JAMA’AH
TABLIGH
oleh: Edi Sucipno
Pendahuluan
Dakwah
merupakan ruh dari eksistensi dan
kebangkitan agama, karena yang didakwahkan adalah agama, seyogyanyalah
merupakan kewajiban bagi semua masyarakat beragama sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya:
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar,[1]
merekalah orang-orang yang beruntung.[2]
Dakwah
telah memberikan konstribusi besar
terhadap aspek dokrinal individual
dan kolektifitas umat Islam, sehingga
mempengaruhi pola pikir, bertindak baik, dan tertanam nilai-nilai keimanan
secara individual maupun sosial kultural.
Ini menjadi landasan penting pembangunan moral, etik, spritual masyarakat. Apabila agama tidak didakwahkan secara
berkesinambungan akan berpengaruh terhadap eksistensi
agama Islam, bahkan dalam arti yang luas juga mempengaruhi masyarakat dan
individual muslim.[3]
Oleh
karena itu gerakan dakwah harus terus dilakukan, tidak mengenal waktu, tempat, kultur, dan perubahan sosial. Justru
semakin bergeraknya perubahan realitas,
maka dakwah semakin dituntut dinamis,
intensif dan konprehensif, karena
dakwah merupakan panduan dinamis
antara dokrinal dan managerial.
Dari
perspektif ini dakwah bukan semata-mata
tanggung jawab lembaga keagamaan tertentu, tetapi ini menjadi tanggung jawab
bersama, saling berkolaborasi antara
pemerintah, elit-elit dakwah (pelaku
dakwah) dan masyarakat dakwah.
Salah
satu gerakan dakwah yang masih eksis
keberadaannya dan terus menerus mengembangkan misi agama Islam yaitu : “Jama’ah
Tabligh”, kendati akhir-akhir ini sudah banyak pembicaraan yang bernilai
positif atau negatif, ada yang memuji, dan ada juga yang mencela, sehingga hal
ini menimbulkan saling silang pendapat mengenai Jama’ah Tabligh.
Untuk
itu dalam tulisan ini, penulis berusaha menjelaskan secara detail tentang keberadaannya, baik melalui kajian teoritis maupun hasil observasi dan wawancara yang dilakukan
terhadap pimpinan serta anggotanya agar dapat dipahami dan dijadikan sebagai hujjah serta iktibar bagi masyarakat yang selalu berpikir positif.
Latar Belakang Berdirinya
Istilah
kata Jama’ah Tabligh berasal dari bahasa Arab. Kata Jama’ah artinya “kumpulan”,
sedangkan Tabligh artinya “menyampaikan”.[4] Secara
istilah
Jama’ah Tabligh adalah gerakan keagamaan yang terdiri sekumpulan orang Islam dengan tujuan mengajak seluruh orang Islam agar melakukan ibadah secara sempurna atau keseluruhan sesuai alqur’an dan assunah.[5]
Jama’ah Tabligh adalah gerakan keagamaan yang terdiri sekumpulan orang Islam dengan tujuan mengajak seluruh orang Islam agar melakukan ibadah secara sempurna atau keseluruhan sesuai alqur’an dan assunah.[5]
Setiap
kerja besar dan penting baik yang berpengaruh positif maupun negatif
terwujudnya dan kemunculannya tentu ada faktor dan alasan tertentu yang
mendorongnya.
Jama’ah
Tabligh didirikan oleh Syaikh Muhammad Karni Ilyas Alkandahlawi (1303-1363 H)
pada tahun 1920-an di Delhi ibu kota India. Beliau adalah seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyah
dan bermazhab Hanafiah. Alkandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah, sebuah desa di Sahranfur.
Ide
pembentukan gerakan ini berawal saat melihat banyak orang-orang mewat
(suku-suku yang tinggal dekat dengan India) dalam beribadah mereka telah
tercampur dengan ajaran agama Hindu. Untuk itu ia punya inisiatif membangun gerakan untuk meng-Islamkan orang-orang Islam
agar melaksanakan agama secara kaffah
(keseluruhan), kemudian atas arahan dan perintah syaikhnya ia mendirikan Jama’ah
Tabligh.
Ilham
untuk mendirikan setelah beliau beribadah haji pada tahun 1926.
Ia sekolah di Deoband yang merupakan sekolah terbesar di India dengan madzab Hanafi, yang didirikan pada tahun 1283 H / 1867 M. Setelah wafat kepemimpinan digantikan oleh anaknya yaitu Syaikh Muhammad Yusuf Alkandahlawi (1917-1965 M) selanjutnya kepemimpinan diteruskan oleh cucu amir (ketua) pertama yaitu Syaikh Muhammad Harun, sedangkan setelahnya kepemimipinan diteruskan oleh Imam Hasan.[6]
Ia sekolah di Deoband yang merupakan sekolah terbesar di India dengan madzab Hanafi, yang didirikan pada tahun 1283 H / 1867 M. Setelah wafat kepemimpinan digantikan oleh anaknya yaitu Syaikh Muhammad Yusuf Alkandahlawi (1917-1965 M) selanjutnya kepemimpinan diteruskan oleh cucu amir (ketua) pertama yaitu Syaikh Muhammad Harun, sedangkan setelahnya kepemimipinan diteruskan oleh Imam Hasan.[6]
Selain
itu ada juga faktor yang mendorong
tumbuhnya Jama’ah Tabligh ini adalah karena umat Islam telah meniru (tingkah laku)
Jahiliyyah. Bahkan dibanyak negara,
peniruan mereka telah hampir menyeluruh. Sungguh, inilah kerusakan dalam
aqidah, kebodohan dalam ibadah, kesesatan dalam berpikir, dan penyakit jiwa
yang telah menimpah umat Islam di negara-negara Islam pada umumnya, dan negara
India pada khususnya. Sehingga umat Islam ditimpah kebodohan tentang Islam dan syariatnya, mereka kembali kepada
penyembahan berhala Hindu.
Dalam
suasana kehancuran ini tumbuhlah Jama’ah Tabligh yang diharapkan dapat
menyelamatkan siapa saja yang dikehendaki Allah Swt dari kebodohan tentang
Islam dan syariat-syariatnya, sehingga ia mengetahui, beramal dan selamat,
serta mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan baik lahir maupun batin.[7]
Untuk
itu keberadaan gerakan Jama’ah Tabligh lahir bertujuan untuk menyampaikan
kepada setiap orang Islam yang ditemui di seluruh penjuru dunia agar
menjalankan ajaran Islam secara kaffah
tanpa ada unsur khufur atau bid’ah sesuai dengan alqur’an dan
hadits.
Penyebaran Jama’ah Tabligh
Jama’ah
Tabligh pertama kali muncul di India kemudian tersebar ke Pakistan, Bangladesh
lalu negara-negara Arab dan selanjutnya ke seluruh dunia Islam. Markas utamanya
berada di Nizamuddin, New Delhi, India sedangkan di Pakistan berada di Raiwind
dan di Bangladesh di Tungi.
Pengikut
Jama’ah Tabligh mengalami perkembangan pesat. Terbukti pada akhir abad 20 dalam
pertemuan di Raiwind, Pakistan, dihadiri jutaan orang yang menjadi pertemuan
besar umat muslim di dunia setelah Haji di Mekkah. Selain itu acara tahunan
(berkumpul) internasional di Indonesia dihadiri 50.000 orang. Mereka berasal
dari Yaman, Australia, Malaysia, Singapura, Thailand, yang menghadirkan Masyayaikh pusat dari 3 markas pusat
yaitu India, Pakistan dan Bangladesh.
Sedangkan
di Indonesia sendiri Jama’ah Tabligh
melakukan kegiatan di Masjid tua, kebon jeruk, Jalan Hayam Wuruk di Jakarta. Di
sinilah tempat berkumpulnya anggota Jama’ah Tabligh yang berasal dari seluruh
pelosok tanah air maupun dari luar Indonesia. Pemimpinnya berkedudukan sebagai
penanggung jawab atau yang lebih dikenal ahli
syura yang bertugas menyeleksi anggota yang bersedia khuruj sesuai daerah tujuan dan biasanya yang menjadi ketua
musyawarahnya berasal dari penanggung jawab terpilih pada setiap malam Jum’atnya.
Hal itu berarti ketua musyawarah kedudukannya bisa berganti-ganti sesuai waktu
senggang yang dimiliki masing-masing penanggung jawab.
Adapun
penanggung jawab pusatnya adalah H. Ahmad Zulfaqar, H. Cecep Firdaus, Mohammad
Muslihuddin, Dr. Ahmad Noor, Syamsuddin Abdulloh, Ir. Amir Aminuddin Noor dan
Mohammad Sani Ilyas.
Selain
itu gerakan dakwah Jama’ah Tabligh ini memiliki 2 pondok pesantren sebagai
sentral di Indonesia yang memiliki banyak cabang di wilayah tanah air yaitu:
1. Pondok
pesantren Alfalah di desa Temboro, kecamatan Keras, kabupaten Magelang, Jawa Timur.
Dengan jumlah santri kurang lebih 11.000 orang.
2. Pondok
pesantren Sirojul Mukhlisin di daerah Kerincing, kecamatan Secang, kabupaten
Magelang, Jawa tengah.
Kegiatan
pertemuan (ijtima) tahunan anggota Jama’ah
Tabligh yang sudah dilaksanakan di Indonesia di antaranya adalah tahun 2007 di
Ancol, tahun 2008 dan 2009 di perumahan BSD, Tangerang. Rencananya tahun 2011
dibekas pabrik mobil Timor, Karawang, yang mana lahan tersebut pemberian Tomi
Soeharto, sebagai bentuk simpatinya terhadap Jama’ah Tabligh.
Penyebaran
gerakan dakwah Jama’ah Tabligh juga berkembang di Sumatera Utara. Dinamika
perkembangannya tidak kalah pentingnya, karena daerah ini masyarakatnya pluralis dan rentan ketersentuhan dengan
agama lain. Namun dalam sebuah catatan menarik, dinamika itu menunjukkan fenomena yang baik, indikatornya
terlihat kepada:
Pertama,
kondusifnya masyarakat Sumatera Utara sebagai daerah
pluralis, tidak ada gesekan yang
dapat menimbulkan SARA atau lainnya.
Kedua,
semakin tingginya animo masyarakat muslim membangun
solidaritas sosial (philantorapi) antar
sesama muslim dan non muslim ketika masyarakat tertentu mendapatkan musibah dan
bencana alam.
Ketiga,
menurunnya pola pengkotakan keberagamaan umat Islam
dari pola pengelompokan umat dari sisi corak pemahaman agama tradisional (kaum tua) dan modern (kaum muda), sehingga khilafiyah-khilafiyah klasik bukanlah
hal yang mesti dipertentangkan lagi.
Keempat,
meningkatnya lembaga pranata-pranata keagamaan di
berbagai daerah tentunya mengusung dakwah dalam berbagai aspek.
Kelima,
meningkatnya kuantitas
dan kualitas masyarakat dalam menjalankan
ibadah keagamaan (maksud: haji) dari tahun ketahun.
Keenam,
apresiasi pemerintah melalui menteri agama RI
bapak Surya Darma Ali, menegaskan pada pidato pembukaan acara “Silaturrahmi Umat Islam Se-Sumatera Utara” pada bulan Februari 2010, bahwa daerah
Sumatera Utara merupakan ikon keberhasilan
dakwah di Indonesia hari ini.[8]
Fenomena
di atas menunjukkan bahwa salah satu keberhasilan gerakan dakwah di Sumatera
Utara juga ditandai dengan perkembangan gerakan dakwah yang dilakukan oleh
Jama’ah Tabligh yang memiliki markas di masjid Hidayatul Islamiyah jalan gajah Medan.
Pemikiran dan Doktrin Jama’ah Tabligh
1.
Aqidah
Jama’ah Tabligh
Aqidah
adalah sesuatu yang dianut dan diyakini apakah berwujud agama atau lainnya.
Hal-hal yang berkaitan dengan ajaran aqidah Jama’ah Tabligh adalah mereka lebih
banyak berbicara mengenai tauhid
rubbubiyah saja tanpa mendalami tauhid
ilahiyah, dan asma wassifat.[9] Untuk
itu mereka jarang sekali mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan praktek
peribadatan. Mereka menafsirkan kalimat tauhid dengan : “mengeluarkan keyakinan
yang rusak tentang sesuatu dari diri kita dan memasukan yang benar tentang zat
Allah bahwasannya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rezeki, Maha mendatangkan mudharat dan manfaat, Maha memuliakan
dan menghinakan, Maha menghidupkan dan mematikan asma washifat”,[10]
mereka lebih condong dalam lingkaran asy’ariah,
serta maturidiyah dan kepada maturidiyah mereka lebih dekat.[11] Adapun
konsep Tuhan menurut aliran maturidiyah
di antaranya adalah bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, juga sifat-sifat Tuhan
itu kekal melalui kekekalan, yang terdapat dalam esensi Tuhan bukan kekekalan
sifat-sifat itu sendiri.
Jama’ah
Tabligh memiliki keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan kesufian[12] di antaranya
sebagai berikut:
a. Keyakinan
tentang wihdatul wujud.
Teologi
ini berasal dari ibnu Arabi yang mengatakan bahwa zat Tuhan bersatu dengan
alam.
b. Sikap
berlebihan dengan orang sholeh dan menyakini mereka mempunyai ilmu ghoib.
c. Keyakinan
bahwa sufi dapat memberikan berkah
dan ilmu laduni.
d. Keyakinan
bahwa tangan Rasulullah keluar dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan
Syaikh Ahmad Rifa’i.[13]
e. Setiap
pengikutnya diharuskan bai’at kepada
Syaikhnya.
f. Menjadikan
mimpi sebagai landasan masalah-masalah dakwah.
g. Menyakini
tasawuf sebagai jalan untuk mencapai manisnya iman di dalam kalbu.
h. Senantiasa
menyebut tokoh-tokoh sufi seperti
Abdul Qodir Jaelani, Jallaludin Arumi.[14]
2.
Syari’at
Jama’ah Tabligh
Syari’at menurut istilah adalah semua
yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui alqur’an maupun sunah
Rasul. Para ulama memakai kata syari’at sebagai nama dari hukum yang ditetapkan
Allah baik mengenai hukum aqidah, hukum akhlak, dan hukum amaliah (perbuatan)
tetapi jumhur ulama memakai kata syari’at untuk hukum fiqih (mengenai perbuatan
mukallaf).[15]
Adapun di antara hal-hal yang berkaitan
dengan syari’at mereka:
a.
Mereka membagi ilmu
menjadi dua yaitu ilmu masa’il dan
ilmu fadhoil. Ilmu masa’il dipelajari untuk orang arab
sedangkan ilmu fadhoil
(keutamaan-keutamaan beribadah) dipelajari pada waktu khuruj dan majlis-majlis
tabligh, jadi mereka hanya mempelajari keutamaan-keutamaan ibadah tanpa
belajar akan masalah fikih.[16]
b.
Mereka wajib membaca
yaitu kitab fadhoil a’mal karya
Syaikh MaulanaYusuf Alkandahlawi. Setelah sholat zuhur, ashar, isya setiap
anggota diharuskan khuruj maksimal 4
bulan seumur hidup 40 hari dalam setahun, 3 hari selama 1 bulan, 2 kali
keliling tiap minggu.[17]
3.
Metode
Jama’ah Tabligh dalam Berdakwah
Siapa
saja yang ingin menyelamatkan orang yang sedang karam atau menyelamatkan orang
dari kehancuran, tentu ia harus memiliki metode yang sesuai, yakni metode yang
dapat menyelamatkan mereka. Lalu bagaimanakah metode Jama’ah Tabligh untuk
menyelamatkan orang yang karam atau orang yang menuju kepada kehancuran?
Sebelum
menerangkan tentang metode tersebut, tentunya sangat baik apabila kita
memperhatikan keadaan Islam. Di belahan utara dan atau selatan kuburan-kuburan
disembah, hari raya jahiliyah
diadakan, kefasikan terdapat di mana-mana, sehingga mereka telah meninggalkan
amalan fardu dan sunnat, perbuatan haram dan dosa menyebar di mana-mana.
Apabila
umat Islam meninggalkan sholat, tenggelam dalam syahwat, dan bodoh tentang
amalan-amalan fardu dan wajib, bagaimana mungkin adab-adab Islam dan akhlak
dapat terwujud. Kalau anda memasuki masjid-masjid pada zaman ini, hampir di semua
masjid anda hanya menjumpai orang-orang tua yang tinggal menghabiskan sisa umur
mereka.
Di
manakah orang-orang Islam? Mereka ada di warung-warung kopi, tempat-tempat
permainan, pasar-pasar, dan majlis-majlis kebathilan
dan keburukan. Mereka tertawa-tawa dan berbangga-bangga seakan-akan mereka
bukan orang yang beriman.
Dalam
masyarakat yang dikuasai oleh kelalaian, dijajah oleh kebodohan dicengkram oleh
hawa nafsu, dan memuja syahwat, tentu diperlukan metode yang sesuai untuk
menyelamatkan masyarakat dalam keadaan yang berbahaya tersebut, sehingga dapat
menyelamatkan orang-orang yang tenggelam dalam kebodohan, kezaliman, kefasikan
dan syirik. Pada akhirnya, Allah Swt telah menunjukan metode tabligh, sehingga metode tersebut telah
menyelamatkan hamba-hamba-Nya dalam jumlah yang tidak terhitung. Allah telah
menyelamatkan dari iman yang lemah menjadi kuat, dari kezaliman dan kebodohan
tentang Islam kepada cahaya ma’rifat,
dari kesia-siaan dan kelalaian pada kewaspadaan dzikrullah, dari kefasikan dan maksiat kepada ketaatan.[18]
Sasaran
dari metode tabligh ini hanya memuat enam
materi yang disebut enam sifat, yakni:
a. Mewujudkan
hakikat syahadat, yakni dengan
beribadah kepada Allah Yang Esa sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw
yang berupa amalan-amalan ibadah, berbagai macam ketaatan dan taqarrub.
b. Shalat
khusyu’ dan khudu’, yakni menegakkan shalat dengan cara menyempurnakan rukun-rukunnya
dan wajib-wajibnya. Kekhusyu’an
sangat ditekankan agar dapat menjadi pencegah perbuatan keji dan mungkar.
Banyak orang yang shalat mereka tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar karena tiadanya khusyu’ dan khudhu’ di dalamnya.
c. Ilmu
yang disertai dengan dzikir, yakni
mempelajari ilmu yang diperlukan dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya.
Itulah yang dimaksud dengan dzikir.
Beramal dengan ilmu adalah dzikir,
sedangkan beramal tanpa ilmu adalah penyimpangan dan kelengahan. Kita
berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat dan do’a yang tidak
dikabulkan.
d. Memuliakan
saudara muslim, maksudnya adalah mengembalikan harga diri saudara muslim yang
telah hilang semenjak lama, sehingga
seorang muslim menjadi musuh bagi saudara muslim lainnya. Ia tega memukul badan saudaranya, menyesakkan
nafasnya, merampas hartanya, dan menjatuhkan kehormatannya. Ia menzinahi
ibunya, saudaranya dan bibinya. inilah yang terjadi di negeri muslim.
Memuliakan berarti menghormatinya dan mengangkat harga dirinya, dengan cara
menolak dan menjauhkan gangguan dari dirinya serta memberikan kebaikan
kepadanya sesuai dengan kemampuannya sebagai manusia. Kaum muslimin telah
benar-benar kehilangan kehormatan ini semenjak lama, kecuali yang masih tersisa
sedikit, ini pun sangat jarang, sesuatu yang jarang tidak layak untuk
diperhitungkan.
e. Mengoreksi
niat, maksudnya adalah: seorang muslim hendaknya meniatkan seluruh amal yang
dikerjakannya untuk memperoleh ridha Allah Swt. Itulah keikhlasan yang
disebutkan dalam alqur’an dan ditegaskan oleh sunah Rasulullah Saw.
f. Dakwah Ilallah dan keluar di jalan Allah, maksudnya dakwah Ilallah adalah mendakwah manusia agar beriman kepada Allah, dan
beramal dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya yang perintah-perintah-Nya tertera
dengan jelas dalam alqur’an dan assunnah agar seorang hamba menjadi sempurna
dan bahagia di dunia dan akhirat.
Inilah yang menjadi asas dan landasan
bagi Jama’ah Tabligh yang mereka sebut dengan istilah al-ushulus sittah atau ash-shifatus
sittah.[19]
4.
Aktivitas
Dakwah Jama’ah Tabligh
Kegiatan Jama’ah Tabligh, di antaranya ijtima (kumpulan) setahun sekali. Bagi
yang mampu diharapkan khuruj ke poros
markas pusat (India-Pakistan-Bangladesh), kegiatan di markas kecil adalah
musyawarah mingguan dan sebulan sekali khuruj
selama tiga hari biasanya dipimpin oleh seorang amir. Setelah berdakwah kemudian melaporkan pada markas kecil
selanjutnya ke markas regional dan
diteruskan ke markas besar atau nasional dan terakhir dilaporkan ke markas
internasional.
Kegiatan selama khuruj adalah:
a. Ta’lim
yaitu membaca hadis atau kisah sahabat, biasanya dari kitab fadhoil a’mal.
b. Jaulah
yaitu mengunjungi rumah-rumah di sekitar masjid dengan tujuan agar kembali ke
ajaran Islam kaffah
c. Bayan
yaitu ceramah agama
d. Mudzakaroh
yaitu menghafal nama-nama dan perjuangan sahabat Nabi Saw.
e. Karkurazi
yaitu memberi laporan harian pada amir selama
khuruj, mereka tidur di masjid,
tetapi aktifitas khuruj di markas regional biasanya lebih lama yaitu 40
hari atau 4 bulan saja.[20]
Jama’ah
Tabligh menjadikan masjid sebagai pusat dakwah mereka. Mereka berdakwah dari
satu masjid ke masjid lain. Masjid yang mereka jadikan pusat dakwah disebut
masjid an-nuur untuk menumbuhkan optimisme dalam diri. Nama ini sangat
sesuai dengan kenyataan.
Dalam
Islam, masjid adalah pusat cahaya dan penerangan. Karena di sanalah ilmu dipelajari,
ruh disucikan melalui ibadah-ibadah
yang berupa shalat, dzikirullah, doa,
tilawatul qur’an, dan sebagainya. Di dalamnya, terdapat adab-adab dan
pendidikan akhlak. Dengan demikian, masjid senantiasa membimbing seseorang
kepada sifat-sifat tidak banyak bicara, perangai yang baik, kesucian rohani,
serta kebersihan badan dan pakaian.
Di
masjid, para mubalig berkumpul pada
malam liburan sekali dalam seminggu. Mereka menginap di sana dengan
meninggalkan tempat-tempat tidur mereka, isteri-isteri mereka, dan anak-anak
mereka di rumah agar dapat lebih berkonsentrasi
dalam beribadah dan bertaqarrub
kepada Allah.
Pada
malamnya i’tikaf mereka di masjid, salah
seorang yang memiliki kelayakan menyampaikan nasihat, mengingatkan
kewajiban-kewajiban mereka dan meminta supaya mereka berkorban dijalan Allah
selama beberapa waktu. Caranya adalah dengan mencatatkan nama mereka dalam
daftar orang-orang yang akan keluar dijalan Allah untuk berdakwah pada
orang-orang yang lalai dan berpaling dari dzikrullah
dan mengajak orang-orang agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya, supaya Allah
memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki dengan asbab usaha mereka. Dalam hal ini, mereka merujuk kepada sabda Rasulullah
Saw yang artinya: “apabila Allah
memberikan hidayah kepada seseorang dengan sebab engkau, itu lebih baik
daripada engkau mendapatkan unta merah.”
Sesudah
shalat subuh, seseorang yang memiliki kemampuan karena pengalaman prakteknya
yang sudah lama dalam dakwah menyampaikan petunjuk cara kerja dawah kepada
orang-orang yang telah mendaftarkan diri untuk keluar dijalan Allah sesuai
dengan kesediaan waktu mereka, sebab di antara mereka ada yang mendaftarkan
diri keluar dijalan Allah selama satu hari, dan ada yang lebih lama.
Petunjuk
kerja dakwah yang disampaikan tersebut mereka namakan hidayat yang berarti kesungguhan niat dan kesediaan untuk terikat
dengan adab-adab dakwah ketika dalam perjalanan, ketika di masjid, menjalin
persahabatan yang baik, dan benar-benar taat kepada amir (ketua rombongan) semenjak berangkat hingga kembali. Setelah
disampaikan hidayat, masing-masing
rombongan berkumpul dengan amir
mereka. Amir memberikan
pesan-pesannya supaya semua anggota rombongan menjaga kesabaran, taat, dan
memiliki niat yang baik. Kemudian, amir
mengumpulkan biaya mereka. Biaya ini hanyalah biaya keberkahan, dan tidak dilihat jumlahnya. Hal ini karena sifat zuhud menyertai nilai biaya yang sangat
sedikit tersebut. Kemudian, amir
menunjuk dua orang untuk mengusahakan sarana transportasi. Pada saat menaiki
kendaraan di dalam perjalanan, mereka selalu membaca doa-doa safar, mempelajari
ayat-ayat alqur’an yang mudah, hadis-hadis tentang adab dan akhlak, dan
sebagainya.
Apabila
telah sampai di kota atau kampung tujuan, mereka segera menuju ke masjid.
Sesudah shalat tahiyyatul masjid,
mereka berkumpul untuk bermusyawarah dalam rangka mengatur kerja dakwah selama
24 jam (dari pagi sampai pagi berikutnya). Adapun kerja dakwah mencakup hal-hal
berikut:
a. Menyiapkan
konsumsi, untuk urusan ini ditunjuk dua orang atau tiga orang.
b. Pengaturan
waktu, mereka mengatur waktu untuk mengunjungi imam masjid, kantor polisi,
aparat pemerintah seperti kepala desa, camat, dan tokoh-tokoh masyarakat
lainnya. Mereka menginginkan agar dengan kunjungan tersebut timbul kasih sayang
dan kesatuan hati serta untuk menghilangkan kecurigaan, sekaligus melaksanakan
kewajiban agar bersikap hormat kepada penanggung jawab masyarakat.
c. Rombongan
memperkenalkan diri, setelah shalat zuhur, rombongan memperkenalkan diri kepada mushaliin (jama’ah masjid). Mereka
memperkenalkan diri bahwa mereka adalah saudara sesama muslimin yang terikat
oleh persaudaraan Islam. Mereka datang bukan untuk mencari keuntungan dunia,
tetapi semata-mata karena ingin mengunjungi kaum muslimin, berkenalan, dan
mewujudkan perasaan saling kasih sayang di antara mereka dan meminta mereka
untuk keluar di jalan Allah dalam rangka mengingatkan dan membersihkan jiwa.
Yakni mengingatkan manusia akan kebesaran Allah dan membersihkan jiwa dengan
cara menaati Allah dan Rasul-Nya.
d. Ta’lim,
diadakan setelah shalat ashar, kemudian dilanjutkan dengan tadzkir tentang adab-adab
jaulah. Satu jam sebelum maghrib, sebagian di antara mereka keluar untuk
mengunjungi kaum muslimin di pasar-pasar, toko-toko, warung-warung,
majelis-majelis, dan rumah-rumah untuk mengingatkan orang-orang akan kebesaran
Allah dan meminta mereka agar hadir di masjid setelah shalat maghrib.[21]
5.
Tata
Tertib dan Aturan Jaulah Jama’ah
Tabligh
Di
antara tata tertib jaulah Jama’ah
Tabligh yang berasal dari metode dakwahnya adalah ditentukannya seorang amir (ketua), dalil (petunjuk jalan), dan mutakallim
(pembicara) dalam jaulah. Ketika
mereka keluar untuk melaksanakan jaulah,
mereka menunjuk satu orang untuk berdoa supaya Allah memberikan taufik dan
kebaikan dalam usaha dakwah mereka dan supaya Allah Swt menurunkan hidayah-Nya
kepada kaum muslimin. Satu orang juga dipilih untuk menyambut orang-orang yang
datang ke masjid, menemani mereka dalam majelis, beramah tamah, dan bermudzakarah untuk menumbuhkan keakraban
di antara mereka.
Sesudah
shalat maghrib, salah seorang di antara mereka menyampaikan pengumuman bahwa
seusai shalat sunnah akan diadakan mau’idhah
(penyampaian nasihat). Pengumuman diawali dengan kalimat-kalimat berikut
ini, “sesungguhnya, kejayaan dan
kebahagiaan kita adalah dengan menaati Allah sesuai dengan cara Rasulullah Saw”
penyampaian ini mereka sebut sebagai pembicaran agama dan iman. Sesudah
shalat isya’ mereka membaca satu kisah atau lebih dari kitab Hayatush Shahabah (kehidupan para sahabat),
supaya orang-orang yang keluar di jalan Allah tidak beranggapan bahwa waktu,
tenaga, yang lebih besar mereka korbankan dibandingkan dengan pengorbanan para
sahabat. Dengan demikian bersemangat untuk berkorban di jalan Allah dengan senang
hati dan suka rela.
Sebelum
makan dan tidur, salah seorang di antara mereka mengingatkan adab-adab masjid, dan
apakah yang seharusnya dilakukan ketika mereka berada di dalam masjid. Ia
mengingatkan agar mereka bangun malam dan setiap orang benar-benar
melaksanakannya sesuai dengan kemampuan ruhani dan jasmaninya. Setengah jam
sebelum subuh, tidak seorang pun di antara mereka yang masih tidur. Selesai
shalat subuh, mereka duduk dalam majelis untuk mendengarkan mau’idhah, kemudian mempelajari alqur’an,
khususnya sepuluh surat, dari surat al-fill
sampai an-naas dan al-fatihah yang mereka anggap sangat penting untuk
dihafal oleh setiap muslim, apabila yang sedang keluar di jalan Allah untuk
berdakwah.
Apabila
matahari telah terbit dan naik satu tombak, mereka pun melakukan shalat dhuha,
kemudian sarapan pagi dan beristirahat selama kurang lebih satu jam,
selanjutnya mereka bermusyawarah untuk mengatur program 24 jam sampai keesokan
harinya. Inilah tata tertib Jama’ah Tabligh secara garis besar dan sedikit
terperinci.[22]
Jama’ah
Tabligh memiliki aturan yang ditekankan kepada siapa saja yang keluar di jalan
Allah, mereka sendiri yang memperoleh manfaat, juga bermanfaat bagi orang lain.
Adapun aturan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Menjaga
empat hal :
1. Tata
tertib kepada amir (ketua rombongan)
2. Berperan
aktif dalam amal ijtima’i (rombongan
bersama)
3. Sabar
dan tahan uji
4. Kebersihan
masjid
b. Menyibukan
diri dengan empat hal :
1. Dakwah
2. Ibadah
3.
Ta’lim
4. Khidmat,
yakni melayani anggota rombongan dengan
cara bekerjasama dengan mereka.
c. Mengurangi
tiga hal :
1. Makan
dan minum
2. Tidur
3. Bicara
sia-sia.
d. Menghindari
empat hal :
1. Berlebih-lebihan
dalam segala hal sehingga melampaui batas (israf)
2. Tamak
kepada manusia
3. Meminta
kepada manusia
4. Memakai
barang milik orang lain tanpa izin.
e. Tidak
membicarakan tentang lima hal :
1. Masalah-masalah
fiqih, supaya orang-orang yang di dakwai
tidak lari dari kebenaran
2. Masalah-masalah
politik, agar usaha tidak dakwah tidak terhambat
3. Keadaan
jama’ah-jama’ah lain, sehingga tidak menyakiti saudara sesama muslim.
4. Perdebatan,
supaya waktu tidak dihamburkan dengan sia-sia dan supaya tidak meyakiti hati
sesama muslim.
5. Menolak
ijtihad baru, yang mereka pahami
artinya yakni, menunjukan arti berlebih dalam perbuatan atau mencurahkan segala
tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum syara
melalui dalil syara dengan cara
tertentu. Jama’ah Tabligh mewajibkan pengikutnya untuk taklid dengan madzhab tertentu. Dan hanya menerima ijtihad lama, atau dengan kata lain
menolak ijtihad baru karena menurut
mereka di zaman ini tidak ada orang yang sekaliber mujtahid dahulu[23]
6.
Pendapat Miring Ulama tentang Jama’ah Tabligh
a.
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz
bin Baz berkata: “siapa saja yang berdakwah di jalan Allah disebut mubaligh” artinya: “walaupun hanya satu
ayat, akan tetapi Jama’ah Tabligh India yang ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat bid’ah dan kesyirikan,
maka dari itu tidak boleh khuruj
bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu yang keluar bersama mereka
dalam rangka mengingkari dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj semata dengan mereka maka tidak
boleh ”.
b.
Asy-syaikh Almuhadits Muhammad
Nashirudhin Al-Bani berkata: “Jama’ah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj alqur’an dan sunnah Rasulullah Saw
serta pemahaman As-Salafus sholih”.
Beliau juga berkata: “Dakwah Jama’ah Tabligh dakwah sufi modern yang
semata-mata berorientasi pada akhlak. Adapun pembenahan terhadap akidah
masyarakat maka sedikitpun tidak mereka lakukan karena menurut mereka bisa
menyebabkan perpecahan”.
c.
Asy-syaikh Al-Allamah Abdurrazzaq
‘Afifi yang intinya bahwa mereka adalah ahlul
bid’ah, khuruj mereka bukanlah khuruj di jalan Allah akan tetapi di
jalan Muhammad Ilyas, mereka berdakwah di jalan Muhammad Ilyas.[24]
d.
Asy- Syaikh Shalih Luhaidan
Hafizahulloh berkata: “ Ikwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh bukan termasuk
orang-orang yang berada di atas manhaj yang
benar, sesungguhnya jamaah dengan penamaan-penamaan semacam itu tidak punya sandaran
pada pendahulu umat ini.[25]
Penutup
Jama’ah Tabligh
dikategorikan ke dalam ahlul sunnah wal
jamaah dengan dasar sebagai berikut :
1.
Jama’ah Tabligh berdiri di atas manhaj sufi, selain pendirinya seorang
sufi, akidah mereka mengenai kesufian cenderung menonjol. Sedangkan akidah ahlul sunnah termasuk di dalamnya para
ahli zuhud dan sufi. Tokoh-tokoh mereka banyak berasal dari sufi.
2.
Jama’ah Tabligh terdiri dari
pengikut madzhab manapun. Selain
pendirinya seseorang yang bermadzhab Hanafi, sedangkan golongan ahlul sunnah termasuk di dalamnya
pengikut ahli ra’yun atau seseorang
yang berijtihad selain bersandar pada
alqur’an dan as-sunnah.
3.
Golongan ahlul sunnah wal jamaah dalam teologi Islam adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Golongan Asy’ariyah
menggunakan ijtihad dalam setiap
permasalahan yang tidak ada pada nash (alqur’an dan as-sunnah) sedangkan akidah
mereka cenderung lebih dekat ke golongan Maturidiyah.
Akan tetapi fatwa ulama meragukan ajaran-ajaran mereka, baik kaitannya dengan khuruj sebagai ajaran bid’ah apapun keyakinan mereka terkait
akidah kesucian yang kontroversial
berasal dari ibnu Arabi serta ilmu fikih mereka yang dangkal.
DAFTAR
BACAAN
Ahmad, Sayyid, Syarah
Mukhtaarul Ahaadiits, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007.
A. W. Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Jakarta: Pustaka Progresif, 1997
Bakar
Abu, Fatwa Ulama Seputar Jama’ah Tabligh,
Jakarta: Pustaka Al-Haura’, 2002.
Departemen Agama
RI. Alquran dan Terjemahanya. Bandung: Jumanatul Ali-Art, 2005.
Hanafi, Ahmad, Theology
Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
____________, Pengantar
Theologi Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987.
Hasan, Tholchah
Muhammad, Dinamika Kehidupan Relegius, Jakarta:
Listafariska Putra, 2008.
Hasan,
M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Raya, 1995.
http://Forum-unand.
Blogspot.com/25 November 2011.
Imarah, Muhammad, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Kholil, Syukur
dkk, Peta Dakwah Sumatera Utara, Medan:
Perdana Publishing, 2010.
LPP WAMI, Gerakan
Keagamaan dan Pemikiran, Jakarta: Al Ishlahy Press, 1995.
Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1994.
________________, Islam Dokrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.
Mahfuzh, Ahmad,
Najib, Menyingkap Tabir Kesalahfahaman
terhadap Jama’ah
Tabligh,
Yogyakarta: Ash-Shaff, 1997.
Nasution, Harun,
Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
_____________,
Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1986),
Observasi langsung
penulis saat ikut Khuruj dan Jaulah dengan Jama’ah Tabligh.
Pengalaman
pribadi penulis yang pernah Khuruj dan
melakukan Jaulah selama satu dan tiga hari mengikuti Jama’ah Tabligh.
Rakhmad,
Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1991.
Rifa’i,
A Tasawuf dari Sufisme Klasik
Ke-Neo-sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Raya, 2000.
Wafi, Wahid,
Abdul, Ali, Kebebasan Dalam Islam, Semarang:
Dina Utama, tt.
Wawancara
Abdul Hakim: Amir dan Mutakallimin Jama’ah
Tabligh Medan, Asahan Kisaran.
Wawancara
Zulham Afanddi, Penterjemah Amir Jama’ah
Tabligh Indonesia Jakarta
Wawancara
Awaluddin Sitorus, Anggota Jama’ah
Tabligh Regional, Sumatera Utara, Asahan Kisaran.
www.Asysyariah.com,
disadur tanggal 25 November 2011.
Zaenal, Islam, Aqidah dan Syariah 1,
Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
[1] Ma'ruf:
segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah
segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
[2] Q.S. Ali Imran [3]: 4.
[4] A.
W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 56.
[5] Abu
Bakar dan Hikmatur Rahmah, Fatwa Ulama
Seputar Jama’ah Tabligh (Jakarta: Pustaka Al-Haura’, 2002), h. 37.
[6] LPP WAMI, Gerakan
Keagamaan dan Pemikiran (Jakarta: Al Ishlahy Press, 1995), h. 42
[7] Ahmad
Najib Mahfuzh, Menyingkap Tabir
Kesalahfahaman terhadap Jama’ah Tabligh (Yogyakarta: Ash-Shaff, 1997), h.
6.
[11] Ibid
[12] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986),
h. 61
[13] A. Rifa’i, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke-Neo-sufisme (Jakarta: PT Raja
Grafindo Raya, 2000), h. 201.
[15] M.Ali Hasan, Perbandingan
Madzhab (Jakarta: PT Raja Grafindo Raya, 1995), h. 76
[17] Wawancara Abdul Hakim: Amir Jama’ah Tabligh (Medan, Asahan
Kisaran).
[19] Wawancara via telpon Zulham
Afandi, Penterjemah Amir Jama’ah Tabligh
Indonesia (Jakarta)
[20] Wawancara
Awaluddin Sitorus, Anggota Jama’ah
Tabligh Regional (Sumatera Utara, Asahan Kisaran).
[21] Pengalaman
pribadi penulis yang pernah Khuruj dan
melakukan Jaulah selama satu dan tiga hari mengikuti Jama’ah Tabligh.
[23] Ahmad Najib Mahfuzh, Menyingkap Tabir Kesalahfahaman terhadap
Jama’ah Tabligh h. 14-15.
0 komentar:
Post a Comment