A. Pendahuluan
Nahdlatul
Ulama (NU) adalah sebuah organisasi masyarakat, bukan hanya di Indonesia tetapi
juga di seluruh dunia muslim. Ia adalah sebuah organisasi ulama tradisional
yang mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya, organisasi non pemerintahan ini
yang paling besar yang masih bertahan dan melingkar dikalangan bawah. ia mewakili
paling tidak dua puluh juta muslim, yang meski tidak seluruhnya resmi menjadi
anggota, akan tetapi merasa terikat
kepadanya melalui kesetiaan-kesetiaan primordial.
Di sebuah
daerah yang dilanda kecenderungan kuat kearah pemusatan, NU merupakan
organisasi paling signifikan yang
sangat terdesentralisasi. Berbicara
tentang NU artinya membicarakan suatu organisasi sosial keagamaan terbesar di
Indonesia. Visi dan misi serta perjuangan NU baik sebelum kemerdekaan maupun
setelah kemerdekaan RI telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap RI
ini. Sehingga tidak heran warga NU, menjadi basis perebutan bagi partai-partai
politik yang ada di Indonesia,
setelah NU kembali perjuangan semula atau kembali ke khittah 1926. untuk
mengetahui bagaimana pemikiran dan
perjuangan NU di bidang agama akan dikemukakan dimakalah yang singkat ini.
B. Latar Belakang Lahirnya NU
Seringkali
dinyatakan bahwa NU dilahirkan oleh kiai tradisional yang mengasingkan posisi
mereka terancam dengan munculnya Islam reformis yaitu pengaruh Muhammadiyah dan
serikat Islam yang semakin luas, demikian menurut pendapat ini, telah memarginalisasikan kiai, yang sebelumnya
merupakan satu-satunya pemimpin serta juru bicara komunitas muslim, dan ajaran
kaum pembaharu yang sangat melemahkan legitimasi mereka.1
Kelahiran NU
melalui suatu proses yang sangat panjang sebelumnya. Bermula dari munculnya
gerakan nasionalisme yang ditandai dengan berdirinya Serikat Islam (SI) telah
mencetak beberapa pemuda alumni pesantren yang bermukim di Makkah untuk
mendirikan cabang perhimpunan itu di sana. Sebelum sempat berkembang mereka
segera kembali ke tanah air karena pecah perang dunia ke-II. Namun rencana
mereka masih tetap melanjutkan setelah mereka menetap di tanah air. Mereka
mendirikan Nahdatul Wathan (1914), Taswir al-Askar (1918). Setelah itu di Surabaya didirikan penghimpunan lokal yang
serupa antara lain adalah Perikatan
Wataniyah Ta’mir al-Masajid dan Atta’dibiyah.2
Ketegangan
dalam kongres al-Islam sepanjang paruh pertama tahun dua puluhan dan berlanjut
dalam sidang-sidang komite khilafat,
telah mendorong penghimpunan lokal di Surabaya itu turut serta mendirikan organisasi baru yang luas
dan berskala nasional. Mereka menilai perhimpunan-perhimpunan umat Islam yang
ada maupun kongres al-Islam sendiri tidak bersikap akomodatif terhadap visi
yang mereka coba kembangkan. Kemudian ketegangan tersebut berlanjut setelah
delegasi yang dikirim ke kongres Makkah pada tahun 1926 ternyata mengabaikan
kepentingan-kepentingan yang mereka kembangkan. Mereka kemudian mengirimkan
delegasi sendiri ke Makkah. Untuk kepentingan itu mereka mendirikan perhimpunan
baru NU.3
Namun
peristiwa itu hanyalah lintasan proses sejarah dari suatu pergumulan sosial kultural
yang panjang. Lembaga pendidikan pesantren yang dikembangkan para ulama telah
merintis arah dengan visi keagamaan yang kuat. Jika kemudian mereka membentuk
ikatan sosial yang lebih formal, tujuan pokoknya adalah seperti lembaga pesantren itu, yaitu ingin
menegakkan kalimah Allah. Visi ini kemudian dikemangkan dengan rumusan yang
lebih operasional yang disebut jihad fi sabilillah.4
Jihad
mengandung arti yang sangat luas. Dalam arti yang ekstrem jihad berarti perang, tetapi juga berarti, hal-hal dalam
keseharian serta menjawab salam atau merawat jenazah.5
Jihad sebagai kewajiban kolektif (kifayah)
bukanlah tujuan, melainkan instrumen atau wasilah. Tujuan perang pada
hakikatnya adalah menyampaikan petunjuk, karena hal itu jika dapat dilakukan
dengan cara lain yang resiko negatifnya lebih kecil dan manfaatnya jauh lebih
besar, seperti dengan cara persuasif, pendidikan, atau perbaikan ekonomi, lebih
baik dilakukan tanpa perang.6
Dalam konteks
ini dapat dipahami perjalanan NU selanjutnya. Melalui pesantren para ulama
mengemban tugas melaksanakan jihad untuk menegakkan kalimah Allah. Setelah dirasakan perlunya
mengembangkan lembaga tradisional ini dan kultural yang telah hidup di tengah
masyarakat ke arah bentuk yang lebih formal dengan visi yang lebih luas, maka
didirikan organisasi keagamaan sebagai tugas untuk mengantisipasi tugas
tersebut. NU merupakan salah satu wujud dari upaya itu. Di mulai dari pesantren
para ulama muda, pesantren merintis kegiatan-kegiatan mereka. Dari perhimpunan
keagamaan seperti Nahdlatul Wathan, Taswir al-Afkar kemudian NU (Nahdlatul
Ulama). Hanya satu cita-cita mereka adalah untuk merencanakan tanah air
merdeka,7 dan cita-cita untuk menempatkan
syari’ah sebagai bagian hidup dari kebangsaan.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa motif pertama
yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU adalah motif keagamaan sebagai Jihad
fi sabilillah. Kedua, adanya rasa tanggung jawab untuk mengembangkan
pemikiran keagamaan yang ditandai dengan pelestarian ajaran mazhab Syafi’i. Ini
berarti tidak statis, tidak berkembang, sebab pengembangan yang dilakukan
berfokus pada kesejahteraan sehingga pemikiran yang dikembangkan itu memiliki
konteks sejarah. Ketiga, dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan
pendidikan sosial dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan pembentukan Nahdlatul
Watahn, Taswir al-Afkar, Nahdlatul Tujjar, dan Ta’mir al-Masajid sedangkan
yang keempat adalah motif politik yang ditandai dengan semangat nasionalisme
ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI di Makkah serta obsesi hari depan
tanah air merdeka bagi umat Islam.
Selain latar
belakang di atas, sumber lain mengatakan kelahiran NU sebagai reaksi atas
pembaharuan pemikiran Islam di Jawa, dengan sebab ini berdirlah NU pada tahun 1926.
adapun sebab-sebab berdirinya organisasi
ini sekurang-kurangnya ada dua,8 yaitu: pertama, seruan terhadap penguasa Arab
Saudi, Ibnu Saud, untuk meninggalkan kebiasaan beragama menurut tradisi.
Golongan tradisi ini tidak menyukai Wahabisme
yang sedang berkembang di Hijaz, karena itu mereka membentuk komite Hijaz yang
kemudian berubah menjadi Nahdlatul Ulama dalam sebuah rapat di Surabaya pada
tanggal 31 Januari 1926.
Adanya sebab
kedua, adalah ketika itu pembaharuan Islam di Jawa sedang giat-giatnya yang dipelopori
oleh Muhammadiyah dan Persis dengan pimpinan tiga tokoh yaitu, KH.Mas Mansur,
Fakih Hasyim dan KH.Ahmad Dahlan. Selama ini pemikiran golongan tradisi selalu
bertentangan dengan golongan pembaharu, seperti dalam pengucapan ushalli
dan kurikulum pengajaran sekolah. Apalagi yang mewakili umat Islam Indonesia
dalam kongres Islam pertama di Makkah adalah dari golongan pembaharu.9
Demikianlah
beberapa historis latar belakang berdirinya NU sebagai organisasi sosial
keagamaan di Indonesia, yang dalam sejarah perjalanan pernah menjadi partai
politik, lalu kembali ke khittah 1926, sampai sekarang. Sekalipun pada masa
reformasi membidangi lahirnya beberapa partai politik Islam, namun NU tetap
menjadi organisasi sosial keagamaan dan tidak menjadi partai politik.
C. Studi Pemikiran Keagamaan NU
Bagi NU, kekuasaan identik dengan syariat dan hanya ulama yang representative untuk menterjemahkan dan
memimpin realisasi syariat dalam kehidupan sosial. Pandangan tersebut
menempatkan ulama sebagai pimpinan tertinggi.
Ulama bagi NU menduduki posisi sentral karena ia memiliki fungsi-fungsi
pengelola, pengendali dan pembimbing organisasi dan panutan bagi warga. Fungsi
dan kedudukan ulama secara demikian merupakan konsekuensi pemahaman agama
dikalangan NU. Faham agama tersebut menyatakan bahwa alquran dan sunnah, qiyas
dan ijma’ adalah dasar dan sumber ajaran Islam.
Pemahaman terhadap dasar dan sumber ajaran Islam tersebut dilakukan
dengan cara memahami dan mengikuti pendapat ulama yang merupakan kelanjutan
dari pendapat ulama terdahulu khususnya ulama madzahahibul arba’ah. Kedudukan dan fungsi ulama tersebut
dilembagakan dalam struktur organisasi yang disebut syuriah.[10]
Konsep pemikiran keagaaman NU dituangkan dalam khittah 1926 yang menjadi
dasar berfikir dan bertindak dalam pengambilan keputusan. Untuk lebih jelas,
akan diuraikan berikut ini:
1. Pengertian dan fungsi Khittah 1926
Khittah bagi NU merupakan landasan berpikir, bersikap dan bertindak bagi
warga NU baik perseorangan maupun organisasi khususnya dalam pengembalian
keputusan. Berdasarkan pengertian dan fungsi tersebut maka landasan gerak NU
adalah faham Islam menurut ahli sunnah
wal jama’ah.
Selanjutnya dasar faham keagamaan NU adalah sumber ajaran Islam ialah alquran
dan sunnah Rasul, ijma’ dan qiyas. Pemahaman terhadap dasar keagamaan tersebut
melalui pendekatan:
1.1.
Bidang aqidah, sesuai dengan pendekatan Abu Hasan al Asy’ari
dan Abu Manshur al Maturibi.
1.2.
Bidang fiqih, dengan pendekatan empat imam madzab.
1.3.
Bidang Tasawuf, sesuai denganajaran Imam al Junaid al
Bughdadi dan Imam al Ghozali.[11]
Sejalan dengan amanat kelahiran dan faham
keagamaan dalam NU, maka NU adalah ulama yang dilembagakan dalam
pengurus syuriah. Oleh karena itu otoritas terhadap dinamika gerak organisasi
NU.
Selanjutnya bagi NU agama Islam adalah
agama fitri yang mempunyai fungsi
menyempurnakan unsur-unsur kebaikan manusia. Oleh karena itu bagi NU, Islam
harus berfungsi sebagai penyempurna nilai-nilai kebaikan yang ada pada suatu
kelompok manusia dan suatu bangsa
2. Isi Khittah 1926
Secara garis besar isi Khittah 1926 yang merupakan prinsip gerak
Nahdliyah terdiri dari:
2.1. Jiwa ikhlas
dalam pengabdian dan perjuangan
2.2. Beramal
berdasarkan faham ahli sunnah wal jama’ah
2.3. Menempatkan
ulama sebagai pemimpin dalam wadah lembaga Syuriah
2.4. Semangat ukhuwah
Islamiyah dan Nahdliyyah
2.5. Semangat
nasionalisme (ukhuwah wathoniyyah) dan
cinta tanah air.
3. Kepribadian dan Sikap Sosial NU
Faham agama dan prinsip-prinsip khittah sebagaimana tersebut di atas,
melahirkan prinsip-prinsip kepribadian Nahdliyyah
dan sikap sosial warga Nahdliyah.
Selanjutnya pokok-pokok kepribadian Nahdliyyah
secara garis besar merupakan kesatuan dari 7 khaslah berikut: (1) Tis’u (sembilan)
Nahadlah (kebangkitan), (2) Pengawal
kemurnian syariat islam, (3) Kepemimpinan ulama (NU sebagai lembaga ide ulama),
(4) Percaya pada kekuatan spiritual, (5) Progressivitas
(berorientasi pada kemajuan), (6) Organisasi sebagai media perjuangan, (7)
Selalu membimbing generasi penerus.
a.
Khaslah pertama Tis’u Nahadlah
Dalam beberapa sumber Tis’u
Nahadlah (Sembilan kebangkitan dijelaskan bahwa NU sebagai gerakan ahlus sunnah wal jama’ah diwujudkan
melalui sembilan langkah kebangkitan yang terdiri dari langkah-langkah berikut
ini:
1.
Nahdlah Syari’ah
(kebangkitan syari’at Islam) sebagai kelanjutan perjuangan wali songo dan
membenarkan, meluruskan kekeliruan pemahaman Islam dan menghilangkan khurofat
2.
Nadhlah Ilmiyah
(kebangkitan ilmu pengetahuan) dengan mendasarkan gerak perjuangan sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
3.
Nadhlah Tarbawiah
(kebangkitan pendidikan &
pengajaran) dengan berusaha mendidik warga NU dan bangsa, membebaskan manusia
dari kebodohan dan kebiadaban.
4.
Nahdlah Khuluqiah
(kebangkitan budi pekerti) dengan menjadikan akhlaqul karimah sebagai dasar gerak NU.
5.
Nahdlah Akhowiyah
(kebangkitan persaudaraan) dilakukan dengan menjalankan gerak perjuangan
berdasarkan prinsip persaudaraan, kekeluargaan, kesetiakawanan, saling menolong
dan menghapuskan permusuhan.
6.
Nahdlah Ta’awuniyah
(kebangkitan tolong menolong) dilakukan dengan menjalankan gerak perjuangan
berdasarkan prinsip tolong-menolong.
7.
Nahdlah Ijtima’iyah
(kebangkitan hidup bermasyarakat) dengan menempatkan kepentingan sosial dan
kepentingan umat dan kepentingan warga NU sebagai arah gerak perjuangan NU.
8.
Nahdlah Iqtishadiyah
(kebangkitan kehidupan ekonomi) ditempuh dengan meningkatkan taraf kehidupan
ekonomi berdasarkan prinsip kesederhanaan, kejujuran, dan kemanfaatan tanpa
kemubadziran.
9.
Nahdlah Umroniyah (kebangkitan pembangunan dan kebajikan)
dengan menempatkan pembangunan semua sektor kehidupan sebagai sarana takwa.[12]
b. Khaslah kedua Pengawal Kemurnian Syari’at
Islam
Prinsip kedua kepribadian NU menyatakan bahwa untuk mengawal kemurnian
syari’at Islam tersebut, maka NU memandang bahwa sumber pokok memahami syariat Islam
yang demikian adalah alquran dan sunnah
Rasul sesuai dengan faham ahlus sunnah wal
jamaah.
Selanjutnya untuk mewujudkan dan
melaksanakan dasar pemahaman tersebut
ditempuh dengan jalan mengikuti pemahaman para ulama-ulama madzaahibul arba’ah.
c. Khaslah
ketiga NU sebagai Pelembagaan Ide Ulama
Prinsip kepribadian ketiga ini menyatakan bahwa NU merupakan lembaga atau
organisasi yang menampung pemikiran para ulama dan merupakan wadah kegiatan
untuk merealisasikan pemikiran tersebut. Oleh karena itu golongan ulama (syuriah) adalah pimpinan NU dalam
beragama, dan berorganisasi.
d. Khaslah
keempat NU sebagai Kekuatan Spiritual
Berdasarkan prinsip keempat ini maka sikap ikhlas dalam berjuang dan
beramal merupakan landasan sikap warga NU dan Organisasi NU. Prinsip tersebut
melakukan sikap optimisme dan kebesaran jiwa dalam menghadapi setiap masalah
dan hari depan.
Dengan demikian maka keberhasilan perjuangan NU dilihat dari aspek: (1)
terbentuknya tata kehidupan masyarakat Islam ahlus sunnah wal jama’ah adil dan makmur yang diridhoi Allah Swt. (2)
perolehan pahala dari Allah di hari akhir kelak
e. Khaslah
kelima Orientasi Progresivitas dan Kemajuan
Prinsip ini mendorong NU selalu
mengajak kepada warga dan masyarakat senantiasa berusaha memperoleh kemajuan dibidang
ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan beragama, kehidupan sosial ekonomi
dan budaya.
f.
Khaslah keenam NU sebagai Media Perjuangan
Prinsip kepribadian keenam mendorong warga NU untuk menjadikan organisasi
NU sebagai tempat berjuang, beramal dan mengabdi kepada Allah.
g. Khaslah
ketujuh NU: Pembimbing Generasi Penerus
Melalui prinsip ketujuh NU dan warganya selalu berusaha mendidik,
membimbing generasi muda sehingga mampu memegang kepemimpinan dimasa depan.
Secara internal maka NU selalu berusaha menciptakan kader-kader gerakan Nahdliyah sebagai satu keharusan. Kepribadian
NU tersebut selanjutnya melahirkan prinsip-prinsip sikap sosial Nahdliyah.
4. Prinsip-Prinsip Sikap Sosial Nahdliyah
Secara garis besar sikap sosial NU dapat dilukiskan dalam beberapa
pokok berikut ini:
a.
Tawassuth
dan I’tidal. Prinsip sikap ini,
adalah prinsip sikap jalan tengah dan adil. Berdasarkan prinsip tersebut NU
harus bersifat membangun dan menghindari sikap ekstrem
b.
Tasamuh.
Prinsip sikap tasamuh adalah bersikap
toleran terhadap perbedaan pendapat dalam beragama, dalam kehidupan sosial dan
budaya.
c.
Tawazun
terdiri
dari prinsip: 1) keserasian hubungan
dengan Allah, manusia dan alam. 2) keselarasan hubungan antara kepentingan masa
lalu, masa kini, dan masa yag akan datang.
d.
Prinsip amar ma’ruf nahi munkar
Dengan menerapkan prinsip sikap sosial
tersebut maka persyaratan hidup sosial yang diharapkan NU sebagaimana tersebut
di bawah ini akan dapat terwujud.
5. Syarat-syarat Kehidupan Sosial
Bagi NU hidup bermasyarakat adalah merupakan suatu kebutuhan dasar hidup
manusia agar dengan demikian tujuan hidup manusia dapat diwujudkan.
Suatu tata kehidupan sosial seperti tersebut di atas dapat dicapai dengan
menerapkan sikap tersebut di bawah ini,
sehingga terbentuk suatu kehidupan berdasarkan persaudaraan (ukhuwah), persatuan dan kasih sayang yang harmonis.
Adapun landasan kehidupan demikian adalah: 1) persatuan,
2) memiliki ikatan batin di antara warga masyarakat, 3) sikap saling
membantu, 4) kesetiakawanan sosial.
6. Prinsip-prinsip Perilaku Sosial
Keagamaan Nahdliyah.
Sesuai dengan landasan tata kehidupan sosial di atas, maka perilaku
keagamaan dan sosial warga NU harus berdasarkan prinsip perilaku yaitu:
a.
Menjunjung tinggi ajaran Islam dalam hidup sosial
b.
Mendahulukan kepentingan bersama
c.
Menjunjung tinggi keikhlasan dalam berjuang
d.
Menjunjung tinggi persaudaraan (ukhuwah), persatuan dan kasih sayang
e.
Menjunjung tinggi akhlakul
karimah
f.
Setia dan loyalitas yang tinggi kepada agama, bangsa
dan negara
g.
Bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan dan sesuai dengan
keahlian masing-masing
h.
Menyesuaikan diri terhadap setiap perubahan yang maslahat
i.
Bersifat kepeloporan dalam setiap perkembangan masyarakat
j.
Kebersamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
7. Lapangan Perjuangan Nahdliyyah
Nahdlatul Ulama sebagai jam‘iyyah menetapkan lapangan
perjuangannya meliputi bidang: pendidikan, sosial (mabarrot), dakwah, pembinaan kepribadian warga dan bangsa, dan tasauf.
Selanjutnya tujuan perjuangan NU untuk masing-masing bidang tersebut di
atas adalah sebagimana uruian berikut ini:
a.
Bidang pendidikan.
Dalam bidang ini kegiatan NU didasarkan pada pandangan NU tentang ilmu
pengetahuan. NU memandang bahwa ilmu
dapat dibagi menjadi dua yaitu ilmu syariat
(agama) dan ilmu umum yang merupakan hasil analisis manusia. Warga NU wajib
mempelajari semua ilmu yang diperlukan dalam kehidupan baik melalui pondok
ataupun sekolah modern.
b.
Bidang sosial (mabarrot)
Dalam bidang sosial, NU bekerja dan berjuang sehingga terwujud suatu tata
kehidupan sosial yang mencerminkan khoirah
umat. Khoirah umat adalah tata
kehidupan yang dicapai berdasar prinsip mabadi’
khoirah umat yang terdiri dari ash shidqu (selalu bertindak benar), al amaanah (dapat dipercaya), at ta’awun (tolong menolong)
c.
Bidang dakwah.
Pelakasanaan tugas dakwah dilakukan dengan prinsip: lemah lembut, lapang
dada dan pemaaf, do’a dan tawakkal.
d.
Pembinaan warga dan bangsa.
Bidang ini ditempuh NU dengan mengembangkan lima pokok kepribadian yaitu,
takwa, Islam secara murni sesuai dengan faham Aswaja, ikhlas berjuang di bawah pimpinan ulama, jujur, adil dan
dapat dipercaya, ramah, pemaaf, sopan santun dan pembimbing.
e.
Bidang tasauf
Tasauf bagi NU adalah pembimbing
jiwa dan hati dengan menempatkan dari pada sifat kehambaan dihadapan Allah.
Manusia perlu dibimbing untuk mengenal hakekat dirinya sebagai hamba yang
selalu diarahkan kepada Allah. Untuk itu perlu dikembangkan suatu kepribadian
sesuai dengan pokok-pokok ajaran tasauf yang terdiri dari 10 kualitas jiwa (maqam). Sepuluh maqam jiwa
itu adalah: taubat, wara’, zuhud, sabar,
yang dikembangkan sikap: mahabbah, syauq,
unsu, qurbun, haya’, sabar, wushul, dan qana’ah.
f.
Strategi gerakan Nahdlyiah.
Selanjutnya dalam mencapai cita-cita di atas ditetapkan berbagai usaha
yang perlu dilakukan ialah: silaturrahmi dan komunikasi antar ulama, peningkatan
pendidikan dan pengkajian ilmu pengetahuan, peningkatan penyiaran islam dan pembangunan
sarana ibadah dan layanan sosial.
D. Penutup
NU adalah organisasi sosial keagamaan dengan segala dinamika, baik dalam
bentuk pemikiran, maupun aksi-aksinya selalu menarik perhatian publik Indonesia
dari lapisan masyarakat paling bawah (grass
root), hingga menengah ke atas, seperti para pemikir, pengamat, birokrasi
dan peneliti. Sejalan dengan hal ini, muncul komentar maupun pandangan tentang organisasi
ini. Komentar yang agak menggelitik warga NU adalah tuduhan yang menyatakan
bahwa NU sebagai organisasi yang oportunis
dan akomodasionis.
Disisi lain, terutama dilingkungan warga NU, muncul kritikan dalam hal
tertentu berupa gugatan tentang efektivitas konsep khittah 1926. NU sebagai
organisasi kemasyarakatan banyak memberikan konstribusi pemikiran ke-Islaman
bagi masyarakat Islam, terutama dalam konsep hidup dan penjuangan serta
pembangunan bangsa dan negara di Indonesia. Hal ini terbukti hingga saat ini
masih eksis keberadaan dan masih turut serta dalam menempati posisi disegala
bidang kehidupan manusia, baik secara individual, berkelompok, berbangsa dan
bernegara.
Demikian hal ini untuk dapat kita cermati sebagai salah satu ormas Islam
yang memliki andil yang sangat besar dalam perjuangan sejak zaman penjajahan
hingga zaman kemerdekaan dan pembangunan.
DAFTAR BACAAN
Abdul Aziz Taba, Islam
dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, 1996
Abu Bakar Atjeh (Ed), Sejarah
Hidup K.H.A.Wachid Hasyim dan Karangan Tersiar, Panitia Buku Peringatan,
Jakarta, 1957
Abu Bakar ad-Dimyati,
I’anah at-Talihin, juz IV, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, al-Qahirah, tt
Abdul Halim, Sejarah
Perjuangan Kiai Wahab Chasbullah, Penerbit Baru, Bandung, 1970,
Abdul
Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual
Muslim, Yogyakarta, Sipress, 1993
Alfian, Pemikiran dan
Perubahan Politik di Indonesia,Gramedia, Jakarta, 1986
Mahrus Irsyam, Ulama dan
Politik Upaya mengatasi Krisis, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984
Anonim, Ahkam al-Fuqaha,
Thoa Putra, Semarang, 1960
Abdurrahman Wahid
“Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia dewasa ini”. Prisma no 4 April 1984
Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942,, LP3ES,Jakarta, 1980
M.Ali Haidar, Nhdlatul
Ulama dan Islam di Indonesia, PT. Gramedia Utama,Jakarta, 1994
Mahrus Irsyam, Ulama dan
Politik Upaya mengatasi Krisis, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984,
Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana
Baru,LKS Yogyakarta, 1994
Einar Martahan Sitompul,
NU dan Pancasila,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996
2 M.Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan
Islam di Indonesia, (Jakarta, PT.
Gramedia Utama,1994), h. 314
3 Ibid, h. 315.
4 Ibid, h. 320.
5 Lihat, Abu Bakar ad-Dimyati, I’anah
at-Talihin, juz IV, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, al-Qahirah, tt,
h.180-184
6 Ibid, . 185.
7 Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kiai
Wahab Chasbullah, (Bandung, Penerbit Baru,1970), h. 24-34.
8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, (Jakarta, LP3ES, 1980), h. 241-250
9 Dalam Kongres Pertama tersebut,
Indonesia diwakili oleh HOS. Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah).
[10]
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma
Intelektual Muslim, (Yogyakarta, Sipress, 1993), h. 148.
[11]
Ibid, h. 149.
[12]
Ibid, h. 150.
0 komentar:
Post a Comment