Pages

Wednesday, October 28, 2015

ETIKA MEMILIH PEMIMPIN Oleh: Edi Sucipno


ETIKA MEMILIH PEMIMPIN
Oleh: Edi Sucipno

Pendahuluan
Hampir di setiap pemilihan pemimpin negara baik presiden, gubernur, bupati, maupun pemimpin rendahan lainnya di Indonesia selalu berakhir dengan kontroversi. Hal ini disebabkan banyak terjadi kejurangan dalam mekanisme pemilihan atau sering terjadi praktek 'money-politics' dalam proses suksesi tersebut, kenapa ini terjadi?
Keterkejutan dan kontroversi terpilihnya pemimpin yang tidak memenuhi selera rakyat banyak adalah mutlak disebabkan oleh penyelewangan amanah yang diemban para wakil rakyat untuk menjatuhkan pilihan yang kurang tepat, pilih kasih dan didorong oleh faktor-faktor "X" lainnya, atau memang karena mental masyarakat yang masih salah dalam memilih.
Pertimbangan dalam memilih merupakan salah satu bentuk etika yang harus dijadikan pedoman, terpenuhi tidaknya selera masyarakat terhadap pemimpin terpilih mendatang adalah sangat ditentukan oleh rakyat itu sendiri. Memang semua rakyat ingin mengamanahkan kepemimpinan itu kepada orang-orang yang kapabel, amanah, jujur, dan bertanggung jawab, namun akibat praktek Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang telah mendarah daging (be a blood relative) belum dapat terwujud.
Ijma’ para sahabat pada masa khulafa’ur rasyidin, jelas bahwa Islam memberikan hak mutlak kepada umat manusia dalam memilih pemimpin tertingginya yang mengawasi badan eksekutif. Pemimpin yang dimaksud di sini adalah khalifah atau imam (kepala negara).[1]
Untuk itu, pada makalah ini penulis mencoba memberikan beberapa konstribusi pemikiran dan analisa secara sistematis terkait tentang pemimpin dan bagaimana etika memilih pemimpin, sehingga apa yang diharapkan “baldatun thaibatul warabbul ghofur” dapat terbukti.

Pengertian Pemimpin
Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban, ini merupakan salah satu bunyi matan dari sebuah hadis Rasulullah Saw, yang menegaskan bahwa setiap manusia, tergolong seorang pemimpin tanpa terkecuali, setidaknya ia menjadi pemimpin buat dirinya sendiri.
Agama  Islam menjelaskan bahwa manusia ketika diciptakan sudah terpola menjadi khalifah (pemimpin), hal ini terdapat pada firman Allah Swt yang berbunyi:
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."[2]

Dari ayat di atas, pemimpin itu disebut khalifah yaitu: wakil (pengganti) Nabi Muhammad saw. setelah Nabi wafat (dalam urusan negara dan agama), yang melaksanakan syariat (hukum) Islam dalam kehidupan negara; (gelar) kepala agama dan raja di negara Islam; penguasa; pengelola: manusia diciptakan Allah di muka bumi[3].
Jika dianalisa, ternyata menjadi seorang pemimpin itu sangat berat, karena ia dituntut untuk mampu berbuat dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan saat pengambilan kebijakan dan keputusan pada suatu perkara.  Untuk itu seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kualitas tertentu.
Kualitas pemimpin yang paling utama adalah kemampuan untuk menciptakan dan mewujudkan visi. Visi adalah impian yang membangunkan. Bagi pemimpin, tanggung jawabnya adalah mengubah impian menjadi kenyataan.[4]

Etika Memilih Pemimpin
Proses pemilihan pemimpin secara langsung semakin memberikan ruang kepada setiap individu untuk memilih sesuai dengan rasio dan hati nurani. Namun sayang, proses demokratisasi ini terkadang masih banyak dinodai dengan praktik money politics yang menimbulkan tekanan dan paksaan kepada setiap pemilih.
Secara historis, bagi masyarakat muslim, sebenarnya kontroversi mengenai penentuan kriteria pemimpin bukanlah sesuatu hal yang baru. Sebab pascawafatnya Rasulullah pun (pada tahun 11 H/632 M), umat Islam juga pernah digoncangkan dengan isu yang serupa.
Kalau kita menelisik sejarah, pascawafatnya Rasulullah, sempat pula terjadi ketegangan antara golongan Muhajirin dan Anshar (kalau sekarang mungkin orsospol), sebagai dua kekuatan besar yang sama-sama menginginkan kursi kekhalifahan, untuk mengganti kepemimpinan Rasulullah Saw. Perdebatan dan ketegangan sempat terjadi ketika proses suksesi secara sederhana berlangsung di Saqifah bani Saidah yang finalnya memunculkan nama Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
Yang paling menarik, pemilihan masyarakat muslim dan pembaiatan kepada Abu Bakar, secara tidak langsung dapat mengindikasikan legalitas kedaulatan rakyat. Nilai-nilai yang diterapkan sudah mencerminkan suatu sistem demokratis sekaligus menepis upaya ala monarchi. Sehingga meskipun belum diadakan pemilu secara langsung, konsensus golongan Muhajirin dan Anshar dalam beberapa hal, memiliki hakikat yang tidak jauh berbeda dengan pemilu.
Melihat realitas sejarah tentang pemilihan seorang pemimpin yang pernah dilakukan para sahabat sepeninggal Rasul tersebut, dapatlah dijadikan semacam bukti bahwa untuk memilih pemimpin dalam prespektif Islam adalah sebuah keniscayaan. Hal itu disebabkan, kepemimpinan dalam Islam dipandang sebagai instrumen penting bagi terlindunginya agama dan kesuksesan mengatur dunia.
Kevakuman pemimpin akan mendatangkan kekacauan. Lebih dari itu, menurut Islam pemimpin adalah ”bayangan” Allah di muka bumi. Enam puluh tahun di bawah pemimpin congkak, lebih baik daripada semalam tanpa pemimpin. Wajar jika kemudian para ulama sepakat bahwa pengangkatan pemimpin bagi kaum muslim adalah wajib syar’i.[5]
Pemimpin adalah faktor penting dalam kehidupan berkelompok, berorganisasi bahkan bernegara. Jika pemimpin itu jujur, baik, cerdas dan amanah, niscaya anggota atau rakyatnya akan makmur. Sebaliknya jika pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya akan sengsara.
Oleh karena itulah Islam memberikan pedoman dalam memilih pemimpin yang baik, di antaranya:
1.      Memilih pemimpin yang baik dan beriman
Pemimpin yang baik dan beriman setidaknya dimaksudkan yakni memiliki akhlak mulia dan aqidah yang sama atau dari golongan kita,  ini akan memperkuat dan dapat menjadi penolong bagi kaumnya sendiri. sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya: Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.[6]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.[7]

2.      Memilih yang paling pantas (al-Ashlah)
Memilih pemimpin dalam Islam harus yang memiliki kemampuan dan keahlian, sehingga dianggap layak atau pantas baginya menerima amanah tersebut. Dalil etika ini adalah bahwa ketika Nabi menaklukkan Mekkah dan menerima kunci ka’bah dari bani Syaibah, al-Abbas, pamannya, memintanya agar menyatukan untuknya tugas memberi minum jamaah haji sekaligus juru pintu baitullah.[8] Maka, Allah Swt menurunkan firman-Nya:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.[9]

Jika jabatan itu diberikan bukan kepada orang yang lebih berhak dan lebih pantas, tetapi diberikan kepada selainya, karena faktor kekerabatan di antara keduanya atau mawali (pertalian karena memerdekakan budak), persahabatan, pertemanan karena kesamaan dalam suku atau karena suap yang diterima darinya baik berupa harta maupun manfaat (jasa), kedengkian dalam hatinya kepada orang yang lebih berhak (memiliki jabatan atau karena permusuhan yang terjadi di antara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah Swt dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, semua itu masuk dalam kategori larangan Allah Swt, sebagaimana firman-Nya:
 
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan. Sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.[10]

3.      Memilih yang lebih berkompeten dibidangnya (al-amtsal fal amtsal)
Etika ini merupakan penyempurnaan dari etika pertama. Maksudnya, jika seseorang hendak memilih orang yang bisa mempresentasikan dibidangnya, sementara tidak dijumpai ada orang yang paling pantas (al-aslah) dibidang tersebut, maka ia harus memilih orang yang lebih berkompeten dari pada yang lainnya. Dengan kata lain, ia memperhatikan orang yang lebih banyak keshalihan dan kekuatannya. Demikianlah seterusnya. Jika telah melakukan hal itu dengan ijtihadnya, maka ia telah menunaikan amanah. Allah tidak membebaninya lebih dari itu, karena hal itu berada di luar kesanggupannya. Dalil etika ini adalah firman Allah Swt:
  
Artinya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung.[11]
Nabi Muhammad Saw bersabda:
اذا امرتكم بامرفاتوا منه مااستطعتم
Artinya: “Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka laksanakanlah perintah itu menurut kesanggupan kalian.” [12]
اخوف ما اخاف على امتي الائمة المضلين
Artinya: “Perkara yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah pemimpin yang menyesatkan”[13]
Seandainya tidak terdapat pemimpin yang paling pantas untuk memegang jabatan itu, maka memilih yang lebih mendekati kepantasan untuk tiap-tiap jabatan sesuai kemampuannya. Akan tetapi, kita punya kewajiban untuk mengawasi dan menasehatinya serta mengarahkannya dengan arahan yang baik. Bukan berarti ia mengangkatnya lalu membiarkannya. Sebab ia bukan ahlinya, dan ia hanyalah diangkat sebagai pemimpin karena terpaksa.[14]
4.      Memilih karena faktor kekuatan dan amanah.
Saat ini kecenderungan seorang pemimpin dapat dilihat hanya memiliki “sebelah kaki”, kuat tanpa amanah atau amanah tanpa kekuatan. Syaikh ibnu Utsaimin mengatakan: ”Hal ini bisa disaksikan  hingga masa kita dewasa ini. Anda dapati, misalnya, orang yang tidak layak memangku suatu jabatan dari segi amanahnya, namun anda melihatnya memiliki semangat, kekuatan dan keuletan dalam pekerjaan. Sebaliknya anda melihat orang amanah tapi tidak memiliki semua itu, anda mendapati orang-orang yang menjadi pemimpin rakyat memilih jenis orang  yang pertama untuk melaksanakan  pekerjaan mereka meskipun ia tidak amanah.”[15]
Imam Ahmad pernah ditanya tentang dua orang yang akan menjadi  panglima dalam perang: salah satunya adalah orang kuat tapi fasiq, dan lainnya shalih tapi lemah. Siapakah di antara keduanya yang ditunjuk sebagai panglima?
Ia menjawab: Adapun orang fasiq tapi kuat, maka kekuatannya untuk kaum muslimin dan kedurhakaanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan orang yang shalih tapi lemah, maka keshalihannya untuk dirinya sendiri dan kelemahannya merugikan kaum muslimin. Jadi, perang dilakukan bersama orang yang kuat meski pun durhaka. Dalilnya ialah sabda Nabi Saw:
ان الله يؤ يد هذا الد ين بالرجل الفاجر
Artinya: “Sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan seorang yang durhaka”[16]

5.      Memilih pemimpin yang mampu berlaku adil.
Seorang pemimpin dituntut harus mampu berlaku adil, keadilan yang diserukan alqur’an pada dasarnya mencakup keadilan dibidang ekonomi, sosial, dan terlebih lagi dalam bidang hukum. Seorang pemimpin yang adil, indikasinya adalah selalu menegakkan supremasi hukum; memandang dan memperlakukan semua manusia sama di depan hukum, tanpa pandang bulu.
Hal inilah yang telah diperintahkan alqur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah ketika bertekad untuk menegakkan hukum (dalam konteks pencurian), walaupun pelakunya adalah putrid beliau sendiri (Fatimah Az-Zahra). Firman Allah Swt:
 
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[17]

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.[18]

Penutup
Menganalisa beberapa kriteria dalam memilih pemimpin yang diberikan alqur’an, hadis dan pendapat ulama, atau para pemegang otoritas, seperti di atas. Mungkin kita akan semakin bertanya-tanya, siapa kiranya orang yang memiliki nominasi dan kualifikasi untuk dapat dipilih sebagai pemimpin, akan semakin bingung untuk mendasarkan pilihanya kepada ”calon pemimpin”. Sebaiknya, menurut hemat penulis, acuan-acuan normatif mengenai kepemimpinan, janganlah dianggap sebagai beban bagi seseorang yang ingin memilih pemimpin. Akan tetapi, semua acuan semacam hendaknya dapat dijadikan ”guideline” bahwa, memilih pemimpin adalah sangat berat, namun tidak seberat menjadi pemimpin.
Acuan normatif tersebut bagi manusia yang memiliki hak untuk memilih pemimpin, merupakan ”standar moral” untuk memilih figur pemimpin yang dapat mencerminkan keterwakilan rakyat baik secara moral, pengetahuan dan komitmen kepada perbaikan dan kebaikan rakyat. Hanya dengan memilih pemimpin yang sesuai pesan alqur’an dan hadis itulah, harapan untuk memilih pemimpin yang populis, tidak penguasa yang sok kuasa, tetapi pemimpin yang melayani dan memikirkan kesejahteraan rakyat, akan dapat diwujudkan.
Walhasil, masyarakat akan sepakat, bahwa pemimpin yang dikehendaki saat ini adalah pemimpin yang secara sejati memancarkan wibawa karena memiliki komitmen, integritas, dan kapabilitas yang memadai. Pemimpin yang kita butuhkan sekarang adalah pemimpin yang amanah, fathanah, dan shidiq, serta santun kepada rakyat.
DAFTAR BACAAN
Al-Jihan, Abdurrahman, Al-qawa’id asy-syar’iyyah li ikhtiyar an-na’ib, terjemahan, Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2009.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam al- Sulthaniyah, tt.
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Jakarta: Pustaka Progresif, 1997
Hasan, Tholchah Muhammad, Dinamika Kehidupan Relegius, Jakarta: Listafariska Putra, 2008.
Imarah, Muhammad, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Shelton, Ken, A New Paradigm of Leadership, terjemahan, Jakarta: PT. Gramedia, 2002.
Taimiyah, Syaikhul Islam Ibnu, dalam Abdurrahman al-Jihan, Al-qawa’id asy-syar’iyyah li ikhtiyar an-na’ib, terjemahan, Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2009.
Utsaimin, Syaikh ibnu Utsaimin, Syarh as-Siyasah asy-Syar’iyyah,
Wafi, Ali, Abdul, Wahid, Kebebasan Dalam Islam, Semarang: Dina Utama, tt.


[1] Ali Abdul Wahid Wafi, Al-Hurriyyah fii al-Islam, terjemahan, (Semarang: Dina Utama, 2010), h. 63.
[2] QS. Al-Baqarah [2]: 30.
[3] WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 264.
[4] Ken Shelton, A New Paradigm of Leadership, terjemahan, (Jakarta: PT. Gramedia, 2002), h. 19.
[5] Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam al- Sulthaniyah, h. 365.
[6] QS. An Nisaa [4]: 138-139
[7] QS. Al-Maidah [5]: 51
[8] Abdurrahman al-Jihan, Al-qawa’id asy-syar’iyyah li ikhtiyar an-na’ib, terjemahan, (Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2009), h. 42.
[9] QS. An-Nisa [4]: 58.
[10] QS. Al-Anfal [8]: 27-28.
[11] QS. At-Taghabun [64]: 16.
[12] HR. Al-Bukhari
[13] HR. Abu Daud.
[14] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Abdurrahman al-Jihan, Al-qawa’id asy-syar’iyyah li ikhtiyar an-na’ib, terjemahan, (Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2009), h. 64.
[15] Syaikh ibnu Utsaimin, Syarh as-Siyasah asy-Syar’iyyah, h.47
[16] HR. Al-Bukhari.
[17] QS. Al-Maidah [5]: 8
[18] QS. An-Nisa [4]: 135

0 komentar:

Post a Comment