Pages

Tuesday, November 3, 2015

TAREKAT NAQSYABANDIYAH Oleh: Edi Sucipno



TAREKAT NAQSYABANDIYAH
Oleh: Edi Sucipno


Pendahuluan
Tarekat[1] Naqsyabandiyah adalah salah satu corak metode pengamalan tasawuf yang dipelopori oleh syekh Bahauddin al- Naqsyabandi (w. 778 H/    1318 M), berkembang pesat di dunia Islam bahkan sampai ke Indonesia dan mendapat respon dari masyarakat di berbagai tempat utamanya di Sumatera Utara.
Tarekat dan tasawuf [2] memiliki kesamaan, kendati ada perbedaan. Tujuan keduanya yaitu suatu usaha untuk berada sedekat mungkin dengan Allah[3], dengan kata lain, untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Atau mewujudkan kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi.[4]
Perbedaan antara kedua-duanya dilihat dari segi aktivitasnya, tasawuf  cenderung sebagai aktivitas individu dari seorang sufi, sedangkan tarekat adalah metode, cara atau jalan (suatu aktivitas) mendekati Tuhan untuk ma’rifah, dalam bentuk jama’ah atau kelompok.[5]
Dalam skala nasional, tarekat berkembang dengan pesatnya, proses Islamisasi yang terjadi di Indonesia banyak berasal dari usaha kaum sufi dan syekh-syekh tarekat dan guru-guru suluk meskipun pada strata masyarakat muslim tertentu tarekat dianggap sebagai salah satu polemik dan kontroversi.[6] Hal ini dipicu oleh pandangan masyarakat tentang tarekat yang terpolarisasi kepada:
Pertama, kelompok yang menolak dengan alasan bahwa tarekat dipandang sebagai gejala kebodohan umum dan tidak sesuai dengan sprit modern. Kedua, kelompok yang menganggap bahwa praktek tarekat merupakan kegiatan menyimpang atau bid’ah dari ajaran Islam yang benar.
Ketiga, kelompok yang bersifat amalgamitas (campuran) antara menolak dan menerima atau membiarkan tanpa peduli bahkan mengikuti tradisi-tradisi ritual tarekat secara fanatik. Di sisi lain tarekat dianggap sebagai gejala depolitisasi yaitu sebagai pelarian tanggung jawab sosial dan politik, tarekat lebih berorientasi kepada urusan ukhrawi daripada duniawi.[7]

Dari beberapa uraian di atas, pemakalah sangat tertarik untuk mengkaji dan menganalisa tarekat ini lebih terperinci, sehingga mendapatkan pemahaman dan kejelasan apa dan bagaimana sebenarnya bentuk sebuah tarekat, khususnya tarekat Naqsyabandiyah yang tampak keberadaannya masih diterima oleh sebahagian masyarakat, kendatipun ada juga yang menolak.

Tarekat Naqsyabandiyah
1.        Sejarah berdirinya tarekat Naqsyabandiyah.
 Berdasarkan sejarah dapat diketahui bahwa kehidupan kerohanian dalam Islam telah ada sejak masa Nabi Saw, bahkan kehidupan Nabi sendiri adalah intisari dari kehidupan sufi yang ditiru atau ditauladani para sahabatnya.
Ketika Nabi Saw bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah, maka bukan saja istilah muhajirin dan ansar yang muncul melainkan juga istilah ahl al-suffah yakni orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi Saw dari Makkah ke Madinah, dan karena kehilangan harta benda dalam keadaan miskin dan tidak mempunyai apa-apa, mereka tinggal di serambi masjid dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal yang disebut suffah.[8]

Kebutuhan mereka seharian hanya diperoleh dari pemberian orang lain, dan mereka menghafal alqur’an dan hadis serta banyak melakukan ibadah. Mereka tidak meminta-minta kepada orang lain untuk menjaga harga diri (muruah), sehingga sikap mereka seperti itu mendapat sanjungan dalam alqur’an yang berbunyi:

Artinya:
Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.[9]

Di masa khulafa ar-rasyidin muncul pula orang-orang yang merasa dirinya penuh dengan kesalahan dan dosa, sehingga mereka selalu bertaubat kepada Allah Swt, yang dikenal dengan nama “tawwabin” (orang bertaubat), “nussak” (orang yang kuat beribadah) dan “rabbaniyah” (orang yang mendidik hatinya).[10]
Peristiwa terbunuhnya khalifah Usman bin Affan pun secara berantai terjadi kerusakan akhlak yang menyebabkan sebagian sahabat membangkitkan ajaran Islam, dengan kembali ke masjid (iktikaf), mendengarkan kembali berbagai targib dan targhib serta merenungkan kehidupan keindahan hidup zuhud.
Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa bibit atau benih tasawuf notabene tarekat telah ada pada masa awal Islam dan semakin mencuat ke permukaan di masa abad ke I hijrah, munculnya Hasan al-Basri (w. 110 H) dengan ajaran khauf  (selalu rasa takut kepada Allah) dan raja’ (selalu harap ahmat Allah). Demikian juga Rabiah Adawiyah (w. 185 H) yaitu seorang sufi wanita yang membawa ajaran hubb al-Ilahi.
Tasawuf mula-mula sebagai kegiatan perorangan yang ditandai dengan munculnya para zahid  yang menyendiri. Ada pula mengembara dari satu tempat ke tempat lain yang kemudian tempat itu menjadi pusat kegiatan yang disebut “ribat”. Pada awalnya “ribat” merupakan tempat-tempat istirahat bagi para zahid yang mengembara, tetapi kemudian menjadi asrama yang di dalamnya terdapat syekh dan para muridnya beramal dan beribadah secara bersama-sama.
Perkumpulan tasawuf terus berkembang dengan pesatnya apalagi setelah mendapat legitimasi dari pihak penguasa (pemerintah), terbukti sampai saat ini banyak tarekat-tarekat yang terkenal termasuk tarekat Naqsyabandiyah.
Sebagaimana diketahui bahwa tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Bahauddin yang berasal dari Naqsyabandi suatu daerah dekat Bukhara Rusia, mengalami perkembangan di India di masa syekh Faruqi al-Sirkindi yang dikenal sebagai mujaddid yang membawa paham wahdat al-syuhud.[11]
Di dalam pengembangan tarekat ini syekh Bahauddin melihat dan mengamati muridnya yang telah memiliki kemampuan dan kemapanan spritual seperti apa yang diformulasikan, maka mereka diberi gelar khalifah dan kemudian berhak membuka suluk dalam upaya mengembangkan tarekat ini di tempat lain.
Demikian berlanjut beberapa abad sampai berkembang ke beberapa negara dan tempat, tidak terkecuali Indonesia yang penduduknya mayoritas umat Islam dari berbagai daerah banyak muncul ulama, wali, dan syekh tarekat denganvariasi yang berbeda, di antaranya ada yang bernuansa teologi murni, nuasa politik dan kejawen.
Tidak dipungkiri betapa besar peranan tarekat dalam memanusiakan manusia, menuntut agar berjalan dengan pegangan tauhid dan berakhlak mulia, bahkan tarekat juga amat menonjol di bidang percaturan politik dalam meraih dan membangun kemerdekaan negara.

2.        Ritual dan Teknik Spiritual  Tarekat Naqsyabandiyah.
Seperti tarekat-tarekat yqng lain, tarekat Naqsyahbandinyah pun mempunyai sejumkah tata cara peribadatan, teknik spiritual, dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa tarekat Naqsyahbandiyah terdiri atas ibadah, teknik, dan ritual, sebab demikianlah makna dasar dari istilah thariqah, ”jalan” atau “marga”. Hanya saja kemudian istilah itupun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan “jalan” tadi.
Naqsyabandiyah sebagai tarekat teroganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaru menghapuskan pola pikir tertentu atau membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengalamannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.

a.        Asas-asas
Penganut Nasyabandiyah mengenal sebelas asas thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd Al-Khaliq Ghujdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaban. Asas-asas ini disebutkan satu persatu dalam banyak risalah, termasuk dalam kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami’ Asl-Ashul fi Al-Auliya’, kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak  sedikit jamaah haji Indonesia  pada akhir abad  kesembilan belas  dan awal abad kedua puluh. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi di cetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakariya’(“Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham.[12] masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasanya para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
Asas-asasnya  Abd al-Khaliq adalah:
1)      Hush dar dam: “sadar sewaktu bernapas”. Suatu latihan kosentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik napas, menghembuskan napas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada napas, dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah.
2)      Nazar bar qadam: ”menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya. Sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak di kacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relavan.
3)      Safar dar watan: ”Melakukan perjalanan ditanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidak sempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulai. Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaraannya dengan Allah.
4)      Khalwat dar anjuman: ”Sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus-menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”, yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap tertaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang ) dengan mengacu kepada asas ini.
5)      Yad kard: “ingat”, ”menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la illallah ), atau formula zikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, zikir itu tidak terbatas dilakukan secara berjamaah ataupun sendirian  sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
6)      Baz gasyt: ”kembali”, “memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tawhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua napas, formula Ilahi anta maqsudi wa ridhaka mathlubi (“ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridhaan-Mulah”). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada dihati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang paling halus kepada Tuhan semesta (Kebayakan kitab pegangan Naqsyabandiyah mengajarkan sang murid untuk mengucapkan kalimat ini di dalam hati sebelum memulai dzikir ism al-dzat dan mengucapkannya sekali lagi di antara dzikir tawhid yang berurutan.
7)      Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tawhid, untuk mencegah supaya pikiran dan perasaan tidak meyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memelihara pikiran dan prilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku mengajakku selama dua puluh tahun”.
8)      Yad dasyt: “mengigat kembali”. Penglihatan yang diberkahi secara langsung menangkap zat Allah,  yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-nama-Nya; mengalami bahwa semua berasal dari Allah yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak terhingga. Penglihatan ini teryata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah; itulah derajat ruhana terting yang dapat tercapai. Tampaknya hal ini semula dikaitkan pada pangalaman langsung kesatuan dengan yang ada (wahdat al-wujud) Ahmad Sirhindi dan pengikut-pengikutnya bahkan mengemukakan dalil adanya tingkat yang lebih tinggi, di mana sang sufi sadar bahwa kesatuan (kemanunggalan) ini hanyalah bersifat fenomenal, bukan ontologis (wahdat al-syuhud).
Asas-asas tambahan dari Baha ‘al-Din Naqsybandi:
9)      Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghasilkan waktunya (al-Kurdi) menyatakan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam. Jika seseorang secara terus menerus sadar dan tengelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterima kasih kepada Allah, jika seseorang tidak perhatikan atau lupa atau melakukan perbuatan dosa, hendaklah dia meminta ampun kepada-Nya.
10)   Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati  berapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
11)  Wuquf-i qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada dihadirat Allah, maka hati itu tidak  sadar akan yang lain kecuali Allah, dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selera dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk mengambarkan hati dengan nama Allah terukir di atasnya.[13]
Asas-asas ini, khususnya yang delapan hasil formulasi Abd al-Khaliq Ghujdawani, kuat sekali menunjukkan kemiripan dengan teknik meditasi Hindu dan Budha. Bukannya tidak mungkin menemukan asas yang serupa dengan asas-asas tarekat ini adalah mazhad-mazhab mistik Hindu-Budha (walaupun tidak semua asas yang delapan itu terdapat dalam mazhab yang sama) sulit juga dibantah bahwa asas-asas tersebut menunjukkan pengaruh yang kuat dari agama-agama asal India namun tidak ada alasan untuk terpaksa bahwa asas-asas itu dipinjam langsung.

b.        Zikir dan Wirid
Teknik dasar tarekat Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya adalah dzikir, yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimah La Ilaha Illallah. Tujuan latihan itu adalah untuk mencapai kesadaran akan Ttuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal zikir yang lazimnya adalah zikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, “dalam hati”), sebagai lawan dari zikir keras (jahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kebiasaan ini bukan tanpa kekecualian: beberapa wali terkemuka dari tarekat ini diketahui juga telah melakukan zikir keras, tetapi dalam aturan tegas-tegas disebut  zikir diam. Yang kedua, jumlah hitungan zikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada tarekat Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan tarekat lain.
Zikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan zikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seorang syaikh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan dimana dilakukan zikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilaksanakan dua kali seminggu, pada malam jum’at dan malam selasa; ditempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.[14]
Dua zikir dasar Naqsyabandiyah, keduannya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat nama yang haqiqi” dan dzikir tauhid, “yang mengingat keesaan-Nya”.[15] Yang duluan terdiri dari pengucapan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sembari memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. dzikir tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafiy wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan napas, kalimah La Ilaha Illallah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi La permulaan digambar dari daerah pusat sampai ke atas sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti diujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya Illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata terakhir Allah dihunjamkan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain yang diamalkan oleh pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir Latha’if. Dengan zikir ini, orang memusatkan kesadarannya dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada jumlah titik halus pada tubuh.
Dalam praktik berzikir ada dua model/cara, yakni zikir hati, ialah tafakkur mengingat Allah, merenungi rahasia ciptaan-Nya secara mendalam dan merenungi tentang zat dan sifat Allah. Cara kedua, yaitu zikir anggota (jawarih), ialah tenggelam dalam ketaatan.
Sebagian ulama menyatakan bahwa zikir anggota tubuh itu adalah:[16]
1)   Zikir mata dengan menangis
2)   Zikir telingga dengan mendengar yang baik-baik
3)   Zikir lidah dengan memuji Allah
4)   Zikir tangan dengan memberi sedekah
5)   Zikir badan dengan menunaikan kewajiban
6)   Zikir hati dengan takut dan berharap
7)   Zikir roh dengan penyerahan diri kepada Allah dan rela.
Pembacaan tidaklah berhenti pada zikir; pembacaan aurad (wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan atau memuji nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian, sekali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syaikhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seorang dapat memakai  kumpulan aurad yang sudah diterbitkan.

c.         Muraqabah
Ada kategori latihan-latihan mistik lainnya, yang hanya diajarkan kepada murid yang tingkatannya lebih tinggi, biasanya hanya kepada mereka yang telah menguasai zikir pada semua latha’if. Latihan ini disebut muraqabah, “pengendalian diri”, ini merupakan teknik-teknik konsentrasi dan  meditasi. Kitab-kitab pegangan sedikit sekali memberikan informasi mengenai muraqabah, sebab seseorang  memang tak mungkin mempelajarinya melalui kitab tetapi mempelajarinya langsung dari mursyid-nya. Muhammad Amin al-Kurdi sama sekali tidak menyebut soal muraqabah, tetapi Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusyikhanawi menyebutkan sepuluh tingkat (maqam) muraqabah, berturut-turut disebut ihsan, ahadiyah, bashariyah, ‘ilmiyah, fa’iliyah, malikiyah, hayatiyah, mahbudiyah dan tauhid syuhudi. Ahmad Khatib Sambas menyebutkan tidak kurang dari dua puluh muraqabah yang berbeda, termasuk beberapa tetapi tidak semua yang disebutkan Gumusyikhanawi. Muraqabat al-hadiyah, menurut kedua tokoh tadi, isinya berkonsentrasi pada makna surah al-ikhlas: qul, huwa’llahu ahad . . . , “ Katakanlah (wahai Muhammad), Dialah Tuhan Yang Esa ....”, dan membuka pintu hatinya untuk Nur Ilahi. Sama juga dalam aqrabiyah seseorang berkonsentrasi pada ayat yang menyatakan bahwa Tuhan itu lebih dekat dari pada nadi di lehernya ( Al-Qaf: 16), dan sebagainya.[17]
d.        Rabithah Mursyid (Rabithah bi Al-syaikh) dan Rabithah Al-Qabr
Seperti semua tarekat, Naqsyabandiyah mengenal wasilah, mediasi melalui seorang pembimbing spiritual. Untuk dapat sampai kepada perjumpaan dengan Yang Mutlak, seseorang tidak hanya memerlukan bimbingan tetapi campur tangan aktif dari pihak pembimbing spiritualnya dan para pendahulu sang pembimbing, termasuk, yang paling penting, Nabi Muhammad Saw. Inilah arti dari silsilah: ia menunjukan rantai yang menghubungkan seseorang dengan Nabi dan melalui beliau sampai ke Tuhan. Oleh karena itu, bagian yang penting dalam pencarian spiritual adalah menemukan seorang mursyid yang dapat diandalkan. Begitu seseorang telah menemukan seorang mursyid dan telah diterima sebagai murid haruslah, seperti kata pepatah, bagai mayat ditangan orang yang memandikannya (akan kita lihat di belakang bahwa ungkapan ini diberi tafsiran harfiah pada sebuah cabang tarekat ini di Sumatera).
Dalam tarekat Naqsyabandiyah, pemahaman silsilah yang demikian membawa tarekat ini pada pemakaian teknik yang disebut rabithah mursyid, “mengadakan hubungan batin dengan sang pembimbing”, sebagai pendahuluan zikir. Persisnya rabithah diamalkan bervariasi di satu tempat dan di tempat lain, tetapi selalu mencakup penghadiran (visualization) sang mursyid oleh murid dan membayangkan hubungan yang sedang dijalin dengan sang mursyid, sering kali dalam bentuk seberkas cahaya yang memancar dari sang mursyid. Muhammad Amin al-Kurdi mengenai rabithah, menjelaskan:
“........maksudnya menghadirkan gambar sang syaikh dalam imajinasi seseorang, hati murid dan hati gurunya saling berhadapan. Hal ini  bahkan dapat saja dilakukan meskipun secara fisik syaikhnya tidak hadir. Sang murid harus membayangkan hati sang syaikh bagaikan samudera karunia spiritual dan dari sana pencerahan dicurahkan ke hati sang murid” [18]
Seorang penganut Naqsyabandiyah bangsa Kurdi menggambarkan kepada saya cara pengahadiran guru yang dilakukannya yang lebih rumit lagi:  ia membayangkan gambar pembimbingnya dan agak samar-samar semua wali dalam silsilahnya, lalu ia membayangkan seberkas cahaya memancar dari Allah dan turun ke kening Rasulullah, dari sana cahaya itu memantul melalui wali-wali satu persatu berurutan, kemudian dari kening sang pembimbing langsung masuk ke hati sang murid, yang ketika itu menyebut “Allah, Allah”, mulainya zikir nama Tuhan tanpa disengaja.
Biasanya, sang murid melakukan rabithah kepada guru yang telah membaiatnya, tidak kepada syaikh yang lebih awal. Namun, beberapa kali terjadi seorang syaikh yang ambisius menuntut agar semua murid bukan hanya muridnya sendiri tetapi juga murid khalifahnya dan seterusnya, senantiasa  melakukan rabithah hanya dengannya seorang. Kalau ia berhasil, cabang tarekat yang berasal darinya akan sangat kompak dan sentralistis. Salah seorang mursyid yang demikian adalah sang pemburu, Maulana Khalid; karena kekompakannya inilah tarekat Khalidiyah telah menjadi cabang Naqsyabandiyah yang paling Dominan. Selain Mulana Khalid, Syaikh Suleyman Hilmi Tunahan Efendi (w.1959), seorang guru berkebangsaan Turki, tetap melarang melakukan rabithah dengan guru lain selain dengannya sendiri.

e.         Khatm-i Khwajagan
Khatm-i khwajagan merupakan serangkaian wirid, ayat, shalawat, dan doa yang menutup setiap zikir berjamaah. Konon ini disusun oleh ‘Abd al-Khaliq al-Ghujdawani, dan dianggap sebagai tiang ketiga Naqsyabandiyah, setelah dzikir ism al dzat dan dzikir nafiy wa isbat. Pembacaan khatm dipercayai untuk memohon ruh-ruh para syaikh besar dari masa lampau agar membantu mereka yang sedang berkumpul.
Khatm dibacakan ditempat yang tidak ada orang luar, dan pintu harus tertutup. Tak seorang pun boleh ikut serta tanpa izin lebih dulu dari sang syaikh dan para peserta harus dalam keadaan ber-wudhu’.
Menurut Muhammad Amin al-Kurdi, Khatmi-i Khwajagan terdiri atas :
1)      15 atau 25 kali istighfar, didahului oleh sebuah do’a pendek
2)      Melakukan rabithah bi al-syaikh, sebelum berzikir
3)      7 kali surah Al-Fatihah
4)      100 shalawat, misalnya Allahumma salli’ala sayyidina Muhammadinal-nabiyyi al-ummiyyi wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam
5)      79 kali surah Alam nasyrah
6)      1001 surah Al-Ikhlas
7)      7 kali Al-Fatihah
8)      100 shalawat lagi
9)      Sebuah do’a panjang untuk ruh Nabi Muhammad Saw. Dan para syaikh tarekat-tarekat besar, khususnya ‘Abd al-Khaliq, Baha’ al-Din, ‘Abdallah Dihlawi, Maulana Khalid dan syaikh terakhir dari silsilah pengarang ‘Utsman Siraj al-Din, ‘Umar dan Muhammad Amin sendiri
10)  Membaca bagian-bagian tertentu dari Al-Qur’an.[19]
Ternyata untuk melakukan khatm yang lengkap akan merupakan kegiatan yang memakan waktu tidak sedikit. Biasanya dilaksanakan adalah  khatm  dalam bentuk yang sudah diperingkas; bagian yang sangat penting;  yang tak dapat ditinggalkan dalam keadaan apapun, adalah do’a. Dalam do’a, setiap syaikh menyebutkan nama-nama wali yang paling penting dalam silsilahnya sendiri.

f.         Tawajjuh
Seperti halnya dalam semua tarekat, syaikh atau mursyid memegang peranan sangat penting demi kemajuan spiritual muridnya. Ikut sebuah tarekat tanpa mempunyai seorang syaikh adalah mustahil. Syaikh membantu murid-muridnya dengan berbagai cara, dengan mengajarkan langsung tetapi juga melalui proses yang disebut tawajjuh. Istilah ini berarti “temu muka”, tetapi dalam lingkungan Naqsyabandisyah telah memperoleh beberapa arti khusus. Tawajjuh merupakan perjumpaan dimana seseorang membuka hatinya kepada syaikhnya dan membayangkan hatinya itu disirami berkah sang syaikh. Sang syaikh akhirnya membawa hati tersebut ke hadapan Nabi Muhammad Saw.
Hal ini dapat berlangsung sewaktu pertemuan pribadi atau empat mata antara murid  dan mursyid (bai’at merupakan kesempatan pertama dari tawajjuh ), tetapi  tawajjuh pun mungkin bahkan ketika sang syaikh secara fisik tidak hadir. Hubungan dapat dilakukan melalui rabithah, dan bagi murid yang berpengalaman, sosok ruhani sang syaikh merupakan penolongannya yang efektif dikala syaikhnya tidak hadir, sama seperti ketika syaikhnya ada di dekatnya. Tetapi yang paling biasa, tawajjuh berlangsung selama pertemuan zikir berjamaah di mana syaikh ikut serta bersama muridnya. Di beberapa daerah di Indonesia, pertemuan zikir itu sendiri disebut tawajjuh.

g.        Baiat, Ijazah, Khalifah
Memasuki tarekat Naqsyabandiyah harus melalui pintu pembaitannya. Persisnya bentuk upacara  tersebut beragam-ragam di tempat yang berbeda, tetapi seperti kebanyakan ritus yang demikian, ia menyangkut kematian dan kelahiran secara simbolik. Mula-mula sang murid harus melakukan tobat, yaitu dengan mengingat segala dosa-dosa dimasa lampau, memohon pengampunan dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi  semua kebiasaan jelek yang diperbuat dulu. Pada bagian inti  upacara tersebut, sang murid menyatakan sumpah setia kepada syaikhnya, dan setelah itu ia menerima pelajaran esoterik yang pertama (talqin).
Menurut peraturan (tetapi banyak pngecualiannya), hanya mereka yang telah diambil sumpah saja yang diperbolehkan turut serta dalam ritual-ritual bersama dalam tarekat itu. Pada beberapa cabang tarekat itu di Indonesia, pembaitan itu disertai ritual-ritual yang agak rumit yang mungkin saja diambil alih (tidak mesti secara sadar dan bukannya tanpa perubahan) dari upacara inisiasi ketika memasuki perkumpulan rahasia kaum lelaki dari masa sebelum Islam.
Apabila sang murid telah mempelajari dasar-dasar tarekat dan telah memperlihatkan kemajuan memadai untuk melaksanakan latihan-latihan sendiri, gurunya akan memberi ijazah. Tampaknya paling tidak ada tiga tingkatan ijazah. Setelah pertama, yang dasar sekali (ijazah untuk melakukan amalan tarekat), ada ijazah yang lebih bergengsi lagi yang memberikan wewenang kepada sang murid untuk bertindak sebagai wakil syaikhnya dalam memberi pelajaran  dan membimbing murid-murid lainnya. Ijazah yang tertinggi memberikan wewenang kepada penerimanya untuk bertindak sendiri sebagai seorang syaikh  dan mengambil baiat bakal calon murid atas namanya sendiri. Sang murid  telah menjadi khalifah dari syaikhnya dan ia sudah boleh diutus oleh syaikhnya ke tempat yang telah direncanakan untuk menyebarluaskan tarekat tersebut. Meskipun secara relatif  ia mandiri, ia tetap memperlihatkan kepatuhannya yang mutlak kepada syaikhnya. Istilah khalifah itu dapat juga disandang oleh mereka yang sudah mendapat ijazah tingkatan kedua; tetapi di Indonesia biasanya disebut badal.

h.        Khalwat  atau  Suluk
Tidak  diwajibkan  tetapi  sangat  dianjurkan,  paling  tidak di antara kaum Naqsyabandiyah  cabang  Khalidiyah; kalangan Mazhariyah di Indonesia tidak mempraktikkannya adalah kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan duniawi; khalwat, menunjukkan bahwa semula kegiatan menyepi  dan melatih diri dengan bertapa itu dilaksanakan selama empat puluh hari. Di Indonesia, istilah suluk (yang secara harfiah berarti “menempuh jalan spiritual”) lebih lazim digunakan, dan lamanya tidak sampai empat puluh hari, biasanya sepuluh atau dua puluh hari. Selama melakukan khalwat, seseorang makan dan minum sedikit sekali, hampir seluruh waktunya dipakai untuk berzikir dan meditasi dan ia pun tidak diperbolehkan berbicara kecuali dengan syaikhnya atau dengan mitranya yang juga melakukan meditasi, dan itupun terbatas pada soal-soal keruhanian saja. Di kalangan Naqsyabandiyah di Indonesia, selama suluk itulah seseorang diajarkan dzikir latha’if. Mereka yang belum melakukan suluk umumnya tidak diperkenankan menjalankan zikir ini.
Kebanyakan syaikh Naqsyabandiyah Khalidiyah mempunyai ruang khusus tempat para muridnya dapat menjalankan suluk tanpa terganggu (rumah suluk). Pengaruh dan wibawa seorang syaikh seringkali diukur dengan besar kecilnya rumah suluk yang dimilikinya dan jumlah murid yang berkhalwat di sana. Tetapi, seseorang dapat pula menjalankan khalwat di tempat-tempat lain seperti di gua-gua (biasanya terletak di lereng gunung) dan di makam-makam para waliyullah. Untuk Indonesia, hanya di Sumateralah suluk agak meluas dilakukan orang.
Di bagian-bagian tertentu wilayah Aceh Barat dan Sumatera Utara, sudah hampir merupakan kebiasaan umum bagi orang-orang berusia lanjut dan para wanita untuk tinggal selama beberapa hari atau beberapa minggu di rumah suluk seorang syaikh setelah panen, berbeda didaerah Jawa, hanyalah di Sokaraja Kabupaten Banyumas agak banyak orang yang ikut serta menjalankan suluk tersebut.

Penutup
Tarekat bukanlah suatu gejala kebodohan ataupun penyimpangan ajaran Islam, apalagi pelarian tanggung jawab sosial yang membuat orang apatis, tetapi merupakan suatu usaha mencari ketenangan batin lewat pengamalan syari’at, tarekat dan hakekat dengan tuntunan seorang mursyid.
Meskipun seorang mursyid tidak banyak mengetahui ilmu-ilmu modern, tetapi mereka cukup memiliki pengetahuan ilmu keagamaan (Islam) yang berpandangan bahwa salah satu ajarannya adalah mementingkan keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Secara kasat mata kita melihat, keseimbangan itu tidak terjadi. Di mana kecenderungan mereka yang bertarekat lebih menekankan pada kehidupan ukhrawi, hal ini sebenarnya bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat pengamalan keagamaan yang tinggi dan sudah memiliki kecukupan, tapi dalam kenyataannya tidak.
Di samping itu, pengkultusan bagi seorang syaikh juga terlihat pada setiap tarekat, bahkan syaikh dijadikan perantaraan untuk muridnya mendekatkan diri kepada Sang Khalik, ini berarti sebagian berpendapat prilaku yang bertentangan dengan syari’at Islam, sedangkan bagi mereka yang bertarekat tidak, karena makna tarekat itu adalah jalan untuk sampai dan bertemu Tuhannya.
Pemahaman bertemu Tuhan tidak mudah dan sembarangan orang, melainkan bagi mereka yang terpilih menjadi khalifah atau wali Tuhan di dunia, itulah yang mereka pahami. Sedangkan menghadirkan Tuhan melalui khalwat atau mediasi hanya dapat dirasakan bagi setiap orang secara individu atau muridnya masing-masing.
Tidak dapat kepungkiri bahwa hal ini sudah terjadi bahkan keberadaan tarekat sangat eksis dan justru sekarang menjadi jalan bagi setiap orang bukan hanya untuk kepentingan ukhrowi, tetapi kepentingan duniawi seperti pangkat, jabatan dan harta jika seseorang ingin sukses, melalui tarekat tersebut.   
DAFTAR BACAAN


al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jarjani, al-Ta’rifat, Jeddah: al-Haramain,t.t.

Amin, Najamuddin al-Kurdi, Tanwir al-Qutub fi Mu’amalah Allam al-Guyub, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Amin Syukur, M et-al, Intelektualisme Tasawuf, Sufi Intelektualisme Tasawuf of al-Gazali, Semarang: Pustaka Pelajar, 2002.

Amstrong, Amatullah, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Bandung: Mizan, 1996.

Azra, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995.

Departemen Agama RI.  Alquran dan Terjemahanya.  Bandung: Jumanatul Ali-Art, 2005.

Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1994.

________________, Islam Dokrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.

Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992.

Mulyati, Sri,  Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Nasution, Harun,  Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,  Jakarta: UI Press, 1986.

_____________, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Rifa’i, A Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke-Neo-sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Raya, 2000.

Trimingham,  Risalat fi Sunan al-Tha’ifat al-Naqsyabandiyah, Cambridge: 1971.

Zaenal, Islam,  Aqidah dan Syariah 1, Jakarta: Raja Grafindo, 1996.

Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1976.


[1] Ada beberapa macam penulisan kata “tarekat” yang ditemukan dalam buku-buku berbahasa Indonesia, antara lain: Thariqat, Tharekat, Thariqat, Tarikat dan Tarekat. Penulis cenderung memakai penulisan Tarekat berdasarkan penulisan standar pada kamus besar bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Depdikbud RI tahun 1995, h. 1011 dan dipandang lebih sesuai dengan lahjah atau aksen Indonesia. Secara umum arti tarekat adalah jalan tertentu yang ditempuh oleh kaum Salikin menuju Allah Swt, mereka tidak peduli kepada kedudukan dan terus meningkatkan keluhuran akhlak dan ibadah. Lihat al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jarjani, al-Ta’rifat (Jeddah: al-Haramain,t.t.), h. 141. 
[2] Tasawuf banyak didefinisikan pada ahli yaitu ilmu untuk mengetahui berbagai keadaan jiwa, baik yang terpuji maupun yang tercela, metode untuk mensucikan jiwa yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji serta bagaimana metode suluk (berjalan) menuju Allah Swt. Lihat: Najamuddin Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qutub fi Mu’amalah Allam al-Guyub (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 405.
[3] A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 57.
[4] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 56.
[5] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1976), h. 63.
[6] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 254
[7] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1995), h. 128.
[8] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 57.

[9] Depag RI, Alqur’an dan Terjemahnya (Semarang: Grafindo, 1994), h. 68.
[10] M. Amin Syukur et-al, Intelektualisme Tasawuf, Sufi Intelektualisme Tasawuf of al-Gazali (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), h. 17.
[11] Paham wahdat al-syuhud adalah paham kesatuan kesaksian di mana seorang hamba menyaksikan kehadiran Allah Swt, di sejauh kemampuannya memandang dengan kesaksian yang satu yaitu wujud YME. Lihat Amatullah Amstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf  (Bandung: Mizan, 1996), h. 310.
[12] Trimingham, Risalat fi Sunan al-Tha’ifat al-Naqsyabandiyah (Cambridge, 1971), h. 203.
[13] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), h. 76-79.
[14] Ibid, h. 80.
[15] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 106.
[16] Ibid, h. 107.

[17] Martin van Bruinessen, h. 82.
[18] Ibid, h. 83.
[19] Ibid, h. 86.

0 komentar:

Post a Comment