Pages

Wednesday, October 21, 2015

EPISTEMOLOGI ISLAM: BEBERAPA PRINSIP DASAR



EPISTEMOLOGI ISLAM:
BEBERAPA PRINSIP DASAR 
                   
A. Pendahuluan
Secara etimologi, kata “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani; “episteme” dan “logs”. “Episteme” berarti pengetahuan, sedangkan “logos” berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi berarti sebuah teori tentang pengetahuan. Dalam bahasa Inggeris dikenal dengan istilah “Theory of knowledge.”[1]
Secara terminologi, menurut Dagobert D. Runes dalam bukunya “Dictionary of Phlisophy,” mengatakan bahwa “Efistemologi sebagai cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode, dan validitas pengetahuan"[2]
Jika dikaitkan dengan Islam maka epistemologi Islam dapat dipahami sebagai teori pengetahuan atau filsafat yang dijiwai oleh nilai-nilai dan ajaran Islam, dan didedikasikan sebagai ibadah (pengabdian) kepada Sang Pencipta (lihat QS. 51:56).
Berdasarkan analisis penulis, setidaknya ada tiga alasan mengapa masalah ini penting dibahas. Pertama, pertimbangan strategis; kebanyakan ilmuan mengatakan pengetahuan itu adalah kekuatan (knowledge is power), satu contoh bahwa teknologi berawal dari penemuan, penemuan akibat pengetahuan, dan pengetahuan merubah sejarah manusia, dalam hal ini Islam tentu saja tidak boleh ketinggalan. Kedua, pertimbangan kebudayaan;  revolusi pengetahuan merupakan salah satu dinamisator kebudayaan modern, dan hal itu mempengaruhi agama. Ketiga, pertimbangan pendidikan; pengetahuan adalah sesuatu yang dicari, digali, dan dikembangkan dalam dunia pendidikan, termasuk dunia pendidikan Islam.
Beberapa permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini antara lain: (a) Apa itu ilmu pengetahuan menurut Islam (kajian ontologi), (b) Sumber-sumber pengetahuan (wahyu, akal, senses/panca indera, dan lain-lain), (c) Bagaimana (cara) memperoleh ilmu pengetahuan (kajian epistemologi)?, (d) Peran dan fungsi pengetahuan dalam Islam (kajian aksiologis).

B. Pembahasan
a.  Ilmu Pengetahuan Menurut Islam (Kajian Ontologi)
Permasalahan pertama yang menjadi kajian epistemologi adalah pengetahuan. Robert Audi dalam The Cambridge Dictionery of Philosophy menyatakan, epistemologi sebagai studi tentang pengetahuan dan kebenaran, paling tidak secara khusus mempelajari tentang tiga bagian penting: pertama, penegasan ciri-ciri pengetahuan, kedua, kondisi sumber-sumber pengetahuan yang sesungguhnya, dan ketiga, batasan-batasan pengetahuan dan kebenaran.[3]
Hal ini hampir senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh D.W. Hamlyn: “Epistemology, or the theory of knowledge, its that branch of philosophy which is concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and bais, and in the general realibity of claims to knowledge”[4]. (Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan cabang-cabangnya serta secara umum dapat diandalkannya dalam penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan).
Juhaya S. Praja lalu merumuskan bahwa setidaknya terdapat empat persoalan pokok yang menjadi objek kajian epistemologi, yaitu: Apa pengetahuan itu? Apa sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana cara atau metode mengetahuinya? Kemudian apakah pengetahuan itu sudah benar (valid), dengan kata lain bagaimana yang dikatakan benar?
Lalu, apakah yan disebut pengetahuan? Dan apa pula yang disebut ilmu?. Meskipun para ahli telah membuat batasan yang jelas antara pengetahuan dan ilmu, tetapi dalam pemakaian kata sehari-hari, kedua istilah itu sering dikacaukan maknanya, dan lebih sering lagi dianggap sebagai sesuatu yang padu; dengan satu makna.
Jujun S. Suriasumantri mendefenisikan pengetahuan sebagai berikut: Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang sesuatu objek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.[5]

Sehingga dapat dikatan bahwa anak kecilpun sebenarnya telah mempunyai berbagai macam pengetahuan sesuai dengan tahap perkembangan/pertumbuhan dan kecerdasannya.
Juhaya S. Praja juga membuat simpulan yang cukup jelas tentang defenisi ilmu yang semakin mempertegas batasan pengetahuan dengan ilmu, yaitu: “Ilmu adalah pengetahuan yang sistematis, pengetahuan yang dengan sadar menuntut kebenaran, dan bermetode dan bersistem ini, disebut “ilmu”. Defenisi ini merupakan defenisi ilmu secara khusus.”[6]
Uraian di atas menggambarkan bahwa sekalipun ilmu disebut sebagai pengetahuan, tetapi tidak berarti bahwa semua pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu. Dengan “pengetahuan ilmu” dimaksud pengetahuan yang pasti, eksak dan betul-betul terorganisasi. Jadi ilmu adalah pengetahuan yang berasaskan kenyataan dan tersusun baik. Ilmu (Latin: Scientia) mengandung tiga kategori isi: hipotesa, teori dan dalil hukum. Ilmu merupakan perkembangan lebih lanjut dan mendalam dari pengetahuan indera. Kalau pengetahuan indera menjawab pertanyaan apa yang dialami oleh panca indera, pertanyaan ilmu adalah bagaimana dan apa sebabnya atau mengapa. Pertanyaan pertama dijawab oleh kajian ilmiah dengan melukiskan gejala-gejala perkara yang dinyatakan. Pertanyaan kedua dijawab oleh hubungan kausal (hubungan sebab akibat) tentang perkara yang dinyatakan tentang apa sebabnya dan apa akibatnya. Hubungan sebab akibat tidak dapat ditangkap oleh panca indera, maka untuk itu perlu dilakukan penelitian. Data yang dihasilkan oleh penelitian itu dianallisa dan disimpulkan secara logis, kesimpulan itulah yang digolongkan kepada ilmu.[7]
Dengan demikian, untuk seterusnya jika disebut ilmu pengetahuan seperti tertulis pada sub a, maka yang dimaksud adalah ilmu dan pengetahuan sekaligus. Hal ini perlu disampaikan untuk menghindari kerancuan pemahaman.
Lalu, bagaimanakah ilmu pengetahuan menurut Islam ?
Kata ilmu (al-‘ilm) mempunyai arti yang amat penting dalam ajaran Islam. Kata-kata ‘ilm sendiri sangat banyak ditemukan dalam al qur’an.  Pada satu versi ada yang mengatakan bahwa kata ‘ilm terdapat 60 kali, dan al-‘ilm 28 kali.[8] Ini belum lagi ditambah dengan derivasi-derivasinya yang begitu banyak; seperti a’lam, ya’lam, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Franz Rosental dalam bukunya “Knowledge Triumphants The Concept in Medieval Islam” sebagaimana dikutip oleh Dawam Raharjo menjabarkan:
Dalam bahasa Arab biasa, ‘ilm dapat digartikan pengertiannya dengan pengetahuan (knowledge). Sungguhpun begitu, pengetahuan mengandung kekurangmampuan dalam mengekspresikan semua kenyataan dan perasaan yang terkandung dalam kata ‘ilm, karena ‘ilm adalah salah satu arti sekian konsep yang mendominasi dunia Islam dan memberi ciri-ciri khusus dalam segala kompleksitasnya terhadap peradaban Islam.[9]

Menurut Rosental, ’ilm tidak bisa diartikan begitu saja dengan pengetahuan, karena kata ‘ilm itu sendiri telah menjadi kebudayaan dalam Islam yang memiliki arti khusus, bahkan Rosental lebih jauh mengungkapkan bahwa kata ‘ilm mempunyai makna yang sangat dalam sehingga tidak ada konsep lain yang berperan secara operatif dalam pembentukan peradaban Islam. Ia menegaskan bahwa tidak ada satupun di antara istilah-istilah yang memiliki kedalaman makna dan keluasan penggunaannya yang sama dengan kata ‘ilm tersebut.[10]
Kata al-‘ilm adalah masdar dari kata kerja ‘alima, artinya mengetahui. Menurut istilah, al-‘ilm mempunyai arti mengetahui hakikat sesuatu dengan yakin (idrak al-syai’ bi haqiqatih ‘am yaqin)[11]
Salah satu pengertian ilmu dalam perspektif Alquran adalah :
Bahwa yang dimaksud ilmu dalam pengertian yang terkandung dalam alquran adalah merupkan dasar pemahaman yang sahih untuk mengetahui gejala alam seisinya, sehingga mampu ditemukan rahasia kedalaman ayat-ayat (baik ayat Qur’aniyyat atau ayat kawniyyat). Untuk mempertebal rasa keimanan kepada-Nya. Pada sisi lain, adanya dorongan untuk memahami alam semesta ini dengan ilmu pengetahuan.[12]
Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan atas segala sesuatu yang ditemukan dan mengandung kebenaran hakiki, baik segi esensi maupun eksistensinya.
Meskipun defenisi tersebut masih terkesan global, namun sepertinya bisa diterima karena memang alquran sendiri hanya memuat prinsip-prinsip dasar saja dan tidak merinci secara detail sebagaimana yang dikehendaki oleh prinsip-prinsip dan persyaratan ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Intinya adalah bahwa ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran hakiki itu adalah ilmu pengetahuan  yang bersumber dari Yang Maha Benar (al-haq) sebagaimana keyakinan tauhid kaum muslim.

b.  Sumber-sumber Ilmu Pengetahuan
Louis Q. Kattsof sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia itu ada lima macam, yaitu: 1. Empiris yang melahirkan aliran empirisme, 2. Rasio yang melahirkan aliran rasionalisme, 3.   Fenomena yang melahirkan fenomenologi, 4.   Intuisi yang melahirkan aliran intuisionalisme, dan 5. Metode ilmiah yang menggabungkan antara aliran rasionalisme dan empirisme. Yang disebut terakhir telah mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di seluruh universitas di dunia ini.[13]
Dari kelima sumber tersebut, yang paling banyak mendapat perhatian dan menjadi bahan perbincangan sekaligus polemik di kalangan intelektual adalah empiris (empirisme) dan rasio (rasionalisme).
Dalam Islam sendiri, meskipun dengan kalimat dan kata yang sedikit berbeda antara satu dengan yang lain, namun bisa ditarik benang merahnya, bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain adalah: senses/indera, akal, hati (qalb), dan yang utama di atas semua itu adalah wahyu.
Mulyadi Kartanegara mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan tentang sesuatu melalui sumber-sumber tertentu. Sumber-sumber sangat penting karena menjadi sebuah tolak ukur untuk memastikan apakah pengetahuan tersebut valid atau tidak, dan hal ini dipengaruhi oleh metode-metode tertentu yang mengklaim bahwa sumbernya yang paling valid untuk mengajukan pengetahuan. Keseluruhan sumber-sumber itu tetap mengandung kelebihan di samping kekurangannya masing-masing.[14]
Pembahasan tentang sumber-sumber dalam epistemologi, pandangan kaum muslimin sangat beragam. Dari sekian banyak pandangan para ilmuwan dan filosof muslim, kita dapat mengeneralisasi sumber-sumber tersebut kepada tiga bagian, yakni: indera, akal, dan hati.
Keseluruhan sumber-sumber ini secara literal menurut Quraish Shihab dijustifikasikan dalam Alquran (QS.an-Nahl [16]: 78),

ﻭﺁﷲ ﺃﺨﺭﺠﻜﻡ ﻤﻥ ﺒﻁﻭﻥ ﺃﻤﻬﺘﻜﻡ ﻻﺘﻌﻠﻤﻭﻥ ﺸﻴﺌﺎ ﻭﺠﻌﻝ ﻠﻜﻡ ﺍﻠﺴﻤﻊ ﻭﺍﻷﺒﺼﺭ ﻭﺍﻷﻔﺌﺩﺓ        ﻟﻌﻟﻜﻡ ﺘﺸﻜﺭﻭﻥ                                                                                              
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan).[15]
Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu: telinga, mata (penglihatan), akal, dan hati.[16]
1.  Senses/Indera
Sebagai salah satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat pengetahuan), indera mempunyai peranan yan amat penting. Begitu pentingnya sehingga oleh aliran filsafat empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indera adalah sumber awal menuju pengenalan terhadap alam sekeliling kita. Bagi kelompok filosofis rasionalis seperti Baqir al-Sadr, indera merupakan sumber pemahaman untuk gambaran (tasawwuf) dan berpikir (al-ifkar) yang sederhana, bahkan disana terdapat fitrah dalam mental yang membangkitkan tingkat gambaran. Ia mencontohkan betapa kesimpulan teori gravitasi oleh ilmuwan alam dikarenakan dengan hasil penemuan, hukumnya bukan mengindera hukum tersebut, dan kesimpulan itu bersifat rasio.
Ibnu Sina, dengan teorinya yang sangat populer tentang “al-nafs” (jiwa), mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera dalam (batin). Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu dirasionalkan oleh indera dalam menjadi pengetahuan. Mengetahui dari maksudnya dengan panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr), mendengar (al-sama’), mencium (al-samma), merasa dengan lidah (al-zauq), dan merasa dengan sentuhan (al-lams).

2.  Akal
Akal sebagai sumber ilmu pengetahuan oleh Ibnu Sina dikelompokkan dalam indera batin. Mengetahui dari dalam maksudnya adalah dengan indera batin, dan ini ada dalam wujud mengetahui pengetahuan inderawi dan pengertiannya.
Selanjutnya Ibnu Sina membagi kemampuan penginderaan batin manusia dalam lima tahap, yaitu :
1)        Indera bersama atau al-his al-musyiarak, indera ini bertempat di bagian depan otak dan memiliki daya untuk menerima semua bentuk atau pesan yang berasal dari panca indera luar kemudian meneruskannya ke indera batin berikutnya.
2)        Indera menggambarkan atau al-khayal wal al-musawwarah, tempatnya juga berada di bagian depan otak dan memiliki daya untuk menyimpan pesan-pesan yang diterima indera bersama dari hasil serapan panca indera.
3)        Indera pereka atau al-mutakhayyilah, bertempat di bagian tengah otak dan memiliki daya untuk mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materi oleh indera penggambar dengan cara mengklasifikasikannya kemudian mencari hubungan antara satu dengan yang lainnya.
4)        Indera penganggap atau al-wahmiah, tempatnya di bagian tengah otak dan memiliki daya untuk menangkap pengertian-pengertian yang abstrak yang dikandung gambaran-gambaran yang bersifat inderawi, seperti mengetahui.
5)        Indera pengingat atau al-hafizah al-zakirah, bertempat dibagian belakang otak dan memiliki daya untuk menyimpan dan mengingat apa yang diketahui oleh indera penganggap yang bersifat abstrak tersebut.
Kelima indera batin tersebut dikatakan Ibnu Sina sebagai daya-daya dari  “jiwa binatang” atau al-nafs al-hayawaniyah, selain dari indera-indera itu, menurutnya manusia juga memiliki “jiwa tumbuh-tumbuhan” (al-nafs al-nabatiyah), dan jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah), yang memiliki daya untuk berpikir (quwah an-natiqah) atau yang disebut juga dengan akal.
Akal ini kemudian dibedakannya lagi menjadi dua macam, yaitu akal praktis (‘amiah). Akal praktis akan mengontrol jiwa kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seorang yang berakhlak mulia, dan sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti tidak pernah ada dalam materi, mengetahui yang didominasi oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh, malaikat, dan dengan daya inilah akan timbul ma’rifah.
3.  Hati (Qalb)
Sebagian orang menyebut hati (qalb) ini dengan intuisi. Kalangan sufi mengklaim bahwa intuisi lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat memahami pengalaman langsung, kadang-kadang tidak seperti yang dikonsepsikan akal. Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung.
Secara umum, yang paling banyak terkuak dengan masalah hati ini adalah para sufi, tetapi filosofis besar Ibnu Sina juga tak ketinggalan membahas masalah ini, seperti pada karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian akhirnya. Ibnu Sina mengatakan bahwa ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (semisal alam ghaib) sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non inderawi atau yang diistilahkan dengan ESP (entra sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius.
Sejarah realitas pengalaman mistik dalam Islam dapat dilihat antara lain mistikus terbesar sepanjang sejarah perkembangan tasauf dengan karya-karya masterpiecenya antara lain Fusus al-Hikam dan al-Makkiyah tidak lain merupakan hasil pengalaman-pengalaman intuitifnya.
Disisi lain, Muhammad Taqi Ja’far (seorang ahli tasauf yang mempopulerkan istilah tasauf positif) menilai bahwa terdapat hubungan yang erat, sejalan dan tidak terpisahkan antara tasauf dengan sains dan akal. Memisahkan sains dan akal dari tasauf sama seperti menutup dua celah yang dilalui oleh cahaya kebenaran yang menerangi jalan sang musafir. Sains adalah cahaya penerang bagi fakta-fakta untuk mengetahui cara-cara, alat-alat, hukum alam, serta batas-batas tujuan dan orientasi. Akal adalah pengatur dalam diri kita dalam mempersepsikan fenomena sensual, aktifitas mental abstraksi untuk generalisasi angka-angka, simbol-simbol pelaksana operasi matematika dan sebagainya. Akal dan sains adalah penghubung antara manusia dan kenyataan. Bagaimana mungkin jiwa bisa berkembang dan menguasai wujud jika akal dan sains dipisahkan dari tasauf ?
Hanya saja, prinsip penting yang harus kita pegang sebagai orang muslim adalah, bahwa jika ilmu pengetahuan (sains) dan akal dijadikan sekadar kebanggaan dan penghias diri semata, maka keduanya akan berubah menjadi penghalang bagi jiwa untuk bisa mendapat ridho-Nya. Begitu juga jika tasauf dijadikan sebagai penghias diri untuk mencari keuntungan semata, maka hal itu bisa menjadi hijab yang sangat tebal yang akan menghalangi mata hati kita dari memandang wajah Allah.
4. Wahyu.       
Seperti dijelaskan diawal, Islam meyakini bahwa sumber utama dari segala ilmu dan pengetahuan manusia dalam tak lain adalah wahyu Ilahi. Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar adanya. Penilaian terhadap sesuatu hampir semuanya merujuk kepada wahyu. Dari sisi lain, wahyu menekankan pentingnya menjaga dan mempotensialkan ketiga sumber ilmu pengetahuan yang telah disebutkan sebelumnya. Ketertinggalan dan kemunduran manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan tak lain disebabkan oleh diri manusia itu sendiri, yang lalai.
Wahyu sebagai sumber ilmu pengetahun, di kalangan kaum muslimin terdapat dua tipe pemikiran. Pertama, sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiah, dan kedua, sebagai petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq al- Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Nufal dan Maurice Bucaille, mereka tergolong kepada kelompok pertama. Sedangkan Ibnu Ishak al-Syathibi termasuk kelompok kedua.
Mahdi Ghulsyani memilih berada diantara dua kelompok tersebut. Ia menekankan wahyu itu sebagai petunnjuk bagi manusia yang mengandung ilmu pengetahuan dan manusia itu diperintahkan untuk senantiasa menggunakan indera, akal, dan hatinya untuk menggali pengetahuan dari alam ini atas bimbingan wahyu itu sendiri.[17]
c.  Metode, Proses Mendapatkan Ilmu Pengetahuan (Kajian Epistemologi)
Pada sub bab ini, penulis akan membahas bagaimana (cara) memperoleh ilmu pengetahuan menurut Islam, sekaligus juga prosesnya.
Pada awalnya manusia percaya bahwa kekuatan pengenalannya dapat mencapai realitas sebagaimana adanya, tak terkecuali para filosof pertama di Barat. Mereka menerima begitu saja bahwa manusia itu bisa mengenal hakikat benda (nature), meskipun sebagian mereka mengakui beberapa sumber tertentu lebih akurat dibanding sumber yang lain dalam memperoleh pengenalan tentang kenyataan.
Perkembangan selanjutnya, mulai muncul rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos dan mistis. Dari sinilah kemudian berkembang pengetahuan yang berakar pada pengalaman yang berdasarkan akal sehat (common sense) yang didukung oleh metode coba-coba (trial and error).
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua ilmu pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu (metode ilmiah).
Islam, secara spesifik tidak membahas hal ini. Tetapi, para pakar dan intelektual muslim pada umumnya sependapat bahwa metode ilmiah merupakan prosedur yang harus ditempuh untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, meskipun dalam pendefenisian dan perumusannya berbeda-beda.
Harun Nasution merumuskan, kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
1)        Perumusan masalah; pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2)        Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis; argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan.
3)        Perumusan hipotesa; jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4)        Pengujiaan hipotesa; pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5)        Penarikan kesimpulan; penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu dapat ditolak atau diterima.

d.    Peran dan Fungsi Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Kajian Aksiologis)
Islam memandang bahwa ilmu pengetahuan mempunyai peran dan fungsi yang sangat urgen dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan, perubahan, dan kemajuan peradaban umat Islam khususnya dan umat manusia umumnya.
Jalaluddin Rakhmat mengungkapkan peran penting ilmu menurut Islam antara lain:
1)        Ilmu pengetahuan harus berusaha menemukan keteraturan (system), hubungan sebab akibat dan tujuan di alam semesta. Banyak ayat di dalam Alquran yang menjelaskan hal ini (QS. 67:3, 6:73, 21:16, 44:38-39, 23:115, dan lain-lain).
2)        Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebab Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (QS. 22:65, 31:20, 16:14).
3)        Ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan kerusakan baik afaq atau anfus (QS. 7:56 dan 85, 47:22, 2:205, 13:25).[18]
Sedangakan fungsi ilmu menurut RBS. Fubyartana sebagaimana dikutip Endang Saefuddin Anshari antara lain:
1)        Fungsi deskriptis; menggambarkan, melukiskan, dan memaparkan suatu objek atau masalah sehingga mudah dipelajari oleh peneliti.
2)        Fungsi pengembangan; melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru.
3)        Fungsi prediksi; meramalkan kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya.
4)        Fungsi control; berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.[19]
Sementara Dawam Raharjo dalam Ensiklopedia Alquran menyatakan, satu fungsi ilmu yakni perbaikan atau pembaharuan, dalam istilah Alquran “ishlah”.[20]
Mahdi Ghulsyani menjelaskan manfaat ilmu antara lain: 1)   Ilmu dapat meningkatkan pengetahuan seseorang akan Allah, 2)   Ilmu dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan berbagai problem masyarakat.[21]
Terakhir, untuk melengkapi, penting rasanya dikemukakan juga disini bagaimana hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama yang dipaparkan dengan sangat indah oleh Quraisy Shihab sembari mengikuti pandangan Murtadha Muthahhari tentang hal ini.
1)        Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju.
2)        Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya.
3)        Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa.
4)        Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama menjawab yang dimulai dengan “mengapa”.
5)        Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pelakunya, sedangkan agama selalu menerangkan jiwa pemeluknya yang tulus.[22]
C. PENUTUP
Dari pembahasan tentang prinsip-prinsip dasar epistemologi Islam ini dapat dibuat beberapa kesimpulan, yaitu:
1.        Ilmu adalah pengetahuan atas segala sesuatu yang ditemukan dan mengandung kebenaran hakiki, baik segi esensi maupun eksistensinya, mempunyai metode dan sistematis.
2.        Sumber-sumber ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain: indera, akal, hati (qalb), dan wahyu.
3.        Cara memperoleh ilmu pengetahuan (metode/cara sekaligus proses mendapatkannya) menurut Islam, yaitu: pada tahap awal diyakini bahwa manusia mendapatkan pengetahuan secara alami (nature), kemudian meningkat ke tahap coba-coba (trial and error), lalu meningkat lagi kepada pengkajian dengan menggunakan metode ilmiah. Semua itu dilandasi dan di bawah tuntunan ajaran Islam yang termaktub dalam wahyu Ilahi (Alquran).
4.        Peran dan fungsi ilmu pengetahuan menurut Islam sangat urgen. Dengan ilmu pengetahuan peradaban manusia bisa dikembangkan.
Demikian makalah ini, terima kasih atas semua perhatian, masukan-masukan dari semua pihak terutama Dosen Pembimbing demi hasil yang lebih baik lagi kedepan.
 
DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Amin, M. Falsafah Kalam di Era Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
 
Al Rasyidin. Falsafah Pendidikan Islami Membangun Kerangka Ontologi Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. Bandung: Cv. Perdana Mulya Sarana, 2008.

Anshari, Endang Saefuddin.  Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1985.

Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Audi, Robert. The Cambridge Dictionary of Philosophy. New York: Cambridge University Press, 1996.

CD Alquran al-Karim, Keluaran Kelima, Hak Cipta Milik Perusahaan Perangkat Lunak “Sakhar”  1997.

Departemen Agama RI.  Alquran dan Terjemahanya.  Bandung: Jumanatul Ali-Art, 2005.

___________________. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2001.

Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, Buku Pertama, Pengantar Kepada Dunia Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Ghulsyani, Mahdi. Filsafat Sains Menurut Alquran, terj. Agus Efendi. Bandung: Mizan, 1998.

Hamlyn, D.W. History of Epistemology, dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, 1967, vol. 3.

Ibrahim, Muhammad Ismai’il. Mu’jam Alfadz al-A’lam al-Qur’aniyyat. Kairo: Dar al’Fikr al ‘Arabiy, 1968).

Kartanegara, Mulyadi.  Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003.

Muchlas, Imam.  Alquran Berbicara; Kajian Kontekstual Beragam Persoalan. Surabaya: Pustaka Progressif, 1996.

Nasution, Harun.  Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.

Napitupulu, V.M. Pengantar Filsafat.  Medan: Budi Agung, 1988.

Raharjo, Dawam. Ensiklopedi Alquran. Jakarta:  Paramadina, 1996.

Rakhmad, Jalaluddin.  Islam Alternatif.  Bandung: Mizan, 1991.

Runes, Dagobart D. Dictionery of Philosophy. New Jersey: Adams & Company, 1971.

Shihab, Muhammad Quraisy.  Mukjizat  Alquran.  Bandung: Mizan, 1999.

________________________.  Wawasan  Alquran.  Bandung: Mizan, 1996.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.  Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Praja, Juhaya S.  Aliran-aliran Filsafat dan Etika.  Bandung: Yayasan Piara, 1997.  


































[1]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 3.
[2] Ibid.
[3]Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy (New York: Cambridge University Press, 1996), h. 273.  
[4] D.W. Hamlyn, History of Epistemology, dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, 1967, vol. 3, h. 8-9.
[5] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer  (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 104.
[6] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997),        h. 6-7.  
[7] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Buku Pertama, Pengantar Kepada Dunia Filsafat   (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 40.
[8] CD Alquran al-Karim, Keluaran Kelima, Hak Cipta Milik Perusahaan Perangkat Lunak “Sakhar” , 1997
[9] Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alquran (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 57.
[10] Ibid.
[11]Muhammad Ismai’il Ibrahim, Mu’jam Alfadz al-A’lam al-Qur’aniyyat (Kairo: Dar al’Fikr al ‘Arabiy, 1968), h. 256.   
[12] Muhammad Quraisy Shihab, Mukjizat  Alquran (Bandung: Mizan, 1999), h. 67.
[13] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997),        h.13
[14] Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), h. 22
[15]Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahanya  (Bandung: Jumanatul Ali-Art, 2005), h. 276.
[16] Muhammad Quraisy Shihab, Wawasan  Alquran (Bandung: Mizan, 1996), h. 45
[17] Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Alquran, terj. Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1998), h. 342.
[18] Jalaluddin Rakhmad, Islam Alternatif  (Bandung: Mizan, 1991), h. 206.
[19] Endang Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama  (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), h. 60.
[20] Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alquran (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 549.
[21] Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Alquran, terj. Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1998), h. 345.
[22] Muhammad Quraisy Shihab, Wawasan  Alquran (Bandung: Mizan, 1996), h. 68.

0 komentar:

Post a Comment