ETIKA MEMILIH PEMIMPIN
Oleh: Edi Sucipno
Pendahuluan
Hampir di setiap
pemilihan pemimpin negara baik presiden, gubernur, bupati, maupun pemimpin
rendahan lainnya di Indonesia selalu berakhir dengan kontroversi. Hal
ini disebabkan banyak terjadi kejurangan dalam mekanisme pemilihan atau sering
terjadi praktek 'money-politics' dalam proses suksesi tersebut, kenapa
ini terjadi?
Keterkejutan dan kontroversi
terpilihnya pemimpin yang tidak memenuhi selera rakyat banyak adalah mutlak
disebabkan oleh penyelewangan amanah yang diemban para wakil rakyat untuk
menjatuhkan pilihan yang kurang tepat, pilih kasih dan didorong oleh
faktor-faktor "X" lainnya, atau memang karena mental masyarakat yang
masih salah dalam memilih.
Pertimbangan dalam memilih
merupakan salah satu bentuk etika yang harus dijadikan pedoman, terpenuhi
tidaknya selera masyarakat terhadap pemimpin terpilih mendatang adalah sangat
ditentukan oleh rakyat itu sendiri. Memang semua rakyat ingin mengamanahkan
kepemimpinan itu kepada orang-orang yang kapabel, amanah, jujur, dan
bertanggung jawab, namun akibat praktek Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme
(KKN) yang telah mendarah daging (be a blood relative) belum dapat
terwujud.
Ijma’ para sahabat pada
masa khulafa’ur rasyidin, jelas bahwa Islam memberikan hak mutlak kepada
umat manusia dalam memilih pemimpin tertingginya yang mengawasi badan eksekutif.
Pemimpin yang dimaksud di sini adalah khalifah atau imam (kepala
negara).[1]
Untuk itu, pada makalah
ini penulis mencoba memberikan beberapa konstribusi pemikiran dan analisa
secara sistematis terkait tentang pemimpin dan bagaimana etika memilih
pemimpin, sehingga apa yang diharapkan “baldatun thaibatul warabbul ghofur” dapat
terbukti.
Pengertian
Pemimpin
Setiap kamu adalah
pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban, ini merupakan
salah satu bunyi matan dari sebuah hadis Rasulullah Saw, yang menegaskan
bahwa setiap manusia, tergolong seorang pemimpin tanpa terkecuali, setidaknya
ia menjadi pemimpin buat dirinya sendiri.
Agama Islam menjelaskan bahwa manusia ketika
diciptakan sudah terpola menjadi khalifah (pemimpin), hal ini terdapat
pada firman Allah Swt yang berbunyi:
Artinya: Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."[2]
Dari ayat di atas, pemimpin itu disebut khalifah
yaitu: wakil (pengganti) Nabi Muhammad saw. setelah Nabi wafat (dalam urusan
negara dan agama), yang melaksanakan syariat (hukum) Islam dalam
kehidupan negara; (gelar) kepala agama dan raja di negara Islam; penguasa;
pengelola: manusia
diciptakan Allah di muka bumi[3].
Jika dianalisa, ternyata menjadi seorang pemimpin
itu sangat berat, karena ia dituntut untuk mampu berbuat dan bertanggung jawab
atas segala tindakan yang dilakukan saat pengambilan kebijakan dan keputusan
pada suatu perkara. Untuk itu seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan dan kualitas tertentu.
Kualitas pemimpin yang paling utama adalah kemampuan
untuk menciptakan dan mewujudkan visi. Visi adalah impian yang membangunkan.
Bagi pemimpin, tanggung jawabnya adalah mengubah impian menjadi kenyataan.[4]
Etika
Memilih Pemimpin
Proses pemilihan pemimpin secara langsung
semakin memberikan ruang kepada setiap individu untuk memilih sesuai dengan
rasio dan hati nurani. Namun sayang, proses demokratisasi ini terkadang
masih banyak dinodai dengan praktik money politics yang menimbulkan
tekanan dan paksaan kepada setiap pemilih.
Secara historis, bagi masyarakat muslim,
sebenarnya kontroversi mengenai penentuan kriteria pemimpin bukanlah
sesuatu hal yang baru. Sebab pascawafatnya Rasulullah pun (pada tahun 11 H/632
M), umat Islam juga pernah digoncangkan dengan isu yang serupa.
Kalau kita menelisik sejarah, pascawafatnya
Rasulullah, sempat pula terjadi ketegangan antara golongan Muhajirin dan Anshar
(kalau sekarang mungkin orsospol), sebagai dua kekuatan besar yang sama-sama
menginginkan kursi kekhalifahan, untuk mengganti kepemimpinan Rasulullah
Saw. Perdebatan dan ketegangan sempat terjadi ketika proses suksesi secara
sederhana berlangsung di Saqifah bani Saidah yang finalnya memunculkan nama Abu
Bakar sebagai khalifah pertama.
Yang paling menarik, pemilihan masyarakat
muslim dan pembaiatan kepada Abu Bakar, secara tidak langsung dapat
mengindikasikan legalitas kedaulatan rakyat. Nilai-nilai yang diterapkan
sudah mencerminkan suatu sistem demokratis sekaligus menepis upaya ala monarchi.
Sehingga meskipun belum diadakan pemilu secara langsung, konsensus golongan
Muhajirin dan Anshar dalam beberapa hal, memiliki hakikat yang tidak jauh
berbeda dengan pemilu.
Melihat realitas sejarah tentang pemilihan
seorang pemimpin yang pernah dilakukan para sahabat sepeninggal Rasul tersebut,
dapatlah dijadikan semacam bukti bahwa untuk memilih pemimpin dalam prespektif
Islam adalah sebuah keniscayaan. Hal itu disebabkan, kepemimpinan dalam
Islam dipandang sebagai instrumen penting bagi terlindunginya agama dan
kesuksesan mengatur dunia.
Kevakuman pemimpin
akan mendatangkan kekacauan. Lebih dari itu, menurut Islam pemimpin adalah
”bayangan” Allah di muka bumi. Enam puluh tahun di bawah pemimpin congkak,
lebih baik daripada semalam tanpa pemimpin. Wajar jika kemudian para ulama
sepakat bahwa pengangkatan pemimpin bagi kaum muslim adalah wajib syar’i.[5]
Pemimpin adalah faktor penting dalam kehidupan
berkelompok, berorganisasi bahkan bernegara. Jika pemimpin itu jujur, baik,
cerdas dan amanah, niscaya anggota atau rakyatnya akan makmur. Sebaliknya jika
pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya
akan sengsara.
Oleh karena itulah Islam memberikan pedoman
dalam memilih pemimpin yang baik, di antaranya:
1.
Memilih pemimpin yang
baik dan beriman
Pemimpin yang baik dan
beriman setidaknya dimaksudkan yakni memiliki akhlak mulia dan aqidah yang sama
atau dari golongan kita, ini akan
memperkuat dan dapat menjadi penolong bagi kaumnya sendiri. sebagaimana firman
Allah Swt:
Artinya: Kabarkanlah kepada orang-orang
munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, yaitu orang-orang yang
mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu?
Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.[6]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka
Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.[7]
2.
Memilih
yang paling pantas (al-Ashlah)
Memilih pemimpin dalam Islam harus yang memiliki kemampuan dan keahlian,
sehingga dianggap layak atau pantas baginya menerima amanah tersebut. Dalil etika
ini adalah bahwa ketika Nabi menaklukkan Mekkah dan menerima kunci ka’bah dari
bani Syaibah, al-Abbas, pamannya, memintanya agar menyatukan untuknya tugas
memberi minum jamaah haji sekaligus juru pintu baitullah.[8]
Maka, Allah Swt menurunkan firman-Nya:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.[9]
Jika jabatan itu diberikan bukan kepada orang yang lebih
berhak dan lebih pantas, tetapi diberikan kepada selainya, karena faktor
kekerabatan di antara keduanya atau mawali (pertalian karena
memerdekakan budak), persahabatan, pertemanan karena kesamaan dalam suku atau karena suap yang diterima
darinya baik berupa harta maupun manfaat (jasa), kedengkian dalam hatinya
kepada orang yang lebih berhak (memiliki jabatan atau karena permusuhan yang
terjadi di antara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah Swt dan Rasul-Nya
serta orang-orang yang beriman, semua itu masuk dalam kategori larangan Allah
Swt, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa
hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan. Sesungguhnya di sisi
Allahlah pahala yang besar.[10]
3.
Memilih
yang lebih berkompeten dibidangnya (al-amtsal fal amtsal)
Etika ini merupakan
penyempurnaan dari etika pertama. Maksudnya, jika seseorang hendak memilih
orang yang bisa mempresentasikan dibidangnya, sementara tidak dijumpai ada
orang yang paling pantas (al-aslah) dibidang tersebut, maka ia harus
memilih orang yang lebih berkompeten dari pada yang lainnya. Dengan kata lain,
ia memperhatikan orang yang lebih banyak keshalihan dan kekuatannya.
Demikianlah seterusnya. Jika telah melakukan hal itu dengan ijtihadnya,
maka ia telah menunaikan amanah. Allah tidak membebaninya lebih dari itu,
karena hal itu berada di luar kesanggupannya. Dalil etika ini adalah firman
Allah Swt:
Artinya: Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah
dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung.[11]
Nabi Muhammad Saw
bersabda:
اذا
امرتكم بامرفاتوا منه مااستطعتم
Artinya: “Jika
aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka laksanakanlah perintah itu
menurut kesanggupan kalian.” [12]
اخوف ما اخاف على امتي الائمة المضلين
Seandainya
tidak terdapat pemimpin yang paling pantas untuk memegang jabatan itu, maka
memilih yang lebih mendekati kepantasan untuk tiap-tiap jabatan sesuai
kemampuannya. Akan tetapi, kita punya kewajiban untuk mengawasi dan
menasehatinya serta mengarahkannya dengan arahan yang baik. Bukan berarti ia
mengangkatnya lalu membiarkannya. Sebab ia bukan ahlinya, dan ia hanyalah
diangkat sebagai pemimpin karena terpaksa.[14]
4. Memilih karena faktor kekuatan dan
amanah.
Saat ini kecenderungan
seorang pemimpin dapat dilihat hanya memiliki “sebelah kaki”, kuat tanpa amanah
atau amanah tanpa kekuatan. Syaikh ibnu Utsaimin mengatakan: ”Hal ini bisa
disaksikan hingga masa kita dewasa ini.
Anda dapati, misalnya, orang yang tidak layak memangku suatu jabatan dari segi
amanahnya, namun anda melihatnya memiliki semangat, kekuatan dan keuletan dalam
pekerjaan. Sebaliknya anda melihat orang amanah tapi tidak memiliki semua itu, anda
mendapati orang-orang yang menjadi pemimpin rakyat memilih jenis orang yang pertama untuk melaksanakan pekerjaan mereka meskipun ia tidak amanah.”[15]
Imam Ahmad pernah
ditanya tentang dua orang yang akan menjadi
panglima dalam perang: salah satunya adalah orang kuat tapi fasiq,
dan lainnya shalih tapi lemah. Siapakah di antara keduanya yang ditunjuk
sebagai panglima?
Ia menjawab: Adapun
orang fasiq tapi kuat, maka kekuatannya untuk kaum muslimin dan
kedurhakaanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan orang yang shalih tapi
lemah, maka keshalihannya untuk dirinya sendiri dan kelemahannya
merugikan kaum muslimin. Jadi, perang dilakukan bersama orang yang kuat meski
pun durhaka. Dalilnya ialah
sabda Nabi Saw:
ان الله يؤ يد هذا الد ين بالرجل الفاجر
5.
Memilih pemimpin yang mampu berlaku
adil.
Seorang pemimpin dituntut
harus mampu berlaku adil, keadilan yang diserukan alqur’an pada dasarnya
mencakup keadilan dibidang ekonomi, sosial, dan terlebih lagi dalam bidang
hukum. Seorang pemimpin yang adil, indikasinya adalah selalu menegakkan
supremasi hukum; memandang dan memperlakukan semua manusia sama di depan hukum,
tanpa pandang bulu.
Hal inilah yang telah
diperintahkan alqur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah ketika bertekad untuk
menegakkan hukum (dalam konteks pencurian), walaupun pelakunya adalah putrid
beliau sendiri (Fatimah Az-Zahra). Firman
Allah Swt:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[17]
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia
kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan
jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka
Sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.[18]
Penutup
Menganalisa beberapa
kriteria dalam memilih pemimpin yang diberikan alqur’an, hadis dan pendapat
ulama, atau para pemegang otoritas, seperti di atas. Mungkin kita akan semakin
bertanya-tanya, siapa kiranya orang yang memiliki nominasi dan kualifikasi untuk
dapat dipilih sebagai pemimpin, akan semakin bingung untuk mendasarkan
pilihanya kepada ”calon pemimpin”. Sebaiknya, menurut hemat penulis,
acuan-acuan normatif mengenai kepemimpinan, janganlah dianggap sebagai
beban bagi seseorang yang ingin memilih pemimpin. Akan tetapi, semua acuan
semacam hendaknya dapat dijadikan ”guideline” bahwa, memilih pemimpin
adalah sangat berat, namun tidak seberat menjadi pemimpin.
Acuan normatif tersebut
bagi manusia yang memiliki hak untuk memilih pemimpin, merupakan ”standar
moral” untuk memilih figur pemimpin yang dapat mencerminkan keterwakilan rakyat
baik secara moral, pengetahuan dan komitmen kepada perbaikan dan kebaikan
rakyat. Hanya dengan memilih pemimpin yang sesuai pesan alqur’an dan hadis
itulah, harapan untuk memilih pemimpin yang populis, tidak penguasa yang
sok kuasa, tetapi pemimpin yang melayani dan memikirkan kesejahteraan rakyat,
akan dapat diwujudkan.
Walhasil, masyarakat
akan sepakat, bahwa pemimpin yang dikehendaki saat ini adalah pemimpin yang
secara sejati memancarkan wibawa karena memiliki komitmen, integritas, dan
kapabilitas yang memadai. Pemimpin yang kita butuhkan sekarang adalah
pemimpin yang amanah, fathanah, dan shidiq, serta santun kepada
rakyat.
DAFTAR BACAAN
Al-Jihan,
Abdurrahman, Al-qawa’id asy-syar’iyyah li ikhtiyar an-na’ib, terjemahan,
Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2009.
Al-Mawardi,
Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam al- Sulthaniyah, tt.
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, Jakarta:
Pustaka Progresif, 1997
Hasan,
Tholchah Muhammad, Dinamika Kehidupan
Relegius, Jakarta: Listafariska Putra, 2008.
Imarah,
Muhammad, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta:
Gema Insani, 1999.
Shelton,
Ken, A New Paradigm of Leadership, terjemahan, Jakarta: PT. Gramedia,
2002.
Taimiyah,
Syaikhul Islam Ibnu, dalam Abdurrahman al-Jihan, Al-qawa’id asy-syar’iyyah
li ikhtiyar an-na’ib, terjemahan, Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2009.
Utsaimin,
Syaikh ibnu Utsaimin, Syarh as-Siyasah asy-Syar’iyyah,
Wafi, Ali, Abdul, Wahid, Kebebasan Dalam Islam, Semarang: Dina’ Utama, tt.
[1] Ali Abdul Wahid Wafi, Al-Hurriyyah
fii al-Islam, terjemahan, (Semarang: Dina Utama, 2010), h. 63.
[2] QS. Al-Baqarah [2]: 30.
[3] WJS. Poerwadarminta, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 264.
[4] Ken Shelton, A New Paradigm of
Leadership, terjemahan, (Jakarta: PT. Gramedia, 2002), h. 19.
[5] Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam
al- Sulthaniyah, h. 365.
[6] QS. An
Nisaa [4]: 138-139
[7] QS. Al-Maidah
[5]: 51
[8] Abdurrahman al-Jihan, Al-qawa’id
asy-syar’iyyah li ikhtiyar an-na’ib, terjemahan, (Jakarta: Pustaka
at-Tazkia, 2009), h. 42.
[9] QS. An-Nisa [4]: 58.
[10] QS. Al-Anfal [8]: 27-28.
[11] QS. At-Taghabun [64]: 16.
[12] HR. Al-Bukhari
[13] HR. Abu Daud.
[14] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Abdurrahman al-Jihan, Al-qawa’id asy-syar’iyyah li ikhtiyar an-na’ib, terjemahan,
(Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2009), h. 64.
[15] Syaikh ibnu Utsaimin, Syarh
as-Siyasah asy-Syar’iyyah, h.47
[16] HR. Al-Bukhari.
[17] QS.
Al-Maidah [5]: 8
[18] QS. An-Nisa
[4]: 135
0 komentar:
Post a Comment