PERSATUAN ISLAM
( PERSIS )
Pendahuluan
Tampilnya
organisasi Persatuan Islam (Persis) dalam pentas sejarah Islam di Indonesia
pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan
pembaruan pemikiran Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas kondisi umat Islam
yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan
berpikir), terperosok dalam kehidupan mistisme
yang berlebihan, terperangkap dalam tumbuh suburnya khurafat, bidah, tahayul, syirik, musyrik, dan lebih dari itu
terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya
Islam. Situasi tersebut kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformisme” Islam, yang pada
gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam
Indonesia untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam.
Dengan
argumen bahwa ajaran Islam sepenuhnya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan zaman, para tokoh pembaharu itu mendorong umat Islam untuk
melakukan penelaahan ulang. Mereka juga menjelaskan kembali doktrin Islam dalam
bahasa dan rumusan yang dapat diterima oleh alam pikiran modern. Menurut mereka, Islam merupakan satu-satunya agama yang
meletakkan akal pada posisi yang cukup baik dan menganjurkan penerapan
temuan-temuan ilmiah. Demikian pula alqur’an dan sunnah merupakan satu-satunya
rujukan yang mampu memberikan dasar doktrinal
atau legitimasi seluruh tindakan
kehidupan manusia.[1]
Semangat
dan isi gerakan pembaharuan Islam ini
pada mulanya mendapat perhatian dari umat Islam di daerah perkotaan, karena
secara geografis dan kultural, masyarakat kota lebih cepat berhadapan dengan
pengaruh luar daripada masyarakat desa. Dengan mengikuti alam pembaharuan yang
sedang berkembang, mereka menempatkan diri sebagai kelompok “modernis Islam”. Pada kelompok modernis ini, terdapat ciri kuat yang
membedakannya dengan kelompok tradisionalis di pedesaan, yaitu adanya
kepercayaan dan pemikiran bahwa pintu ijtihad
tidak pernah tertutup. Oleh karena itu, praktek taklid harus dihilangkan; ajaran-ajaran Islam harus diterjemahkan
secara rasional sehingga mampu bersaing dengan peradaban modern dan dapat memenuhi kebutuhan umat pada zamannya. Hanya
dengan itulah, umat Islam dapat keluar dari kolonialisme Barat, keluar dari
kemiskinan dan kebodohan, serta dapat mengembalikan citra Islam yang
sebenarnya, yakni Islam yang mampu mengungguli kekuatan-kekuatan lain
sebagaimana pernah terjadi pada abad-abad sebelumnya. Sejalan dengan semangat
kembali kepada alqur’an dan sunnah, kalangan modernis melakukan upaya purifikasi keagamaan dari elemen-elemen
tradisi paganisme yang dapat
menimbulkan bid’ah dan khurafat.[2]
Gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 ditandai dengan munculnya
berbagai organisasi kelompok modernis Islam,
di antaranya Al-Jam’iyyah Al-Khoiriyah yang dikenal dengan Jamiat Khoer di
Jakarta yang berdiri pada tanggal 17 Juli 1905, Jam’iyyatul Islah wal Irsyadil
Arabi (Al-Irsyad) yang berdiri di Jakarta pada tangga 11 Agustus 1915, Muhammadiyah
yang berdiri di Yogyakarta pada tanggal 12 Nopember 1912, dan Persis yang baru
berdiri pada tanggal 12 September 1923 di Bandung.[3]
Kota
Bandung nampaknya agak lambat menerima arus gerakan pembaharuan Islam ini
dibandingkan dengan daerah-daerah lain, meskipun Syarekat Islam telah
beroperasi di daerah ini sejak 1913. Kesadaran akan keterlambatan ini merupakan
salah satu cambuk berdirinya sebuah organisasi baru, yakni Persatuan Islam
(Persis).[4]
Untuk
mengetahui lebih dalam eksistensi organisasi Persis sebagai sebuah ormas Islam
yang lahir di Indonesia, latar belakang berdirinya, dan bagaimana corak akidah
berdasarkan AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga), serta pemahaman
dan pengamalan ajaran bagi para pengikut/jama’ahnya, akan penulis uraikan pada
makalah ini.
Latar Belakang
Berdirinya Persis
Berdirinya
Persis diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penelaahan agama
Islam) di kota Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.
Bersama jamaahnya, dengan penuh kecintaan, mereka menelaah, mengkaji, dan
menguji ajaran-ajaran Islam. Kelompok tadarusan
yang berjumlah sekitar 20 orang itu akhirnya semakin tahu akan hakikat Islam
yang sebenarnya. Mereka pun menjadi sadar akan bahaya keterbelakangan, kejumudan, penutupan pintu ijtihad, taklid buta, dan serangkaian
praktek bid’ah. Mereka kemudian
mencoba melakukan gerakan tajdid dan
pemurnian ajaran Islam dari paham-paham yang sesat dan menyesatkan. Kesadaran
akan kehidupan berjamaah, berimamah,
dan berimarah dalam menyebarkan syiar
Islam, menimbulkan semangat pada kelompok tadarus
ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan ciri dan karakteristik yang
khas.
Pada
tanggal 12 September 1923, bertepatan
dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus
ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam”
(Persis). Nama Persatuan Islam ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul-ijtihad dan jihad; berusaha sekuat tenaga mencapai harapan dan cita-cita yang
sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam,
dan persatuan usaha Islam.[5]
Ide
filsafat dari konsepsi persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini
diilhami firman Allah Swt dalam alqur’an surat Al-Imran ayat 103:
Artinya:
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.[6]
Serta
sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Turmudzi: “Kekuatan Allah itu beserta jamaah”. Firman Allah dan hadis Nabi
tersebut dijadikan moto Persis dan ditulis dalam lambang Persis yang berbentuk
lingkaran bintang bersudut 12.[7]
Menurut
Tafsir Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan
Islam, pada mulanya Persis, yang terbentuk dan berdiri pada masa penjajahan
kolonial Belanda itu, tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan atau kebutuhan
masyarakat pada masa itu. Para pendirinya tidaklah memiliki kepentingan apa-apa
di dalamnya. Mereka mendirikannya karena terpanggil oleh kewajiban dan tugas
risalah dari Allah Swt, sebagaimana Rasulullah Saw berdiri di atas bukit Shafa
menyatakan kerasulannya tidaklah berdasarkan atas kepentingan dirinya. Para
pendiri Persis mendirikannya bukan karena masyarakat membutuhkannya karena
masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak membutuhkan suatu perombakan
tatanan kehidupan keislaman. Sebagian besar masyarakat Islam Indonesia ketika
itu telah tenggelam dalam biusan taklid,
jumud, khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, dan paham-paham sesat lainnya.
Karena itu, masyarakat tidak membutuhkan berdirinya Persis, sebagaimana
masyarakat jahiliyah tidak membutuhkan kedatangan Nabi Muhammad Saw untuk
mengubah mereka. Persis berdiri atas dasar kewajiban akan tugas Ilahi untuk mengubah
kemandegan berpikir, membuka
ketertutupan pintu ijtihad.[8]
Berbeda
dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad 20, Persis
mempunyai ciri tersendiri: kegiatannya dititikberatkan pada pembentukan paham
keagamaan. Adapun kelompok-kelompok pergerakan yang telah diorganisasikan
sebelumnya, seperti Boedi Oetomo (1908) hanya bergerak dalam bidang pendidikan
bagi penduduk pribumi (khususnya orang-orang Jawa dan Madura), Syarekat Islam
(1912) bergerak dalam bidang perdagangan dan politik, dan Muhammadiyah (1912)
gerakannya diperuntukkan bagi kesejahteraan sosial masyarakat muslim dan
kegiatan pendidikan keagamaan.[9]
Sejalan
dengan ini, Isa Anshary menyatakan bahwa Persis tampil sebagai sebuah
organisasi kaum muslimin yang sepaham dan sekeyakinan, kaum pendukung dan
penegak alqur’an dan sunnah. Persis mengutamakan perjuangan dalam lapangan
ideologi Islam, tidak dalam lapangan organisasi. Persis berjuang membentuk
dirinya menjadi intisari dari kaum muslimin, mencari kualitas, bukan kuantitas,
mencari isi, bukan jumlah. Persis tampil sebagai suatu sumber kebangkitan dan
kesadaran baru, menjadi daya dinamika yang menggerakkan kebangunan umat Islam.[10]
Oleh
karen itu, menurut Deliar Noer, mulai saat berdiri, secara umum, Persis kurang
memberikan penekanan pada kegiatan organisasi. Ia tidak terlalu berminat untuk
membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin jumlah anggota.
Pembentukan sebuah cabang bergantung semata-mata pada inisiatif peminat, tidak
didasarkan pada suatu rencana yang dilakukan oleh pimpinan organisasi. Meskipun
demikian, pengaruh organisasi ini jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah
cabang ataupun anggotanya.[11]
Dalam
perkembangannya sampai tahun 1942 tercatat beberapa cabang organisasi Persis
yang tersebar di seluruh Indonesia, misalnya Bandung, Bogor, Jakarta, Leles
Garut, Surabaya, Malang, Bangil, Kutaraja, Padang, Sibolga, Banjarmasin, dan
Gorontalo. Di kota Bandung, tempat lahirnya organisasi ini, jumlah anggota
Persis pada awal berdirinya hanya sekitar 20 orang. Akan tetapi, pada tahun
1942, jumlah jamaah Persis di kota kembang ini terus bertambah. Hal ini
terlihat dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan Persis diikuti oleh jumlah
anggota dan simpatisan yang cukup banyak, misalnya, shalat Jum’at yang
diselenggarakan Persis diikuti oleh sekitar 500 orang anggota dan simpatisan
Persis yang tersebar di enam buah mesjid di kota Bandung.[12]
Aqidah Yang Dianut
Berdasarkan AD/ART Persis.
Sejak
berdirinya, pada tanggal 12 September 1923, hingga akhir abad ke-20, diakui
atau tidak, dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, Persis
telah menempatkan dirinya sebagai barisan pelopor, barisan paling depan dalam
memperjuangkan akidah Islam berdasarkan alqur’an dan sunnah. Di tengah-tengah
kesimpangsiuran berbagai pandangan seperti sekarang ini, wajah dan wijhah, pandangan dan keyakinan
perjuangan Persis perlu diketengahkan kepada masyarakat luas disertai harapan
dan kepercayaan, agar masyarakat dapat menilai dan membandingkan sendiri
perjuangan Persis ini, terutama dengan mengapresiasi
pola perjuangannya di masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang dalam
dinamika perkembangan masyarakat Islam.
Corak
aqidah bagi warga Persis dalam mengamalkan nilai-nilai keislaman, tertuang pada
pasal 4 dan 5 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persis, yang menjelaskan
tentang bentuk, sifat, dan gerakan serta rencana jihad yaitu:
(1)
Persis berbentuk bunyanun
marshush[13]
dalam hidup berjamaah,[14]
berimamah, dan berimarah[15]
seperti dicontohkan Rasulullah Saw.
(2)
Persis bersifat harakah
tajdid[16]
dalam pemikiran Islam dan penerapannya,
(3)
Persis bergerak dalam
bidang da’wah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan lainnya menurut alqur’an
dan as-sunnah.[17]
Sedangkan
rencana jihad meliputi:
(1) Mengembangkan
dan memberdayakan potensi jam’iyyah demi terwujudnya jam’iyyah sebagai
shuuratun mushaghgharatun anil Islaam wa hikmatuhu al-Asmaa’.[18]
(2) Meningkatkan
pemahaman dan pengamalan keislaman bagi anggota khususnya dan umat Islam pada
umumnya sehingga tercipta barisan ulama,[19]
zu’ama,[20]
ashabun, dan hawariyyun[21]
Islam yang senantiasa iltizam terhadap risalah Allah.
(3) Meningkatkan
kesadaran dan pemberdayaan anggota khususnya dan umat Islam pada umumnya dalam
bermu’amalat secara jama’i dalam aspek kehidupan.[22]
Bagi
warga pengikut ormas Persis, konsekwensi yang harus dipatuhi dalam memperkokoh
dan mempertahankan nilai-nilai aqidah harus tetap berdasarkan alqur’an dan
sunnah, hal ini sesuai dengan aturan yang ditetapkan organisasi berdasarkan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang dikenal dalam Muqaddimah Qanun
Asasi dan Qanun Dakhili Persis.
Qanun Asasi
yaitu merupakan peraturan tertinggi dalam jam’iyyah Persis, sedangkan Qanun
Dakhili merupakan peraturan tertinggi di bawah Qanun Asasi dalam jam’iyyah
Persis (Pasal 76 tentang tata urutan peraturan).
Berikut
satu pernyataan dalam Muqaddimah Qanun Asasi dan Qanun Dakhili (Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah tangga), yang perlu direnungkan:
“Sesungguhnya
tidak syak lagi, umat Islam tidak akan tersesat ke lembah kebinasaan selama
berteguh hati mengamalkan tuntunan alqur’an dan sunnah. Dan oleh karena itu,
segala yang tidak berdasar pada alqur’an dan sunnah, mengikuti imam dan mazhab
dengan membabi buta, sehingga membawa mereka kepada jumud, taqlid, khurafat, bid’ah, dan syirik telah mengakibatkan
kemunduran dan kehancuran umat Islam. Dalam mengembalikan umat Islam pada
kejayaan dan kemuliaan adalah menjadi keharusan untuk menyehatkan umat Islam
dari faham-faham yang sesat dan keliru. Sebab, umat dengan agama yang sehat
tidak mungkin menjadi permainan siasat, tetapi akan membawa mereka pada
masyarakat sejahtera dan bahagia. Kemudian dengan rahmat Allah, dirinya kembali
kepada ajaran alqur’an dan sunnah yang mendidik hidup berjamaah, berimamah, dan berimarah, tunduk dan taat atas suatu nizham yang sejalan dengan alqur’an dan sunnah”.[23]
Sejarah
telah membuktikan, sikap dan amal umat yang tidak mengikuti tuntunan alqur’an
dan sunnah, malah mengikuti imam dan mazhab dengan membuta, akan
menjerumuskannya ke dalam taklid, bid’ah,
khurafat, dan syirik. Sebagai akibat dari interaksi antara Islam dengan
nilai agama lain dalam perjalanan panjang sejarah perkembangannya, nilai-nilai
Islam terkontaminasi oleh nilai-nilai batil. Semua itu mengakibatkan kemunduran
dan kehancuran umat Islam.[24]
Yang pada gilirannya Islam sebagai satu-satunya jalan yang tepat dan sempurna
telah bergeser sedikit demi sedikit dari jalur yang sebenarnya menjadi agama
yang telah bercampur dengan produk manusia.[25]
Ada
ketentuan yang harus dilaksanakan warga Persis sebagai anggota, dan ini sebagai
wujud dari corak aqidah untuk warga ormas Persis, jika dilihat berdasarkan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga terdapat pada pasal 8 tentang
“Kewajiban Anggota” sebagai berikut:
Setiap
anggota Persis wajib:
1.
Mempelajari, memahami,
dan mengamalkan alqur’an dan as-sunnah sebagai landasan kehidupan.
2.
Mempelajari, memahami,
dan mengamalkan Qanun Asasi, Qanun Dakhili Persatuan Islam sebagai landasan
perjuangan.
3.
Menjauhkan diri dari
perbuatan munkarat, maksiat, bid’ah, dan
kegiatan keagamaan di luar tuntunan alqur’an dan as-sunnah.
4.
Menaati imamah, imarah dan melaksanakan taushiyah pimpinan, selama sejalan
dengan alqur’an dan as-sunnah.
5.
Berperan aktif dalam
kegiatan-kegiatan jam’iyyah secara langsung atau tidak
langsung.
6.
Mempertahankan,
memelihara, dan mengembangkan nama baik jam’iyyah
khususnya, serta kehormatan Islam umumnya.
7.
Menjadi uswatun hasanah dalam segala ruang dan
waktu.
8.
Menjadi ashabun dan hawariyun Islam dengan menyediakan harta dan jiwa raganya untuk
membela Islam.
9.
Mengusahakan
keikutsertaan anggota keluarganya dalam kegiatan jam’iyyah atau yang ada kaitan dengan jam’iyyah.
10. Mengusahakan
anggota keluarganya untuk menjadi anggota Persis atau anggota bagian otonom
Persis.
11. Mengembangkan
pemahaman alqur’an dan as-sunnah di lingkungan tempat tinggal dan atau di
lingkungan kerjanya.
12. Berusaha
mengikutsertakan keluarganya memakmurkan lembaga pendidikan Persis.
13. Mengajak
orang lain yang sepaham untuk menjadi anggota Persis.
14. Membayar
infaq, zakat, dan shodaqoh melalui jam’iyyah
sesuai pedoman perzakatan Persis.
15. Membayar
infaq bulanan (iuran) anggota.[26]
Upaya
merealisasi konsep di atas, merupakan wujud dari tujuan berdirinya Persis
yaitu: Pertama, mengamalkan segala
ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat. Kedua, menempatkan kaum muslimin pada
ajaran aqidah dan syari’ah berdasarkan alqur’an dan as-sunnah.[27]
Dan untuk mencapai tujuan ini, maka organisasi dijalankan dalam bentuk berjamaah, berimamah, dan berimarah
serta menentukan sifat organisasinya sebagai organisasi pendidikan, tabligh dan
kemasyarakatan berdasarkan alquran dan sunnah.[28]
Aqidah Yang Dianut
Warga Persis di Indonesia.
Persatuan Islam (Persis) sebagai sebuah jam’iyyah
memiliki tujuan yang sangat ideal, yaitu membentuk masyarakat yang
mengamalkan syari’at Islam yang berlandaskan alqur’an dan sunnah secara kaffah
dalam segala aspek kehidupan.
Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persis merupakan perangkat
pendukung tujuan ideal tersebut, yang berfungsi sebagai pijakan dasar dan
panduan hidup berjamaah, berimamah, dan berimarah menuju sebuah
tatanan terwujudnya kesatuan pemikiran, kesatuan rasa, kesatuan suara, dan
kesatuan usaha dalam mengembalikan umat Islam kepada tuntunan alquran
dan sunnah.
Sebagai
organisasi dakwah, Persis selain harus mampu, konsisten, dan bertahan pada
prinsip-prinsip khithah perjuangannya memberantas TBC (Takhayul,
Bid’ah, Churafat) dan bentuk-bentuk kemusyirakan lainnya, juga Persis harus
lebih solid dan dinamis menghadapi tantangan dakwah yang kian hari kian berat
dan semakin kompleks.
Pada
dasarnya, upaya Persis dalam memberikan corak aqidah yang dianut bagi warganya di Indonesia, ditujukan terutama
pada penyebaran paham alqur’an dan sunnah. Hal ini dilakukan dengan berbagai
aktivitas, di antaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, seperti tablig,
khotbah, kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-sekolah (pesantren),
penerbitan majalah-majalah dan kitab-kitab, dan berbagai aktivitas keagamaan
lainnya.
Dalam
bidang pendidikan, misalnya, pada tahun 1924 diselenggarakan kelas pendidikan
akidah dan ibadah bagi orang dewasa. Pada tahun 1927 didirikan lembaga
pendidikan kanak-kanak dan Holland
Inlandesch School (HIS) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam
(Pendis) di bawah pimpinan Mohammad Natsir. Dan pada tanggal 4 Maret 1936,
secara resmi didirikan Pesantren Persatuan Islam yang pertama dan diberi nomor
1 (satu) di Bandung.[29]
Dalam
bidang penerbitan (publikasi), Persis banyak menerbitkan buku-buku dan
majalah-majalah, di antaranya majalah Pembela
Islam (1929), majalah Al-Fatwa
(1931), majalah Al-Lissan (1935),
majalah At-Taqwa (1937), majalah
berkala Al-Hikam (1939), majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah Pemuda Persis, Tamaddun (1970), majalah berbahasa
Sunda, Iber (1967), dan berbagai
majalah ataupun siaran publikasi yang diterbitkan oleh cabang-cabang Persis di
berbagai tempat. Sampai saat ini, yang masih bertahan terbit adalah majalah Risalah, majalah Iber serta beberapa majalah dan siaran publikasi di beberapa cabang
Persis. Penerbitan inilah yang menyebabkan luasnya daerah penyebaran pemikiran
Persis. Bahkan, penerbitan buku-buku dan majalah-majalah ini sering dijadikan
referensi, baik oleh para da’i maupun organisasi-organisasi keislaman lainnya.[30]
Demikian
pula serangkaian kegiatan khotbah dan tablig sering digelar di daerah-daerah,
baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis, permintaan dari cabang-cabang
Persis, undangan dari organisasi Islam lainnya maupun masyarakat luas. Dalam
kegiatan tablig ini, patut dicatat dan khas Persis penyelenggaraannya tidak
hanya bersifat ceramah, tetapi juga diisi dengan menggelar perdebatan tentang
berbagai masalah keagamaan. Misalnya, perdebatan Persis dengan Al-Ittihadul
Islam di Sukabumi (1932), dengan kelompok Ahmadiyah (1933), dengan Nahdlatul
Ulama (1936), dengan orang Kristen, dengan kelompok nasionalis, bahkan polemik
yang berkepanjangan antara A. Hassan dengan Ir. Soekarno tentang paham
kebangsaan. Pada pasca A. Hassan, aktivitas dakwah dengan perdebatan ini tidak
lagi dilakukan, karena Persis tidak lagi melakukan gebrakan yang bersifat shock therapy tetapi cenderung ke arah low profile yang bersifat persuasif
edukatif.[31]
Di
penghujung abad ke-20 (1995), dengan 10.604 orang anggotanya (tidak
termasuk anggota organisasi otonom) yang
tersebar di 14 Provinsi dengan 3 Pimpinan Wilayah, 26 Pimpinan Daerah, dan 196
Pimpinan Cabang, aktivitas Persis meluas ke dalam aspek-aspek lain. Orientasi
Persis tidak hanya pada kegiatan sebagaimana yang disebut di atas, tetapi juga
menyentuh berbagai bidang garapan yang dibutuhkan umat Islam: bidang pendidikan
(pendidikan tinggi dan pendidikan dasar/menengah), dakwah, bimbingan haji,
perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, dan pembangunan fisik. Dalam
perkembangannya, sejak tahun 1963 Persis mengkoordinir pesantren-pesantren dan
lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di cabang-cabang Persis. Hingga
Muktamar II di Jakarta tahun 1995, tercatat 436 unit pesantren dari berbagai
tingkatan: tingkat Raudhatul Athfal/Taman Kanak-Kanak berjumlah 48 unit,
Diniyyah Ula/Ibtidaiyyah 285 unit, Tajhiziyyah 50 unit, Tsanawiyyah/Diniyyah
Wustha 32 unit, Aliyyah/Muallimin 19 unit, dan tingkat al-Jami’ah (Sekolah
Tinggi) dua unit yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam (STAIPI) dan
Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK) Persis. Selain itu, Persis pun
menyelenggarakan bimbingan jemaah haji dan umrah dalam kelompok Qornul Manazil, mendirikan beberapa Bank
Islam (Bank Perkreditan Rakyat), mengembangkan perguruan tinggi yang sudah ada
untuk mewujudkan sebuah universitas, merintis pendirian rumah yatim dan rumah
sakit Islam, membangun mesjid-mesjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari
dalam dan luar negeri, menyelenggarakan seminar-seminar, pelatihan-pelatihan,
dan sejumlah kegiatan lainnya.
Demikian
pula, fungsi Dewan Hisbah, lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan hukum
Islam di kalangan Persis, semakin ditingkatkan, baik aktivitas maupun
intensitas penelaahannya dalam berbagai masalah hukum keagamaan. Namun pada
saat sekarang ini kegiatan dan perkembangan ormas Persis terkesan kurang aktif
dan terbatas hanya pada daerah yang menjadi basis organisasi seperti di Bandung
yang menjadi pusat organisasi tersebut.
Penutup
Perjalanan
panjang sebuah organisasi sejak awal berdirinya hingga keberadaannya sekarang
ini tidak terlepas dari dinamika sosio kultural dalam situasi dan
kondisi masyarakat serta gerak perilaku politik di mana organisasi itu tumbuh
dan berkembang.
Demikian
pula halnya dengan jam’iyyah Persis. Pada periode pertama, di bawah
pimpinan Muhammad Zamzam, Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Mohammad Natsir
yang hidup dalam alam penjajahan kolonial Belanda, Persis menghadapi tantangan
yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya. Meskipun demikian,
mereka tetap berjuang mengembangkan paham kembali kepada alqur’an dan sunnah
yang dengan sendirinya memulai jihad memberantas khurafat, bid’ah, takhayul,
dan syirik, serta menghadang fatwa-fatwa yang menyesatkan. Inilah corak
aqidah yang selalu dipertahankan oleh Persis dan dikembangkan kepada para
warganya
DAFTAR BACAAN
Ali Fachry, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde
Baru, Bandung:
Mizan, 1986.
Alfian, Pemikiran dan
Perubahan Politik di Indonesia,Gramedia, Jakarta, 1986
Anshary Isa, Islam Menentang Komunisme, Bandung: Sekretariat PP.
Persis, 1956.
Federspiel Howard M, Persatuan Islam, Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia, New York: Cornel
University, 1970.
Firdaus
Haris, NU, Persis atau Muhammadiyah yang
Ahli Bid’ah, Bandung:
Mujahid, 2004.
Irsyam Mahrus, Ulama dan
Politik Upaya mengatasi Krisis, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984
Khaeruman Badri, Persatuan Islam Sejarah Pembaharuan
Pemikiran “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, Bandung: Forum Alumni Pondok Pesantren
Persatuan Islam, 2010.
Mulkhan
Munir Abdul, Paradigma Intelektual
Muslim, Yogyakarta, Sipress, 1993
Mughni Syafiq A, Hasan
Bandung Pemikiran Islam Radikal, Surabaya:
Bina Ilmu, 1980.
Noer Deliar, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942,, LP3ES, Jakarta, 1980
Taba Aziz Abdul, Islam
dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, 1996
PP. Persis, Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan
Islam, Bandung:
Sekretariat PP. Persis, 2005.
Wildan Dadan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, Bandung: Gema Syahida,
1995.
__________, Yang Da’i Yang
Politikus, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999.
[1]
Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam;
Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia
Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 63.
[2]
Ibid, h. 64.
[3]
Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis
1923-1983, (Bandung: Gema Syahida, 1995), h. 19-22.
[4]
Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999), h. 7.
[5] Lihat
Tafsir Qanun Asasi dan Qanun Dakhili
Persatuan Islam, (Bandung: Sekretariat PP. Persis, 1968), h. 13.
[6]
QS. Al-Imran [03]: 103.
[7] Lihat
Tafsir Qanun Asasi dan Qanun Dakhili
Persatuan Islam, (Bandung: Sekretariat PP. Persis, 1968), h. 14.
[8]
Ibid, h. 8-9.
[9]
Howard M Federspiel, Persatuan Islam,
Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, (New York: Cornel
University, 1970), h. 11.
[10]
Isa Anshary, Islam Menentang Komunisme, (Bandung: Sekretariat PP.
Persis, 1956), h. 6.
[11]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3S, 1985),
h. 97.
[12]
Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus,
h. 9.
[13]
Bunyanun Marshush maksudnya adalah suatu bangunan yang kokoh dan kuat.
[14]
Berjamaah maksudnya adalah bersatu dalam naungan dan bimbingan al-Haq
(kebenaran) sesuai dengan alquran dan sunnah.
[15]
Berimamah dan berimarah maksudnya adalah bersatu di bawah satu
komando Imam/ Amir sebagai pimpinan jam’iyyah yaitu ketua umum PP.
Persis yang akan melahirkan berbagai kebijakan dan keputusan terakhir sebagai
sebuah nizham dengan satu suara yang ditaati bersama. Imamah tekanannya
pada keteladanan, sedangkan Imarah tekanannya pada aspek kekuasaan/
kewewenangan yang dimiliki seorang pemimpin.
[16]
Harokah Tajdid maksudnya adalah: a) Purifikasi, dalam arti
gerakan pemurnian aqidah, ibadah, akhlak, dan muammalah ummat dari unsur-unsur
syirik, takhayul, bid’ah, khurafat dan munkarat lainnya; menyakinkan
ummat bahwa Allah Swt adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah, Islam
adalah satu-satunya dinullah, haqqun muthlaqun; alqur’an adalah wahyu
Allah dan mukjizat-Nya, dan Muhaammad adalah Rasul dan Nabi terakhir yang
sunnahnya wajib diikuti. b) Dinamisasi, yakni pengembangan, pembaharuan
dan modernisasi dalam masalah-masalah ijtihadiyyah yang dapat berubah
secara kondisional, seperti masalah sistem organisasi, pengembangan model-model
penyelenggaraan pendidikan, da’wah dan sebagainya. Namun tetap berlandaskan
pada nilai-nilai dan ajaran Islam yang bersumber pada alqur’an dan as-sunnah.
[17] PP.
Persis, Qanun Asasi dan Qanun Dakhili
Persatuan Islam, (Bandung: Sekretariat PP. Persis, 2005), h. 7.
[18] Shuuratun mushaghgharatun anil
Islaam wa hikmatuhu al-Asmaa maksudnya adalah suatu
gambaran tatanan kehidupan Islami yang di dalamnya terlaksana syari’at Islam
berlandaskan alqur’an dan as-sunnah secara kaffah dalam segala aspek
kehidupan; dan atau berarti pula gambaran miniatur Islam yang digerakan oleh
satu nizham yang ditaati bersama sehingga segala gerak dan amaliyahnya
dapat menjadi suri tauladan bagi muslim lainnya.
[19] Ulama maksudnya adalah seorang yang takut
terhadap Allah Swt, faham terhadap ilmu dan hukum-hukum syara’ dan mampu
mengaplikasikannya dalam kehidupan keseharian mereka.
[20]
Zu’ama maksudnya adalah seorang yang
memiliki wawasan keilmuan sehingga dia dipercaya memegang amanah kepemimpinan
tertentu.
[21]
Ashabun, dan hawariyyun maksudnya adalah para sahabat dan pembela
Islam yang memiliki komitmen yang kuat untuk senantiasa mentaati perintah Allah
Swt, dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw.
[23]
Ibid, h. 21.
[25]
Haris Firdaus, NU, Persis atau Muhammadiyah yang Ahli Bid’ah, (Bandung: Mujahid, 2004),
h. 98.
[26]
Ibid, h. 17-18.
[27]
Badri Khaeruman, Persatuan Islam Sejarah
Pembaharuan Pemikiran “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, (Bandung: Forum Alumni
Pondok Pesantren Persatuan Islam, 2010), h. 50.
[28]
Ibid, h. 50.
[29]
Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, h. 43-45.
[30]
A. Syafiq Mughni, Hasan Bandung Pemikiran Islam Radikal, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1980), h. 74-76.
[31]
Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, h. 46-51.
0 komentar:
Post a Comment