MUHAMMADIYAH
A. Pendahuluan
Nama Muhammadiyah mengandung
pengertian sebagai sekelompok orang yang berusaha mengidentifikasikan dirinya
atau membangsakan dirinya sebagai pengikut, penerus dan pelanjut perjuangan
dakwah Rasulullah Saw dalam mengembangkan tata kehidupan masyarakat.[1]
Dengan demikian Muhammadiyah dimaksudkan sebagai organisasi yang gerak
perjuangannya ditujukan untuk mengembangkan suatu tata kehidupan masyarakat
sebagaimana dikehendaki Islam. Usaha-usaha dilakukan berdasarkan pola dasar
yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad Saw.
Muhammadiyah merupakan salah satu
organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang dakwah (dalam
pengertian yang luas) dan pemikiran Islam (tajdid). Sebagai gerakan
dakwah, Muhammadiyah merupakan usaha kelompok muslim tersebut untuk menampakkan
kebenaran Islam dalam dimensi sosiologis. Disamping itu, sebagai gerakan tajdid,
Muhammadiyah merupakan lembaga pemikiran kreatif dalam memahami ajaran Islam
dan pelaksanaannya dalam realitas kehidupan sosial yang selalu berkembang dan
berubah.
Gerakan dakwah sebagaimana
dilakukan Muhammadiyah, merupakan upaya kreatif pola perilaku dalam memenuhi
panggilan wahyu dan mengatasi berbagai permasalahan hidup manusia. Perjalanan
Muhammadiyah tidak terlepas dari berbagai perubahan masyarakat tempat ia
berkembang. Bersamaan dengan perkembangan pemikiran Islam, semangat dakwah
Islam telah mendorong para ulama memasuki daerah-daerah baru dalam
menyebarluaskan kebenaran Islam.
B. Kyai Haji Ahmad Dahlan
|
Sebagaimana kebanyakan anak
keluarga muslim di Kauman pada waktu itu, Darwis tidak dididik pada lembaga
pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang
dikenal sebagai sekolah Gubernemen. Menurut anggapan masyarakat Kauman,
barang siapa yang menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut akan dianggap
sebagai orang kafir, karena telah memasuki pola kehidupan kafir-landa.[3]
Anggapan ini sesungguhnya bukan hanya dilandasi oleh pola berfikir apriori yang
menggambarkan kebencian terhadap penjajah, melainkan pula dilandasi oleh
kesadaran bahwa penjajah Belanda adalah musuh umat Islam daerah Kesultanan
Yogyakarta.
Meski Darwis tidak menuntut ilmu
dalam system pendidikan pemerintah kolonial, bukan berarti beliau tidak
menuntut pengetahuan. Sebagai alternatif, oleh ayahnya ia dididik sendiri
melalui pengajian, yaitu pendidikan dasar keagamaan yang diberikan secara
individual dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh
ayahnya.
Dalam pendidikan tersebut, Darwis
diajar untuk menghafal sifat-sifat Allah dan membaca kitab Alquran sebagaimana
yang dicontohkan ayahnya, tanpa memahami arti sifat-sifat Allah tersebut maupun
makna yang terkandung dalam Alquran yang dibacanya.[4]
Namun karena kecerdasan, keuletan dan kepandaiannya, maka pada usia delapan
tahun ia telah berhasil menyelesaikan pelajaran membaca kitab Alquran dan
menghafal dua puluh sifat Allah.[5]
Dengan kemampuan tersebut, maka oleh ayahnya Darwis dianggap telah memiliki
landasan pengetahuan keislaman yang cukup, sehingga kemudian ia dikirim untuk
belajar pada beberapa guru mengaji yang lain.
Tahun 1890, saat Darwis berusia 22
tahun, beliau dikirim ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan
memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Oleh Sayyid Bakri Syatha’, salah
seorang gurunya yang menjabat sebagai mufti atau Imam dari Mazhab Syafi’I di
Mekah, ia diberi nama baru: Haji Ahmad Dahlan. Pemberian nama baru tersebut
oleh masyarakat dipergunakan sebagai nama panggilannya.
C. Lahir dan Berkembangnya Muhammadiyah
Jika kita melihat sejarah, kita
mendapati bahwa dorongan berfikir secara rasional muncul beberapa saat setelah
wafat Rasulullah Saw pada pertengahan abad ketujuh. Wafatnya rasul menimbulkan
persoalan serius di kalangan para sahabat, baik yang menyangkut kelangsungan
kepemimpinan Islam dan munculnya berbagai persoalan sosial yang berkembang pada
saat itu sehingga menyebabkan berkembangnya pemikiran tentang Islam.
Perkembangan pemikiran ini memberikan inspirasi lahirnya Muhammadiyah di
Indonesia pada tahun 1912.
Bersamaan dengan perkembangan
pemikiran Islam, semangat dakwah Islam telah mendorong para ulama memasuki
daerah-daerah baru dalam menyebarkan ajaran Islam. Disisi lain, stabilitas
kepemimpinan Islam telah memberikan kesempatan untuk tampilnya kembali berbagai
persoalan. Kaum khawarij yang muncul sejak awal kepemimpinan sahabat rasul yang
lebih dikenal sebagai kelompok rasional mulai memperoleh pendukung. Selanjutnya
lahir kelompok Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah serta lainnya.
Pada saat demikian, berkembang isu
yang menyatakan bahwa gerakan pemikiran Islam telah selesai dan pintu ijtihad
telah ditutup. Zaman taklid-pun merajalela menutup semua gerakan
pemikiran Islam. Pintu ijtihad tertutup rapat dan upaya kearah itu dianggap
sebagai dosa besar.
Dunia Islam baru mulai tergerak
kembali setelah muncul pemikiran filosof muslim yang berusaha menjelaskan
berbagai persoalan agama secara rasional. Usaha demikian mencapai puncaknya
ketika Ibnu Taimiyah dengan keras menentang ketaatan mutlak pada hasil
pemikiran sarjana muslim terdahulu. Pandangan tersebut mendorong gerakan
pemikiran baru dengan lahirnya gerakan wahabi di Arab, gerakan Jamaluddin
al-Afghani di Asia Afrika dan Muhammad Abduh di Mesir.[6] Di
Indonesia sendiri disebabkan oleh kondisi sosial-politik, kultural dan keagamaan pada permulaan abad ke-20. Haji Abdul Malik
Karim Amrullah (HAMKA), sebagaimana dikutip oleh Syafi’i Maarif menyatakan
bahwa ada tiga faktor yang mendorong lahirnya gerakan Muhammadiyah:
Pertama, keterbelakangan serta kebodohan
umat Islam Indonesia
dihampir semua aspek kehidupan.
Kedua, kemiskinan yang sangat parah
yang diderita umat Islam justru dalam suatu negeri yang kaya seperti Indonesia.
Ketiga, keadaan pendidikan Islam
yang sudah sangat kuno, sebagaimana yang bisa dilihat melalui pesantren.[7] Lahirnya Muhammadiyah sebagaimana telah
dikemukakan di atas berkaitan dengan gerakan pembaharuan tersebut. Dalam
kondisi kehidupan umat yang demikian, maka pada tanggal 18 nopember 1912 Kyai
Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta.[8]
D. Pemikiran dan Gerakan Muhammadiyah
Sebagai gerakan yang berlandaskan agama serta pemahaman
Kyai Haji Ahmad Dahlan terhadap wahyu, khususnya surat Ali Imran ayat 104 yang
mengandung makna agar setiap muslim berusaha menyatukan diri dalam gerakan
dakwah amar makruf nahi munkar untuk
membebaskan manusia dari kebodohan, kesengsaraan dan kemelaratan (nahi munkar)[9],
maka ide pembaharuan Muhammadiyah ditekankan pada usaha untuk memurnikan Islam
dari pengaruh tradisi dan kepercayaan lokal yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Dalam kaitan ini usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah
banyak terkait dengan masalah-masalah praktis ubudiyah dan muamalah.
Sama-sama sudah kita ketahui bahwa
agama itu dapat kita lihat dan kita temui melalui ketiga aspek yaitu bidang
keimanan, hubungan antara individu manusia dengan tuhannya (i’tikadiyah),
bidang tata-cara pengamalan (syari’ah) dan bidang hubungan manusia dengan
manusia dan alam sekitarnya (muamalat). Ketiga hal yang tersebut diatas tidak
dapat dipisahkan dan dikesampingkan dari kehidupan manusia, juga ketiga hal
tersebut harus sinergi berlakunya antara yang satu dengan yang lainnya, Ibnu
Rusdy mengistilahkan ketiga hal tersebut dengan istilah “fiqih akbar”. Di
sinilah posisi Muhammadiyah, sebagai penjaga keseimbangan antara ketiga hal
tersebut.[10]
Pertama, ada yang menarik jika kita
membahas apa teologi atau i’tikadiyah Muhammadiyah. Menurut pandangan Azyumardi
Azra dalam bukunya Menuju Masyarakat Madani, menjelaskan bahwa teologi Muhammadiyah
sebenarnya berdasarkan teologi klasik yaitu berdasarkan teologi Asy’ariyah.
Adalah mengejutkan bukan, karena selama ini banyak yang beranggapan bahwa
teologi Muhammadiyah diambil berdasarkan pemikiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
dan Jamaluddin Al-Afgani.[11]
Memang, tidak ada salahnya dengan
rasionalitas jika kemudian dipadukan dengan petunjuk lainnya seperti kekuatan
hati, alam dan yang tidak kalah pentingnya adalah Alquran dan Sunnah. Azra
menjabarkan bahwa teologi Muhammadiyah itu bersandar pada teologi Asy’ariyah,
tajamnya, teologi Muhammadiyah itu lebih dekat pada Hambalisme, dan bahkan
Teologi Muhammadiyah itu menganut Neo-Hambali yang dibawa oleh Ibnu Taimiyah
yang dalam ajarannya secara tegas menolak segala bentuk khurafat, tahayul dan
bid’ah.
Lebih lanjut, dalam hubungan
individu dengan Tuhannya Muhammadiyah menganjurkan sebuah konsep yang
dipopulerkan oleh Hamka yaitu tasawuf Moderen, meski konsep tersebut tidak
begitu populer pada warga Muhammadiyah sendiri. Sedikit sekali kajian guna
mengembangkan konsep yang dipopulerkan oleh Hamka.
Kedua, pada bidang Syari’ah. sering
terjadi perdebatan-perdebatan seputar masalah fiqih. Muhammadiyah bukanlah
sebuah mazhab dan tidak pula mengikuti sebuah mazhab. Muhammadiyah adalah
pencari kebenaran (walau dimanapun
kebenaran itu berasal dan walau siapapun yang menyampaikan kebenaran
itu), menemukan kebenaran dan mengaktualisasikan kebenaran itu dalam kehidupannya sesuai dengan tuntutan Alquran
dan Sunah.
Ketiga, secara sosial, sudah barang
tentu diantara kita sering dan mengetahui amal usaha yang dibangun oleh
persyerikatan Muhammadiyah dan warganya sangatlah banyak mulai dari panti
asuhan, sekolah/pesantren dan perguruan tinggi.
Sebagai gerakan Islam modern Muhammadiyah mendasarkan
programnya untuk: membersihkan Islam dari pengaruh ajaran yang salah,
memperbaharui sistem pendidikan Islam, dan memperbaiki kondisi sosial kaum
muslimin Indonesia.
Diantara program-program ini, maka pendidikan merupakan aspek yang sangat
menonjol dari pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah. Sebagai gerakan yang
berlandaskan agama, maka ide pembaharuan Muhammadiyah ditekankan pada usaha
untuk memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan kepercayaan lokal yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kaitan ini usaha-usaha pembaharuan yang
dilakukan Muhammadiyah banyak terkait dengan masalah-masalah praktis ubudiyah
dan muamalah.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan jalan alternatif
penyebaran dan internalisasi dari berbagai pengalaman kumulatif, baik berupa
keyakinan, sikap, pengetahuan maupun penerapannya yang dinilai positif dan bermanfaat oleh satu generasi ke generasi
selanjutnya yang tersimpan dalam berbagai kitab, cerita rakyat (folklore), tradisi, adat istiadat dan
sebagainya.[12]
Hal ini diperkuat dengan hadits-hadits Nabi tentang ilmu
pengetahuan yang umumnya menyatakan bahwa “mencari ilmu itu merupakan kewajiban
orang Islam sejak lahir sampai mati”, atau menurut istilah sekarang disebut long life education.[13]
Sehingga tidak sedikit tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berasal
dari Muhammadiyah, seperti Hamka, Amien Rais, Ahmad Syafi’i Maarif, Emha Ainun
Najib, Abdul Hadi WM, Yahya Muhaimin, Mohammad Djazman, Kuntawijaya, Chabib
Chirzien dan lain-lain.[14]
Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak di bidang
pendidikan dan sosial keagamaan tidak banyak berbicara perpolitikan apalagi
berkecimpung dalam politik praktis secara langsung.[15]
Namun sebagai sebuah organisasi yang besar dengan puluhan juta umatnya,
Muhammadiyah tidak akan terlepas dari urusan politik. Pertanyaannya adalah
politik seperti apa yang dipernkan Muhammadiyah? Tentu saja Muhammadiyah tidak
akan mungkin memainkan peranan sebagai sebuah partai politik yang mempunyai
tempat untuk berpolitik di parlemen, akan tetapi Muhammadiyah bisa saja mempengaruhi
parlemen (DPR) agar aspirasi Muhammadiyah dapat dipenuhi, katakanlah dengan
cara menghadiri “hearing” yang diselenggarakan oleh salah satu komisi di DPR.[16]
Selanjutnya Amin Rais dengan high politics-nya
mengungkapkan bahwa bila sebuah organisasi menunjukkan sikap yang tegas
terhadap korupsi, mengajak masyarakat yang luas untuk memerangi ketidakadilan,
menghimbau pemerintah untuk terus menggelindingkan proses demokratisasi dan
keterbukaan, maka organisasi itu sedang memainkan high politics.
Sebaliknya, bila sebuah organisasi melakukan gerakan dan manuver politik untuk memperebutkan kursi DPR, minta bagian di
lembaga eksekutif, membuat kelompok penekanan, membangun lobi serta berkasak
kusuk untuk mempertahankan dan memperluas vested interest, maka
organisasi tersebut sedang melakukan lowp politics. Dan dalam konteks seperti
itulah Muhammadiyah tidak akan ikut bermain politik praktis.[17]
Realitas politik di Indonesia membawa Muhammadiyah untuk
ikut berkecimpung (urun rembug) dalam membicarakan masalah suksesi tahun 1998
yang digelar pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya pada 11-13 Desember
1993, suksesi kepemimpinan yang berarti penyegaran atau pergantian unsur-unsur
kepemimpinan nasional yang menyangkut presiden, wakil presiden, para menteri
kabinet, para anggota DPR dan MPR.
Alasan yang diungkapkan seperti yang dituturkan Amin Rais sebagai pimpinan
Pusat Muhammadiyah pada saat itu, bahwa suksesi merupakan Sunnatullah
atau proses alami. Selain itu bangsa Indonesia
sudah merdeka hampir setengah abad,
tetapi sebagai bangsa masyarakat Indonesia belum pernah punya pengalaman bagaimana cara
memilih presiden. Baik Bung Karno maupun Pak Harto menjadi presiden karena
proses sejarah, atau lebih tepatnya
berkat aksiden sejarah. Muhammadiyah juga sebagai orang tua yang usianya 33
tahun lebih tua dari republik Indonesia,
maka tidak salah kalau berbicara tentang perjalanan bangsa yang krusial seperti
suksesi. Bahkan hal itu dirasakan sebagai kewajiban morilnya.
Dalam sidang tersebut Muhammadiyah mengajukan enam
kriteria calon presiden: pertama, harus sudah teruji kesetiaannya pada
Pancasila dan UUD 1945; kedua, punya integritas pribadi, tidak bermental korup
dan dapat menjadi panutan; ketiga, punya komitmen kerakyatan dalam arti selalu
mengunggulkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan, partai,
kelompok, keluargadan sebagainya; keempat, punya visi masa depan yang ditandai
dengan perkembangan iptek; kelima, memperoleh akseptabilitas yang setinggi
mungkin dalam masyarakat Indonesia yang serba majemuk; keenam, punya jangkauan
(reach-out) internasional berhubung Indonesia tidak mungkin ber-autarki tanpa
kerjasama dengan negara-negara lain.[18]
E. PENUTUP
Muhammadiyah merupakan salah
satu organisasi sosial kemasyarakatan yang memiliki ciri-ciri khusus atau sibghah yaitu;
1.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
2.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam Amar Makruf Nahi Munkar.
3.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.[19]
Kyai Haji Ahmad Dahlan pada
tahun 1912 mendirikan Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta.
Lahirnya Muhammadiyah berkaitan dengan gerakan pembaharuan, dimana Muhammadiyah
ingin merubah kondisi pada masa itu dengan meningkatkan pengetahuan agama Islam
kaum muslimin dan membersihkan Islam dari pengaruh ajaran yang salah.
Sebagai gerakan yang
berlandaskan agama, maka ide pembaharuan Muhammadiyah ditekankan pada usaha
untuk memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan kepercayaan lokal yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kaitan ini usaha-usaha pembaharuan yang
dilakukan Muhammadiyah banyak terkait dengan masalah-masalah praktis ubudiyah
dan muamalah.
Sebagai gerakan Islam modern
Muhammadiyah mendasarkan programnya untuk membersihkan Islam dari pengaruh
ajaran yang salah, memperbaharui sistem pendidikan Islam, dan memperbaiki
kondisi sosial kaum muslimin Indonesia.
Namun diantara program-program ini, maka pendidikan merupakan aspek yang sangat
menonjol dari pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi Islam yang besar
di Indonesia, gerakan
politiknya dilandasi denan high politics yang lebih mendukung terhadap
gerakan dakwahnya yakni amar makruf nahi munkar sebagai khittah atau strategi
awal Muhammadiyah, yang kerap tidak pernah mengalami perubahan dan selalu mendukung realita berbangsa dan
bernegara masyarakat muslim Indonesia.
Sukses Muhammadiyah dalam
urusan politik diwakili oleh Amin Rais, yang sering mengeluarkan
komentar-komentar kritis sepanjang pemerintahan orde baru, sehingga pada tahun
1998, ia bersatu dengan mahasiswa menuntut turunnya Suharto dari singgasana
kepresidenan. Pada era reformasi ia membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) dan
menjadi ketua MPR RI Periode 1999-2004
Daftar Pustaka
Ali, A.
Mukti. The Muhammadiyah Movement: A Biblio Graphical Introduction.
Montreal: McGill University, 1975.
Arifin,
MT. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah
dalam Pendidikan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,1987.
Mulkhan, Abdul
Munir. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi
Aksara, 1990.
Pasha,
Musthafa Kamal & Ahmad Adaby Darban. Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta:
LPPI, Pustaka Pelajar. cet. III, 2003.
_____________,
Matahari-matahari Muhammadiyah.
Yogyakarta: Pembaharuan, t.t.
Sairin,
Weinata. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Salam,
Yunus. Riwayat K.H.A. Dahlan; Amal dan
Perjuangannya. Jakarta: Majelis Pengajaran Muhammadiyah, 1968.
Siddik,
Dja’far. Pendidikan Muhammadiyah:
Perspektif Ilmu Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media, 2007
Soewarno,
M. Margono Poespo. Aktualisasi Pendidikan
Kemuhammadiyahan dan Islam. Yogyakarta: Free-Line, © 2003.
[1]Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H.
Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial (Jakarta:
Bumi Aksara, 1990), h. 4.
[2]Kauman berasal dari Bahasa Arab qaum.
Istilah ini mengandung makna “pejabat keagamaan” . Lihat H. Djarnawi
Hadikusumo, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin al-Afgani sampai KHA
Dahlan (Yogyakarta: Persatuan, t.t.), h. 65.
[4]A. Mukti Ali, The Muhammadiyah Movement: A Biblio Graphical
Introduction, (Montreal: McGill University, 1975), h. 29.
[5]Yunus Salam, Riwayat K. H. A Dahlan; Amal dan Perjuangannya
(Jakarta: Majelis Pengajaran Muhammadiyah, 1968), h. 7.
[6]Baca Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran
K. H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial
(Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 1-4.
[7]Weinata Sairin, Gerakan
Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 23-24.
[8]Baca Abdul Munir Mulkhan, h. 1-4.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Dja’far Siddik, Pendidikan
Muhammadiyah: Perspektif Ilmu Pendidikan (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 1.
[13]Arifin, Gagasan…, h. 205.
[15]Djarnawi Hadikusuma, Matahari-Matahari Muhammadiyah, (Yogyakarta:
Pembaharuan, t.t.), h. 13-14.
[16]Amin Rais, h. 13.
[19]Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan
Ideologis, (Yogyakarta: LPPI, Pustaka
Pelajar, cet. III, 2003), h. 160.
0 komentar:
Post a Comment