, dan
dikembangkan dalam dunia pendidikan, termasuk dunia pendidikan Islam.
Beberapa
permasalahan yang dibahas dalam tulisan
ini antara lain: (a) Apa itu ilmu pengetahuan menurut Islam (kajian ontologi), (b)
Sumber-sumber pengetahuan (wahyu, akal, senses/panca indera, dan
lain-lain), (c) Bagaimana (cara) memperoleh ilmu pengetahuan (kajian
epistemologi)?, (d) Peran dan fungsi pengetahuan dalam Islam (kajian
aksiologis).
B. Pembahasan
a. Ilmu Pengetahuan Menurut Islam (Kajian Ontologi)
Permasalahan
pertama yang menjadi kajian epistemologi adalah pengetahuan. Robert Audi dalam The
Cambridge Dictionery of Philosophy menyatakan, epistemologi sebagai studi
tentang pengetahuan dan kebenaran, paling tidak secara khusus mempelajari
tentang tiga bagian penting: pertama, penegasan ciri-ciri pengetahuan, kedua,
kondisi sumber-sumber pengetahuan yang sesungguhnya, dan ketiga,
batasan-batasan pengetahuan dan kebenaran.[3]
Hal
ini hampir senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh D.W. Hamlyn:
“Epistemology, or the theory of knowledge, its that branch of philosophy which
is concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and
bais, and in the general realibity of claims to knowledge”[4].
(Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berkaitan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan cabang-cabangnya serta secara
umum dapat diandalkannya dalam penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan).
Juhaya
S. Praja lalu merumuskan bahwa setidaknya terdapat empat persoalan pokok yang
menjadi objek kajian epistemologi, yaitu: Apa pengetahuan itu? Apa
sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang
dan bagaimana cara atau metode mengetahuinya? Kemudian apakah pengetahuan itu
sudah benar (valid), dengan kata lain bagaimana yang dikatakan benar?
Lalu,
apakah yan disebut pengetahuan? Dan apa pula yang disebut ilmu?. Meskipun para
ahli telah membuat batasan yang jelas antara pengetahuan dan ilmu, tetapi dalam
pemakaian kata sehari-hari, kedua istilah itu sering dikacaukan maknanya, dan
lebih sering lagi dianggap sebagai sesuatu yang padu; dengan satu makna.
Jujun
S. Suriasumantri
mendefenisikan pengetahuan sebagai berikut: Pengetahuan pada hakikatnya
merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang sesuatu objek tertentu,
termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan
yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti
seni dan agama.[5]
Sehingga
dapat dikatan bahwa anak kecilpun sebenarnya telah mempunyai berbagai macam
pengetahuan sesuai dengan tahap perkembangan/pertumbuhan dan kecerdasannya.
Juhaya
S. Praja juga membuat simpulan yang cukup jelas tentang defenisi ilmu yang
semakin mempertegas batasan pengetahuan dengan ilmu, yaitu: “Ilmu adalah
pengetahuan yang sistematis, pengetahuan yang dengan sadar menuntut kebenaran,
dan bermetode dan bersistem ini, disebut “ilmu”. Defenisi ini merupakan
defenisi ilmu secara khusus.”[6]
Uraian
di atas menggambarkan bahwa sekalipun ilmu disebut sebagai pengetahuan, tetapi
tidak berarti bahwa semua pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu. Dengan
“pengetahuan ilmu” dimaksud pengetahuan yang pasti, eksak dan betul-betul
terorganisasi. Jadi ilmu adalah pengetahuan yang berasaskan kenyataan dan
tersusun baik. Ilmu (Latin: Scientia) mengandung tiga kategori isi:
hipotesa, teori dan dalil hukum. Ilmu merupakan perkembangan lebih lanjut dan
mendalam dari pengetahuan indera. Kalau pengetahuan indera menjawab pertanyaan
apa yang dialami oleh panca indera, pertanyaan ilmu adalah bagaimana dan apa
sebabnya atau mengapa. Pertanyaan pertama dijawab oleh kajian ilmiah dengan
melukiskan gejala-gejala perkara yang dinyatakan. Pertanyaan kedua dijawab oleh
hubungan kausal (hubungan sebab akibat) tentang perkara yang dinyatakan tentang
apa sebabnya dan apa akibatnya. Hubungan sebab akibat tidak dapat ditangkap
oleh panca indera, maka untuk itu perlu dilakukan penelitian. Data yang
dihasilkan oleh penelitian itu dianallisa dan disimpulkan secara logis, kesimpulan
itulah yang digolongkan kepada ilmu.[7]
Dengan
demikian, untuk seterusnya jika disebut ilmu pengetahuan seperti tertulis pada
sub a, maka yang dimaksud adalah ilmu dan pengetahuan sekaligus. Hal ini perlu disampaikan
untuk menghindari kerancuan pemahaman.
Lalu,
bagaimanakah ilmu pengetahuan menurut Islam ?
Kata
ilmu (al-‘ilm) mempunyai arti yang amat penting dalam ajaran Islam.
Kata-kata ‘ilm sendiri sangat banyak ditemukan dalam al qur’an. Pada satu versi ada yang mengatakan bahwa kata
‘ilm terdapat 60 kali, dan al-‘ilm 28 kali.[8]
Ini belum lagi ditambah dengan derivasi-derivasinya yang begitu banyak; seperti
a’lam, ya’lam, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Franz
Rosental dalam bukunya “Knowledge Triumphants The Concept in Medieval Islam”
sebagaimana dikutip oleh Dawam Raharjo menjabarkan:
Dalam
bahasa Arab biasa, ‘ilm dapat digartikan pengertiannya dengan
pengetahuan (knowledge). Sungguhpun begitu, pengetahuan mengandung
kekurangmampuan dalam mengekspresikan semua kenyataan dan perasaan yang
terkandung dalam kata ‘ilm, karena ‘ilm adalah salah satu arti
sekian konsep yang mendominasi dunia Islam dan memberi ciri-ciri khusus dalam
segala kompleksitasnya terhadap peradaban Islam.[9]
Menurut Rosental, ’ilm tidak bisa
diartikan begitu saja dengan pengetahuan, karena kata ‘ilm itu sendiri
telah menjadi kebudayaan dalam Islam yang memiliki arti khusus, bahkan Rosental
lebih jauh mengungkapkan bahwa kata ‘ilm mempunyai makna yang sangat
dalam sehingga tidak ada konsep lain yang berperan secara operatif dalam
pembentukan peradaban Islam. Ia menegaskan bahwa tidak ada satupun di antara
istilah-istilah yang memiliki kedalaman makna dan keluasan penggunaannya yang
sama dengan kata ‘ilm tersebut.[10]
Kata
al-‘ilm adalah masdar dari kata kerja ‘alima, artinya mengetahui.
Menurut istilah, al-‘ilm mempunyai arti mengetahui hakikat sesuatu
dengan yakin (idrak al-syai’ bi haqiqatih ‘am yaqin)[11]
Salah
satu pengertian ilmu dalam perspektif Alquran adalah :
Bahwa yang
dimaksud ilmu dalam pengertian yang terkandung dalam alquran adalah merupkan
dasar pemahaman yang sahih untuk mengetahui gejala alam seisinya, sehingga
mampu ditemukan rahasia kedalaman ayat-ayat (baik ayat Qur’aniyyat atau ayat
kawniyyat). Untuk mempertebal rasa keimanan kepada-Nya. Pada sisi lain, adanya
dorongan untuk memahami alam semesta ini dengan ilmu pengetahuan.[12]
Dari
beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu
adalah pengetahuan atas segala sesuatu yang ditemukan dan mengandung kebenaran
hakiki, baik segi esensi maupun eksistensinya.
Meskipun
defenisi tersebut masih terkesan global, namun sepertinya bisa diterima karena
memang alquran sendiri hanya memuat prinsip-prinsip dasar saja dan tidak
merinci secara detail sebagaimana yang dikehendaki oleh prinsip-prinsip dan
persyaratan ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Intinya adalah bahwa
ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran hakiki itu adalah ilmu
pengetahuan yang bersumber dari Yang
Maha Benar (al-haq) sebagaimana keyakinan tauhid kaum muslim.
b. Sumber-sumber Ilmu Pengetahuan
Louis
Q. Kattsof sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja mengatakan bahwa sumber
pengetahuan manusia itu ada lima macam, yaitu: 1. Empiris yang
melahirkan aliran empirisme, 2. Rasio yang melahirkan aliran rasionalisme,
3. Fenomena yang melahirkan fenomenologi,
4. Intuisi yang melahirkan
aliran intuisionalisme, dan 5. Metode ilmiah yang menggabungkan
antara aliran rasionalisme dan empirisme. Yang disebut terakhir
telah mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di seluruh
universitas di dunia ini.[13]
Dari
kelima sumber tersebut, yang paling banyak mendapat perhatian dan menjadi bahan
perbincangan sekaligus polemik di kalangan intelektual adalah empiris
(empirisme) dan rasio (rasionalisme).
Dalam
Islam sendiri, meskipun dengan kalimat dan kata yang sedikit berbeda antara
satu dengan yang lain, namun bisa ditarik benang merahnya, bahwa sumber-sumber
ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain adalah: senses/indera, akal,
hati (qalb), dan yang utama di atas semua itu adalah wahyu.
Mulyadi
Kartanegara mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan tentang sesuatu
melalui sumber-sumber tertentu. Sumber-sumber sangat penting karena menjadi
sebuah tolak ukur untuk memastikan apakah pengetahuan tersebut valid
atau tidak, dan hal ini dipengaruhi oleh metode-metode tertentu yang mengklaim
bahwa sumbernya yang paling valid untuk mengajukan pengetahuan.
Keseluruhan sumber-sumber itu tetap mengandung kelebihan di samping
kekurangannya masing-masing.[14]
Pembahasan
tentang sumber-sumber dalam epistemologi, pandangan kaum muslimin sangat
beragam. Dari sekian banyak pandangan para ilmuwan dan filosof muslim, kita
dapat mengeneralisasi sumber-sumber tersebut kepada tiga bagian, yakni: indera,
akal, dan hati.
Keseluruhan
sumber-sumber ini secara literal menurut Quraish Shihab dijustifikasikan dalam
Alquran (QS.an-Nahl [16]: 78),
ﻭﺁﷲ ﺃﺨﺭﺠﻜﻡ ﻤﻥ
ﺒﻁﻭﻥ ﺃﻤﻬﺘﻜﻡ ﻻﺘﻌﻠﻤﻭﻥ ﺸﻴﺌﺎ ﻭﺠﻌﻝ ﻠﻜﻡ ﺍﻠﺴﻤﻊ ﻭﺍﻷﺒﺼﺭ ﻭﺍﻷﻔﺌﺩﺓ ﻟﻌﻟﻜﻡ ﺘﺸﻜﺭﻭﻥ
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikan
kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya
sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan).[15]
Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut
mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu: telinga, mata (penglihatan),
akal, dan hati.[16]
1. Senses/Indera
Sebagai
salah satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat pengetahuan), indera
mempunyai peranan yan amat penting. Begitu pentingnya sehingga oleh aliran
filsafat empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan. Indera adalah sumber awal menuju pengenalan terhadap alam
sekeliling kita. Bagi kelompok filosofis rasionalis seperti Baqir
al-Sadr, indera merupakan sumber pemahaman untuk gambaran (tasawwuf) dan
berpikir (al-ifkar) yang sederhana, bahkan disana terdapat fitrah dalam
mental yang membangkitkan tingkat gambaran. Ia mencontohkan betapa kesimpulan
teori gravitasi oleh ilmuwan alam dikarenakan dengan hasil penemuan, hukumnya
bukan mengindera hukum tersebut, dan kesimpulan itu bersifat rasio.
Ibnu
Sina, dengan teorinya yang sangat populer tentang “al-nafs” (jiwa),
mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera dalam
(batin). Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu
dirasionalkan oleh indera dalam menjadi pengetahuan. Mengetahui dari maksudnya
dengan panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr), mendengar (al-sama’),
mencium (al-samma), merasa dengan lidah (al-zauq), dan merasa
dengan sentuhan (al-lams).
2. Akal
Akal
sebagai sumber ilmu pengetahuan oleh Ibnu Sina dikelompokkan dalam indera
batin. Mengetahui dari dalam maksudnya adalah dengan indera batin, dan ini ada
dalam wujud mengetahui pengetahuan inderawi dan pengertiannya.
Selanjutnya
Ibnu Sina membagi kemampuan penginderaan batin manusia dalam lima tahap, yaitu
:
1)
Indera bersama atau al-his
al-musyiarak, indera ini bertempat di bagian depan otak dan memiliki daya
untuk menerima semua bentuk atau pesan yang berasal dari panca indera luar
kemudian meneruskannya ke indera batin berikutnya.
2)
Indera menggambarkan atau al-khayal
wal al-musawwarah, tempatnya juga berada di bagian depan otak dan memiliki
daya untuk menyimpan pesan-pesan yang diterima indera bersama dari hasil
serapan panca indera.
3)
Indera pereka atau al-mutakhayyilah, bertempat
di bagian tengah otak dan memiliki daya untuk mengatur gambar-gambar yang telah
dilepaskan dari materi oleh indera penggambar dengan cara mengklasifikasikannya
kemudian mencari hubungan antara satu dengan yang lainnya.
4)
Indera penganggap atau al-wahmiah, tempatnya
di bagian tengah otak dan memiliki daya untuk menangkap pengertian-pengertian
yang abstrak yang dikandung gambaran-gambaran yang bersifat inderawi, seperti
mengetahui.
5)
Indera pengingat atau al-hafizah
al-zakirah, bertempat dibagian belakang otak dan memiliki daya untuk
menyimpan dan mengingat apa yang diketahui oleh indera penganggap yang bersifat
abstrak tersebut.
Kelima indera batin tersebut dikatakan
Ibnu Sina sebagai daya-daya dari “jiwa
binatang” atau al-nafs al-hayawaniyah, selain dari indera-indera itu,
menurutnya manusia juga memiliki “jiwa tumbuh-tumbuhan” (al-nafs
al-nabatiyah), dan jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah), yang
memiliki daya untuk berpikir (quwah an-natiqah) atau yang disebut juga
dengan akal.
Akal ini kemudian dibedakannya lagi
menjadi dua macam, yaitu akal praktis (‘amiah). Akal praktis akan
mengontrol jiwa kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seorang yang
berakhlak mulia, dan sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk
menangkap arti-arti murni, arti-arti tidak pernah ada dalam materi, mengetahui
yang didominasi oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh,
malaikat, dan dengan daya inilah akan timbul ma’rifah.
3. Hati (Qalb)
Sebagian
orang menyebut hati (qalb) ini dengan intuisi. Kalangan sufi mengklaim
bahwa intuisi lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat memahami pengalaman
langsung, kadang-kadang tidak seperti yang dikonsepsikan akal. Hati juga bisa
mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung.
Secara
umum, yang paling banyak terkuak dengan masalah hati ini adalah para sufi,
tetapi filosofis besar Ibnu Sina juga tak ketinggalan membahas masalah ini,
seperti pada karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian
akhirnya. Ibnu Sina mengatakan bahwa ketika akal hanya berkutat pada tataran
kesadaran, hati bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (semisal alam ghaib)
sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non inderawi atau yang diistilahkan
dengan ESP (entra sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman
mistik atau religius.
Sejarah
realitas pengalaman mistik dalam Islam dapat dilihat antara lain mistikus
terbesar sepanjang sejarah perkembangan tasauf dengan karya-karya masterpiecenya
antara lain Fusus al-Hikam dan al-Makkiyah tidak lain merupakan
hasil pengalaman-pengalaman intuitifnya.
Disisi lain, Muhammad Taqi Ja’far
(seorang ahli tasauf yang mempopulerkan istilah tasauf positif) menilai bahwa
terdapat hubungan yang erat, sejalan dan tidak terpisahkan antara tasauf dengan
sains dan akal. Memisahkan sains dan akal dari tasauf sama seperti menutup dua
celah yang dilalui oleh cahaya kebenaran yang menerangi jalan sang musafir.
Sains adalah cahaya penerang bagi fakta-fakta untuk mengetahui cara-cara,
alat-alat, hukum alam, serta batas-batas tujuan dan orientasi. Akal adalah
pengatur dalam diri kita dalam mempersepsikan fenomena sensual, aktifitas
mental abstraksi untuk generalisasi angka-angka, simbol-simbol pelaksana
operasi matematika dan sebagainya. Akal dan sains adalah penghubung antara
manusia dan kenyataan. Bagaimana mungkin jiwa bisa berkembang dan menguasai
wujud jika akal dan sains dipisahkan dari tasauf ?
Hanya saja, prinsip penting yang harus
kita pegang sebagai orang muslim adalah, bahwa jika ilmu pengetahuan (sains)
dan akal dijadikan sekadar kebanggaan dan penghias diri semata, maka keduanya
akan berubah menjadi penghalang bagi jiwa untuk bisa mendapat ridho-Nya. Begitu
juga jika tasauf dijadikan sebagai penghias diri untuk mencari keuntungan
semata, maka hal itu bisa menjadi hijab yang sangat tebal yang akan menghalangi
mata hati kita dari memandang wajah Allah.
4. Wahyu.
Seperti
dijelaskan diawal, Islam meyakini bahwa sumber utama dari segala ilmu dan
pengetahuan manusia dalam tak lain adalah wahyu Ilahi. Semua yang terkandung
dalam wahyu adalah benar adanya. Penilaian terhadap sesuatu hampir semuanya
merujuk kepada wahyu. Dari sisi lain, wahyu menekankan pentingnya menjaga dan
mempotensialkan ketiga sumber ilmu pengetahuan yang telah disebutkan
sebelumnya. Ketertinggalan dan kemunduran manusia dalam memperoleh ilmu
pengetahuan tak lain disebabkan oleh diri manusia itu sendiri, yang lalai.
Wahyu
sebagai sumber ilmu pengetahun, di kalangan kaum muslimin terdapat dua tipe
pemikiran. Pertama, sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiah, dan kedua,
sebagai petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq al- Rafi’i, Abd
al-Razzaq al-Nufal dan Maurice Bucaille, mereka tergolong kepada kelompok
pertama. Sedangkan Ibnu Ishak al-Syathibi termasuk kelompok kedua.
Mahdi Ghulsyani memilih berada diantara
dua kelompok tersebut. Ia menekankan wahyu itu sebagai petunnjuk bagi manusia
yang mengandung ilmu pengetahuan dan manusia itu diperintahkan untuk senantiasa
menggunakan indera, akal, dan hatinya untuk menggali pengetahuan dari alam ini
atas bimbingan wahyu itu sendiri.[17]
c. Metode, Proses Mendapatkan Ilmu Pengetahuan
(Kajian Epistemologi)
Pada
sub bab ini, penulis akan membahas bagaimana (cara) memperoleh ilmu pengetahuan
menurut Islam, sekaligus juga prosesnya.
Pada
awalnya manusia percaya bahwa kekuatan pengenalannya dapat mencapai realitas
sebagaimana adanya, tak terkecuali para filosof pertama di Barat. Mereka
menerima begitu saja bahwa manusia itu bisa mengenal hakikat benda (nature),
meskipun sebagian mereka mengakui beberapa sumber tertentu lebih akurat dibanding
sumber yang lain dalam memperoleh pengenalan tentang kenyataan.
Perkembangan
selanjutnya, mulai muncul rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan
dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos dan mistis. Dari sinilah kemudian
berkembang pengetahuan yang berakar pada pengalaman yang berdasarkan akal sehat
(common sense) yang didukung oleh metode coba-coba (trial and error).
Metode
ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi
ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua
ilmu pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu (metode ilmiah).
Islam,
secara spesifik tidak membahas hal ini. Tetapi, para pakar dan intelektual muslim
pada umumnya sependapat bahwa metode ilmiah merupakan prosedur yang harus
ditempuh untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, meskipun dalam
pendefenisian dan perumusannya berbeda-beda.
Harun
Nasution merumuskan, kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi
ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
1)
Perumusan masalah; pertanyaan mengenai
objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi
faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2)
Penyusunan kerangka berpikir dalam
pengajuan hipotesis; argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi
permasalahan.
3)
Perumusan hipotesa; jawaban sementara
atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4)
Pengujiaan hipotesa; pengumpulan
fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan
apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5)
Penarikan kesimpulan; penilaian apakah sebuah
hipotesis yang diajukan itu dapat ditolak atau diterima.
d. Peran dan Fungsi Ilmu Pengetahuan dalam
Islam (Kajian Aksiologis)
Islam
memandang bahwa ilmu pengetahuan mempunyai peran dan fungsi yang sangat urgen
dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan, perubahan, dan kemajuan
peradaban umat Islam khususnya dan umat manusia umumnya.
Jalaluddin
Rakhmat mengungkapkan peran penting ilmu menurut Islam antara lain:
1)
Ilmu pengetahuan harus berusaha
menemukan keteraturan (system), hubungan sebab akibat dan tujuan di alam
semesta. Banyak ayat di dalam Alquran yang menjelaskan hal ini (QS. 67:3, 6:73,
21:16, 44:38-39, 23:115, dan lain-lain).
2)
Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil
manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebab Allah telah menundukkan
matahari, bulan, bintang, dan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk
manusia (QS. 22:65, 31:20, 16:14).
3)
Ilmu harus dikembangkan dengan tidak
menimbulkan kerusakan baik afaq atau anfus (QS. 7:56 dan 85, 47:22, 2:205,
13:25).[18]
Sedangakan fungsi ilmu menurut RBS.
Fubyartana sebagaimana dikutip Endang Saefuddin Anshari antara lain:
1)
Fungsi deskriptis; menggambarkan,
melukiskan, dan memaparkan suatu objek atau masalah sehingga mudah dipelajari
oleh peneliti.
2)
Fungsi pengembangan; melanjutkan hasil
penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru.
3)
Fungsi prediksi; meramalkan
kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mengambil
tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya.
4)
Fungsi control; berusaha
mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.[19]
Sementara
Dawam Raharjo dalam Ensiklopedia Alquran menyatakan, satu fungsi ilmu
yakni perbaikan atau pembaharuan, dalam istilah Alquran “ishlah”.[20]
Mahdi
Ghulsyani menjelaskan manfaat ilmu antara lain: 1) Ilmu dapat meningkatkan pengetahuan
seseorang akan Allah, 2) Ilmu dengan
efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan
berbagai problem masyarakat.[21]
Terakhir,
untuk melengkapi, penting rasanya dikemukakan juga disini bagaimana hubungan
antara ilmu pengetahuan dan agama yang dipaparkan dengan sangat indah oleh
Quraisy Shihab sembari mengikuti pandangan Murtadha Muthahhari tentang hal ini.
1)
Ilmu
mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju.
2)
Ilmu
menyesuaikan manusia dengan lingkungannya dan agama menyesuaikan dengan jati
dirinya.
3)
Ilmu
memberikan kekuatan dan menerangi jalan dan agama memberi harapan dan dorongan
bagi jiwa.
4)
Ilmu
menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama menjawab yang
dimulai dengan “mengapa”.
5)
Ilmu
tidak jarang mengeruhkan pikiran pelakunya, sedangkan agama selalu menerangkan
jiwa pemeluknya yang tulus.[22]
C. PENUTUP
Dari
pembahasan tentang prinsip-prinsip dasar epistemologi Islam ini dapat
dibuat beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Ilmu adalah pengetahuan atas segala
sesuatu yang ditemukan dan mengandung kebenaran hakiki, baik segi esensi
maupun eksistensinya, mempunyai metode dan sistematis.
2.
Sumber-sumber ilmu pengetahuan menurut
Islam antara lain: indera, akal, hati (qalb), dan wahyu.
3.
Cara memperoleh ilmu pengetahuan
(metode/cara sekaligus proses mendapatkannya) menurut Islam, yaitu: pada tahap
awal diyakini bahwa manusia mendapatkan pengetahuan secara alami (nature),
kemudian meningkat ke tahap coba-coba (trial and error), lalu meningkat
lagi kepada pengkajian dengan menggunakan metode ilmiah. Semua itu dilandasi
dan di bawah tuntunan ajaran Islam yang termaktub dalam wahyu Ilahi (Alquran).
4.
Peran dan fungsi ilmu pengetahuan
menurut Islam sangat urgen. Dengan ilmu pengetahuan peradaban manusia bisa
dikembangkan.
Demikian makalah ini, terima kasih atas
semua perhatian, masukan-masukan dari semua pihak terutama Dosen Pembimbing demi
hasil yang lebih baik lagi kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Amin, M. Falsafah Kalam di Era Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995.
Al
Rasyidin. Falsafah Pendidikan Islami Membangun Kerangka Ontologi
Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. Bandung: Cv. Perdana Mulya
Sarana, 2008.
Anshari,
Endang Saefuddin. Ilmu, Filsafat dan
Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1985.
Arief,
Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pers, 2002.
Audi,
Robert. The Cambridge Dictionary of Philosophy. New York: Cambridge
University Press, 1996.
CD
Alquran al-Karim, Keluaran Kelima, Hak Cipta Milik Perusahaan Perangkat Lunak “Sakhar”
1997.
Departemen
Agama RI. Alquran dan Terjemahanya. Bandung: Jumanatul Ali-Art, 2005.
___________________.
Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta:
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2001.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat,
Buku Pertama, Pengantar Kepada Dunia Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
Ghulsyani, Mahdi. Filsafat Sains
Menurut Alquran, terj. Agus Efendi. Bandung: Mizan, 1998.
Hamlyn,
D.W. History of Epistemology, dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of
Philosophy, 1967, vol. 3.
Ibrahim,
Muhammad Ismai’il. Mu’jam Alfadz al-A’lam al-Qur’aniyyat. Kairo: Dar
al’Fikr al ‘Arabiy, 1968).
Kartanegara,
Mulyadi. Pengantar Epistemologi
Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Muchlas,
Imam. Alquran Berbicara; Kajian
Kontekstual Beragam Persoalan. Surabaya: Pustaka Progressif, 1996.
Nasution,
Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta:
UI Press, 1986.
Napitupulu, V.M. Pengantar
Filsafat. Medan: Budi Agung, 1988.
Raharjo, Dawam. Ensiklopedi
Alquran. Jakarta: Paramadina, 1996.
Rakhmad, Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1991.
Runes, Dagobart
D. Dictionery of Philosophy. New Jersey: Adams & Company, 1971.
Shihab,
Muhammad Quraisy. Mukjizat Alquran.
Bandung: Mizan, 1999.
________________________. Wawasan
Alquran. Bandung: Mizan,
1996.
Suriasumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Praja,
Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan
Etika. Bandung: Yayasan Piara, 1997.
[1]Armai Arief, Pengantar Ilmu
dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 3.
[2] Ibid.
[3]Robert Audi, The Cambridge
Dictionary of Philosophy (New York: Cambridge University Press, 1996), h.
273.
[4] D.W. Hamlyn, History of
Epistemology, dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, 1967,
vol. 3, h. 8-9.
[5] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 104.
[6] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997), h. 6-7.
[7] Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat, Buku Pertama, Pengantar Kepada Dunia Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 40.
[8] CD Alquran al-Karim, Keluaran
Kelima, Hak Cipta Milik Perusahaan Perangkat Lunak “Sakhar” , 1997
[9] Dawam Raharjo, Ensiklopedi
Alquran (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 57.
[10] Ibid.
[11]Muhammad Ismai’il Ibrahim, Mu’jam
Alfadz al-A’lam al-Qur’aniyyat (Kairo: Dar al’Fikr al ‘Arabiy, 1968), h.
256.
[12] Muhammad Quraisy Shihab, Mukjizat
Alquran (Bandung: Mizan, 1999), h.
67.
[13]
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997), h.13
[14] Mulyadi Kartanegara, Pengantar
Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), h. 22
[15]Departemen Agama RI, Alquran
dan Terjemahanya (Bandung: Jumanatul
Ali-Art, 2005), h. 276.
[16]
Muhammad Quraisy Shihab, Wawasan
Alquran (Bandung: Mizan, 1996), h.
45
[17] Mahdi Ghulsyani, Filsafat
Sains Menurut Alquran, terj. Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1998), h. 342.
[18]
Jalaluddin Rakhmad, Islam
Alternatif (Bandung: Mizan, 1991),
h. 206.
[19]
Endang Saefuddin Anshari, Ilmu,
Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina
Ilmu, 1985), h. 60.
[20]
Dawam Raharjo, Ensiklopedi
Alquran (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 549.
[21]
Mahdi Ghulsyani, Filsafat
Sains Menurut Alquran, terj. Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1998), h. 345.
[22]
Muhammad Quraisy Shihab, Wawasan
Alquran (Bandung: Mizan, 1996), h.
68.
0 komentar:
Post a Comment