ETIKA MENJADI
PEMIMPIN
Oleh: Edi Sucipno
Pendahuluan
Menjadi pemimpin adalah amanah yang
harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut, karena
kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.
Menurut Islam pemimpin adalah ”bayangan” Allah Swt di muka bumi.
Enam puluh tahun di bawah pemimpin congkak, lebih baik daripada semalam tanpa
pemimpin. Wajar jika kemudian para ulama sepakat bahwa pengangkatan pemimpin
bagi kaum muslim adalah wajib syar’i.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa al-Islam huwa al-din wa
aldaulah (Islam adalah agama dan negara). Al-Ghazali melukiskan hubungan
antara agama dan kekuasaan politik sebagai berikut: ”Sultan (kekuasaan politik)
adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban
agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat.
Inilah sebenarnya tujuan Rasul. Jadi wajib adanya imam merupakan
kewajiban agama yang tidak ada jalan untuk meninggalkanya. Para pemikir politik
seperti Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam al- Sulthaniyah, Ibn Taimiyah
dalam al- Siyasah al-Syar’iyah, Yusuf Qardlawy dalam Fiqh al-Daulah dan Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha dalam al-Khilafah au al-Imamah al- ’Udhma juga
berpendapat serupa.
Hal tersebut di atas menjelaskan bahwa dalam Islam seorang pemimpin
sangat penting adanya, untuk menjalankan misi agama baik terkait dengan
individu, kelompok, masyarakat dan Negara. Oleh karenanya setiap kita harus
termotivasi menjadi pemimpin, kendati hal tersebut merupakan tugas yang sangat
berat.
Namun, jika kita memahami ayat alqur’an yang menyatakan bahwa pada
proses awal penciptaan manusia, tidak lain adalah sebagai khalifah (pemimpin),
sebagaimana firman Allah Swt
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Di samping itu hadis Rasulullah Saw yang menyatakan: “Setiap
kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban”,
yang menjadi dasar bahwa menjadi pemimpin sebenarnya sangat berat. Untuk itu, ketika
seseorang sudah menjadi pemimpin, setidaknya ia harus tahu apa tugas dan
tanggungjawabnya atau hak dan kewajiban yang harus ia perbuat, sebagai wujud
dari amanah yang diberikan kepadanya.
Untuk lebih jelas kita memahami bagaimana seharusnya seorang
pemimpin jika ia mau berbuat dan bertindak dalam mengambil keputusan. Hal ini
terkait dengan etika menjadi seorang pemimpin, akan diuraikan lebih lanjut pada
makalah ini.
Etika Menjadi Pemimpin
Siapakah sebenarnya orang yang berhak untuk menjadi seorang
pemimpin (pemimpin/gubernur/bupati) dalam pandangan Islam? Terdapat beberapa
ayat alqur’an dan hadis yang telah menunjukkan secara jelas kriteria seorang
pemimpin.
Allah Swt berfirmanArtinya:
mereka itu
adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram
jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka
putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika
kamu berpaling dari mereka. Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara
itu) di antara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah Swt menyukai orang-orang
yang adil.
Ayat tersebut di atas, menjelaskan bahwa seorang pemimpin adalah
seorang yang mampu memberi manfaat bagi orang-orang yang dipimpinya. Begitu
pula sebaliknya, kalau hendak menjadi pemimpin, ia harus berani tampil ke
depan, memberi contoh dalam ucapan dan perbuatan, menjadi pembangkit semangat
serta meningkatkan kemauan di tengah-tengah mereka, mengikuti dan mengarahkan
aspirasi serta tindakan yang dipimpin.
Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman:
Artinya:
Sesungguhnya
Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan
jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.
Jadi seorang pemimpin yang diharapkan Islam adalah seseorang yang
di dalam dirinya mengandung unsur kebenaran, pembawa berita gembira, dan
pemberi peringatan.
Berkaitan dengan kriteria seorang pemimpin, Abu al-Hasan al-Mawardi memberikan tujuh syarat. Pertama, keadilan (al-’adalah)
atas syarat yang menyeluruh. Kedua, memiliki pengetahuan yang
memungkinkan untuk berusaha keras (ijtihad) dalam berbagai persoalan
termasuk hukum. Ketiga, sehat indranya, baik pendengaran, penglihatan,
dan lisan agar dapat secara benar apa yang didapatinya. Keempat, sehat
anggota badannya dari berbagai kekurangan yang dapat menghambat dari kegiatan
dan kecepatan bertindak. Kelima, kreatif dalam mengatur rakyat dan
mengupayakan kebaikan. Keenam, memiliki keberanian dan keteguhan untuk
memelihara dari berbagai hambatan, termasuk serangan musuh, dan Ketujuh nasab
Quraisy, karena dalil yang disepakati ”al-aimmatu min Quraisy”.
Untuk syarat yang terakhir, oleh Ibn Khaldun ditafsirkan secara
kontekstual, yang lebih menekankan pada kualifikasi, kapabilitas dan kompetensinya.
Berdasarkan kreteria di atas, bahwa pemimpin yang dikehendaki saat
ini adalah pemimpin yang secara sejati memancarkan wibawa karena memiliki komitmen,
integritas, dan kapabilitas yang memadai. Pemimpin yang kita
butuhkan sekarang adalah pemimpin yang amanah, fathanah, dan shidiq,
serta santun kepada rakyat.
Dalam Islam
sudah ada aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut, di antaranya sebagai
berikut:
1. Niat
yang Lurus.
Hendaklah saat menerima suatu
tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah
perintahkan. Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja. Kepemimpinan
atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2.
Laki-Laki.
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah Saw bersabda,”Tidak
akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu
Bakarah Radhiyallahu’anhu).
3. Tidak
Meminta Jabatan.
Tugas pemimpin adalah sangat berat. Sehingga tentang persoalan ini,
Rasul pun sudah mewanti-wanti agar umat Islam tidak meminta jabatan: Rasullullah Saw
bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu, ”Wahai
Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya
jika kepemimpinan diberikan kepada kamu
karena permintaan, maka
kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan
kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk
menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Meskipun harus kita akui, pemahaman tekstual
hadis ini pada saat sekarang, mungkin kurang populer. Sedangkan bagi
masyarakat Indonesia yang memiliki hak untuk memilih pemimpin akan dapat
menjadikan acuan normatif tersebut, sebagai ”standar moral” untuk memilih figur
pemimpin dapat mencerminkan keterwakilan rakyat baik secara moral, pengetahuan
dan komitmen kepada perbaikan dan kebaikan rakyat. Hanya dengan memilih
pemimpin yang sesuai pesan alqur’an dan hadis itulah, harapan untuk memilih
pemimpin yang populis, tidak penguasa yang sok kuasa, tetapi pemimpin yang
melayani dan memikirkan kesejahteraan rakyat, akan dapat diwujudkan.
4. Berpegang
pada Hukum Allah.
Ini
salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.
Allah berfirman:
Artinya:
Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
5.
Memutuskan
Perkara dengan Adil.
Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah seorang
pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan
kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan
dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam
kitab Al-Kabir).
6.
Tidak Menutup
Diri Saat Diperlukan Rakyat.
Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap pengaduan
dan permasalahan rakyat. Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah seorang
pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan
kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan,
hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
7.
Menasehati
rakyat.
Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah seorang
pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh
dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama
mereka (rakyatnya).”
8.
Tidak Menerima
Hadiah.
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada
seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau
mengambil hati. Oleh karena itu,
hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda,”
Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
9.
Mencari
Pemimpin yang Baik.
Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah Allah Swt mengutus seorang Nabi atau menjadikan
seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu). Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana,
dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana. Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,”
(Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
10.
Lemah Lembut.
Doa Rasullullah Saw, “Ya Allah, barangsiapa
mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan
barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada
mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
11.
Tidak
Meragukan dan Memata-matai Rakyat.
Rasulullah Saw bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam
masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan
Al-hakim).
Dengan merujuk alqur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam, ada
beberapa pesan dan masukan yang harus diperhatikan jika ingin menjadi pemimpin
mendatang, seperti telah dijelaskan di atas, sekaligus mengamanahkan estafet
kepemimpinan kepada setiap individu yang tepat, amanah, bertanggung jawab,
jujur, arif, dan bijaksana, sehingga dapat memenuhi aspirasi dan sekaligus
tidak akan mengecewakan majoritas masyarakat, maka seorang pemimpin itu
haruslah, memiliki sifat-sifat berikut di antaranya:
Pertama, pemimpin
hendaklah kapabel dalam ilmu pemerintahan. Kapabilitas pemimpin
tidak hanya terbatas pada kemahiran di bidang politik saja, tetapi harus
meliputi semua aspek kehidupan umat seperti aspek ekonomi, dan budaya serta
kemahiran untuk menciptakan hubungan pemimpin dengan masyarakat, pemimpin
dengan atasan, dan hubungan antar sesama masyarakat dengan penuh keharmonian.
Hal ini seperti firman Allah Swt:
Artinya:
“Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
Dengan adanya kemampuan tersebut, pemimpin akan mampu melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Kedua, seorang pemimpin
harus bersifat jujur, amanah, dan adil sehingga dalam setiap sepak terjang
politiknya, pemimpin tidak bersifat pilih kasih terhadap rakyat jelata.
pemimpin harus menyayangi dan menghargai rakyatnya sama rata sebagaimana ia
menyayangi dan menghargai setiap anngota tubuh dirinya, dan bahkan menempatkan
kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan pribadinya. Siapa saja yang
melanggar hukum harus ditindak dengan hukuman yang berkeadilan tanpa membedakan
status, keturunan, kekayaan, dan jasanya kepada rakyat dan negara.
Karena sifat pilih kasih baik dalam memprioritaskan peruntukkan
kesejahteraan maupun dalam menegakkan hukum kepada rakyatnya akan menyebabkan
kehilangan kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinan, dan bahkan akan mengundang
malapetaka.
Dalam bertindak, pemimpin haruslah mampu mengikuti praktek
Rasulullah Saw dalam menegakkan hukum, seperti sabda Rasulullah saw yang
berarti: "Sungguh Allah Swt telah membinasakan umat sebelum kamu,
karena apabila ada di antara orang besar mencuri dibiarkan saja, tetapi jika
orang kecil yang mencuri dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Demi Allah Swt yang
jiwaku berada ditangan-Nya, andaikata anakku Fatimah putri Rasullullah mencuri
pasti akan ku potong tangannya" (al-Hadits).
Firman Allah Swt:
Artinya:
Hai orang-orang
yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ketiga, pemimpin hendaklah individu yang paling memahami dan paling berjasa
terhadap daerah dan masyarakatnya. Keberhasilan Rasulullah Saw dan Khalifah
Umar bin Khattab ra memimpin rakyatnya, sehingga Rasulullah diakui Barat
sebagai tokoh nomor satu dan Umar bin Khattab ra sebagai tokoh dari kalangan
umat Islam yang masuk rangking sepuluh besar tokoh paling berpengaruh dalam
sejarah umat.
Keempat, pemimpin
haruslah bersikap hidup sederhana (moderation) dan segala atribut penampilannya
tidaklah mencolok mata. Sifat ini penting dimiliki oleh seorang pemimpin agar
tidak menimbulkan fitnah dan rasa iri hati rakyatnya yang umumnya hidup di
bawah garis kemiskinan. Juga penampilan yang mencolok mata akan menjadi
penghalang keakraban antara pemimpin dan masyarakat. Atas dasar inilah, Umar
bin Khattab ra melarang untuk menjadi pemimpin mereka-mereka yang menunggang himar
atau kuda, memakan makanan lezat, memakai baju mewah, dan yang suka mendatangi
rumah rakyatnya tanpa keperluan.
Kelima, pemimpin harus mampu bekerjasama dengan masyarakat. pemimpin juga
harus tidak sungkan-sungkan meminta pendapat para cerdik pandai dan ulama dalam
setiap keputusannya untuk kepentingan rakyat. Karena menurut Umar bin Khattab
ra, orang cerdik pandai adalah orang yang dapat menimbangkan sesuatu dengan
penuh kewarasan dan akal pikiran sehat sekalipun perkara itu tidak pernah
diberitahu sebelumnya. Meminta pendapat pada para cerdik pandai ini telah
dipraktikkan para Khulafaur Rasyidin di mana mereka selalu meminta
pendapat dari Majlis Syura yang keempat-belas anggotanya terdiri dari para
sahabat yang terkenal dengan keimanan, kewarakan, dan semangat keislamannya.
Dalam setiap pengambilan keputusannya, pemimpin harus mampu
melibatkan semaksimal mungkin peran serta pemuda di dalamnya. Pentingnya
penglibatan para pemuda secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan,
seperti telah dipraktekkan Umar bin Khattab ra, tidak lain karena menurut
beliau bahwa para pemuda mempunyai pemikiran yang tajam dan ide-ide cemerlang.
Keenam, pemimpin harus
mengutamakan masyarakat golongan menengah ke bawah daripada golongan menengah
ke atas, dan memprioritaskan kepentingan kaum Hawa daripada kaum Adam. Hal ini
seperti telah dikatakan Khalifah Umar bin Khattab ra: "Sesungguhnya orang
yang lemah di sisimu adalah kuat di sisiku, karena aku tidak mempunyai kuasa
untuk mengambil sesuatu dari mereka (golongan lemah), dan orang yang kuat di sisimu,
sesungguhnya adalah lemah di sisiku karena aku berkuasa untuk mengambil sesuatu
darinya". Oleh karena itu, dalam setiap keputusannya, kepentingan golongan
menengah ke bawah dan kaum Hawa harus di ke depankan dari kepentingan golongan
menengah ke atas dan kaum lelaki.
Ketujuh, dalam mengatur setiap urusannya, pemimpin harus bersikap
lemah-lembut, tetapi tidak terlalu lembek dan bersikap tegas, namun tidak
terlalu kasar". Sikap ini penting diperhatikan, karena kata Umar bin
Khattab ra: "janganlah bersikap terlalu lembut sehingga kamu akan dijajah
dan jangan pula kamu bersikap terlalu keras (kasar) sehingga kamu hancur
karenanya". Namun, pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang memiliki kombinasi
sifat keempat Khulafaur Rasyidin, seperti dikatakan Rasulullah Saw
sendiri sebagai berikut: "orang yang mempunyai sifat paling belas kasihan
terhadap umatku ialah Abu Bakar as-Siddiq ra; orang yang paling teguh dengan
pegangan Allah ialah Umar bin Khattab ra. Sesungguhnya Allah telah menegakkan
kebenaran melalui Umar; orang yang paling pemalu adalah Usman bin Affan ra, dan
Ali bin Abi Talib ra pula adalah orang yang paling adil dalam segala
perkataannya".
Kedelapan, pemimpin harus mampu bertanggung jawab secara penuh terhadap
kesejahteraan dan kepapaan atau maju-mundurnya rakyatnya. Untuk melaksanakan
tanggung jawab terhadap rakyatnya, pemimpin harus mampu merespon setiap keluhan
rakyatnya dan sekaligus memberikan solusi. Perlunya para pemimpin memiliki rasa
tanggung jawab yang menyeluruh terhadap bawahannya, sebenarnya, dapat kita
pedomani dari kata-kata Umar bin Khattab ra berikut: "seandainya ada
keledai yang jatuh dari atas gunung di kawasan Irak sehingga patah kakinya,
pasti Allah Swt meminta pertangungjawaban saya (Umar) karena tidak membuat
jalan untuk dilintasi keledai tersebut"; dan "kalau kambing tersasar
dan hilang di pingiran sungai Efrat, maka Umar akan bertanggungjawab pada hari
akhirat".
Begitu juga Ali bin Abi Talib ra ketika melihat Umar bin Khattab ra
sedang berlari lalu bertanya: "kenapa kamu lari wahai Umar? Aku (Umar) lari
karena ingin mengejar unta sedekah yang telah lepas dari tambatannya".
Karena tingginya rasa tanggung jawab Umar terhadap kekhalifannya, maka
telah mendorong beliau hampir setiap hari untuk mengecek sendiri situasi
penduduknya dari rumah ke rumah baik secara secara formal maupun tidak formal.
Karena keterbatasan Umar bin Khattab ra untuk mengelilingi seluruh wilayah
kepemimpinannya sehingga dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya menimpa
rakyatnya, maka bila musim haji tiba, beliau selalu mengumpulkan rakyatnya
untuk membuat pengaduan-pengaduan.
Di samping itu, juga beliau telah mendirikan sebuah Biro Pengaduan
(Complaining Bureau) untuk mengetahui semua keluhan dan keperluan
rakyatnya. Bukti besarnya rasa tanggungjawabnya terhadap kekhalifahannya,
di akhir hayatnya, Umar bin Khattab ra berkata: "sekiranya aku dapat hidup
lebih lama lagi, maka akan kukelilingi semua wilayah rakyatku sehingga aku
dapat melihat dengan mata kepalaku sendiri keadaan mereka. Aku tahu mereka
mempunyai berbagai keperluan yang tidak dapat terpenuhi tanpa
kehadiranku".
Kesembilan, pemimpin harus
mampu mengadakan evaluasi terhadap kemajuan kepemimpinannya yang meliputi semua
kemajuan bawahan dan rakyatnya secara reguler dari waktu ke waktu.
Tindakan ini perlu, karena seperti kata-kata Umar bin Khattab ra yang dikutip
Naceur Jabnoun (1994), dalam bukunya "Islam and Management" sebagai
berikut: "apakah kamu pikir jika saya (Umar) telah menunjuk seseorang
sebagai wakil kamu untuk kebaikan umat dan memerintah mereka untuk melakukan
keadilan, apakah Umar telah melakukan tugasnya dengan baik? Ya, jawab sahabat.
Tetapi beliau menjawab tidak, selagi saya belum melihat sendiri apakah orang
yang saya tunjuk itu telah berbuat seperti yang diperintahkan".
Penutup
Seorang pemimpin harus memiliki etika dalam melakukan tugas dan
kewajibannya sesuai dengan norma-norma agama, adat dan budaya demi kemaslahatan
ummat. Mudah-mudahan dengan menyadari amanah yang dibebankan rakyat
kepadanya, para pemimpin kita mampu mewujudkan amanah dan bertanggung jawab.
Dengan merujuk
pada pengalaman kepemimpinan Rasulullah Saw dan keempat Khulafaur Rasyidinnya,
pemimpin harus mampu memberdayakan dan mengangkat kembali harkat dan martabat
masyarakat di bawah kepemimpinannya baik pada percaturan ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya dan hukum serta
seluruh aspek kehidupan masyarakat.
DAFTAR
BACAAN
Seperti
uang sogokan dan sebagainya.
Sumber: Dikutip dari Majalah Hidayatullah.