Pages

Sunday, November 1, 2015

NAHDLATUL ULAMA



NAHDLATUL ULAMA


A.  Pendahuluan
Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi masyarakat, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia muslim. Ia adalah sebuah organisasi ulama tradisional yang mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya, organisasi non pemerintahan ini yang paling besar yang masih bertahan dan melingkar dikalangan bawah. ia mewakili paling tidak dua puluh juta muslim, yang meski tidak seluruhnya resmi menjadi anggota, akan tetapi  merasa terikat kepadanya melalui kesetiaan-kesetiaan primordial.
Di sebuah daerah yang dilanda kecenderungan kuat kearah pemusatan, NU merupakan organisasi paling signifikan yang sangat terdesentralisasi. Berbicara tentang NU artinya membicarakan suatu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Visi dan misi serta perjuangan NU baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan RI telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap RI ini. Sehingga tidak heran warga NU, menjadi basis perebutan bagi partai-partai politik yang ada di Indonesia, setelah NU kembali perjuangan semula atau kembali ke khittah 1926. untuk mengetahui  bagaimana pemikiran dan perjuangan NU di bidang agama akan dikemukakan dimakalah yang singkat ini.

B.  Latar Belakang Lahirnya NU
Seringkali dinyatakan bahwa NU dilahirkan oleh kiai tradisional yang mengasingkan posisi mereka terancam dengan munculnya Islam reformis yaitu pengaruh Muhammadiyah dan serikat Islam yang semakin luas, demikian menurut pendapat ini, telah memarginalisasikan kiai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin serta juru bicara komunitas muslim, dan ajaran kaum pembaharu yang sangat melemahkan legitimasi mereka.1
Kelahiran NU melalui suatu proses yang sangat panjang sebelumnya. Bermula dari munculnya gerakan nasionalisme yang ditandai dengan berdirinya Serikat Islam (SI) telah mencetak beberapa pemuda alumni pesantren yang bermukim di Makkah untuk mendirikan cabang perhimpunan itu di sana. Sebelum sempat berkembang mereka segera kembali ke tanah air karena pecah perang dunia ke-II. Namun rencana mereka masih tetap melanjutkan setelah mereka menetap di tanah air. Mereka mendirikan Nahdatul Wathan (1914),  Taswir al-Askar (1918). Setelah itu  di Surabaya didirikan penghimpunan lokal yang serupa  antara lain adalah Perikatan Wataniyah Ta’mir al-Masajid dan Atta’dibiyah.2
Ketegangan dalam kongres al-Islam sepanjang paruh pertama tahun dua puluhan dan berlanjut dalam sidang-sidang komite khilafat, telah mendorong penghimpunan lokal di Surabaya itu turut  serta mendirikan organisasi baru yang luas dan berskala nasional. Mereka menilai perhimpunan-perhimpunan umat Islam yang ada maupun kongres al-Islam sendiri tidak bersikap akomodatif terhadap visi yang mereka coba kembangkan. Kemudian ketegangan tersebut berlanjut setelah delegasi yang dikirim ke kongres Makkah pada tahun 1926 ternyata mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka kembangkan. Mereka kemudian mengirimkan delegasi sendiri ke Makkah. Untuk kepentingan itu mereka mendirikan perhimpunan baru NU.3
Namun peristiwa itu hanyalah lintasan proses sejarah dari suatu pergumulan sosial kultural yang panjang. Lembaga pendidikan pesantren yang dikembangkan para ulama telah merintis arah dengan visi keagamaan yang kuat. Jika kemudian mereka membentuk ikatan sosial yang lebih formal, tujuan pokoknya adalah  seperti lembaga pesantren itu, yaitu ingin menegakkan kalimah Allah. Visi ini kemudian dikemangkan dengan rumusan yang lebih operasional yang disebut jihad fi sabilillah.4
Jihad mengandung arti yang sangat luas. Dalam arti yang ekstrem jihad berarti perang, tetapi juga berarti, hal-hal dalam keseharian serta menjawab salam atau merawat jenazah.5 Jihad sebagai kewajiban kolektif (kifayah) bukanlah tujuan, melainkan instrumen atau wasilah. Tujuan perang pada hakikatnya adalah menyampaikan petunjuk, karena hal itu jika dapat dilakukan dengan cara lain yang resiko negatifnya lebih kecil dan manfaatnya jauh lebih besar, seperti dengan cara persuasif, pendidikan, atau perbaikan ekonomi, lebih baik dilakukan tanpa perang.6
Dalam konteks ini dapat dipahami perjalanan NU selanjutnya. Melalui pesantren para ulama mengemban tugas melaksanakan jihad untuk menegakkan  kalimah Allah. Setelah dirasakan perlunya mengembangkan lembaga tradisional ini dan kultural yang telah hidup di tengah masyarakat ke arah bentuk yang lebih formal dengan visi yang lebih luas, maka didirikan organisasi keagamaan sebagai tugas untuk mengantisipasi tugas tersebut. NU merupakan salah satu wujud dari upaya itu. Di mulai dari pesantren para ulama muda, pesantren merintis kegiatan-kegiatan mereka. Dari perhimpunan keagamaan seperti Nahdlatul Wathan, Taswir al-Afkar kemudian NU (Nahdlatul Ulama). Hanya satu cita-cita mereka adalah untuk merencanakan tanah air merdeka,7 dan cita-cita untuk menempatkan syari’ah sebagai bagian hidup dari kebangsaan.
Dengan demikian  dapat disimpulkan bahwa motif pertama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU adalah motif keagamaan sebagai Jihad fi sabilillah. Kedua, adanya rasa tanggung jawab untuk mengembangkan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan pelestarian ajaran mazhab Syafi’i. Ini berarti tidak statis, tidak berkembang, sebab pengembangan yang dilakukan berfokus pada kesejahteraan sehingga pemikiran yang dikembangkan itu memiliki konteks sejarah. Ketiga, dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan sosial dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan pembentukan Nahdlatul Watahn, Taswir al-Afkar, Nahdlatul Tujjar, dan Ta’mir al-Masajid sedangkan yang keempat adalah motif politik yang ditandai dengan semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI di Makkah serta obsesi hari depan tanah air merdeka bagi umat Islam.
Selain latar belakang di atas, sumber lain mengatakan kelahiran NU sebagai reaksi atas pembaharuan pemikiran Islam di Jawa, dengan sebab ini berdirlah NU pada tahun 1926. adapun  sebab-sebab berdirinya organisasi ini sekurang-kurangnya ada dua,8 yaitu: pertama, seruan terhadap penguasa Arab Saudi, Ibnu Saud, untuk meninggalkan kebiasaan beragama menurut tradisi. Golongan tradisi ini tidak menyukai Wahabisme yang sedang berkembang di Hijaz, karena itu mereka membentuk komite Hijaz yang kemudian berubah menjadi Nahdlatul Ulama dalam sebuah rapat di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926.
Adanya sebab kedua, adalah ketika itu pembaharuan Islam di Jawa sedang giat-giatnya yang dipelopori oleh Muhammadiyah dan Persis dengan pimpinan tiga tokoh yaitu, KH.Mas Mansur, Fakih Hasyim dan KH.Ahmad Dahlan. Selama ini pemikiran golongan tradisi selalu bertentangan dengan golongan pembaharu, seperti dalam pengucapan ushalli dan kurikulum pengajaran sekolah. Apalagi yang mewakili umat Islam Indonesia dalam kongres Islam pertama di Makkah adalah dari golongan pembaharu.9
Demikianlah beberapa historis latar belakang berdirinya NU sebagai organisasi sosial keagamaan di Indonesia, yang dalam sejarah perjalanan pernah menjadi partai politik, lalu kembali ke khittah 1926, sampai sekarang. Sekalipun pada masa reformasi membidangi lahirnya beberapa partai politik Islam, namun NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan dan tidak menjadi partai politik.

C.  Studi Pemikiran Keagamaan NU
Bagi NU, kekuasaan identik dengan syariat dan hanya ulama yang representative untuk menterjemahkan dan memimpin realisasi syariat dalam kehidupan sosial. Pandangan tersebut menempatkan ulama sebagai pimpinan tertinggi.
Ulama bagi NU menduduki posisi sentral karena ia memiliki fungsi-fungsi pengelola, pengendali dan pembimbing organisasi dan panutan bagi warga. Fungsi dan kedudukan ulama secara demikian merupakan konsekuensi pemahaman agama dikalangan NU. Faham agama tersebut menyatakan bahwa alquran dan sunnah, qiyas dan ijma’ adalah dasar dan sumber ajaran Islam.
Pemahaman terhadap dasar dan sumber ajaran Islam tersebut dilakukan dengan cara memahami dan mengikuti pendapat ulama yang merupakan kelanjutan dari pendapat ulama terdahulu khususnya ulama madzahahibul arba’ah. Kedudukan dan fungsi ulama tersebut dilembagakan dalam struktur organisasi yang disebut syuriah.[10]
Konsep pemikiran keagaaman NU dituangkan dalam khittah 1926 yang menjadi dasar berfikir dan bertindak dalam pengambilan keputusan. Untuk lebih jelas, akan diuraikan berikut ini:


1.  Pengertian dan fungsi Khittah 1926
Khittah bagi NU merupakan landasan berpikir, bersikap dan bertindak bagi warga NU baik perseorangan maupun organisasi khususnya dalam pengembalian keputusan. Berdasarkan pengertian dan fungsi tersebut maka landasan gerak NU adalah faham Islam menurut ahli sunnah wal jama’ah.
Selanjutnya dasar faham keagamaan NU adalah sumber ajaran Islam ialah alquran dan sunnah Rasul, ijma’ dan qiyas. Pemahaman terhadap dasar keagamaan tersebut melalui  pendekatan:  
1.1.     Bidang aqidah, sesuai dengan pendekatan Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturibi.
1.2.     Bidang fiqih, dengan pendekatan empat imam madzab.
1.3.     Bidang Tasawuf, sesuai denganajaran Imam al Junaid al Bughdadi dan Imam al Ghozali.[11]
Sejalan dengan amanat kelahiran dan faham  keagamaan dalam NU, maka NU adalah ulama yang dilembagakan dalam pengurus syuriah. Oleh karena itu otoritas terhadap dinamika gerak organisasi NU.
Selanjutnya bagi NU agama Islam adalah  agama fitri yang mempunyai  fungsi menyempurnakan unsur-unsur kebaikan manusia. Oleh karena itu bagi NU, Islam harus berfungsi sebagai penyempurna nilai-nilai kebaikan yang ada pada suatu kelompok manusia dan suatu bangsa

2. Isi Khittah 1926
Secara garis besar isi Khittah 1926 yang merupakan prinsip gerak Nahdliyah terdiri dari:
2.1. Jiwa ikhlas dalam pengabdian dan perjuangan
2.2. Beramal berdasarkan faham ahli sunnah wal jama’ah
2.3. Menempatkan ulama sebagai pemimpin dalam wadah lembaga Syuriah
2.4. Semangat ukhuwah Islamiyah dan Nahdliyyah
2.5. Semangat nasionalisme (ukhuwah wathoniyyah) dan cinta tanah air.

3.      Kepribadian dan Sikap Sosial NU
Faham agama dan prinsip-prinsip khittah sebagaimana tersebut di atas, melahirkan prinsip-prinsip kepribadian Nahdliyyah dan sikap sosial warga Nahdliyah.
Selanjutnya pokok-pokok kepribadian Nahdliyyah secara garis besar merupakan kesatuan dari 7 khaslah berikut: (1) Tis’u (sembilan) Nahadlah (kebangkitan), (2) Pengawal kemurnian syariat islam, (3) Kepemimpinan ulama (NU sebagai lembaga ide ulama), (4) Percaya pada kekuatan spiritual, (5) Progressivitas (berorientasi pada kemajuan), (6) Organisasi sebagai media perjuangan, (7) Selalu membimbing generasi penerus.
a.       Khaslah pertama Tis’u Nahadlah
Dalam beberapa sumber Tis’u Nahadlah (Sembilan kebangkitan dijelaskan bahwa NU sebagai gerakan ahlus sunnah wal jama’ah diwujudkan melalui sembilan langkah kebangkitan yang terdiri dari langkah-langkah berikut ini:    
1.      Nahdlah Syari’ah (kebangkitan syari’at Islam) sebagai kelanjutan perjuangan wali songo dan membenarkan, meluruskan kekeliruan pemahaman Islam dan menghilangkan khurofat
2.      Nadhlah Ilmiyah (kebangkitan ilmu pengetahuan) dengan mendasarkan gerak perjuangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
3.      Nadhlah Tarbawiah (kebangkitan pendidikan  & pengajaran) dengan berusaha mendidik warga NU dan bangsa, membebaskan manusia dari kebodohan dan kebiadaban.
4.      Nahdlah Khuluqiah (kebangkitan budi pekerti) dengan menjadikan akhlaqul karimah sebagai dasar gerak NU.
5.      Nahdlah Akhowiyah (kebangkitan persaudaraan) dilakukan dengan menjalankan gerak perjuangan berdasarkan prinsip persaudaraan, kekeluargaan, kesetiakawanan, saling menolong dan menghapuskan permusuhan.
6.      Nahdlah Ta’awuniyah (kebangkitan tolong menolong) dilakukan dengan menjalankan gerak perjuangan berdasarkan prinsip tolong-menolong.
7.      Nahdlah Ijtima’iyah (kebangkitan hidup bermasyarakat) dengan menempatkan kepentingan sosial dan kepentingan umat dan kepentingan warga NU sebagai arah gerak perjuangan NU.
8.      Nahdlah Iqtishadiyah (kebangkitan kehidupan ekonomi) ditempuh dengan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi berdasarkan prinsip kesederhanaan, kejujuran, dan kemanfaatan tanpa kemubadziran.
9.      Nahdlah Umroniyah  (kebangkitan pembangunan dan kebajikan) dengan menempatkan pembangunan semua sektor kehidupan sebagai sarana takwa.[12]


b.   Khaslah kedua Pengawal Kemurnian Syari’at Islam
Prinsip kedua kepribadian NU menyatakan bahwa untuk mengawal kemurnian syari’at Islam tersebut, maka NU memandang bahwa sumber pokok memahami syariat Islam yang demikian adalah alquran  dan sunnah Rasul sesuai dengan faham ahlus sunnah wal jamaah.
Selanjutnya untuk  mewujudkan dan melaksanakan dasar pemahaman tersebut  ditempuh dengan jalan mengikuti pemahaman para ulama-ulama madzaahibul arba’ah.

c.   Khaslah ketiga NU sebagai Pelembagaan Ide Ulama
Prinsip kepribadian ketiga ini menyatakan bahwa NU merupakan lembaga atau organisasi yang menampung pemikiran para ulama dan merupakan wadah kegiatan untuk merealisasikan pemikiran tersebut. Oleh karena itu golongan ulama (syuriah) adalah pimpinan NU dalam beragama, dan berorganisasi.


d.  Khaslah keempat NU sebagai Kekuatan Spiritual
Berdasarkan prinsip keempat ini maka sikap ikhlas dalam berjuang dan beramal merupakan landasan sikap warga NU dan Organisasi NU. Prinsip tersebut melakukan sikap optimisme dan kebesaran jiwa dalam menghadapi setiap masalah dan hari depan.
Dengan demikian maka keberhasilan perjuangan NU dilihat dari aspek: (1) terbentuknya tata kehidupan masyarakat Islam ahlus sunnah wal jama’ah adil dan makmur yang diridhoi Allah Swt. (2) perolehan pahala dari Allah di hari akhir kelak

e.   Khaslah kelima Orientasi Progresivitas dan Kemajuan
Prinsip ini mendorong  NU selalu mengajak kepada warga dan masyarakat senantiasa berusaha memperoleh kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan beragama, kehidupan sosial ekonomi dan budaya.





f.    Khaslah keenam NU sebagai Media Perjuangan
Prinsip kepribadian keenam mendorong warga NU untuk menjadikan organisasi NU sebagai tempat berjuang, beramal dan mengabdi kepada Allah.

g.   Khaslah ketujuh NU: Pembimbing Generasi Penerus
Melalui prinsip ketujuh NU dan warganya selalu berusaha mendidik, membimbing generasi muda sehingga mampu memegang kepemimpinan dimasa depan. Secara internal maka NU selalu berusaha menciptakan kader-kader gerakan Nahdliyah sebagai satu keharusan. Kepribadian NU tersebut selanjutnya melahirkan prinsip-prinsip sikap sosial Nahdliyah.

4.      Prinsip-Prinsip Sikap Sosial Nahdliyah
Secara garis besar sikap sosial NU dapat dilukiskan dalam beberapa pokok  berikut ini:
a.       Tawassuth dan I’tidal. Prinsip sikap ini, adalah prinsip sikap jalan tengah dan adil. Berdasarkan prinsip tersebut NU harus bersifat membangun dan menghindari sikap ekstrem
b.      Tasamuh. Prinsip sikap tasamuh adalah bersikap toleran terhadap perbedaan pendapat dalam beragama, dalam kehidupan sosial dan budaya.
c.       Tawazun terdiri dari prinsip:  1) keserasian hubungan dengan Allah, manusia dan alam. 2) keselarasan hubungan antara kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa yag akan datang.
d.      Prinsip amar ma’ruf nahi munkar
Dengan menerapkan prinsip sikap sosial tersebut maka persyaratan hidup sosial yang diharapkan NU sebagaimana tersebut di bawah ini akan dapat terwujud.





5.      Syarat-syarat Kehidupan Sosial
Bagi NU hidup bermasyarakat adalah merupakan suatu kebutuhan dasar hidup manusia agar dengan demikian tujuan hidup manusia dapat diwujudkan.
Suatu tata kehidupan sosial seperti tersebut di atas dapat dicapai dengan menerapkan sikap tersebut di bawah  ini, sehingga terbentuk suatu kehidupan berdasarkan persaudaraan (ukhuwah),  persatuan dan kasih sayang yang harmonis.
Adapun landasan kehidupan demikian adalah:  1) persatuan,  2) memiliki ikatan batin di antara warga masyarakat, 3) sikap saling membantu, 4) kesetiakawanan sosial.

6.      Prinsip-prinsip Perilaku Sosial Keagamaan Nahdliyah.
Sesuai dengan landasan tata kehidupan sosial di atas, maka perilaku keagamaan dan sosial warga NU harus berdasarkan prinsip perilaku yaitu:
a.       Menjunjung tinggi ajaran Islam dalam hidup sosial
b.      Mendahulukan kepentingan bersama
c.       Menjunjung tinggi keikhlasan dalam berjuang
d.      Menjunjung tinggi persaudaraan (ukhuwah), persatuan dan kasih sayang
e.       Menjunjung tinggi akhlakul karimah
f.       Setia dan loyalitas yang tinggi kepada agama, bangsa dan negara
g.      Bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan dan sesuai dengan keahlian masing-masing
h.      Menyesuaikan diri terhadap setiap perubahan yang maslahat
i.        Bersifat kepeloporan dalam setiap  perkembangan masyarakat
j.        Kebersamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

7.      Lapangan Perjuangan Nahdliyyah
Nahdlatul Ulama sebagai jam‘iyyah menetapkan lapangan perjuangannya meliputi bidang: pendidikan, sosial (mabarrot), dakwah, pembinaan kepribadian warga dan bangsa, dan tasauf.

Selanjutnya tujuan perjuangan NU untuk masing-masing bidang tersebut di atas adalah sebagimana uruian berikut ini:
a.       Bidang pendidikan.
Dalam bidang ini kegiatan NU didasarkan pada pandangan NU tentang ilmu pengetahuan.  NU memandang bahwa ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu ilmu syariat (agama) dan ilmu umum yang merupakan hasil analisis manusia. Warga NU wajib mempelajari semua ilmu yang diperlukan dalam kehidupan baik melalui pondok ataupun sekolah modern.
b.      Bidang sosial (mabarrot)
Dalam bidang sosial, NU bekerja dan berjuang sehingga terwujud suatu tata kehidupan sosial yang mencerminkan khoirah umat. Khoirah umat adalah tata kehidupan yang dicapai berdasar prinsip mabadi’ khoirah  umat yang terdiri dari ash shidqu (selalu bertindak benar), al amaanah (dapat dipercaya), at ta’awun (tolong menolong)
c.       Bidang dakwah.
Pelakasanaan tugas dakwah dilakukan dengan prinsip: lemah lembut, lapang dada dan pemaaf, do’a dan tawakkal.
d.      Pembinaan warga dan bangsa.
Bidang ini ditempuh NU dengan mengembangkan lima pokok kepribadian yaitu, takwa, Islam secara murni sesuai dengan faham Aswaja, ikhlas berjuang di bawah pimpinan ulama, jujur, adil dan dapat dipercaya, ramah, pemaaf, sopan santun dan pembimbing.
e.       Bidang tasauf
Tasauf bagi  NU adalah pembimbing jiwa dan hati dengan menempatkan dari pada sifat kehambaan dihadapan Allah. Manusia perlu dibimbing untuk mengenal hakekat dirinya sebagai hamba yang selalu diarahkan kepada Allah. Untuk itu perlu dikembangkan suatu kepribadian sesuai dengan pokok-pokok ajaran tasauf yang terdiri dari 10 kualitas jiwa (maqam). Sepuluh  maqam jiwa itu adalah: taubat, wara’, zuhud, sabar, yang dikembangkan sikap: mahabbah, syauq, unsu, qurbun, haya’, sabar, wushul, dan qana’ah.

f.       Strategi gerakan Nahdlyiah.
Selanjutnya dalam mencapai cita-cita di atas ditetapkan berbagai usaha yang perlu dilakukan ialah: silaturrahmi dan komunikasi antar ulama, peningkatan pendidikan dan pengkajian ilmu pengetahuan, peningkatan penyiaran islam dan pembangunan sarana ibadah dan layanan sosial.

D.    Penutup
NU adalah organisasi sosial keagamaan dengan segala dinamika, baik dalam bentuk pemikiran, maupun aksi-aksinya selalu menarik perhatian publik Indonesia dari lapisan masyarakat paling bawah (grass root), hingga menengah ke atas, seperti para pemikir, pengamat, birokrasi dan peneliti. Sejalan dengan hal ini, muncul komentar maupun pandangan tentang organisasi ini. Komentar yang agak menggelitik warga NU adalah tuduhan yang menyatakan bahwa NU sebagai organisasi yang oportunis dan akomodasionis.
Disisi lain, terutama dilingkungan warga NU, muncul kritikan dalam hal tertentu berupa gugatan tentang efektivitas konsep khittah 1926. NU sebagai organisasi kemasyarakatan banyak memberikan konstribusi pemikiran ke-Islaman bagi masyarakat Islam, terutama dalam konsep hidup dan penjuangan serta pembangunan bangsa dan negara di Indonesia. Hal ini terbukti hingga saat ini masih eksis keberadaan dan masih turut serta dalam menempati posisi disegala bidang kehidupan manusia, baik secara individual, berkelompok, berbangsa dan bernegara.
Demikian hal ini untuk dapat kita cermati sebagai salah satu ormas Islam yang memliki andil yang sangat besar dalam perjuangan sejak zaman penjajahan hingga zaman kemerdekaan dan pembangunan.


DAFTAR BACAAN

Abdul Aziz Taba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Abu Bakar Atjeh (Ed), Sejarah Hidup K.H.A.Wachid Hasyim dan Karangan Tersiar, Panitia Buku Peringatan, Jakarta, 1957

Abu Bakar ad-Dimyati, I’anah at-Talihin, juz IV, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, al-Qahirah, tt

Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kiai Wahab Chasbullah, Penerbit Baru, Bandung, 1970,

Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta, Sipress, 1993

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia,Gramedia, Jakarta, 1986

Mahrus Irsyam, Ulama dan Politik Upaya mengatasi Krisis, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984

Anonim, Ahkam al-Fuqaha, Thoa Putra, Semarang, 1960

Abdurrahman Wahid “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia dewasa ini”. Prisma no 4 April 1984

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,, LP3ES,Jakarta, 1980

M.Ali Haidar, Nhdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, PT. Gramedia Utama,Jakarta, 1994

Mahrus Irsyam, Ulama dan Politik Upaya mengatasi Krisis, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984,

Martin Van Bruinessen, NU  Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,LKS Yogyakarta, 1994

Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

           





























1 Martin, NU  Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta, LKS, 1994),  h. 26
2 M.Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Gramedia Utama,1994), h. 314
3 Ibid, h. 315.
4 Ibid, h. 320.
5 Lihat, Abu Bakar ad-Dimyati, I’anah at-Talihin, juz IV, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, al-Qahirah, tt, h.180-184
6 Ibid, . 185.
7 Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kiai Wahab Chasbullah, (Bandung, Penerbit Baru,1970), h. 24-34.
8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta, LP3ES, 1980), h. 241-250
9 Dalam Kongres Pertama tersebut, Indonesia diwakili oleh HOS. Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah).
[10] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta, Sipress, 1993), h. 148.
[11] Ibid, h. 149.
[12] Ibid, h. 150.

0 komentar:

Post a Comment