Pages

Tuesday, November 3, 2015

AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH Oleh: Edi Sucipno



AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Oleh: Edi Sucipno

a. Pengertian dan Sejarah Kelahiran
Kata al-Jam’iyatul Washliyah terdiri atas dua kata yaitu kata al-jam’iyyah dan kata al-wahsliyah. Al-Jam’iyah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja jama’a-yajma’u yang berarti mengumpulkan/menghimpun, kemudian mendapatkan tambahan ya nisbiyah dan ta’ marbuthah, sehingga diartikan perkumpulan/ perhimpunan.[1] Kata al-washliyah merupakan bentuk mashdar sina’iy dari kata washala-yashilu, kata al-washliyah dapat diartikan bersifat menguhubungkan.[2] Dengan demikian kata al-jam’iyyatul washliyah diartikan perhimpunan yang menghubungkan.[3]
Dimaksud dengan menghubungkan adalah menghubungkan seorang muslim kepada penciptanya, kepada sesama manusia dan kepada alam lingkungannya. Yang termasuk hubungan sesama manusia adalah memperkokoh solidaritas al-ikhwah al-insaniyah (persaudaraan sesama manusia), al-ikhwah al-wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan al-ikwah al-islamiyah (persaudaraan seakidah).[4]
Al-Jam’iyatul Washliyah berdiri pada hari minggu tanggal 30 November 1930 Masehi atau tepatnya 9 Rajab 1349 Hijrah di Medan.[5] Sejarah Al-Washliyah tidak dapat dilepaskan dari Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) didirikan pada tanggal 19 Maret 1918.[6] Sebuah sekolah yang didirikan oleh masyarakat Mandailing yang merupakan salah satu etnis masyarakat yang terdapat di Sumatera Timur saat itu. Pendirian MIT atas inisiatif Syekh Mohammad Ya’kub. Lembaga pendidikan ini berkembang cukup baik, pada tahun 1930-an MIT telah mempunyai sekitar 1000 orang siswa dari berbagai daerah di Medan.[7]
Sepuluh tahun setelah MIT didirikan (1928), para alumni dan senior MIT mendirikan ”Debating Club”. Debating Club ini didirikan berkaitan dengan meluasnya diskusi-diskusi mengenai nasionalisme dan berbagai paham keagamaan yang terutama didorong oleh kaum pembaharu.[8] Dari forum debat ini lahirlah ide untuk membangun suatu organisasi yang bergerak pada bidang pendidikan, agama, dan jaringan  solidaritas sosial.[9]
Nama Al-Jam’iyatul Washliyah merupakan sumbangan pemikiran dari Muhammad Yunus, seorang guru senior di MIT.[10] Pendirian Alwashliyah merupakan hasil upaya bersama beberapa orang dengan peran dan keistimewaannya masing-masing.[11] Di antara para pelopor yang terlibat membidani kelahiran Al-Jam’iyatul Washliyah adalah H. M. Arsyad Thalib Lubis, H. Abdul Rahman Syhihab, H. Ismail Banda, dan H. M. Yusuf Ahmad Lubis.[12]
Adapun yang menjadi latar belakang utama dari berdirinya al-Washliyah didorong oleh ada dua hal yaitu semangat nasionalisme dan latar belakang sosial-keagamaan dengan munculnya berbagai masalah khilafiah di tengah masyarakat.[13]

b. Paham dan Praktik Keagamaan Al-Jam’iyatul Washliyah
Dalam paham keagamaan, pada awalnya Al-Jam’iyatul Washliyah menganut mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih dan aliran ahlussunnah wal jama’ah dalam bidang akidah.[14] Majelis yang mengurusi bidang ini adalah majelis fatwa yang dibentuk pada tanggal 10 Desember 1933 H[15], dengan beranggotakan 15 orang terdiri atas ulama dan pemuka agama.[16] Majelis ini tidak mengeluarkan hukum baru, oleh karena itu majelis ini hanya mengeluarkan fatwa bila diperlukan  dan hanya memberikan ketegasan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Al-Washliyah tentang hukum dari suatu masalah yang aktual di masyarakat.[17] Al-Washliyah menganggap bahwa hanya para ulama terdahulu saja yang mampu menetapkan hukum karena tidak semua orang mempunyai kesanggupan mengeluarkan hukum dengan sendirinya dari Alquran dan hadis. Karena untuk melaksanakan pekerjaan tersebut harus memenuhi berbagai syarat. Harus menguasai bahasa Arab dengan baik dan mempunyai kelengkapan tentang ilmu-ilmu yang diperlukan untuk memahami Alquran dan hadis dan berbagai syarat lain yang diterangkan dalam kitab ushul fiqih. [18]
Penyebutan bermazhab Syafi’i tidak mengartikan bahwa al-Washliyah tidak menghormati pendapat mazhab lain. Hal ini dikarenakan, karena al-Washliyah menyadari bahwa hukum adalah hasil ijtihad yang bersifat zhanni yang tidak mempunyai kebenaran absolut. Al-Washliyah juga bersikap tasamuh (toleran) terhadap segala perbedaan pendapat dan paham. Perbedaan merupakan hal yang wajar dan tidak perlu membawa perpecahan umat. Penyebutan bermazhab Syafi’i di dalam AD supaya menunjukkan tempat berpijak dalam fikih sekaligus referensi hukum bagi al-Washliyah dalam menghadapi persoalan hukum yang timbul.[19]
Namun pada muktamar Bandung, Al-Jam’iyatul Washliyah merevisi anggaran dasarnya di bidang fiqh dari bermazhab Syafi’i menjadi bermazhab sunni,[20] dengan tetap mengutamakan mazhab Syafi’i.[21] Sebagai konsekwensinya, fatwa-fatwa hukum sesudah itu tidak lagi terikat mutlak kepada mazhab Syafi’i saja. Sebagai contoh, jika dipandang terdapat ta’azzur dan ta’assur ketika mengamalkan paham mazhab Syafi’i, maka Al-Jam’iyatul Washliyah akan menetapkan fatwanya dengan menggunakan paham ulama di kalangan sunni, seperti masalah persentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dapat membatalkan wudhu’ kapan dan di mana saja. Menurut mazhab Syafi’i, hal tersebut dapat membatalkan wudhu’, maka majelis fatwa di Medan pada tahun 1998, memutuskan persentuhan antara laki-laki dan perempuan ketika thawaf tidak membatalkan wudhu’ karena memandang penerapan mazhab Syafi’i untuk masalah tersebut mengandung kesulitan.[22]
Untuk bidang akidah, Al-Washliyah sejak awal menganut aliran ahlussunnah wal jama’ah. Paham Al-Washliyah pada bidang ini, dapat ditelusuri oleh melalui fatwa-fatwa Al-Washliyah, kitab-kitab yang digunakan di madrasahnya, dan tulisan para ulamanya. Semua kitab yang digunakan dari jenjang ibtidaiyah sampai aliyah mengajarkan rukun iman yang enam, sifat dua puluh yang wajib dan mustahil bagi Allah. Demikian juga empat sifat yang wajib dan mustahil bagi rasul. Kajian-kajian tersebut merupakan kajian spesifik pada aliran Asy’ariyah.[23]
Taufik Abdullah mengelompokkan pola pemikiran ulama  Al-Washliyah ke dalam kelompok tradisionalis.[24] Al-Washliyah menurut Boland sebagaimana yang dikutip oleh Steenbrink dapat disebut sangat ortodoks dan konservatif. Namun Steenbrink menyatakan  bahwa organisasi ini juga dapat dikatakan modern, karena cikal bakal berdirinya al-Washliyah adalah dari para pelajar MIT yang merupakan sekolah Islam modern di Medan saat itu. Bahkan menurut Steenbrink sebutan reformis juga bisa ditujukan kepada al-Washliyah. Hal ini dibuktikan dari program pengiriman mahasiswa ke Cairo serta usaha mendirikan sekolah umum, yang mengikuti model gubernemen. [25]
Al-Washliyah juga merupakan organisasi yang cenderung bersifat terbuka dan aspiratif terhadap perkembangan serta tidak menutup diri dalam menjalin kerja sama dengan kelompok umat Islam modernis. Hal ini dapat dilihat dari program studi banding bidang pendidikan pada tahun 1934 yang dilakukan Al-Washliyah ke Sumatera Barat yang sudah mengalami proses pembaharuan terlebih dahulu[26] dan pendukungan kegiatan prangko amal yang dilakukan oleh Muhammadiyah pada tahun 1941.[27]
Pada bidang tasawuf, dapat dikatakan bahwa Al-Washliyah berbeda dengan kecenderungan umum organisasi-organisasi Islam tradisional lainnya, Al-Washliyah tidak mengembangkan tarekat.[28]


Daftar Pustaka
Abbas, Siradjuddin. I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah. cet. 22, 1997.
Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
Al-Washliyah. Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki. t.t.
Amin, M. Nurdin. ”Peran Al-Washliyah Dalam Perjuangan Bangsa.” dalam Saiful Akhyar. (ed.). Peran Moderasi Al-Washliyah. Medan: Univa Press, 2008.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Al-jam’iyatul Washliyah. Tahun 1987.
Ashari, Hasan. ”Al-Jam’iyatul Washliyah: Sejarah Sosio-Religius dan Intelektual Periode Awal.” dalam Saiful Akhyar. (ed.). Peran Moderasi Al-Washliyah. Medan: Univa Press, 2008.
Audah, Salman Al-. Shifatul Ghurabā. al-Firqah an-Nājiyah wa al-Thāifah al-Manshurāh. terj. Agus Hasan Bashori. Firqotun Najiyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1992.
Aziz, Abd.. Konsepsi Ahlussunah wal Jama’ah dalam Bidang Aqidah dan Syariah. Pekalongan: Bahagia, 1990.
Barsyany, Noer Iskandar al-. Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah wal Jama’ah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.
________.  Noer Iskandar al-. Aktualisasi Paham Ahlussunnah Waljama’ah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.
Hadidhy, Syahrul AR el-. et.al.. Pendidikan Ke Al-Washliyahan. Medan: MPK Al-Jam’iyatul Washliyah, 2005.
Hasanuddin, Chalijah. Al-Jam’iyatul Washliyah Api Dalam Sekam. Bandung: Pustaka, 1988.
Hooker, MB.. Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa dan Perubahan. Jakarta:
Lubis, Mhd. Arsyad Thalib. ”Pengantar.” dalam Nukman Sulaiman. Peringatan 1/4 Abad Al-Jam’iyatul Washliyah. Medan: PB Al-Jam’iyatul Washliyah, 1956.
Musthafa, Bisyri. Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Kudus: Yayasan al-Ibris, 1967.
Nasution, Armyn. ”Muhammad Arsyad Thalib Lubis: Pilar Keutamaan dan Foto Juang Yang Tidak Dipajang.” dalam Saiful Akhyar. (ed.). Peran Moderasi Al-Washliyah. Medan: Univa Press, 2008.
Pengurus Besar Al-Jam’iyatul Washliyah. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga al-Jam’iyatul Washliyah. Jakarta: t.p., 1997.
Tim Pelaksana Proyek Penulisan Buku 70 Tahun Al-Washliyah. Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki Millenium III. Jakarta: t.p., 1999.
Wahid, Ramli Abdul. ”Al-Jam’iyatul Washliyah: Studi Tentang Mazhab Akidah dan Fiqih.” dalam Saiful Akhyar. (ed.). Peran Moderasi Al-Washliyah. Medan: Univa Press, 2008.













[1] Ma’luf, Al-Munjid, h. 101.
[2] Ibid., h. 903.
[3] Ramli Abdul Wahid, ”Al-Jam’iyatul Washliyah: Studi Tentang Mazhab Akidah dan Fiqih,” dalam Saiful Akhyar (ed.), Peran Moderasi Al-Washliyah (Medan: Univa Press, 2008), h. 19.
[4] M. Nurdin Amin, ”Peran Al-Washliyah Dalam Perjuangan Bangsa,” dalam Saiful Akhyar (ed.), Peran Moderasi Al-Washliyah (Medan: Univa Press, 2008), h. 29.
[5] Syahrul AR el-Hadidhy, et.al., Pendidikan Ke Al-Washliyahan (Medan: MPK Al-Jam’iyatul Washliyah, 2005), h. 2-4.
[6] Armyn Nasution, ”Muhammad Arsyad Thalib Lubis: Pilar Keutamaan dan Foto Juang Yang Tidak Dipajang,” dalam Saiful Akhyar (ed.), Peran Moderasi Al-Washliyah (Medan: Univa Press, 2008), h. 102.
[7] Chalijah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah Api Dalam Sekam (Bandung: Pustaka, 1988), h.17-19.
[8] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES,1986), h. 78-79.
[9] Amin, ”Peran Al-Washliyah, h. 30.
[10] Syahrul AR el-Hadidhy, et.al., Pendidikan Ke Al-Washliyahan,  h. 3.
[11] Hasan Asari, ”Al-Jam’iyatul Washliyah: Sejarah Sosio-Religius dan Intelektual Periode Awal,” dalam Saiful Akhyar (ed.), Peran Moderasi Al-Washliyah (Medan: Univa Press, 2008), h. 6.
[12] Pengurus Besar Al-Jam’iyatul Washliyah, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga al-Jam’iyatul Washliyah (Jakarta: t.p., 1997), h. 3.
[13] Syahrul AR el-Hadidhy, et.al., Pendidikan Ke Al-Washliyahan,  h. 2-4. 
[14] Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Al-jam’iyatul Washliyah, Tahun 1987, h. 4.
[15] Wahid, ”Al-Jam’iyatul Washliyah,”,  h. 19.
[16] Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah, h. 105-106.
[17] Tim Pelaksana Proyek Penulisan Buku 70 Tahun Al-Washliyah, Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki Millenium III (Jakarta: t.p., 1999), h. 22.
[18] Panitia Besar Muhammadiyah, Peringatan 30 Tahun Muhammadiyah di Sumatera Timur  (Medan: Panitia Besar Muhammadiyah, 1957), h. 351.
[19] Mhd. Arsyad Thalib Lubis, ”Pengantar,” dalam Nukman Sulaiman, Peringatan 1/4 Abad Al-Jam’iyatul Washliyah (Medan: PB Al-Jam’iyatul Washliyah, 1956), h. 18-20.
[20] Wahid, ”Al-Jam’iyatul Washliyah: Studi,” h. 20.
[21] Al-Washliyah, Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki, h. 55.
[22] Wahid, ”Al-Jam’iyatul Washliyah: Studi,” h. 20.
[23] Ibid., h. 20-21.
[24] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia  (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 29.
[25] SteenBrink, Pesantren, h. 78-79.
[26] Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah, h. 77-78.
[27] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Jepang: Pustaka Jaya, 1980), h. 126.
[28] Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah, h. 115-118.

0 komentar:

Post a Comment