Pages

Sunday, November 1, 2015

MUHAMMADIYAH Oleh Edi Sucipno



MUHAMMADIYAH
oleh: Edi Sucipno

A.  Pendahuluan
Nama Muhammadiyah mengandung pengertian sebagai sekelompok orang yang berusaha mengidentifikasikan dirinya atau membangsakan dirinya sebagai pengikut, penerus dan pelanjut perjuangan dakwah Rasulullah Saw dalam mengembangkan tata kehidupan masyarakat.[1] Dengan demikian Muhammadiyah dimaksudkan sebagai organisasi yang gerak perjuangannya ditujukan untuk mengembangkan suatu tata kehidupan masyarakat sebagaimana dikehendaki Islam. Usaha-usaha dilakukan berdasarkan pola dasar yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad Saw.
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang dakwah (dalam pengertian yang luas) dan pemikiran Islam (tajdid). Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah merupakan usaha kelompok muslim tersebut untuk menampakkan kebenaran Islam dalam dimensi sosiologis. Disamping itu, sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah merupakan lembaga pemikiran kreatif dalam memahami ajaran Islam dan pelaksanaannya dalam realitas kehidupan sosial yang selalu berkembang dan berubah.
Gerakan dakwah sebagaimana dilakukan Muhammadiyah, merupakan upaya kreatif pola perilaku dalam memenuhi panggilan wahyu dan mengatasi berbagai permasalahan hidup manusia. Perjalanan Muhammadiyah tidak terlepas dari berbagai perubahan masyarakat tempat ia berkembang. Bersamaan dengan perkembangan pemikiran Islam, semangat dakwah Islam telah mendorong para ulama memasuki daerah-daerah baru dalam menyebarluaskan kebenaran Islam.

B.  Kyai Haji Ahmad Dahlan

1
 
Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa mudanya bernama Muhammad Darwis, beliau berasal dari keluarga berpengaruh dan terkenal di lingkungan kesultanan Yogyakarta. Muhammad Darwis dilahirkan dari pernikahan Kyai Haji Abu Bakar dengan Nyai Haji Abu Bakar tahun 1285 Hijrah (1868 Masehi) di Kampung Kauman[2] Kota Yogyakarta.
Sebagaimana kebanyakan anak keluarga muslim di Kauman pada waktu itu, Darwis tidak dididik pada lembaga pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dikenal sebagai sekolah Gubernemen. Menurut anggapan masyarakat Kauman, barang siapa yang menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut akan dianggap sebagai orang kafir, karena telah memasuki pola kehidupan kafir-landa.[3] Anggapan ini sesungguhnya bukan hanya dilandasi oleh pola berfikir apriori yang menggambarkan kebencian terhadap penjajah, melainkan pula dilandasi oleh kesadaran bahwa penjajah Belanda adalah musuh umat Islam daerah Kesultanan Yogyakarta.
Meski Darwis tidak menuntut ilmu dalam system pendidikan pemerintah kolonial, bukan berarti beliau tidak menuntut pengetahuan. Sebagai alternatif, oleh ayahnya ia dididik sendiri melalui pengajian, yaitu pendidikan dasar keagamaan yang diberikan secara individual dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh ayahnya.
Dalam pendidikan tersebut, Darwis diajar untuk menghafal sifat-sifat Allah dan membaca kitab Alquran sebagaimana yang dicontohkan ayahnya, tanpa memahami arti sifat-sifat Allah tersebut maupun makna yang terkandung dalam Alquran yang dibacanya.[4] Namun karena kecerdasan, keuletan dan kepandaiannya, maka pada usia delapan tahun ia telah berhasil menyelesaikan pelajaran membaca kitab Alquran dan menghafal dua puluh sifat Allah.[5] Dengan kemampuan tersebut, maka oleh ayahnya Darwis dianggap telah memiliki landasan pengetahuan keislaman yang cukup, sehingga kemudian ia dikirim untuk belajar pada beberapa guru mengaji yang lain.
Tahun 1890, saat Darwis berusia 22 tahun, beliau dikirim ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Oleh Sayyid Bakri Syatha’, salah seorang gurunya yang menjabat sebagai mufti atau Imam dari Mazhab Syafi’I di Mekah, ia diberi nama baru: Haji Ahmad Dahlan. Pemberian nama baru tersebut oleh masyarakat dipergunakan sebagai nama panggilannya.

C.  Lahir dan Berkembangnya Muhammadiyah
Jika kita melihat sejarah, kita mendapati bahwa dorongan berfikir secara rasional muncul beberapa saat setelah wafat Rasulullah Saw pada pertengahan abad ketujuh. Wafatnya rasul menimbulkan persoalan serius di kalangan para sahabat, baik yang menyangkut kelangsungan kepemimpinan Islam dan munculnya berbagai persoalan sosial yang berkembang pada saat itu sehingga menyebabkan berkembangnya pemikiran tentang Islam. Perkembangan pemikiran ini memberikan inspirasi lahirnya Muhammadiyah di Indonesia pada tahun 1912.
Bersamaan dengan perkembangan pemikiran Islam, semangat dakwah Islam telah mendorong para ulama memasuki daerah-daerah baru dalam menyebarkan ajaran Islam. Disisi lain, stabilitas kepemimpinan Islam telah memberikan kesempatan untuk tampilnya kembali berbagai persoalan. Kaum khawarij yang muncul sejak awal kepemimpinan sahabat rasul yang lebih dikenal sebagai kelompok rasional mulai memperoleh pendukung. Selanjutnya lahir kelompok Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah serta lainnya.
Pada saat demikian, berkembang isu yang menyatakan bahwa gerakan pemikiran Islam telah selesai dan pintu ijtihad telah ditutup. Zaman taklid-pun merajalela menutup semua gerakan pemikiran Islam. Pintu ijtihad tertutup rapat dan upaya kearah itu dianggap sebagai dosa besar.
Dunia Islam baru mulai tergerak kembali setelah muncul pemikiran filosof muslim yang berusaha menjelaskan berbagai persoalan agama secara rasional. Usaha demikian mencapai puncaknya ketika Ibnu Taimiyah dengan keras menentang ketaatan mutlak pada hasil pemikiran sarjana muslim terdahulu. Pandangan tersebut mendorong gerakan pemikiran baru dengan lahirnya gerakan wahabi di Arab, gerakan Jamaluddin al-Afghani di Asia Afrika dan Muhammad Abduh di Mesir.[6] Di Indonesia sendiri disebabkan oleh kondisi sosial-politik, kultural dan keagamaan pada permulaan abad ke-20. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), sebagaimana dikutip oleh Syafi’i Maarif menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mendorong lahirnya gerakan Muhammadiyah:
Pertama, keterbelakangan serta kebodohan umat Islam Indonesia dihampir semua aspek kehidupan.
Kedua, kemiskinan yang sangat parah yang diderita umat Islam justru dalam suatu negeri yang kaya seperti Indonesia.
Ketiga, keadaan pendidikan Islam yang sudah sangat kuno, sebagaimana yang bisa dilihat melalui pesantren.[7]  Lahirnya Muhammadiyah sebagaimana telah dikemukakan di atas berkaitan dengan gerakan pembaharuan tersebut. Dalam kondisi kehidupan umat yang demikian, maka pada tanggal 18 nopember 1912 Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta.[8]

D.  Pemikiran dan Gerakan Muhammadiyah
Sebagai gerakan yang berlandaskan agama serta pemahaman Kyai Haji Ahmad Dahlan terhadap wahyu, khususnya surat Ali Imran ayat 104 yang mengandung makna agar setiap muslim berusaha menyatukan diri dalam gerakan dakwah amar makruf nahi munkar untuk membebaskan manusia dari kebodohan, kesengsaraan dan kemelaratan (nahi munkar)[9], maka ide pembaharuan Muhammadiyah ditekankan pada usaha untuk memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan kepercayaan lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kaitan ini usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah banyak terkait dengan masalah-masalah praktis ubudiyah dan muamalah.
Sama-sama sudah kita ketahui bahwa agama itu dapat kita lihat dan kita temui melalui ketiga aspek yaitu bidang keimanan, hubungan antara individu manusia dengan tuhannya (i’tikadiyah), bidang tata-cara pengamalan (syari’ah) dan bidang hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitarnya (muamalat). Ketiga hal yang tersebut diatas tidak dapat dipisahkan dan dikesampingkan dari kehidupan manusia, juga ketiga hal tersebut harus sinergi berlakunya antara yang satu dengan yang lainnya, Ibnu Rusdy mengistilahkan ketiga hal tersebut dengan istilah “fiqih akbar”. Di sinilah posisi Muhammadiyah, sebagai penjaga keseimbangan antara ketiga hal tersebut.[10]
Pertama, ada yang menarik jika kita membahas apa teologi atau i’tikadiyah Muhammadiyah. Menurut pandangan Azyumardi Azra dalam bukunya Menuju Masyarakat Madani, menjelaskan bahwa teologi Muhammadiyah sebenarnya berdasarkan teologi klasik yaitu berdasarkan teologi Asy’ariyah. Adalah mengejutkan bukan, karena selama ini banyak yang beranggapan bahwa teologi Muhammadiyah diambil berdasarkan pemikiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Jamaluddin Al-Afgani.[11] 
Memang, tidak ada salahnya dengan rasionalitas jika kemudian dipadukan dengan petunjuk lainnya seperti kekuatan hati, alam dan yang tidak kalah pentingnya adalah Alquran dan Sunnah. Azra menjabarkan bahwa teologi Muhammadiyah itu bersandar pada teologi Asy’ariyah, tajamnya, teologi Muhammadiyah itu lebih dekat pada Hambalisme, dan bahkan Teologi Muhammadiyah itu menganut Neo-Hambali yang dibawa oleh Ibnu Taimiyah yang dalam ajarannya secara tegas menolak segala bentuk khurafat, tahayul dan bid’ah.
Lebih lanjut, dalam hubungan individu dengan Tuhannya Muhammadiyah menganjurkan sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Hamka yaitu tasawuf Moderen, meski konsep tersebut tidak begitu populer pada warga Muhammadiyah sendiri. Sedikit sekali kajian guna mengembangkan konsep yang dipopulerkan oleh Hamka.
Kedua, pada bidang Syari’ah. sering terjadi perdebatan-perdebatan seputar masalah fiqih. Muhammadiyah bukanlah sebuah mazhab dan tidak pula mengikuti sebuah mazhab. Muhammadiyah adalah pencari kebenaran (walau dimanapun  kebenaran itu berasal dan walau siapapun yang menyampaikan kebenaran itu), menemukan kebenaran dan mengaktualisasikan kebenaran itu dalam  kehidupannya sesuai dengan tuntutan Alquran dan Sunah.
Ketiga, secara sosial, sudah barang tentu diantara kita sering dan mengetahui amal usaha yang dibangun oleh persyerikatan Muhammadiyah dan warganya sangatlah banyak mulai dari panti asuhan, sekolah/pesantren dan perguruan tinggi.
Sebagai gerakan Islam modern Muhammadiyah mendasarkan programnya untuk: membersihkan Islam dari pengaruh ajaran yang salah, memperbaharui sistem pendidikan Islam, dan memperbaiki kondisi sosial kaum muslimin Indonesia. Diantara program-program ini, maka pendidikan merupakan aspek yang sangat menonjol dari pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah. Sebagai gerakan yang berlandaskan agama, maka ide pembaharuan Muhammadiyah ditekankan pada usaha untuk memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan kepercayaan lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kaitan ini usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah banyak terkait dengan masalah-masalah praktis ubudiyah dan muamalah.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan jalan alternatif penyebaran dan internalisasi dari berbagai pengalaman kumulatif, baik berupa keyakinan, sikap, pengetahuan maupun penerapannya yang dinilai positif  dan bermanfaat oleh satu generasi ke generasi selanjutnya yang tersimpan dalam berbagai kitab, cerita rakyat (folklore), tradisi, adat istiadat dan sebagainya.[12]
Hal ini diperkuat dengan hadits-hadits Nabi tentang ilmu pengetahuan yang umumnya menyatakan bahwa “mencari ilmu itu merupakan kewajiban orang Islam sejak lahir sampai mati”, atau menurut istilah sekarang disebut long life education.[13] Sehingga tidak sedikit tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berasal dari Muhammadiyah, seperti Hamka, Amien Rais, Ahmad Syafi’i Maarif, Emha Ainun Najib, Abdul Hadi WM, Yahya Muhaimin, Mohammad Djazman, Kuntawijaya, Chabib Chirzien dan lain-lain.[14]
Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial keagamaan tidak banyak berbicara perpolitikan apalagi berkecimpung dalam politik praktis secara langsung.[15] Namun sebagai sebuah organisasi yang besar dengan puluhan juta umatnya, Muhammadiyah tidak akan terlepas dari urusan politik. Pertanyaannya adalah politik seperti apa yang dipernkan Muhammadiyah? Tentu saja Muhammadiyah tidak akan mungkin memainkan peranan sebagai sebuah partai politik yang mempunyai tempat untuk berpolitik di parlemen, akan tetapi Muhammadiyah bisa saja mempengaruhi parlemen (DPR) agar aspirasi Muhammadiyah dapat dipenuhi, katakanlah dengan cara menghadiri “hearing” yang diselenggarakan oleh salah satu komisi di DPR.[16]
Selanjutnya Amin Rais dengan high politics-nya mengungkapkan bahwa bila sebuah organisasi menunjukkan sikap yang tegas terhadap korupsi, mengajak masyarakat yang luas untuk memerangi ketidakadilan, menghimbau pemerintah untuk terus menggelindingkan proses demokratisasi dan keterbukaan, maka organisasi itu sedang memainkan high politics. Sebaliknya, bila sebuah organisasi melakukan gerakan  dan manuver politik untuk  memperebutkan kursi DPR, minta bagian di lembaga eksekutif, membuat kelompok penekanan, membangun lobi serta berkasak kusuk untuk mempertahankan dan memperluas vested interest, maka organisasi tersebut sedang melakukan  lowp politics. Dan dalam konteks seperti itulah Muhammadiyah tidak akan ikut bermain politik praktis.[17]
Realitas politik di Indonesia membawa Muhammadiyah untuk ikut berkecimpung (urun rembug) dalam membicarakan masalah suksesi tahun 1998 yang digelar pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya pada 11-13 Desember 1993, suksesi kepemimpinan yang berarti penyegaran atau pergantian unsur-unsur kepemimpinan nasional yang menyangkut presiden, wakil presiden, para menteri kabinet, para anggota DPR dan  MPR. Alasan yang diungkapkan seperti yang dituturkan Amin Rais sebagai pimpinan Pusat Muhammadiyah pada saat itu, bahwa suksesi merupakan Sunnatullah atau proses alami. Selain itu bangsa Indonesia sudah merdeka hampir  setengah abad, tetapi sebagai bangsa masyarakat Indonesia   belum pernah punya pengalaman bagaimana cara memilih presiden. Baik Bung Karno maupun Pak Harto menjadi presiden karena proses  sejarah, atau lebih tepatnya berkat aksiden sejarah. Muhammadiyah juga sebagai orang tua yang usianya 33 tahun lebih tua dari republik Indonesia, maka tidak salah kalau berbicara tentang perjalanan bangsa yang krusial seperti suksesi. Bahkan hal itu dirasakan sebagai kewajiban morilnya.
Dalam sidang tersebut Muhammadiyah mengajukan enam kriteria calon presiden: pertama, harus sudah teruji kesetiaannya pada Pancasila dan UUD 1945; kedua, punya integritas pribadi, tidak bermental korup dan dapat menjadi panutan; ketiga, punya komitmen kerakyatan dalam arti selalu mengunggulkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan, partai, kelompok, keluargadan sebagainya; keempat, punya visi masa depan yang ditandai dengan perkembangan iptek; kelima, memperoleh akseptabilitas yang setinggi mungkin dalam masyarakat Indonesia yang serba majemuk; keenam, punya jangkauan (reach-out) internasional berhubung Indonesia tidak mungkin ber-autarki tanpa kerjasama dengan negara-negara lain.[18]

E.  PENUTUP

Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi sosial kemasyarakatan yang memiliki ciri-ciri khusus atau sibghah yaitu;
1.      Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
2.      Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam Amar Makruf Nahi Munkar.
3.      Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.[19]
Kyai Haji Ahmad Dahlan pada tahun 1912 mendirikan Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta. Lahirnya Muhammadiyah berkaitan dengan gerakan pembaharuan, dimana Muhammadiyah ingin merubah kondisi pada masa itu dengan meningkatkan pengetahuan agama Islam kaum muslimin dan membersihkan Islam dari pengaruh ajaran yang salah.
 Sebagai gerakan yang berlandaskan agama, maka ide pembaharuan Muhammadiyah ditekankan pada usaha untuk memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan kepercayaan lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kaitan ini usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah banyak terkait dengan masalah-masalah praktis ubudiyah dan muamalah.
Sebagai gerakan Islam modern Muhammadiyah mendasarkan programnya untuk membersihkan Islam dari pengaruh ajaran yang salah, memperbaharui sistem pendidikan Islam, dan memperbaiki kondisi sosial kaum muslimin Indonesia. Namun diantara program-program ini, maka pendidikan merupakan aspek yang sangat menonjol dari pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia, gerakan politiknya dilandasi denan high politics yang lebih mendukung terhadap gerakan dakwahnya yakni amar makruf nahi munkar sebagai khittah atau strategi awal Muhammadiyah, yang kerap tidak pernah mengalami perubahan dan  selalu mendukung realita berbangsa dan bernegara masyarakat muslim Indonesia.
Sukses Muhammadiyah dalam urusan politik diwakili oleh Amin Rais, yang sering mengeluarkan komentar-komentar kritis sepanjang pemerintahan orde baru, sehingga pada tahun 1998, ia bersatu dengan mahasiswa menuntut turunnya Suharto dari singgasana kepresidenan. Pada era reformasi ia membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) dan menjadi ketua MPR RI Periode 1999-2004


Daftar Pustaka

Ali, A. Mukti. The Muhammadiyah Movement: A Biblio Graphical Introduction. Montreal: McGill University, 1975.
Arifin, MT. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,1987.
Mulkhan, Abdul Munir. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Pasha, Musthafa Kamal & Ahmad Adaby Darban. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta: LPPI, Pustaka Pelajar. cet. III, 2003.
_____________, Matahari-matahari Muhammadiyah. Yogyakarta: Pembaharuan, t.t.
Sairin, Weinata. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Salam, Yunus. Riwayat K.H.A. Dahlan; Amal dan Perjuangannya. Jakarta: Majelis Pengajaran Muhammadiyah, 1968.
Siddik, Dja’far. Pendidikan Muhammadiyah: Perspektif Ilmu Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media, 2007
Soewarno, M. Margono Poespo. Aktualisasi Pendidikan Kemuhammadiyahan dan Islam. Yogyakarta: Free-Line, © 2003.


















[1]Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 4.
[2]Kauman berasal dari Bahasa Arab qaum. Istilah ini mengandung makna “pejabat keagamaan” . Lihat H. Djarnawi Hadikusumo, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin al-Afgani sampai KHA Dahlan (Yogyakarta: Persatuan, t.t.), h. 65.
[3]MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1987), h. 77.
[4]A. Mukti Ali, The Muhammadiyah Movement: A Biblio Graphical Introduction, (Montreal: McGill University, 1975), h. 29.
[5]Yunus Salam, Riwayat K. H. A Dahlan; Amal dan Perjuangannya (Jakarta: Majelis Pengajaran Muhammadiyah, 1968), h. 7.
[6]Baca Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K. H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 1-4.
[7]Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 23-24.
[8]Baca Abdul Munir Mulkhan, h. 1-4.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Dja’far Siddik, Pendidikan Muhammadiyah: Perspektif Ilmu Pendidikan (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 1.
[13]Arifin, Gagasan…, h. 205.
[14]Ibid, h. 11
[15]Djarnawi Hadikusuma, Matahari-Matahari Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pembaharuan, t.t.), h. 13-14.
[16]Amin Rais, h. 13.
[17]Ibid, h. 44.
[18]Ibid, h. 48-49.
[19]Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis, (Yogyakarta: LPPI, Pustaka Pelajar, cet. III, 2003), h. 160.

0 komentar:

Post a Comment