Pages

Tuesday, November 3, 2015

PERSATUAN ISLAM



PERSATUAN ISLAM
( PERSIS )


Pendahuluan
Tampilnya organisasi Persatuan Islam (Persis) dalam pentas sejarah Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berpikir), terperosok dalam kehidupan mistisme yang berlebihan, terperangkap dalam tumbuh suburnya khurafat, bidah, tahayul, syirik, musyrik, dan lebih dari itu terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi tersebut kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformisme” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam.
Dengan argumen bahwa ajaran Islam sepenuhnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman, para tokoh pembaharu itu mendorong umat Islam untuk melakukan penelaahan ulang. Mereka juga menjelaskan kembali doktrin Islam dalam bahasa dan rumusan yang dapat diterima oleh alam pikiran modern. Menurut mereka, Islam merupakan satu-satunya agama yang meletakkan akal pada posisi yang cukup baik dan menganjurkan penerapan temuan-temuan ilmiah. Demikian pula alqur’an dan sunnah merupakan satu-satunya rujukan yang mampu memberikan dasar doktrinal atau legitimasi seluruh tindakan kehidupan manusia.[1]
Semangat dan isi gerakan pembaharuan Islam  ini pada mulanya mendapat perhatian dari umat Islam di daerah perkotaan, karena secara geografis dan kultural, masyarakat kota lebih cepat berhadapan dengan pengaruh luar daripada masyarakat desa. Dengan mengikuti alam pembaharuan yang sedang berkembang, mereka menempatkan diri sebagai kelompok “modernis Islam”. Pada kelompok modernis ini, terdapat ciri kuat yang membedakannya dengan kelompok tradisionalis di pedesaan, yaitu adanya kepercayaan dan pemikiran bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Oleh karena itu, praktek taklid harus dihilangkan; ajaran-ajaran Islam harus diterjemahkan secara rasional sehingga mampu bersaing dengan peradaban modern dan dapat memenuhi kebutuhan umat pada zamannya. Hanya dengan itulah, umat Islam dapat keluar dari kolonialisme Barat, keluar dari kemiskinan dan kebodohan, serta dapat mengembalikan citra Islam yang sebenarnya, yakni Islam yang mampu mengungguli kekuatan-kekuatan lain sebagaimana pernah terjadi pada abad-abad sebelumnya. Sejalan dengan semangat kembali kepada alqur’an dan sunnah, kalangan modernis melakukan upaya purifikasi keagamaan dari elemen-elemen tradisi paganisme yang dapat menimbulkan bid’ah dan khurafat.[2]
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 ditandai dengan munculnya berbagai organisasi kelompok modernis Islam, di antaranya Al-Jam’iyyah Al-Khoiriyah yang dikenal dengan Jamiat Khoer di Jakarta yang berdiri pada tanggal 17 Juli 1905, Jam’iyyatul Islah wal Irsyadil Arabi (Al-Irsyad) yang berdiri di Jakarta pada tangga 11 Agustus 1915, Muhammadiyah yang berdiri di Yogyakarta pada tanggal 12 Nopember 1912, dan Persis yang baru berdiri pada tanggal 12 September 1923 di Bandung.[3]
Kota Bandung nampaknya agak lambat menerima arus gerakan pembaharuan Islam ini dibandingkan dengan daerah-daerah lain, meskipun Syarekat Islam telah beroperasi di daerah ini sejak 1913. Kesadaran akan keterlambatan ini merupakan salah satu cambuk berdirinya sebuah organisasi baru, yakni Persatuan Islam (Persis).[4]
Untuk mengetahui lebih dalam eksistensi organisasi Persis sebagai sebuah ormas Islam yang lahir di Indonesia, latar belakang berdirinya, dan bagaimana corak akidah berdasarkan AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga), serta pemahaman dan pengamalan ajaran bagi para pengikut/jama’ahnya, akan penulis uraikan pada makalah ini.

Latar Belakang Berdirinya Persis
Berdirinya Persis diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan  (penelaahan agama Islam) di kota Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Bersama jamaahnya, dengan penuh kecintaan, mereka menelaah, mengkaji, dan menguji ajaran-ajaran Islam. Kelompok tadarusan yang berjumlah sekitar 20 orang itu akhirnya semakin tahu akan hakikat Islam yang sebenarnya. Mereka pun menjadi sadar akan bahaya keterbelakangan, kejumudan, penutupan pintu ijtihad, taklid buta, dan serangkaian praktek bid’ah. Mereka kemudian mencoba melakukan gerakan tajdid dan pemurnian ajaran Islam dari paham-paham yang sesat dan menyesatkan. Kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, dan berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menimbulkan semangat pada kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan ciri dan karakteristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923,  bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama Persatuan Islam ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul-ijtihad dan jihad; berusaha sekuat tenaga mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.[5]
Ide filsafat dari konsepsi persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini diilhami firman Allah Swt dalam alqur’an surat Al-Imran ayat 103:
 
Artinya:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.[6]

Serta sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Turmudzi: “Kekuatan Allah itu beserta jamaah”. Firman Allah dan hadis Nabi tersebut dijadikan moto Persis dan ditulis dalam lambang Persis yang berbentuk lingkaran bintang bersudut 12.[7]  
Menurut Tafsir Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam, pada mulanya Persis, yang terbentuk dan berdiri pada masa penjajahan kolonial Belanda itu, tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan atau kebutuhan masyarakat pada masa itu. Para pendirinya tidaklah memiliki kepentingan apa-apa di dalamnya. Mereka mendirikannya karena terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah dari Allah Swt, sebagaimana Rasulullah Saw berdiri di atas bukit Shafa menyatakan kerasulannya tidaklah berdasarkan atas kepentingan dirinya. Para pendiri Persis mendirikannya bukan karena masyarakat membutuhkannya karena masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak membutuhkan suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman. Sebagian besar masyarakat Islam Indonesia ketika itu telah tenggelam dalam biusan taklid, jumud, khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, dan paham-paham sesat lainnya. Karena itu, masyarakat tidak membutuhkan berdirinya Persis, sebagaimana masyarakat jahiliyah tidak membutuhkan kedatangan Nabi Muhammad Saw untuk mengubah mereka. Persis berdiri atas dasar kewajiban akan tugas Ilahi untuk mengubah kemandegan berpikir, membuka ketertutupan pintu ijtihad.[8]
Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad 20, Persis mempunyai ciri tersendiri: kegiatannya dititikberatkan pada pembentukan paham keagamaan. Adapun kelompok-kelompok pergerakan yang telah diorganisasikan sebelumnya, seperti Boedi Oetomo (1908) hanya bergerak dalam bidang pendidikan bagi penduduk pribumi (khususnya orang-orang Jawa dan Madura), Syarekat Islam (1912) bergerak dalam bidang perdagangan dan politik, dan Muhammadiyah (1912) gerakannya diperuntukkan bagi kesejahteraan sosial masyarakat muslim dan kegiatan pendidikan keagamaan.[9]
Sejalan dengan ini, Isa Anshary menyatakan bahwa Persis tampil sebagai sebuah organisasi kaum muslimin yang sepaham dan sekeyakinan, kaum pendukung dan penegak alqur’an dan sunnah. Persis mengutamakan perjuangan dalam lapangan ideologi Islam, tidak dalam lapangan organisasi. Persis berjuang membentuk dirinya menjadi intisari dari kaum muslimin, mencari kualitas, bukan kuantitas, mencari isi, bukan jumlah. Persis tampil sebagai suatu sumber kebangkitan dan kesadaran baru, menjadi daya dinamika yang menggerakkan kebangunan umat Islam.[10]
Oleh karen itu, menurut Deliar Noer, mulai saat berdiri, secara umum, Persis kurang memberikan penekanan pada kegiatan organisasi. Ia tidak terlalu berminat untuk membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin jumlah anggota. Pembentukan sebuah cabang bergantung semata-mata pada inisiatif peminat, tidak didasarkan pada suatu rencana yang dilakukan oleh pimpinan organisasi. Meskipun demikian, pengaruh organisasi ini jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah cabang ataupun anggotanya.[11]
Dalam perkembangannya sampai tahun 1942 tercatat beberapa cabang organisasi Persis yang tersebar di seluruh Indonesia, misalnya Bandung, Bogor, Jakarta, Leles Garut, Surabaya, Malang, Bangil, Kutaraja, Padang, Sibolga, Banjarmasin, dan Gorontalo. Di kota Bandung, tempat lahirnya organisasi ini, jumlah anggota Persis pada awal berdirinya hanya sekitar 20 orang. Akan tetapi, pada tahun 1942, jumlah jamaah Persis di kota kembang ini terus bertambah. Hal ini terlihat dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan Persis diikuti oleh jumlah anggota dan simpatisan yang cukup banyak, misalnya, shalat Jum’at yang diselenggarakan Persis diikuti oleh sekitar 500 orang anggota dan simpatisan Persis yang tersebar di enam buah mesjid di kota Bandung.[12]

Aqidah Yang Dianut Berdasarkan AD/ART Persis.
Sejak berdirinya, pada tanggal 12 September 1923, hingga akhir abad ke-20, diakui atau tidak, dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, Persis telah menempatkan dirinya sebagai barisan pelopor, barisan paling depan dalam memperjuangkan akidah Islam berdasarkan alqur’an dan sunnah. Di tengah-tengah kesimpangsiuran berbagai pandangan seperti sekarang ini, wajah dan wijhah, pandangan dan keyakinan perjuangan Persis perlu diketengahkan kepada masyarakat luas disertai harapan dan kepercayaan, agar masyarakat dapat menilai dan membandingkan sendiri perjuangan Persis ini, terutama dengan mengapresiasi pola perjuangannya di masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang dalam dinamika perkembangan masyarakat Islam.
Corak aqidah bagi warga Persis dalam mengamalkan nilai-nilai keislaman, tertuang pada pasal 4 dan 5 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persis, yang menjelaskan tentang bentuk, sifat, dan gerakan serta rencana jihad yaitu:
(1)   Persis berbentuk bunyanun marshush[13] dalam hidup berjamaah,[14] berimamah, dan berimarah[15] seperti dicontohkan Rasulullah Saw.
(2)   Persis bersifat harakah tajdid[16] dalam pemikiran Islam dan penerapannya,
(3)   Persis bergerak dalam bidang da’wah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan lainnya menurut alqur’an dan as-sunnah.[17]
Sedangkan rencana jihad meliputi:
(1)   Mengembangkan dan memberdayakan potensi jam’iyyah demi terwujudnya jam’iyyah sebagai shuuratun mushaghgharatun anil Islaam wa hikmatuhu al-Asmaa’.[18]
(2)   Meningkatkan pemahaman dan pengamalan keislaman bagi anggota khususnya dan umat Islam pada umumnya sehingga tercipta barisan ulama,[19] zu’ama,[20] ashabun, dan hawariyyun[21] Islam yang senantiasa iltizam terhadap risalah Allah.
(3)   Meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan anggota khususnya dan umat Islam pada umumnya dalam bermu’amalat secara jama’i dalam aspek kehidupan.[22]
Bagi warga pengikut ormas Persis, konsekwensi yang harus dipatuhi dalam memperkokoh dan mempertahankan nilai-nilai aqidah harus tetap berdasarkan alqur’an dan sunnah, hal ini sesuai dengan aturan yang ditetapkan organisasi berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang dikenal dalam Muqaddimah Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persis.
Qanun Asasi yaitu merupakan peraturan tertinggi dalam jam’iyyah Persis, sedangkan Qanun Dakhili merupakan peraturan tertinggi di bawah Qanun Asasi dalam jam’iyyah Persis (Pasal 76 tentang tata urutan peraturan).
Berikut satu pernyataan dalam Muqaddimah Qanun Asasi dan Qanun Dakhili (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah tangga), yang perlu direnungkan:
“Sesungguhnya tidak syak lagi, umat Islam tidak akan tersesat ke lembah kebinasaan selama berteguh hati mengamalkan tuntunan alqur’an dan sunnah. Dan oleh karena itu, segala yang tidak berdasar pada alqur’an dan sunnah, mengikuti imam dan mazhab dengan membabi buta, sehingga membawa mereka kepada jumud, taqlid, khurafat, bid’ah, dan syirik telah mengakibatkan kemunduran dan kehancuran umat Islam. Dalam mengembalikan umat Islam pada kejayaan dan kemuliaan adalah menjadi keharusan untuk menyehatkan umat Islam dari faham-faham yang sesat dan keliru. Sebab, umat dengan agama yang sehat tidak mungkin menjadi permainan siasat, tetapi akan membawa mereka pada masyarakat sejahtera dan bahagia. Kemudian dengan rahmat Allah, dirinya kembali kepada ajaran alqur’an dan sunnah yang mendidik hidup berjamaah, berimamah, dan berimarah, tunduk dan taat atas suatu nizham yang sejalan dengan alqur’an dan sunnah”.[23]

Sejarah telah membuktikan, sikap dan amal umat yang tidak mengikuti tuntunan alqur’an dan sunnah, malah mengikuti imam dan mazhab dengan membuta, akan menjerumuskannya ke dalam taklid, bid’ah, khurafat, dan syirik. Sebagai akibat dari interaksi antara Islam dengan nilai agama lain dalam perjalanan panjang sejarah perkembangannya, nilai-nilai Islam terkontaminasi oleh nilai-nilai batil. Semua itu mengakibatkan kemunduran dan kehancuran umat Islam.[24] Yang pada gilirannya Islam sebagai satu-satunya jalan yang tepat dan sempurna telah bergeser sedikit demi sedikit dari jalur yang sebenarnya menjadi agama yang telah bercampur dengan produk manusia.[25]
Ada ketentuan yang harus dilaksanakan warga Persis sebagai anggota, dan ini sebagai wujud dari corak aqidah untuk warga ormas Persis, jika dilihat berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga terdapat pada pasal 8 tentang “Kewajiban Anggota” sebagai berikut:
Setiap anggota Persis wajib:
1.      Mempelajari, memahami, dan mengamalkan alqur’an dan as-sunnah sebagai landasan kehidupan.
2.      Mempelajari, memahami, dan mengamalkan Qanun Asasi, Qanun Dakhili Persatuan Islam sebagai landasan perjuangan.
3.      Menjauhkan diri dari perbuatan munkarat, maksiat, bid’ah, dan kegiatan keagamaan di luar tuntunan alqur’an dan as-sunnah.
4.      Menaati imamah, imarah dan melaksanakan taushiyah pimpinan, selama sejalan dengan alqur’an dan as-sunnah.
5.      Berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan jam’iyyah secara langsung atau tidak langsung.
6.      Mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan nama baik jam’iyyah khususnya, serta kehormatan Islam umumnya.
7.      Menjadi uswatun hasanah dalam segala ruang dan waktu.
8.      Menjadi ashabun dan hawariyun Islam dengan menyediakan harta dan jiwa raganya untuk membela Islam.
9.      Mengusahakan keikutsertaan anggota keluarganya dalam kegiatan jam’iyyah atau yang ada kaitan dengan jam’iyyah.
10.  Mengusahakan anggota keluarganya untuk menjadi anggota Persis atau anggota bagian otonom Persis.
11.  Mengembangkan pemahaman alqur’an dan as-sunnah di lingkungan tempat tinggal dan atau di lingkungan kerjanya.
12.  Berusaha mengikutsertakan keluarganya memakmurkan lembaga pendidikan Persis.
13.  Mengajak orang lain yang sepaham untuk menjadi anggota Persis.
14.  Membayar infaq, zakat, dan shodaqoh melalui jam’iyyah sesuai pedoman perzakatan Persis.
15.  Membayar infaq bulanan (iuran) anggota.[26]
Upaya merealisasi konsep di atas, merupakan wujud dari tujuan berdirinya Persis yaitu: Pertama, mengamalkan segala ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat. Kedua, menempatkan kaum muslimin pada ajaran aqidah dan syari’ah berdasarkan alqur’an dan as-sunnah.[27] Dan untuk mencapai tujuan ini, maka organisasi dijalankan dalam bentuk berjamaah, berimamah,  dan berimarah serta menentukan sifat organisasinya sebagai organisasi pendidikan, tabligh dan kemasyarakatan berdasarkan alquran dan sunnah.[28]

Aqidah Yang Dianut Warga Persis di Indonesia.
Persatuan Islam (Persis) sebagai sebuah jam’iyyah memiliki tujuan yang sangat ideal, yaitu membentuk masyarakat yang mengamalkan syari’at Islam yang berlandaskan alqur’an dan sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persis merupakan perangkat pendukung tujuan ideal tersebut, yang berfungsi sebagai pijakan dasar dan panduan hidup berjamaah, berimamah, dan berimarah menuju sebuah tatanan terwujudnya kesatuan pemikiran, kesatuan rasa, kesatuan suara, dan kesatuan usaha dalam mengembalikan umat Islam kepada tuntunan alquran dan sunnah.
Sebagai organisasi dakwah, Persis selain harus mampu, konsisten, dan bertahan pada prinsip-prinsip khithah perjuangannya memberantas TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat) dan bentuk-bentuk kemusyirakan lainnya, juga Persis harus lebih solid dan dinamis menghadapi tantangan dakwah yang kian hari kian berat dan semakin kompleks.
Pada dasarnya, upaya Persis dalam memberikan corak aqidah yang dianut bagi warganya di Indonesia, ditujukan terutama pada penyebaran paham alqur’an dan sunnah. Hal ini dilakukan dengan berbagai aktivitas, di antaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, seperti tablig, khotbah, kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-sekolah (pesantren), penerbitan majalah-majalah dan kitab-kitab, dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya.
Dalam bidang pendidikan, misalnya, pada tahun 1924 diselenggarakan kelas pendidikan akidah dan ibadah bagi orang dewasa. Pada tahun 1927 didirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan Holland Inlandesch School (HIS) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam (Pendis) di bawah pimpinan Mohammad Natsir. Dan pada tanggal 4 Maret 1936, secara resmi didirikan Pesantren Persatuan Islam yang pertama dan diberi nomor 1 (satu) di Bandung.[29]
Dalam bidang penerbitan (publikasi), Persis banyak menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah, di antaranya majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-Taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah Pemuda Persis, Tamaddun (1970), majalah berbahasa Sunda, Iber (1967), dan berbagai majalah ataupun siaran publikasi yang diterbitkan oleh cabang-cabang Persis di berbagai tempat. Sampai saat ini, yang masih bertahan terbit adalah majalah Risalah, majalah Iber serta beberapa majalah dan siaran publikasi di beberapa cabang Persis. Penerbitan inilah yang menyebabkan luasnya daerah penyebaran pemikiran Persis. Bahkan, penerbitan buku-buku dan majalah-majalah ini sering dijadikan referensi, baik oleh para da’i maupun organisasi-organisasi keislaman lainnya.[30]
Demikian pula serangkaian kegiatan khotbah dan tablig sering digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis, permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan dari organisasi Islam lainnya maupun masyarakat luas. Dalam kegiatan tablig ini, patut dicatat dan khas Persis penyelenggaraannya tidak hanya bersifat ceramah, tetapi juga diisi dengan menggelar perdebatan tentang berbagai masalah keagamaan. Misalnya, perdebatan Persis dengan Al-Ittihadul Islam di Sukabumi (1932), dengan kelompok Ahmadiyah (1933), dengan Nahdlatul Ulama (1936), dengan orang Kristen, dengan kelompok nasionalis, bahkan polemik yang berkepanjangan antara A. Hassan dengan Ir. Soekarno tentang paham kebangsaan. Pada pasca A. Hassan, aktivitas dakwah dengan perdebatan ini tidak lagi dilakukan, karena Persis tidak lagi melakukan gebrakan yang bersifat shock therapy tetapi cenderung ke arah low profile yang bersifat persuasif edukatif.[31]
Di penghujung abad ke-20 (1995), dengan 10.604 orang anggotanya (tidak termasuk  anggota organisasi otonom) yang tersebar di 14 Provinsi dengan 3 Pimpinan Wilayah, 26 Pimpinan Daerah, dan 196 Pimpinan Cabang, aktivitas Persis meluas ke dalam aspek-aspek lain. Orientasi Persis tidak hanya pada kegiatan sebagaimana yang disebut di atas, tetapi juga menyentuh berbagai bidang garapan yang dibutuhkan umat Islam: bidang pendidikan (pendidikan tinggi dan pendidikan dasar/menengah), dakwah, bimbingan haji, perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, dan pembangunan fisik. Dalam perkembangannya, sejak tahun 1963 Persis mengkoordinir pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di cabang-cabang Persis. Hingga Muktamar II di Jakarta tahun 1995, tercatat 436 unit pesantren dari berbagai tingkatan: tingkat Raudhatul Athfal/Taman Kanak-Kanak berjumlah 48 unit, Diniyyah Ula/Ibtidaiyyah 285 unit, Tajhiziyyah 50 unit, Tsanawiyyah/Diniyyah Wustha 32 unit, Aliyyah/Muallimin 19 unit, dan tingkat al-Jami’ah (Sekolah Tinggi) dua unit yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam (STAIPI) dan Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK) Persis. Selain itu, Persis pun menyelenggarakan bimbingan jemaah haji dan umrah dalam kelompok Qornul Manazil, mendirikan beberapa Bank Islam (Bank Perkreditan Rakyat), mengembangkan perguruan tinggi yang sudah ada untuk mewujudkan sebuah universitas, merintis pendirian rumah yatim dan rumah sakit Islam, membangun mesjid-mesjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan luar negeri, menyelenggarakan seminar-seminar, pelatihan-pelatihan, dan sejumlah kegiatan lainnya.
Demikian pula, fungsi Dewan Hisbah, lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan hukum Islam di kalangan Persis, semakin ditingkatkan, baik aktivitas maupun intensitas penelaahannya dalam berbagai masalah hukum keagamaan. Namun pada saat sekarang ini kegiatan dan perkembangan ormas Persis terkesan kurang aktif dan terbatas hanya pada daerah yang menjadi basis organisasi seperti di Bandung yang menjadi pusat organisasi tersebut.

Penutup
Perjalanan panjang sebuah organisasi sejak awal berdirinya hingga keberadaannya sekarang ini tidak terlepas dari dinamika sosio kultural dalam situasi dan kondisi masyarakat serta gerak perilaku politik di mana organisasi itu tumbuh dan berkembang.
Demikian pula halnya dengan jam’iyyah Persis. Pada periode pertama, di bawah pimpinan Muhammad Zamzam, Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Mohammad Natsir yang hidup dalam alam penjajahan kolonial Belanda, Persis menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya. Meskipun demikian, mereka tetap berjuang mengembangkan paham kembali kepada alqur’an dan sunnah yang dengan sendirinya memulai jihad memberantas khurafat, bid’ah, takhayul, dan syirik, serta menghadang fatwa-fatwa yang menyesatkan. Inilah corak aqidah yang selalu dipertahankan oleh Persis dan dikembangkan kepada para warganya

DAFTAR BACAAN

Ali Fachry, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986.

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia,Gramedia, Jakarta, 1986

Anshary Isa, Islam Menentang Komunisme, Bandung: Sekretariat PP. Persis, 1956.

Federspiel Howard M, Persatuan Islam, Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, New York: Cornel University, 1970.

Firdaus Haris, NU, Persis atau Muhammadiyah yang Ahli Bid’ah, Bandung: Mujahid, 2004.

Irsyam Mahrus, Ulama dan Politik Upaya mengatasi Krisis, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984

Khaeruman Badri, Persatuan Islam Sejarah Pembaharuan Pemikiran “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, Bandung: Forum Alumni Pondok Pesantren Persatuan Islam, 2010.

Mulkhan Munir Abdul, Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta, Sipress, 1993

Mughni Syafiq A, Hasan Bandung Pemikiran Islam Radikal, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.

Noer Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,, LP3ES, Jakarta, 1980

Taba Aziz Abdul, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

PP. Persis, Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam, Bandung: Sekretariat PP. Persis, 2005.

Wildan Dadan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, Bandung: Gema Syahida, 1995.
__________, Yang Da’i Yang Politikus, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.





[1] Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 63.
[2] Ibid, h. 64.
[3] Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, (Bandung: Gema Syahida, 1995), h. 19-22.
[4] Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 7.
[5] Lihat Tafsir Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam, (Bandung: Sekretariat PP. Persis, 1968), h. 13.

[6] QS. Al-Imran [03]: 103.
[7] Lihat Tafsir Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam, (Bandung: Sekretariat PP. Persis, 1968), h. 14.
[8] Ibid, h. 8-9.
[9] Howard M Federspiel, Persatuan Islam, Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, (New York: Cornel University, 1970), h. 11.
[10] Isa Anshary, Islam Menentang Komunisme, (Bandung: Sekretariat PP. Persis, 1956),   h. 6.
[11] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3S, 1985),  h. 97.
[12] Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus, h. 9.
[13] Bunyanun Marshush maksudnya adalah suatu bangunan yang kokoh dan kuat.
[14] Berjamaah maksudnya adalah bersatu dalam naungan dan bimbingan al-Haq (kebenaran) sesuai dengan alquran dan sunnah.
[15] Berimamah dan berimarah maksudnya adalah bersatu di bawah satu komando Imam/ Amir sebagai pimpinan jam’iyyah yaitu ketua umum PP. Persis yang akan melahirkan berbagai kebijakan dan keputusan terakhir sebagai sebuah nizham dengan satu suara yang ditaati bersama. Imamah tekanannya pada keteladanan, sedangkan Imarah tekanannya pada aspek kekuasaan/ kewewenangan yang dimiliki seorang pemimpin.
[16] Harokah Tajdid maksudnya adalah: a) Purifikasi, dalam arti gerakan pemurnian aqidah, ibadah, akhlak, dan muammalah ummat dari unsur-unsur syirik, takhayul, bid’ah, khurafat dan munkarat lainnya; menyakinkan ummat bahwa Allah Swt adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah, Islam adalah satu-satunya dinullah, haqqun muthlaqun; alqur’an adalah wahyu Allah dan mukjizat-Nya, dan Muhaammad adalah Rasul dan Nabi terakhir yang sunnahnya wajib diikuti. b) Dinamisasi, yakni pengembangan, pembaharuan dan modernisasi dalam masalah-masalah ijtihadiyyah yang dapat berubah secara kondisional, seperti masalah sistem organisasi, pengembangan model-model penyelenggaraan pendidikan, da’wah dan sebagainya. Namun tetap berlandaskan pada nilai-nilai dan ajaran Islam yang bersumber pada alqur’an dan as-sunnah.
[17] PP. Persis, Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam, (Bandung: Sekretariat PP. Persis, 2005), h. 7.
[18] Shuuratun mushaghgharatun anil Islaam wa hikmatuhu al-Asmaa maksudnya adalah suatu gambaran tatanan kehidupan Islami yang di dalamnya terlaksana syari’at Islam berlandaskan alqur’an dan as-sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan; dan atau berarti pula gambaran miniatur Islam yang digerakan oleh satu nizham yang ditaati bersama sehingga segala gerak dan amaliyahnya dapat menjadi suri tauladan bagi muslim lainnya.
[19] Ulama maksudnya adalah seorang yang takut terhadap Allah Swt, faham terhadap ilmu dan hukum-hukum syara’ dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan keseharian mereka.
[20] Zu’ama maksudnya adalah seorang yang memiliki wawasan keilmuan sehingga dia dipercaya memegang amanah kepemimpinan tertentu.
[21] Ashabun, dan hawariyyun maksudnya adalah para sahabat dan pembela Islam yang memiliki komitmen yang kuat untuk senantiasa mentaati perintah Allah Swt, dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw.
[22] PP. Persis, Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam, h. 8.
[23] Ibid, h. 21.
[24] Lihat Muqadimah Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam, 1995, h. 1.
[25] Haris Firdaus, NU, Persis atau Muhammadiyah yang Ahli Bid’ah, (Bandung: Mujahid, 2004), h. 98.
[26] Ibid, h. 17-18.
[27] Badri Khaeruman, Persatuan Islam Sejarah Pembaharuan Pemikiran “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, (Bandung: Forum Alumni Pondok Pesantren Persatuan Islam, 2010), h. 50.
[28] Ibid, h. 50.
[29] Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, h. 43-45.
[30] A. Syafiq Mughni, Hasan Bandung Pemikiran Islam Radikal, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 74-76.
[31] Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, h. 46-51.



0 komentar:

Post a Comment