Pages

Wednesday, October 28, 2015

ETIKA MENJADI PEMIMPIN Oleh: Edi Sucipno



ETIKA MENJADI PEMIMPIN
Oleh: Edi Sucipno


Pendahuluan
Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut, karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.
Menurut Islam pemimpin adalah ”bayangan” Allah Swt di muka bumi. Enam puluh tahun di bawah pemimpin congkak, lebih baik daripada semalam tanpa pemimpin. Wajar jika kemudian para ulama sepakat bahwa pengangkatan pemimpin bagi kaum muslim adalah wajib syar’i.[1]
Mayoritas ulama menyatakan bahwa al-Islam huwa al-din wa aldaulah (Islam adalah agama dan negara). Al-Ghazali melukiskan hubungan antara agama dan kekuasaan politik sebagai berikut: ”Sultan (kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat.[2]
Inilah sebenarnya tujuan Rasul. Jadi wajib adanya imam merupakan kewajiban agama yang tidak ada jalan untuk meninggalkanya. Para pemikir politik seperti Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam al- Sulthaniyah, Ibn Taimiyah dalam al- Siyasah al-Syar’iyah, Yusuf Qardlawy dalam Fiqh al-Daulah dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam al-Khilafah au al-Imamah al- ’Udhma juga berpendapat serupa.
Hal tersebut di atas menjelaskan bahwa dalam Islam seorang pemimpin sangat penting adanya, untuk menjalankan misi agama baik terkait dengan individu, kelompok, masyarakat dan Negara. Oleh karenanya setiap kita harus termotivasi menjadi pemimpin, kendati hal tersebut merupakan tugas yang sangat berat.
Namun, jika kita memahami ayat alqur’an yang menyatakan bahwa pada proses awal penciptaan manusia, tidak lain adalah sebagai khalifah (pemimpin), sebagaimana firman Allah Swt

Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."[3]

Di samping itu hadis Rasulullah Saw yang menyatakan: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban”[4], yang menjadi dasar bahwa menjadi pemimpin sebenarnya sangat berat. Untuk itu, ketika seseorang sudah menjadi pemimpin, setidaknya ia harus tahu apa tugas dan tanggungjawabnya atau hak dan kewajiban yang harus ia perbuat, sebagai wujud dari amanah yang diberikan kepadanya.
Untuk lebih jelas kita memahami bagaimana seharusnya seorang pemimpin jika ia mau berbuat dan bertindak dalam mengambil keputusan. Hal ini terkait dengan etika menjadi seorang pemimpin, akan diuraikan lebih lanjut pada makalah ini.

 Etika Menjadi Pemimpin
Siapakah sebenarnya orang yang berhak untuk menjadi seorang pemimpin (pemimpin/gubernur/bupati) dalam pandangan Islam? Terdapat beberapa ayat alqur’an dan hadis yang telah menunjukkan secara jelas kriteria seorang pemimpin.
Allah Swt berfirmanArtinya:
mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram[5] jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka. Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah Swt menyukai orang-orang yang adil.[6]

Ayat tersebut di atas, menjelaskan bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang mampu memberi manfaat bagi orang-orang yang dipimpinya. Begitu pula sebaliknya, kalau hendak menjadi pemimpin, ia harus berani tampil ke depan, memberi contoh dalam ucapan dan perbuatan, menjadi pembangkit semangat serta meningkatkan kemauan di tengah-tengah mereka, mengikuti dan mengarahkan aspirasi serta tindakan yang dipimpin.
Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: 

Artinya:
Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.[7]

Jadi seorang pemimpin yang diharapkan Islam adalah seseorang yang di dalam dirinya mengandung unsur kebenaran, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan.
Berkaitan dengan kriteria seorang pemimpin, Abu al-Hasan al-Mawardi memberikan tujuh syarat. Pertama, keadilan (al-’adalah) atas syarat yang menyeluruh. Kedua, memiliki pengetahuan yang memungkinkan untuk berusaha keras (ijtihad) dalam berbagai persoalan termasuk hukum. Ketiga, sehat indranya, baik pendengaran, penglihatan, dan lisan agar dapat secara benar apa yang didapatinya. Keempat, sehat anggota badannya dari berbagai kekurangan yang dapat menghambat dari kegiatan dan kecepatan bertindak. Kelima, kreatif dalam mengatur rakyat dan mengupayakan kebaikan. Keenam, memiliki keberanian dan keteguhan untuk memelihara dari berbagai hambatan, termasuk serangan musuh, dan Ketujuh nasab Quraisy, karena dalil yang disepakati ”al-aimmatu min Quraisy”.[8]
Untuk syarat yang terakhir, oleh Ibn Khaldun ditafsirkan secara kontekstual, yang lebih menekankan pada kualifikasi, kapabilitas dan kompetensinya.[9]
Berdasarkan kreteria di atas, bahwa pemimpin yang dikehendaki saat ini adalah pemimpin yang secara sejati memancarkan wibawa karena memiliki komitmen, integritas, dan kapabilitas yang memadai. Pemimpin yang kita butuhkan sekarang adalah pemimpin yang amanah, fathanah, dan shidiq, serta santun kepada rakyat.[10]
Dalam Islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut, di antaranya sebagai berikut:
1.      Niat yang Lurus.
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2.      Laki-Laki.
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah S
aw bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
3.      Tidak Meminta Jabatan.
Tugas pemimpin adalah sangat berat. Sehingga tentang persoalan ini, Rasul pun sudah mewanti-wanti agar umat Islam tidak meminta jabatan: Rasullullah Saw bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu, ”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Meskipun harus kita akui, pemahaman tekstual hadis ini pada saat sekarang, mungkin kurang populer. Sedangkan bagi masyarakat Indonesia yang memiliki hak untuk memilih pemimpin akan dapat menjadikan acuan normatif tersebut, sebagai ”standar moral” untuk memilih figur pemimpin dapat mencerminkan keterwakilan rakyat baik secara moral, pengetahuan dan komitmen kepada perbaikan dan kebaikan rakyat. Hanya dengan memilih pemimpin yang sesuai pesan alqur’an dan hadis itulah, harapan untuk memilih pemimpin yang populis, tidak penguasa yang sok kuasa, tetapi pemimpin yang melayani dan memikirkan kesejahteraan rakyat, akan dapat diwujudkan.
4.      Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin. Allah berfirman:
Artinya:
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.[11]


5.      Memutuskan Perkara dengan Adil.
Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
6.      Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Rakyat.
Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat. Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
7.      Menasehati rakyat.
Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
8.      Tidak Menerima Hadiah.
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
9.      Mencari Pemimpin yang Baik.
Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah Allah Swt mengutus seorang Nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu). Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana. Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
10.  Lemah Lembut.
Doa Rasullullah Saw,Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
11.  Tidak Meragukan dan Memata-matai Rakyat.
Rasulullah Saw bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).[12]
Dengan merujuk alqur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam, ada beberapa pesan dan masukan yang harus diperhatikan jika ingin menjadi pemimpin mendatang, seperti telah dijelaskan di atas, sekaligus mengamanahkan estafet kepemimpinan kepada setiap individu yang tepat, amanah, bertanggung jawab, jujur, arif, dan bijaksana, sehingga dapat memenuhi aspirasi dan sekaligus tidak akan mengecewakan majoritas masyarakat, maka seorang pemimpin itu haruslah, memiliki sifat-sifat berikut di antaranya:
Pertama, pemimpin hendaklah kapabel dalam ilmu pemerintahan. Kapabilitas pemimpin tidak hanya terbatas pada kemahiran di bidang politik saja, tetapi harus meliputi semua aspek kehidupan umat seperti aspek ekonomi, dan budaya serta kemahiran untuk menciptakan hubungan pemimpin dengan masyarakat, pemimpin dengan atasan, dan hubungan antar sesama masyarakat dengan penuh keharmonian.
Hal ini seperti firman Allah Swt:
Artinya:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".[13]

Dengan adanya kemampuan tersebut, pemimpin akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Kedua, seorang pemimpin harus bersifat jujur, amanah, dan adil sehingga dalam setiap sepak terjang politiknya, pemimpin tidak bersifat pilih kasih terhadap rakyat jelata. pemimpin harus menyayangi dan menghargai rakyatnya sama rata sebagaimana ia menyayangi dan menghargai setiap anngota tubuh dirinya, dan bahkan menempatkan kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan pribadinya. Siapa saja yang melanggar hukum harus ditindak dengan hukuman yang berkeadilan tanpa membedakan status, keturunan, kekayaan, dan jasanya kepada rakyat dan negara.
Karena sifat pilih kasih baik dalam memprioritaskan peruntukkan kesejahteraan maupun dalam menegakkan hukum kepada rakyatnya akan menyebabkan kehilangan kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinan, dan bahkan akan mengundang malapetaka.
Dalam bertindak, pemimpin haruslah mampu mengikuti praktek Rasulullah Saw dalam menegakkan hukum, seperti sabda Rasulullah saw yang berarti: "Sungguh Allah Swt telah membinasakan umat sebelum kamu, karena apabila ada di antara orang besar mencuri dibiarkan saja, tetapi jika orang kecil yang mencuri dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Demi Allah Swt yang jiwaku berada ditangan-Nya, andaikata anakku Fatimah putri Rasullullah mencuri pasti akan ku potong tangannya" (al-Hadits).
Firman Allah Swt:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[14]
Ketiga, pemimpin hendaklah individu yang paling memahami dan paling berjasa terhadap daerah dan masyarakatnya. Keberhasilan Rasulullah Saw dan Khalifah Umar bin Khattab ra memimpin rakyatnya, sehingga Rasulullah diakui Barat sebagai tokoh nomor satu dan Umar bin Khattab ra sebagai tokoh dari kalangan umat Islam yang masuk rangking sepuluh besar tokoh paling berpengaruh dalam sejarah umat.[15]
Keempat, pemimpin haruslah bersikap hidup sederhana (moderation) dan segala atribut penampilannya tidaklah mencolok mata. Sifat ini penting dimiliki oleh seorang pemimpin agar tidak menimbulkan fitnah dan rasa iri hati rakyatnya yang umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Juga penampilan yang mencolok mata akan menjadi penghalang keakraban antara pemimpin dan masyarakat. Atas dasar inilah, Umar bin Khattab ra melarang untuk menjadi pemimpin mereka-mereka yang menunggang himar atau kuda, memakan makanan lezat, memakai baju mewah, dan yang suka mendatangi rumah rakyatnya tanpa keperluan.
Kelima, pemimpin harus mampu bekerjasama dengan masyarakat. pemimpin juga harus tidak sungkan-sungkan meminta pendapat para cerdik pandai dan ulama dalam setiap keputusannya untuk kepentingan rakyat. Karena menurut Umar bin Khattab ra, orang cerdik pandai adalah orang yang dapat menimbangkan sesuatu dengan penuh kewarasan dan akal pikiran sehat sekalipun perkara itu tidak pernah diberitahu sebelumnya. Meminta pendapat pada para cerdik pandai ini telah dipraktikkan para Khulafaur Rasyidin di mana mereka selalu meminta pendapat dari Majlis Syura yang keempat-belas anggotanya terdiri dari para sahabat yang terkenal dengan keimanan, kewarakan, dan semangat keislamannya.
Dalam setiap pengambilan keputusannya, pemimpin harus mampu melibatkan semaksimal mungkin peran serta pemuda di dalamnya. Pentingnya penglibatan para pemuda secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan, seperti telah dipraktekkan Umar bin Khattab ra, tidak lain karena menurut beliau bahwa para pemuda mempunyai pemikiran yang tajam dan ide-ide cemerlang.
Keenam, pemimpin harus mengutamakan masyarakat golongan menengah ke bawah daripada golongan menengah ke atas, dan memprioritaskan kepentingan kaum Hawa daripada kaum Adam. Hal ini seperti telah dikatakan Khalifah Umar bin Khattab ra: "Sesungguhnya orang yang lemah di sisimu adalah kuat di sisiku, karena aku tidak mempunyai kuasa untuk mengambil sesuatu dari mereka (golongan lemah), dan orang yang kuat di sisimu, sesungguhnya adalah lemah di sisiku karena aku berkuasa untuk mengambil sesuatu darinya". Oleh karena itu, dalam setiap keputusannya, kepentingan golongan menengah ke bawah dan kaum Hawa harus di ke depankan dari kepentingan golongan menengah ke atas dan kaum lelaki.
Ketujuh, dalam mengatur setiap urusannya, pemimpin harus bersikap lemah-lembut, tetapi tidak terlalu lembek dan bersikap tegas, namun tidak terlalu kasar". Sikap ini penting diperhatikan, karena kata Umar bin Khattab ra: "janganlah bersikap terlalu lembut sehingga kamu akan dijajah dan jangan pula kamu bersikap terlalu keras (kasar) sehingga kamu hancur karenanya". Namun, pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang memiliki kombinasi sifat keempat Khulafaur Rasyidin, seperti dikatakan Rasulullah Saw sendiri sebagai berikut: "orang yang mempunyai sifat paling belas kasihan terhadap umatku ialah Abu Bakar as-Siddiq ra; orang yang paling teguh dengan pegangan Allah ialah Umar bin Khattab ra. Sesungguhnya Allah telah menegakkan kebenaran melalui Umar; orang yang paling pemalu adalah Usman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Talib ra pula adalah orang yang paling adil dalam segala perkataannya".
Kedelapan, pemimpin harus mampu bertanggung jawab secara penuh terhadap kesejahteraan dan kepapaan atau maju-mundurnya rakyatnya. Untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap rakyatnya, pemimpin harus mampu merespon setiap keluhan rakyatnya dan sekaligus memberikan solusi. Perlunya para pemimpin memiliki rasa tanggung jawab yang menyeluruh terhadap bawahannya, sebenarnya, dapat kita pedomani dari kata-kata Umar bin Khattab ra berikut: "seandainya ada keledai yang jatuh dari atas gunung di kawasan Irak sehingga patah kakinya, pasti Allah Swt meminta pertangungjawaban saya (Umar) karena tidak membuat jalan untuk dilintasi keledai tersebut"; dan "kalau kambing tersasar dan hilang di pingiran sungai Efrat, maka Umar akan bertanggungjawab pada hari akhirat".
Begitu juga Ali bin Abi Talib ra ketika melihat Umar bin Khattab ra sedang berlari lalu bertanya: "kenapa kamu lari wahai Umar? Aku (Umar) lari karena ingin mengejar unta sedekah yang telah lepas dari tambatannya". Karena tingginya rasa tanggung jawab Umar terhadap kekhalifannya, maka telah mendorong beliau hampir setiap hari untuk mengecek sendiri situasi penduduknya dari rumah ke rumah baik secara secara formal maupun tidak formal. Karena keterbatasan Umar bin Khattab ra untuk mengelilingi seluruh wilayah kepemimpinannya sehingga dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya menimpa rakyatnya, maka bila musim haji tiba, beliau selalu mengumpulkan rakyatnya untuk membuat pengaduan-pengaduan.
Di samping itu, juga beliau telah mendirikan sebuah Biro Pengaduan (Complaining Bureau) untuk mengetahui semua keluhan dan keperluan rakyatnya. Bukti besarnya rasa tanggungjawabnya terhadap kekhalifahannya, di akhir hayatnya, Umar bin Khattab ra berkata: "sekiranya aku dapat hidup lebih lama lagi, maka akan kukelilingi semua wilayah rakyatku sehingga aku dapat melihat dengan mata kepalaku sendiri keadaan mereka. Aku tahu mereka mempunyai berbagai keperluan yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiranku".
Kesembilan, pemimpin harus mampu mengadakan evaluasi terhadap kemajuan kepemimpinannya yang meliputi semua kemajuan bawahan dan rakyatnya secara reguler dari waktu ke waktu. Tindakan ini perlu, karena seperti kata-kata Umar bin Khattab ra yang dikutip Naceur Jabnoun (1994), dalam bukunya "Islam and Management" sebagai berikut: "apakah kamu pikir jika saya (Umar) telah menunjuk seseorang sebagai wakil kamu untuk kebaikan umat dan memerintah mereka untuk melakukan keadilan, apakah Umar telah melakukan tugasnya dengan baik? Ya, jawab sahabat. Tetapi beliau menjawab tidak, selagi saya belum melihat sendiri apakah orang yang saya tunjuk itu telah berbuat seperti yang diperintahkan". [16]

Penutup
Seorang pemimpin harus memiliki etika dalam melakukan tugas dan kewajibannya sesuai dengan norma-norma agama, adat dan budaya demi kemaslahatan ummat. Mudah-mudahan dengan menyadari amanah yang dibebankan rakyat kepadanya, para pemimpin kita mampu mewujudkan amanah dan bertanggung jawab.
Dengan merujuk pada pengalaman kepemimpinan Rasulullah Saw dan keempat Khulafaur Rasyidinnya, pemimpin harus mampu memberdayakan dan mengangkat kembali harkat dan martabat masyarakat di bawah kepemimpinannya baik pada percaturan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya  dan hukum serta seluruh aspek kehidupan masyarakat.



 DAFTAR BACAAN

Al-Jihan, Abdurrahman, Al-qawa’id asy-syar’iyyah li ikhtiyar an-na’ib, terjemahan, Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2009.

Al-Mawardi, Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam al- Sulthaniyah, tt.

A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Jakarta: Pustaka Progresif, 1997

Departemen Agama RI.  Alquran dan Terjemahanya.  Bandung: Jumanatul Ali-Art, 2005.

Hasan, Tholchah Muhammad, Dinamika Kehidupan Relegius, Jakarta: Listafariska Putra, 2008.

Hart, Michael Hart, "The 100, Ranking of the Most Influential Persons in History", 1979.

Imarah, Muhammad, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Jabnoun, Naceur, Islam and Management, New York: Harper, 1994.


Poerwadarminta, WJS,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Shelton, Ken, A New Paradigm of Leadership, terjemahan, Jakarta: PT. Gramedia, 2002.

Taimiyah, Syaikhul Islam Ibnu, dalam Abdurrahman al-Jihan, Al-qawa’id asy-syar’iyyah li ikhtiyar an-na’ib, terjemahan, Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2009.

Utsaimin, Syaikh ibnu Utsaimin, Syarh as-Siyasah asy-Syar’iyyah,

Wafi, Ali, Abdul, Wahid, Kebebasan Dalam Islam, Semarang: Dina Utama, tt.









[1] Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam al- Sulthaniyah, h. 365.
[2] Al-Ghazali dalam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Al-Khilafah Au Al-Imamah Al- ’Udhma, h. 54.
[3] QS. Al-Baqarah [2]: 30.
[4] HR. Bukhori
[5] Seperti uang sogokan dan sebagainya.
[6] QS. Al-Maidah, [5]: 42.
[7] QS. Al-Baqarah, [2]: 119.
[8] Abu al-Hasan al-Mawardi, h. 370.
[9] Ibid, h. 371.
[10] http://www.wawasandigital.com
[11] QS. Al-Maidah [5]: 49
[12] Sumber: Dikutip dari Majalah Hidayatullah.
[13] QS. Al-Qashash [28]: 26
[14] QS. Al-Maidah [5]: 8
[15] Michael Hart (1979), "The 100, Ranking of the Most Influential Persons in History" adalah, di antaranya, disebabkan oleh pengetahuan luas dan kedekatan mereka dengan rakyatnya.

[16] Naceur Jabnoun, Islam and Management, (New York: Harper, 1994),   h. 731.