Pages

Tuesday, November 3, 2015

JAMA’AH TABLIGH Oleh Edi Sucipno



JAMA’AH TABLIGH
oleh: Edi Sucipno

 
Pendahuluan
Dakwah merupakan ruh dari eksistensi dan kebangkitan agama, karena yang didakwahkan adalah agama, seyogyanyalah merupakan kewajiban bagi semua masyarakat beragama sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar,[1] merekalah orang-orang yang beruntung.[2]

Dakwah telah memberikan konstribusi besar terhadap aspek dokrinal individual dan kolektifitas umat Islam, sehingga mempengaruhi pola pikir, bertindak baik, dan tertanam nilai-nilai keimanan secara individual maupun sosial kultural. Ini menjadi landasan penting pembangunan moral, etik, spritual masyarakat. Apabila agama tidak didakwahkan secara berkesinambungan akan berpengaruh terhadap eksistensi agama Islam, bahkan dalam arti yang luas juga mempengaruhi masyarakat dan individual muslim.[3]
Oleh karena itu gerakan dakwah harus terus dilakukan, tidak mengenal waktu, tempat, kultur, dan perubahan sosial. Justru semakin bergeraknya perubahan realitas, maka dakwah semakin dituntut dinamis, intensif dan konprehensif, karena dakwah merupakan panduan dinamis antara dokrinal dan managerial.
Dari perspektif ini dakwah bukan semata-mata tanggung jawab lembaga keagamaan tertentu, tetapi ini menjadi tanggung jawab bersama, saling berkolaborasi antara pemerintah, elit-elit dakwah (pelaku dakwah) dan masyarakat dakwah.
Salah satu gerakan dakwah yang masih eksis keberadaannya dan terus menerus mengembangkan misi agama Islam yaitu : “Jama’ah Tabligh”, kendati akhir-akhir ini sudah banyak pembicaraan yang bernilai positif atau negatif, ada yang memuji, dan ada juga yang mencela, sehingga hal ini menimbulkan saling silang pendapat mengenai Jama’ah Tabligh. 
Untuk itu dalam tulisan ini, penulis berusaha menjelaskan secara detail tentang keberadaannya, baik melalui kajian teoritis maupun hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap pimpinan serta anggotanya agar dapat dipahami dan dijadikan sebagai hujjah serta iktibar bagi masyarakat yang selalu berpikir positif.

Latar Belakang Berdirinya
Istilah kata Jama’ah Tabligh berasal dari bahasa Arab. Kata Jama’ah artinya “kumpulan”, sedangkan Tabligh artinya “menyampaikan”.[4] Secara istilah
Jama’ah Tabligh adalah gerakan keagamaan yang terdiri sekumpulan orang Islam dengan tujuan mengajak seluruh orang Islam agar melakukan ibadah secara sempurna atau keseluruhan sesuai alqur’an dan assunah.[5]
Setiap kerja besar dan penting baik yang berpengaruh positif maupun negatif terwujudnya dan kemunculannya tentu ada faktor dan alasan tertentu yang mendorongnya.
Jama’ah Tabligh didirikan oleh Syaikh Muhammad Karni Ilyas Alkandahlawi (1303-1363 H) pada tahun 1920-an di Delhi ibu kota India. Beliau adalah seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyah dan bermazhab Hanafiah. Alkandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah, sebuah desa di Sahranfur.
Ide pembentukan gerakan ini berawal saat melihat banyak orang-orang mewat (suku-suku yang tinggal dekat dengan India) dalam beribadah mereka telah tercampur dengan ajaran agama Hindu. Untuk itu ia punya inisiatif membangun gerakan untuk meng-Islamkan orang-orang Islam agar melaksanakan agama secara kaffah (keseluruhan), kemudian atas arahan dan perintah syaikhnya ia mendirikan Jama’ah Tabligh.
Ilham untuk mendirikan setelah beliau beribadah haji pada tahun 1926.
Ia sekolah di Deoband yang merupakan sekolah terbesar di India dengan madzab Hanafi, yang didirikan pada tahun 1283 H / 1867 M. Setelah wafat kepemimpinan digantikan oleh anaknya yaitu Syaikh Muhammad Yusuf Alkandahlawi (1917-1965 M) selanjutnya kepemimpinan diteruskan oleh cucu amir (ketua) pertama yaitu Syaikh Muhammad Harun, sedangkan setelahnya kepemimipinan diteruskan oleh Imam Hasan.[6]
Selain itu ada juga faktor  yang mendorong tumbuhnya Jama’ah Tabligh ini adalah karena umat Islam telah meniru (tingkah laku) Jahiliyyah. Bahkan dibanyak negara, peniruan mereka telah hampir menyeluruh. Sungguh, inilah kerusakan dalam aqidah, kebodohan dalam ibadah, kesesatan dalam berpikir, dan penyakit jiwa yang telah menimpah umat Islam di negara-negara Islam pada umumnya, dan negara India pada khususnya. Sehingga umat Islam ditimpah kebodohan tentang  Islam dan syariatnya, mereka kembali kepada penyembahan berhala Hindu.
Dalam suasana kehancuran ini tumbuhlah Jama’ah Tabligh yang diharapkan dapat menyelamatkan siapa saja yang dikehendaki Allah Swt dari kebodohan tentang Islam dan syariat-syariatnya, sehingga ia mengetahui, beramal dan selamat, serta mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan baik lahir maupun batin.[7]
Untuk itu keberadaan gerakan Jama’ah Tabligh lahir bertujuan untuk menyampaikan kepada setiap orang Islam yang ditemui di seluruh penjuru dunia agar menjalankan ajaran Islam secara kaffah tanpa ada unsur khufur atau bid’ah sesuai dengan alqur’an dan hadits.

Penyebaran Jama’ah Tabligh
Jama’ah Tabligh pertama kali muncul di India kemudian tersebar ke Pakistan, Bangladesh lalu negara-negara Arab dan selanjutnya ke seluruh dunia Islam. Markas utamanya berada di Nizamuddin, New Delhi, India sedangkan di Pakistan berada di Raiwind dan di Bangladesh di Tungi.
Pengikut Jama’ah Tabligh mengalami perkembangan pesat. Terbukti pada akhir abad 20 dalam pertemuan di Raiwind, Pakistan, dihadiri jutaan orang yang menjadi pertemuan besar umat muslim di dunia setelah Haji di Mekkah. Selain itu acara tahunan (berkumpul) internasional di Indonesia dihadiri 50.000 orang. Mereka berasal dari Yaman, Australia, Malaysia, Singapura, Thailand, yang menghadirkan Masyayaikh pusat dari 3 markas pusat yaitu India, Pakistan dan Bangladesh.
Sedangkan di Indonesia sendiri Jama’ah Tabligh melakukan kegiatan di Masjid tua, kebon jeruk, Jalan Hayam Wuruk di Jakarta. Di sinilah tempat berkumpulnya anggota Jama’ah Tabligh yang berasal dari seluruh pelosok tanah air maupun dari luar Indonesia. Pemimpinnya berkedudukan sebagai penanggung jawab atau yang lebih dikenal ahli syura yang bertugas menyeleksi anggota yang bersedia khuruj sesuai daerah tujuan dan biasanya yang menjadi ketua musyawarahnya berasal dari penanggung jawab terpilih pada setiap malam Jum’atnya. Hal itu berarti ketua musyawarah kedudukannya bisa berganti-ganti sesuai waktu senggang yang dimiliki masing-masing penanggung jawab.
Adapun penanggung jawab pusatnya adalah H. Ahmad Zulfaqar, H. Cecep Firdaus, Mohammad Muslihuddin, Dr. Ahmad Noor, Syamsuddin Abdulloh, Ir. Amir Aminuddin Noor dan Mohammad Sani Ilyas.
Selain itu gerakan dakwah Jama’ah Tabligh ini memiliki 2 pondok pesantren sebagai sentral di Indonesia yang memiliki banyak cabang di wilayah tanah air yaitu:
1.      Pondok pesantren Alfalah di desa Temboro, kecamatan Keras, kabupaten Magelang, Jawa Timur. Dengan jumlah santri kurang lebih 11.000 orang.
2.      Pondok pesantren Sirojul Mukhlisin di daerah Kerincing, kecamatan Secang, kabupaten Magelang, Jawa tengah.
Kegiatan pertemuan (ijtima) tahunan anggota Jama’ah Tabligh yang sudah dilaksanakan di Indonesia di antaranya adalah tahun 2007 di Ancol, tahun 2008 dan 2009 di perumahan BSD, Tangerang. Rencananya tahun 2011 dibekas pabrik mobil Timor, Karawang, yang mana lahan tersebut pemberian Tomi Soeharto, sebagai bentuk simpatinya terhadap Jama’ah Tabligh.
Penyebaran gerakan dakwah Jama’ah Tabligh juga berkembang di Sumatera Utara. Dinamika perkembangannya tidak kalah pentingnya, karena daerah ini masyarakatnya pluralis dan rentan ketersentuhan dengan agama lain. Namun dalam sebuah catatan menarik, dinamika itu menunjukkan fenomena yang baik, indikatornya terlihat kepada:
Pertama, kondusifnya masyarakat Sumatera Utara sebagai daerah pluralis, tidak ada gesekan yang dapat menimbulkan SARA atau lainnya.
Kedua, semakin tingginya animo masyarakat muslim membangun solidaritas sosial (philantorapi) antar sesama muslim dan non muslim ketika masyarakat tertentu mendapatkan musibah dan bencana alam.
Ketiga, menurunnya pola pengkotakan keberagamaan umat Islam dari pola pengelompokan umat dari sisi corak pemahaman agama tradisional (kaum tua) dan modern (kaum muda), sehingga khilafiyah-khilafiyah klasik bukanlah hal yang mesti dipertentangkan lagi.
Keempat, meningkatnya lembaga pranata-pranata keagamaan di berbagai daerah tentunya mengusung dakwah dalam berbagai aspek.
Kelima, meningkatnya kuantitas dan kualitas masyarakat dalam menjalankan ibadah keagamaan (maksud: haji) dari tahun ketahun.
Keenam, apresiasi pemerintah melalui menteri agama RI bapak Surya Darma Ali, menegaskan pada pidato pembukaan acara “Silaturrahmi Umat Islam Se-Sumatera Utara”  pada bulan Februari 2010, bahwa daerah Sumatera Utara merupakan ikon keberhasilan dakwah di Indonesia hari ini.[8]
Fenomena di atas menunjukkan bahwa salah satu keberhasilan gerakan dakwah di Sumatera Utara juga ditandai dengan perkembangan gerakan dakwah yang dilakukan oleh Jama’ah Tabligh yang memiliki markas di masjid Hidayatul Islamiyah jalan gajah Medan.

Pemikiran dan Doktrin Jama’ah Tabligh
1.        Aqidah Jama’ah Tabligh
Aqidah adalah sesuatu yang dianut dan diyakini apakah berwujud agama atau lainnya. Hal-hal yang berkaitan dengan ajaran aqidah Jama’ah Tabligh adalah mereka lebih banyak berbicara mengenai tauhid rubbubiyah saja tanpa mendalami tauhid ilahiyah, dan asma wassifat.[9] Untuk itu mereka jarang sekali mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan praktek peribadatan. Mereka menafsirkan kalimat tauhid dengan : “mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari diri kita dan memasukan yang benar tentang zat Allah bahwasannya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rezeki, Maha mendatangkan mudharat dan manfaat, Maha memuliakan dan menghinakan, Maha menghidupkan dan mematikan asma washifat”,[10] mereka lebih condong dalam lingkaran asy’ariah, serta maturidiyah dan kepada maturidiyah mereka lebih dekat.[11] Adapun konsep Tuhan menurut aliran maturidiyah di antaranya adalah bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, juga sifat-sifat Tuhan itu kekal melalui kekekalan, yang terdapat dalam esensi Tuhan bukan kekekalan sifat-sifat itu sendiri.
Jama’ah Tabligh memiliki keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan kesufian[12] di antaranya sebagai berikut:
a.       Keyakinan tentang wihdatul wujud.
Teologi ini berasal dari ibnu Arabi yang mengatakan bahwa zat Tuhan bersatu dengan alam.
b.      Sikap berlebihan dengan orang sholeh dan menyakini mereka mempunyai ilmu ghoib.
c.       Keyakinan bahwa sufi dapat memberikan berkah dan ilmu laduni.
d.      Keyakinan bahwa tangan Rasulullah keluar dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan Syaikh Ahmad Rifa’i.[13]
e.       Setiap pengikutnya diharuskan bai’at kepada Syaikhnya.
f.       Menjadikan mimpi sebagai landasan masalah-masalah dakwah.
g.      Menyakini tasawuf sebagai jalan untuk mencapai manisnya iman di dalam kalbu.
h.      Senantiasa menyebut tokoh-tokoh sufi seperti Abdul Qodir Jaelani, Jallaludin Arumi.[14]

2.        Syari’at Jama’ah Tabligh
Syari’at menurut istilah adalah semua yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui alqur’an maupun sunah Rasul. Para ulama memakai kata syari’at sebagai nama dari hukum yang ditetapkan Allah baik mengenai hukum aqidah, hukum akhlak, dan hukum amaliah (perbuatan) tetapi jumhur ulama memakai kata syari’at untuk hukum fiqih (mengenai perbuatan mukallaf).[15]
Adapun di antara hal-hal yang berkaitan dengan syari’at mereka:
a.         Mereka membagi ilmu menjadi dua yaitu ilmu masa’il dan ilmu fadhoil. Ilmu masa’il dipelajari untuk orang arab sedangkan ilmu fadhoil (keutamaan-keutamaan beribadah) dipelajari pada waktu khuruj dan majlis-majlis tabligh, jadi mereka hanya mempelajari keutamaan-keutamaan ibadah tanpa belajar akan masalah fikih.[16]
b.        Mereka wajib membaca yaitu kitab fadhoil a’mal karya Syaikh MaulanaYusuf Alkandahlawi. Setelah sholat zuhur, ashar, isya setiap anggota diharuskan khuruj maksimal 4 bulan seumur hidup 40 hari dalam setahun, 3 hari selama 1 bulan, 2 kali keliling tiap minggu.[17]

3.        Metode Jama’ah Tabligh dalam Berdakwah
Siapa saja yang ingin menyelamatkan orang yang sedang karam atau menyelamatkan orang dari kehancuran, tentu ia harus memiliki metode yang sesuai, yakni metode yang dapat menyelamatkan mereka. Lalu bagaimanakah metode Jama’ah Tabligh untuk menyelamatkan orang yang karam atau orang yang menuju kepada kehancuran?
Sebelum menerangkan tentang metode tersebut, tentunya sangat baik apabila kita memperhatikan keadaan Islam. Di belahan utara dan atau selatan kuburan-kuburan disembah, hari raya jahiliyah diadakan, kefasikan terdapat di mana-mana, sehingga mereka telah meninggalkan amalan fardu dan sunnat, perbuatan haram dan dosa menyebar di mana-mana.
Apabila umat Islam meninggalkan sholat, tenggelam dalam syahwat, dan bodoh tentang amalan-amalan fardu dan wajib, bagaimana mungkin adab-adab Islam dan akhlak dapat terwujud. Kalau anda memasuki masjid-masjid pada zaman ini, hampir di semua masjid anda hanya menjumpai orang-orang tua yang tinggal menghabiskan sisa umur mereka.
Di manakah orang-orang Islam? Mereka ada di warung-warung kopi, tempat-tempat permainan, pasar-pasar, dan majlis-majlis kebathilan dan keburukan. Mereka tertawa-tawa dan berbangga-bangga seakan-akan mereka bukan orang yang beriman.
Dalam masyarakat yang dikuasai oleh kelalaian, dijajah oleh kebodohan dicengkram oleh hawa nafsu, dan memuja syahwat, tentu diperlukan metode yang sesuai untuk menyelamatkan masyarakat dalam keadaan yang berbahaya tersebut, sehingga dapat menyelamatkan orang-orang yang tenggelam dalam kebodohan, kezaliman, kefasikan dan syirik. Pada akhirnya, Allah Swt telah menunjukan metode tabligh, sehingga metode tersebut telah menyelamatkan hamba-hamba-Nya dalam jumlah yang tidak terhitung. Allah telah menyelamatkan dari iman yang lemah menjadi kuat, dari kezaliman dan kebodohan tentang Islam kepada cahaya ma’rifat, dari kesia-siaan dan kelalaian pada kewaspadaan dzikrullah, dari kefasikan dan maksiat kepada ketaatan.[18]      
Sasaran dari metode tabligh ini hanya memuat enam materi yang disebut enam sifat, yakni:
a.       Mewujudkan hakikat syahadat, yakni dengan beribadah kepada Allah Yang Esa sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw yang berupa amalan-amalan ibadah, berbagai macam ketaatan dan taqarrub.
b.      Shalat khusyu’ dan khudu’, yakni menegakkan shalat dengan cara menyempurnakan rukun-rukunnya dan wajib-wajibnya. Kekhusyu’an sangat ditekankan agar dapat menjadi pencegah perbuatan keji dan mungkar. Banyak orang yang shalat mereka tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar karena tiadanya khusyu’ dan khudhu’ di dalamnya.
c.       Ilmu yang disertai dengan dzikir, yakni mempelajari ilmu yang diperlukan dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya. Itulah yang dimaksud dengan dzikir. Beramal dengan ilmu adalah dzikir, sedangkan beramal tanpa ilmu adalah penyimpangan dan kelengahan. Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat dan do’a yang tidak dikabulkan.
d.      Memuliakan saudara muslim, maksudnya adalah mengembalikan harga diri saudara muslim yang telah hilang semenjak lama, sehingga seorang muslim menjadi musuh bagi saudara muslim lainnya. Ia  tega memukul badan saudaranya, menyesakkan nafasnya, merampas hartanya, dan menjatuhkan kehormatannya. Ia menzinahi ibunya, saudaranya dan bibinya. inilah yang terjadi di negeri muslim. Memuliakan berarti menghormatinya dan mengangkat harga dirinya, dengan cara menolak dan menjauhkan gangguan dari dirinya serta memberikan kebaikan kepadanya sesuai dengan kemampuannya sebagai manusia. Kaum muslimin telah benar-benar kehilangan kehormatan ini semenjak lama, kecuali yang masih tersisa sedikit, ini pun sangat jarang, sesuatu yang jarang tidak layak untuk diperhitungkan.
e.       Mengoreksi niat, maksudnya adalah: seorang muslim hendaknya meniatkan seluruh amal yang dikerjakannya untuk memperoleh ridha Allah Swt. Itulah keikhlasan yang disebutkan dalam alqur’an dan ditegaskan oleh sunah Rasulullah Saw.
f.       Dakwah Ilallah dan keluar di jalan Allah, maksudnya dakwah Ilallah adalah mendakwah manusia agar beriman kepada Allah, dan beramal dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya yang perintah-perintah-Nya tertera dengan jelas dalam alqur’an dan assunnah agar seorang hamba menjadi sempurna dan bahagia di dunia dan akhirat.
Inilah yang menjadi asas dan landasan bagi Jama’ah Tabligh yang mereka sebut dengan istilah al-ushulus sittah atau ash-shifatus sittah.[19]

4.        Aktivitas Dakwah Jama’ah Tabligh
Kegiatan Jama’ah Tabligh, di antaranya ijtima (kumpulan) setahun sekali. Bagi yang mampu diharapkan khuruj ke poros markas pusat (India-Pakistan-Bangladesh), kegiatan di markas kecil adalah musyawarah mingguan dan sebulan sekali khuruj selama tiga hari biasanya dipimpin oleh seorang amir. Setelah berdakwah kemudian melaporkan pada markas kecil selanjutnya ke markas regional dan diteruskan ke markas besar atau nasional dan terakhir dilaporkan ke markas internasional.
Kegiatan selama khuruj adalah:
a.       Ta’lim yaitu membaca hadis atau kisah sahabat, biasanya dari kitab fadhoil a’mal.
b.      Jaulah yaitu mengunjungi rumah-rumah di sekitar masjid dengan tujuan agar kembali ke ajaran Islam kaffah
c.       Bayan yaitu ceramah agama
d.      Mudzakaroh yaitu menghafal nama-nama dan perjuangan sahabat Nabi Saw.
e.       Karkurazi yaitu memberi laporan harian pada amir selama khuruj, mereka tidur di masjid, tetapi aktifitas khuruj di markas regional biasanya lebih lama yaitu 40 hari atau 4 bulan saja.[20]
Jama’ah Tabligh menjadikan masjid sebagai pusat dakwah mereka. Mereka berdakwah dari satu masjid ke masjid lain. Masjid yang mereka jadikan pusat dakwah disebut masjid an-nuur untuk menumbuhkan optimisme dalam diri. Nama ini sangat sesuai dengan kenyataan.
Dalam Islam, masjid adalah pusat cahaya dan penerangan. Karena di sanalah ilmu dipelajari, ruh disucikan melalui ibadah-ibadah yang berupa shalat, dzikirullah, doa, tilawatul qur’an, dan sebagainya. Di dalamnya, terdapat adab-adab dan pendidikan akhlak. Dengan demikian, masjid senantiasa membimbing seseorang kepada sifat-sifat tidak banyak bicara, perangai yang baik, kesucian rohani, serta kebersihan badan dan pakaian.
Di masjid, para mubalig berkumpul pada malam liburan sekali dalam seminggu. Mereka menginap di sana dengan meninggalkan tempat-tempat tidur mereka, isteri-isteri mereka, dan anak-anak mereka di rumah agar dapat lebih berkonsentrasi dalam beribadah dan bertaqarrub kepada Allah.
Pada malamnya i’tikaf mereka di masjid, salah seorang yang memiliki kelayakan menyampaikan nasihat, mengingatkan kewajiban-kewajiban mereka dan meminta supaya mereka berkorban dijalan Allah selama beberapa waktu. Caranya adalah dengan mencatatkan nama mereka dalam daftar orang-orang yang akan keluar dijalan Allah untuk berdakwah pada orang-orang yang lalai dan berpaling dari dzikrullah dan mengajak orang-orang agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya, supaya Allah memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki dengan asbab usaha mereka. Dalam hal ini, mereka merujuk kepada sabda Rasulullah Saw yang artinya: “apabila Allah memberikan hidayah kepada seseorang dengan sebab engkau, itu lebih baik daripada engkau mendapatkan unta merah.”
Sesudah shalat subuh, seseorang yang memiliki kemampuan karena pengalaman prakteknya yang sudah lama dalam dakwah menyampaikan petunjuk cara kerja dawah kepada orang-orang yang telah mendaftarkan diri untuk keluar dijalan Allah sesuai dengan kesediaan waktu mereka, sebab di antara mereka ada yang mendaftarkan diri keluar dijalan Allah selama satu hari, dan ada yang lebih lama.
Petunjuk kerja dakwah yang disampaikan tersebut mereka namakan hidayat yang berarti kesungguhan niat dan kesediaan untuk terikat dengan adab-adab dakwah ketika dalam perjalanan, ketika di masjid, menjalin persahabatan yang baik, dan benar-benar taat kepada amir (ketua rombongan) semenjak berangkat hingga kembali. Setelah disampaikan hidayat, masing-masing rombongan berkumpul dengan amir mereka. Amir memberikan pesan-pesannya supaya semua anggota rombongan menjaga kesabaran, taat, dan memiliki niat yang baik. Kemudian, amir mengumpulkan biaya mereka. Biaya ini hanyalah biaya keberkahan, dan tidak dilihat jumlahnya. Hal ini karena sifat zuhud menyertai nilai biaya yang sangat sedikit tersebut. Kemudian, amir menunjuk dua orang untuk mengusahakan sarana transportasi. Pada saat menaiki kendaraan di dalam perjalanan, mereka selalu membaca doa-doa safar, mempelajari ayat-ayat alqur’an yang mudah, hadis-hadis tentang adab dan akhlak, dan sebagainya.
Apabila telah sampai di kota atau kampung tujuan, mereka segera menuju ke masjid. Sesudah shalat tahiyyatul masjid, mereka berkumpul untuk bermusyawarah dalam rangka mengatur kerja dakwah selama 24 jam (dari pagi sampai pagi berikutnya). Adapun kerja dakwah mencakup hal-hal berikut:

a.       Menyiapkan konsumsi, untuk urusan ini ditunjuk dua orang atau tiga orang.
b.      Pengaturan waktu, mereka mengatur waktu untuk mengunjungi imam masjid, kantor polisi, aparat pemerintah seperti kepala desa, camat, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Mereka menginginkan agar dengan kunjungan tersebut timbul kasih sayang dan kesatuan hati serta untuk menghilangkan kecurigaan, sekaligus melaksanakan kewajiban agar bersikap hormat kepada penanggung jawab masyarakat.
c.       Rombongan memperkenalkan diri, setelah shalat zuhur, rombongan  memperkenalkan diri kepada mushaliin (jama’ah masjid). Mereka memperkenalkan diri bahwa mereka adalah saudara sesama muslimin yang terikat oleh persaudaraan Islam. Mereka datang bukan untuk mencari keuntungan dunia, tetapi semata-mata karena ingin mengunjungi kaum muslimin, berkenalan, dan mewujudkan perasaan saling kasih sayang di antara mereka dan meminta mereka untuk keluar di jalan Allah dalam rangka mengingatkan dan membersihkan jiwa. Yakni mengingatkan manusia akan kebesaran Allah dan membersihkan jiwa dengan cara menaati Allah dan Rasul-Nya.
d.      Ta’lim, diadakan setelah shalat ashar, kemudian dilanjutkan dengan tadzkir tentang adab-adab jaulah. Satu jam sebelum maghrib, sebagian di antara mereka keluar untuk mengunjungi kaum muslimin di pasar-pasar, toko-toko, warung-warung, majelis-majelis, dan rumah-rumah untuk mengingatkan orang-orang akan kebesaran Allah dan meminta mereka agar hadir di masjid setelah shalat maghrib.[21]

5.        Tata Tertib dan Aturan Jaulah Jama’ah Tabligh
Di antara tata tertib jaulah Jama’ah Tabligh yang berasal dari metode dakwahnya adalah ditentukannya seorang amir (ketua), dalil (petunjuk jalan), dan mutakallim (pembicara) dalam jaulah. Ketika mereka keluar untuk melaksanakan jaulah, mereka menunjuk satu orang untuk berdoa supaya Allah memberikan taufik dan kebaikan dalam usaha dakwah mereka dan supaya Allah Swt menurunkan hidayah-Nya kepada kaum muslimin. Satu orang juga dipilih untuk menyambut orang-orang yang datang ke masjid, menemani mereka dalam majelis, beramah tamah, dan bermudzakarah untuk menumbuhkan keakraban di antara mereka.
Sesudah shalat maghrib, salah seorang di antara mereka menyampaikan pengumuman bahwa seusai shalat sunnah akan diadakan mau’idhah (penyampaian nasihat). Pengumuman diawali dengan kalimat-kalimat berikut ini, “sesungguhnya, kejayaan dan kebahagiaan kita adalah dengan menaati Allah sesuai dengan cara Rasulullah Saw” penyampaian ini mereka sebut sebagai pembicaran agama dan iman. Sesudah shalat isya’ mereka membaca satu kisah atau lebih dari kitab Hayatush Shahabah (kehidupan para sahabat), supaya orang-orang yang keluar di jalan Allah tidak beranggapan bahwa waktu, tenaga, yang lebih besar mereka korbankan dibandingkan dengan pengorbanan para sahabat. Dengan demikian bersemangat untuk berkorban di jalan Allah dengan senang hati dan suka rela.
Sebelum makan dan tidur, salah seorang di antara mereka mengingatkan adab-adab masjid, dan apakah yang seharusnya dilakukan ketika mereka berada di dalam masjid. Ia mengingatkan agar mereka bangun malam dan setiap orang benar-benar melaksanakannya sesuai dengan kemampuan ruhani dan jasmaninya. Setengah jam sebelum subuh, tidak seorang pun di antara mereka yang masih tidur. Selesai shalat subuh, mereka duduk dalam majelis untuk mendengarkan mau’idhah, kemudian mempelajari alqur’an, khususnya sepuluh surat, dari surat al-fill sampai an-naas dan al-fatihah  yang mereka anggap sangat penting untuk dihafal oleh setiap muslim, apabila yang sedang keluar di jalan Allah untuk berdakwah.
Apabila matahari telah terbit dan naik satu tombak, mereka pun melakukan shalat dhuha, kemudian sarapan pagi dan beristirahat selama kurang lebih satu jam, selanjutnya mereka bermusyawarah untuk mengatur program 24 jam sampai keesokan harinya. Inilah tata tertib Jama’ah Tabligh secara garis besar dan sedikit terperinci.[22]
Jama’ah Tabligh memiliki aturan yang ditekankan kepada siapa saja yang keluar di jalan Allah, mereka sendiri yang memperoleh manfaat, juga bermanfaat bagi orang lain. Adapun aturan tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Menjaga empat hal :
1.      Tata tertib kepada amir (ketua rombongan)
2.      Berperan aktif dalam amal ijtima’i (rombongan bersama)
3.      Sabar dan tahan uji
4.      Kebersihan masjid
b.      Menyibukan diri dengan empat hal :
1.      Dakwah
2.      Ibadah
3.      Ta’lim
4.      Khidmat, yakni melayani anggota rombongan dengan  cara bekerjasama dengan mereka.
c.       Mengurangi tiga hal :
1.      Makan dan minum
2.      Tidur
3.      Bicara sia-sia.
d.      Menghindari empat hal :
1.      Berlebih-lebihan dalam segala hal sehingga melampaui batas (israf)
2.      Tamak kepada manusia
3.      Meminta kepada manusia
4.      Memakai barang milik orang lain tanpa izin.
e.       Tidak membicarakan tentang lima hal :
1.      Masalah-masalah fiqih, supaya orang-orang yang di dakwai tidak lari dari kebenaran
2.      Masalah-masalah politik, agar usaha tidak dakwah tidak terhambat
3.      Keadaan jama’ah-jama’ah lain, sehingga tidak menyakiti saudara sesama muslim.
4.      Perdebatan, supaya waktu tidak dihamburkan dengan sia-sia dan supaya tidak meyakiti hati sesama muslim.
5.      Menolak ijtihad baru, yang mereka pahami artinya yakni, menunjukan arti berlebih dalam perbuatan atau mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum syara melalui dalil syara dengan cara tertentu. Jama’ah Tabligh mewajibkan pengikutnya untuk taklid dengan madzhab tertentu. Dan hanya menerima ijtihad lama, atau dengan kata lain menolak ijtihad baru karena menurut mereka di zaman ini tidak ada orang yang sekaliber mujtahid dahulu[23]

6.        Pendapat Miring Ulama tentang Jama’ah Tabligh

a.         Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz berkata: “siapa saja yang berdakwah di jalan Allah disebut mubaligh” artinya: “walaupun hanya satu ayat, akan tetapi Jama’ah Tabligh India yang ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat bid’ah dan kesyirikan, maka dari itu tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu yang keluar bersama mereka dalam rangka mengingkari dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj semata dengan mereka maka tidak boleh ”.
b.         Asy-syaikh Almuhadits Muhammad Nashirudhin Al-Bani berkata: “Jama’ah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj alqur’an dan sunnah Rasulullah Saw serta pemahaman As-Salafus sholih”. Beliau juga berkata: “Dakwah Jama’ah Tabligh dakwah sufi modern yang semata-mata berorientasi pada akhlak. Adapun pembenahan terhadap akidah masyarakat maka sedikitpun tidak mereka lakukan karena menurut mereka bisa menyebabkan perpecahan”.
c.         Asy-syaikh Al-Allamah Abdurrazzaq ‘Afifi yang intinya bahwa mereka adalah ahlul bid’ah, khuruj mereka bukanlah khuruj di jalan Allah akan tetapi di jalan Muhammad Ilyas, mereka berdakwah di jalan Muhammad Ilyas.[24]
d.        Asy- Syaikh Shalih Luhaidan Hafizahulloh berkata: “ Ikwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh bukan termasuk orang-orang yang berada di atas manhaj yang benar, sesungguhnya jamaah dengan penamaan-penamaan semacam itu tidak punya sandaran pada pendahulu umat ini.[25]

Penutup
Jama’ah Tabligh dikategorikan ke dalam ahlul sunnah wal jamaah dengan dasar sebagai berikut :
1.        Jama’ah Tabligh berdiri di atas manhaj sufi, selain pendirinya seorang sufi, akidah mereka mengenai kesufian cenderung menonjol. Sedangkan akidah ahlul sunnah termasuk di dalamnya para ahli zuhud dan sufi. Tokoh-tokoh mereka banyak berasal dari sufi.
2.        Jama’ah Tabligh terdiri dari pengikut madzhab manapun. Selain pendirinya seseorang yang bermadzhab Hanafi, sedangkan golongan ahlul sunnah termasuk di dalamnya pengikut ahli ra’yun atau seseorang yang berijtihad selain bersandar pada alqur’an dan as-sunnah.
3.        Golongan ahlul sunnah wal jamaah dalam teologi Islam adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Golongan Asy’ariyah menggunakan ijtihad dalam setiap permasalahan yang tidak ada pada nash (alqur’an dan as-sunnah) sedangkan akidah mereka cenderung lebih dekat ke golongan Maturidiyah. Akan tetapi fatwa ulama meragukan ajaran-ajaran mereka, baik kaitannya dengan khuruj sebagai ajaran bid’ah apapun keyakinan mereka terkait akidah kesucian yang kontroversial berasal dari ibnu Arabi serta ilmu fikih mereka yang dangkal.


DAFTAR BACAAN

Ahmad, Sayyid, Syarah Mukhtaarul Ahaadiits, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007.

A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Jakarta: Pustaka Progresif, 1997

Bakar Abu, Fatwa Ulama Seputar Jama’ah Tabligh, Jakarta: Pustaka Al-Haura’, 2002. 

Departemen Agama RI.  Alquran dan Terjemahanya.  Bandung: Jumanatul Ali-Art, 2005.

Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

____________, Pengantar Theologi Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987.

Hasan, Tholchah Muhammad, Dinamika Kehidupan Relegius, Jakarta: Listafariska Putra, 2008.

Hasan, M. Ali Hasan,  Perbandingan Madzhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Raya, 1995.

http://Forum-unand. Blogspot.com/25 November 2011.

Imarah, Muhammad, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Kholil, Syukur dkk, Peta Dakwah Sumatera Utara, Medan: Perdana Publishing, 2010.

LPP WAMI,  Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Jakarta: Al Ishlahy Press, 1995.

Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1994.

________________, Islam Dokrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.

Mahfuzh, Ahmad, Najib, Menyingkap Tabir Kesalahfahaman terhadap Jama’ah Tabligh, Yogyakarta: Ash-Shaff, 1997.

Nasution, Harun,  Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.

_____________, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan  (Jakarta: UI Press, 1986),
Observasi langsung penulis saat ikut Khuruj dan Jaulah dengan Jama’ah Tabligh.

Pengalaman pribadi penulis yang pernah Khuruj dan melakukan Jaulah selama satu dan tiga hari mengikuti Jama’ah Tabligh. 

Rakhmad, Jalaluddin.  Islam Alternatif.  Bandung: Mizan, 1991.

Rifa’i, A Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke-Neo-sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Raya, 2000.

Wafi, Wahid, Abdul, Ali, Kebebasan Dalam Islam, Semarang: Dina Utama, tt.

Wawancara Abdul Hakim: Amir dan Mutakallimin Jama’ah Tabligh Medan, Asahan Kisaran.

Wawancara Zulham Afanddi, Penterjemah Amir Jama’ah Tabligh Indonesia Jakarta

Wawancara Awaluddin Sitorus, Anggota Jama’ah Tabligh Regional, Sumatera Utara, Asahan Kisaran.

www.Asysyariah.com, disadur tanggal 25 November 2011.

Zaenal, Islam,  Aqidah dan Syariah 1, Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
















[1] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
[2] Q.S. Ali Imran [3]: 4.
[3] Syukur Kholil dkk, Peta Dakwah Sumatera Utara  (Medan: Perdana Publishing, 2010), h. 15.
[4] A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 56.
[5] Abu Bakar dan Hikmatur Rahmah, Fatwa Ulama Seputar Jama’ah Tabligh (Jakarta: Pustaka Al-Haura’, 2002), h. 37. 
[6] LPP WAMI,  Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Jakarta: Al Ishlahy Press, 1995), h. 42
[7] Ahmad Najib Mahfuzh, Menyingkap Tabir Kesalahfahaman terhadap Jama’ah Tabligh (Yogyakarta: Ash-Shaff, 1997), h. 6.
[8] Syukur Kholil dkk, Peta Dakwah Sumatera Utara, h. 16.
[9] Zaenal dan Arifin Jamaris, Islam,  Aqidah dan Syariah 1 (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 19
[10] www.Asysyariah.com, disadur tanggal 25 November 2011.
[11] Ibid
[12] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan  (Jakarta: UI Press, 1986), h. 61
[13] A. Rifa’i, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke-Neo-sufisme (Jakarta: PT Raja Grafindo Raya, 2000), h. 201.
[14] LPP WAMI, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Jakarta: Al Ishlahy Press, 1995), h. 77.
[15] M.Ali Hasan,  Perbandingan Madzhab (Jakarta: PT Raja Grafindo Raya, 1995), h. 76
[16] www.Asysyariah.com, disadur tanggal 25 November 2011.
[17] Wawancara Abdul Hakim: Amir Jama’ah Tabligh (Medan, Asahan Kisaran).
[18] Ahmad Najib Mahfuzh, Menyingkap Tabir Kesalahfahaman terhadap Jama’ah Tabligh, h. 6-7.
[19] Wawancara via telpon Zulham Afandi, Penterjemah Amir Jama’ah Tabligh Indonesia (Jakarta)
[20] Wawancara Awaluddin Sitorus, Anggota Jama’ah Tabligh Regional (Sumatera Utara, Asahan Kisaran).
[21] Pengalaman pribadi penulis yang pernah Khuruj dan melakukan Jaulah selama satu dan tiga hari mengikuti Jama’ah Tabligh.  
[22] Observasi langsung penulis saat ikut Khuruj dan Jaulah dengan Jama’ah Tabligh.
[23] Ahmad Najib Mahfuzh, Menyingkap Tabir Kesalahfahaman terhadap Jama’ah Tabligh h. 14-15.

[24] www.Asysyariah.com, disadur tanggal 25 November 2011.
[25] http://Forum-unand. Blogspot.com/25 November 2011.

0 komentar:

Post a Comment