AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Oleh: Edi Sucipno
a. Pengertian dan Sejarah Kelahiran
Kata al-Jam’iyatul Washliyah terdiri
atas dua kata yaitu kata al-jam’iyyah dan kata al-wahsliyah.
Al-Jam’iyah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja jama’a-yajma’u
yang berarti mengumpulkan/menghimpun, kemudian mendapatkan tambahan ya
nisbiyah dan ta’ marbuthah, sehingga diartikan perkumpulan/
perhimpunan.[1] Kata al-washliyah merupakan bentuk mashdar
sina’iy dari kata washala-yashilu, kata al-washliyah dapat
diartikan bersifat menguhubungkan.[2] Dengan demikian kata al-jam’iyyatul washliyah diartikan
perhimpunan yang menghubungkan.[3]
Dimaksud dengan menghubungkan adalah
menghubungkan seorang muslim kepada penciptanya, kepada sesama manusia dan
kepada alam lingkungannya. Yang termasuk hubungan sesama manusia adalah
memperkokoh solidaritas al-ikhwah al-insaniyah (persaudaraan sesama
manusia), al-ikhwah al-wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan al-ikwah
al-islamiyah (persaudaraan seakidah).[4]
Al-Jam’iyatul Washliyah berdiri pada
hari minggu tanggal 30 November 1930 Masehi atau tepatnya 9 Rajab 1349 Hijrah
di Medan.[5] Sejarah Al-Washliyah tidak dapat dilepaskan dari Maktab
Islamiyah Tapanuli (MIT) didirikan pada tanggal 19 Maret 1918.[6] Sebuah sekolah yang didirikan oleh masyarakat Mandailing
yang merupakan salah satu etnis masyarakat yang terdapat di Sumatera Timur saat
itu. Pendirian MIT atas inisiatif Syekh Mohammad Ya’kub. Lembaga pendidikan ini
berkembang cukup baik, pada tahun 1930-an MIT telah mempunyai sekitar 1000 orang
siswa dari berbagai daerah di Medan.[7]
Sepuluh tahun setelah MIT didirikan
(1928), para alumni dan senior MIT mendirikan ”Debating Club”. Debating
Club ini didirikan berkaitan dengan meluasnya diskusi-diskusi mengenai
nasionalisme dan berbagai paham keagamaan yang terutama didorong oleh kaum
pembaharu.[8] Dari forum debat ini lahirlah ide untuk membangun suatu
organisasi yang bergerak pada bidang pendidikan, agama, dan jaringan solidaritas sosial.[9]
Nama Al-Jam’iyatul Washliyah merupakan
sumbangan pemikiran dari Muhammad Yunus, seorang guru senior di MIT.[10] Pendirian Alwashliyah merupakan hasil upaya bersama
beberapa orang dengan peran dan keistimewaannya masing-masing.[11] Di antara para pelopor yang terlibat membidani kelahiran
Al-Jam’iyatul Washliyah adalah H. M. Arsyad Thalib Lubis, H. Abdul Rahman
Syhihab, H. Ismail Banda, dan H. M. Yusuf Ahmad Lubis.[12]
Adapun yang menjadi latar belakang
utama dari berdirinya al-Washliyah didorong oleh ada dua hal yaitu semangat
nasionalisme dan latar belakang sosial-keagamaan dengan munculnya berbagai
masalah khilafiah di tengah masyarakat.[13]
b. Paham dan Praktik Keagamaan Al-Jam’iyatul Washliyah
Dalam paham keagamaan, pada awalnya
Al-Jam’iyatul Washliyah menganut mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih dan aliran
ahlussunnah wal jama’ah dalam bidang akidah.[14] Majelis yang mengurusi bidang ini adalah majelis fatwa
yang dibentuk pada tanggal 10 Desember 1933 H[15], dengan beranggotakan 15 orang terdiri atas ulama dan
pemuka agama.[16] Majelis ini tidak mengeluarkan hukum baru, oleh karena itu
majelis ini hanya mengeluarkan fatwa bila diperlukan dan hanya memberikan ketegasan kepada
masyarakat, khususnya masyarakat Al-Washliyah tentang hukum dari suatu masalah
yang aktual di masyarakat.[17] Al-Washliyah menganggap bahwa hanya para ulama terdahulu
saja yang mampu menetapkan hukum karena tidak semua orang mempunyai kesanggupan
mengeluarkan hukum dengan sendirinya dari Alquran dan hadis. Karena untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut harus memenuhi berbagai syarat. Harus menguasai
bahasa Arab dengan baik dan mempunyai kelengkapan tentang ilmu-ilmu yang
diperlukan untuk memahami Alquran dan hadis dan berbagai syarat lain yang
diterangkan dalam kitab ushul fiqih. [18]
Penyebutan bermazhab Syafi’i tidak
mengartikan bahwa al-Washliyah tidak menghormati pendapat mazhab lain. Hal ini
dikarenakan, karena al-Washliyah menyadari bahwa hukum adalah hasil ijtihad
yang bersifat zhanni yang tidak mempunyai kebenaran absolut. Al-Washliyah
juga bersikap tasamuh (toleran) terhadap segala perbedaan pendapat dan
paham. Perbedaan merupakan hal yang wajar dan tidak perlu membawa perpecahan
umat. Penyebutan bermazhab Syafi’i di dalam AD supaya menunjukkan tempat
berpijak dalam fikih sekaligus referensi hukum bagi al-Washliyah dalam
menghadapi persoalan hukum yang timbul.[19]
Namun pada muktamar Bandung,
Al-Jam’iyatul Washliyah merevisi anggaran dasarnya di bidang fiqh dari
bermazhab Syafi’i menjadi bermazhab sunni,[20] dengan tetap mengutamakan mazhab Syafi’i.[21] Sebagai konsekwensinya, fatwa-fatwa hukum sesudah itu
tidak lagi terikat mutlak kepada mazhab Syafi’i saja. Sebagai contoh, jika
dipandang terdapat ta’azzur dan ta’assur ketika mengamalkan paham
mazhab Syafi’i, maka Al-Jam’iyatul Washliyah akan menetapkan fatwanya dengan
menggunakan paham ulama di kalangan sunni, seperti masalah persentuhan antara
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dapat membatalkan wudhu’ kapan dan di
mana saja. Menurut mazhab Syafi’i, hal tersebut dapat membatalkan wudhu’, maka
majelis fatwa di Medan pada tahun 1998, memutuskan persentuhan antara laki-laki
dan perempuan ketika thawaf tidak membatalkan wudhu’ karena memandang penerapan
mazhab Syafi’i untuk masalah tersebut mengandung kesulitan.[22]
Untuk bidang akidah, Al-Washliyah
sejak awal menganut aliran ahlussunnah wal jama’ah. Paham Al-Washliyah pada
bidang ini, dapat ditelusuri oleh melalui fatwa-fatwa Al-Washliyah, kitab-kitab
yang digunakan di madrasahnya, dan tulisan para ulamanya. Semua kitab yang
digunakan dari jenjang ibtidaiyah sampai aliyah mengajarkan rukun iman yang
enam, sifat dua puluh yang wajib dan mustahil bagi Allah. Demikian juga empat
sifat yang wajib dan mustahil bagi rasul. Kajian-kajian tersebut merupakan
kajian spesifik pada aliran Asy’ariyah.[23]
Taufik Abdullah mengelompokkan pola
pemikiran ulama Al-Washliyah ke dalam
kelompok tradisionalis.[24] Al-Washliyah menurut Boland sebagaimana yang dikutip oleh
Steenbrink dapat disebut sangat ortodoks dan konservatif. Namun Steenbrink
menyatakan bahwa organisasi ini juga
dapat dikatakan modern, karena cikal bakal berdirinya al-Washliyah adalah dari
para pelajar MIT yang merupakan sekolah Islam modern di Medan saat itu. Bahkan
menurut Steenbrink sebutan reformis juga bisa ditujukan kepada al-Washliyah. Hal
ini dibuktikan dari program pengiriman mahasiswa ke Cairo serta usaha
mendirikan sekolah umum, yang mengikuti model gubernemen. [25]
Al-Washliyah juga merupakan organisasi
yang cenderung bersifat terbuka dan aspiratif terhadap perkembangan serta tidak
menutup diri dalam menjalin kerja sama dengan kelompok umat Islam modernis. Hal
ini dapat dilihat dari program studi banding bidang pendidikan pada tahun 1934
yang dilakukan Al-Washliyah ke Sumatera Barat yang sudah mengalami proses
pembaharuan terlebih dahulu[26] dan pendukungan kegiatan prangko amal yang dilakukan oleh
Muhammadiyah pada tahun 1941.[27]
Pada bidang tasawuf, dapat dikatakan
bahwa Al-Washliyah berbeda dengan kecenderungan umum organisasi-organisasi
Islam tradisional lainnya, Al-Washliyah tidak mengembangkan tarekat.[28]
Daftar Pustaka
Abbas, Siradjuddin. I’tiqad
Ahlussunnah wal Jama’ah. Jakarta:
Pustaka Tarbiyah. cet. 22, 1997.
Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat:
Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
Al-Washliyah. Al-Jam’iyatul
Washliyah Memasuki. t.t.
Amin, M. Nurdin. ”Peran
Al-Washliyah Dalam Perjuangan Bangsa.” dalam Saiful Akhyar. (ed.). Peran
Moderasi Al-Washliyah. Medan: Univa Press, 2008.
Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Al-jam’iyatul Washliyah. Tahun 1987.
Ashari, Hasan.
”Al-Jam’iyatul Washliyah: Sejarah Sosio-Religius dan Intelektual Periode Awal.”
dalam Saiful Akhyar. (ed.). Peran Moderasi Al-Washliyah. Medan: Univa
Press, 2008.
Audah, Salman Al-. Shifatul
Ghurabā. al-Firqah an-Nājiyah wa al-Thāifah al-Manshurāh. terj. Agus Hasan
Bashori. Firqotun Najiyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1992.
Aziz, Abd.. Konsepsi
Ahlussunah wal Jama’ah dalam Bidang Aqidah dan Syariah. Pekalongan:
Bahagia, 1990.
Barsyany, Noer Iskandar
al-. Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah wal Jama’ah. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001.
________. Noer Iskandar al-. Aktualisasi Paham
Ahlussunnah Waljama’ah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.
Hadidhy, Syahrul AR el-. et.al..
Pendidikan Ke Al-Washliyahan. Medan: MPK Al-Jam’iyatul Washliyah, 2005.
Hasanuddin, Chalijah. Al-Jam’iyatul
Washliyah Api Dalam Sekam. Bandung: Pustaka, 1988.
Hooker, MB.. Islam
Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa dan Perubahan. Jakarta:
Lubis, Mhd. Arsyad
Thalib. ”Pengantar.” dalam Nukman Sulaiman. Peringatan 1/4 Abad
Al-Jam’iyatul Washliyah. Medan: PB Al-Jam’iyatul Washliyah, 1956.
Musthafa, Bisyri. Risalah
Ahlussunnah wal Jama’ah. Kudus: Yayasan al-Ibris, 1967.
Nasution, Armyn.
”Muhammad Arsyad Thalib Lubis: Pilar Keutamaan dan Foto Juang Yang Tidak
Dipajang.” dalam Saiful Akhyar. (ed.). Peran Moderasi Al-Washliyah. Medan:
Univa Press, 2008.
Pengurus Besar
Al-Jam’iyatul Washliyah. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
al-Jam’iyatul Washliyah. Jakarta: t.p., 1997.
Tim Pelaksana Proyek
Penulisan Buku 70 Tahun Al-Washliyah. Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki
Millenium III. Jakarta: t.p., 1999.
Wahid, Ramli Abdul.
”Al-Jam’iyatul Washliyah: Studi Tentang Mazhab Akidah dan Fiqih.” dalam Saiful
Akhyar. (ed.). Peran Moderasi Al-Washliyah. Medan: Univa Press, 2008.
[2] Ibid., h.
903.
[3] Ramli Abdul Wahid, ”Al-Jam’iyatul
Washliyah: Studi Tentang Mazhab Akidah dan Fiqih,” dalam Saiful Akhyar (ed.), Peran
Moderasi Al-Washliyah (Medan: Univa Press, 2008), h. 19.
[4] M. Nurdin Amin, ”Peran Al-Washliyah
Dalam Perjuangan Bangsa,” dalam Saiful Akhyar (ed.), Peran Moderasi
Al-Washliyah (Medan: Univa Press, 2008), h. 29.
[5] Syahrul AR el-Hadidhy, et.al., Pendidikan
Ke Al-Washliyahan (Medan: MPK Al-Jam’iyatul Washliyah, 2005), h. 2-4.
[6] Armyn Nasution, ”Muhammad Arsyad Thalib Lubis:
Pilar Keutamaan dan Foto Juang Yang Tidak Dipajang,” dalam Saiful Akhyar (ed.),
Peran Moderasi Al-Washliyah (Medan: Univa Press, 2008), h. 102.
[7] Chalijah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah
Api Dalam Sekam (Bandung: Pustaka, 1988), h.17-19.
[9] Amin, ”Peran Al-Washliyah, h. 30.
[10] Syahrul AR el-Hadidhy, et.al.,
Pendidikan Ke Al-Washliyahan, h.
3.
[11] Hasan Asari, ”Al-Jam’iyatul
Washliyah: Sejarah Sosio-Religius dan Intelektual Periode Awal,” dalam Saiful Akhyar (ed.), Peran
Moderasi Al-Washliyah (Medan: Univa Press, 2008), h. 6.
[12] Pengurus Besar Al-Jam’iyatul Washliyah, Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga al-Jam’iyatul Washliyah (Jakarta: t.p.,
1997), h. 3.
[13] Syahrul AR el-Hadidhy, et.al., Pendidikan
Ke Al-Washliyahan, h. 2-4.
[14] Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Al-jam’iyatul Washliyah, Tahun 1987, h. 4.
[17] Tim Pelaksana Proyek Penulisan Buku
70 Tahun Al-Washliyah, Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki Millenium III (Jakarta:
t.p., 1999), h. 22.
[18] Panitia Besar Muhammadiyah, Peringatan 30 Tahun Muhammadiyah di Sumatera Timur
(Medan: Panitia Besar Muhammadiyah, 1957), h. 351.
[19] Mhd. Arsyad Thalib Lubis, ”Pengantar,” dalam
Nukman Sulaiman, Peringatan 1/4 Abad Al-Jam’iyatul Washliyah (Medan: PB
Al-Jam’iyatul Washliyah, 1956), h. 18-20.
[21] Al-Washliyah, Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki,
h. 55.
[23] Ibid., h.
20-21.
[24] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat:
Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta:
LP3ES, 1987), h. 29.
[25] SteenBrink, Pesantren, h. 78-79.
[27] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Jepang: Pustaka Jaya,
1980), h. 126.
[28] Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah, h.
115-118.
0 komentar:
Post a Comment