Pages

Wednesday, November 18, 2015

WAHYU DALAM KAJIAN TAFSIR TEMATIK



WAHYU DALAM KAJIAN TAFSIR TEMATIK
Oleh: Edi Sucipno


Pendahuluan
Alquran sebagai kumpulan kalam Allah yang diturunkan dalam bentuk wahyu kepada Nabi Muhammad Saw yang berfungsi sebagai petunjuk (huda) dan pedoman hidup bagi umat manusia di dunia mau pun di akhirat. Kesemuannya itu dapat diwujudkan jika kandungan ajaran alquran dapat dipahami oleh manusia itu sendiri yang selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kerangka memahami alquran upaya yang dilakukan adalah melalui penafsiran-penafiran. Dengan cara ini diharapkan segala kandungan makna alquran yang masih terselubung dalam teks (lafaz) dapat terbuka sehingga menjadi sesuatu yang jelas.
Bila ditinjau dari sudut pandang sejarah penafsiran alquran tentunya beraneka ragam metode serta bentuk dalam penafsirannya. Para ulama telah membagi metode penafsiran alquran kepada empat metode, yaitu: metode tahlili (analitik), metode ijmali (umum), metode muqarin (komparasi), dan metode Maudh­’i (tematik).
Di antara penafsiran yang akan dikaji lebih jauh yaitu bagaimana analisa penulis terhadap sebuah tema, dalam hal ini adalah wahyu, dengan memperdalamnya melalui metode  maudhu’i (tafsir tematik)  yang berarti tema atau pembicaraan.
Sebuah kajian penafsiran dan pemahaman yang paling dibutuhkan ketika menggeluti studi-studi alquran adalah penafsiran dan pemahaman tentang wahyu, sebab wahyu adalah hakikat dari alqur’an itu sendiri. Maka memahami alqur’an tanpa memahami wahyu terlebih dahulu akan menjadikan pemahaman itu lemah dengan sendirinya. Jika wahyu adalah sumber inspirasi tunggal bagi alqur’an, maka peletakan konsepsi yang mapan tentang wahyu mutlak dibutuhkan. Hal ini tertuang dalam firman Allah Swt: 
Artinya:
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu alqur’an dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya, serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.


Pengertian Wahyu
Secara etimologi wahyu merupakan bentuk mashdar yang berasal dari akar kata wâw, hâ’ dan yâ’. Makna awal dari kata wahy adalah “isyarat yang cepat”, pemberitahuan secara rahasia dan cepat. Menurut para ulama seperti Ar-Raghib menuliskan, “Wahyu adalah sebuah petunjuk yang sangat cepat. Wahyu terkadang dengan perkataan simbolik, terkadang dalam bentuk suara tanpa susunan, terkadang dengan isyarah sebagian anggota badan, dan terkadang dengan tulisan.”
Menurut Ibnu Katsir, “Kata wahyu dalam hadis sering dimaknakan sebagai tulisan, isyarat, risalah, ilham dan bisikan.”Sedangkan menurut Thaba-thabai, “Wahyu ialah suatu isyarat dan petunjuk yang cepat.” Dan penulis tafsir Ruhul al-Bayan mengatakan, “Makna inti wahyu ialah isyarat yang cepat, sesuatu dikatakan sebagai wahyu karena terlaksana dengan cepat, wahyu adalah pemahaman itu sendiri, memahamkan itu sendiri, dan yang dipahami itu sendiri.”
Secara istilah, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah Swt kepada para nabi-Nya dan para rasul-Nya tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara atau tanpa perantara.Wahyu secara istilah ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.

Wahyu Dalam Beberapa Penafsiran Alqur’an
Kata wahyu dan derivasinya disebutkan 78 kali dalam alqur’an dan seluruhnya memiliki makna yang berbeda-beda, di antaranya sebagai berikut:
1.        Insting dan fitrah
Allah Swt berfirman:
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتاً وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ  
Artinya:
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia.


2.        Sunnatullah dan hukum alam
Allah Swt berfirman:
 ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعاً أَوْ كَرْهاً قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11) فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاء أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظاً ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (12)
Artinya:
Kemudian Dia menuju pada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ” datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “kami datang dengan suka hati.” Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.


Tuhan menciptakan bumi, langit, dan alam materi sesuai dengan  “sunnah” dan hukum sebab-akibat (kausalitas). Dan alam semesta tersebut berjalan sesuai dengan “sunnah”. Alam semesta memiliki hukum dan “sunnah” tersendiri dan diatur sesuai dengan “sunnah” tersebut.“Sunnah” tersebut berasal dari Tuhan dan berjalan sesuai dengan perintah-Nya. Jadi yang dimaksud dengan wahyu Ilahi dalam ayat tersebut yaitu sunnatullah dan hukum alam.

3.        Ilham, bisikan, dan  inspirasi ke dalam hati
Alqur’an dalam masalah ibu Nabi Musa As mengatakan:
إِذْ أَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّكَ مَا يُوحَى (38) أَنِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ فَلْيُلْقِهِ الْيَمُّ بِالسَّاحِلِ يَأْخُذْهُ عَدُوٌّ لِي وَعَدُوٌّ لَهُ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي (39)

Artinya:
Yaitu ketika kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan yaitu letakkanlah ia (Musa) di dalam peti kemudian lemparkanlah ia kesungai Nil maka pasti sungai itu membawanya ke tepi supaya di ambil oleh musuh-Ku.
Dalam ayat lain dikatakan,
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلا تَخَافِي وَلا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Artinya:
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, susukanlah dia apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam sungai nil dan janganlah kamu khawatir dan jangan pula bersedih hati karena sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya salah seorang dari para rasul.

Penerima wahyu pada kedua ayat tersebut adalah ibu nabi Musa As, dan sudah tak bisa dipungkir bahwa wahyu tersebut bukanlah wahyu yang diterima para nabi As tetapi satu bentuk pemberian pemahaman secara sembunyi, ilham, inspirasi dan bisikan ke dalam hati baik dalam tidur maupun ketika terjaga.
4.        Isyarah
Allah Swt berfirman:
قَالَ رَبِّ اجْعَل لِّيَ آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلاَّ تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ رَمْزًا وَاذْكُر رَّبَّكَ كَثِيراً وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالإِبْكَارِ  
Artinya:
Zakaria berkata: ya Tuhanku berilah aku suatu tanda, Allah Swt berfirman  tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam padahal kamu sehat. maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya lalu ia memberi isyarat kepada mereka, hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.

5.    Wahyu kepada hawariyyun (pengikut khusus Nabi Isa As)
Allah swt berfirman:
وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ

Artinya:
Dan ingatlah ketika Aku ilhamkan kepada pengikut nabi Isa As yang setia, “berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. Mereka menjawab: “kami telah beriman dan saksikanlah wahai rasul bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).”


6.    Wahyu kepada Malaikat
Allah swt berfirman:
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلآئِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُواْ الرَّعْبَ فَاضْرِبُواْ فَوْقَ الأَعْنَاقِ وَاضْرِبُواْ مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ  

Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”.  Kelak akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir maka penggallah kepala mereka dan potonglah tiap-tiap ujung jari mereka.

7.        Wahyu dari Setan
Allah Swt berfirman:
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ  
Artinya:
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik.

Dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ 
Artinya:
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan dari jenis manusia dan dari jenis jin sebagian dari mereka membisikkan atas sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu, jikalau Allahmu menghendaki niscaya mereka tidak megerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.

8.    Wahyu kepada Para Nabi
Sekalipun dalam alqur’an kata wahyu digunakan untuk selain para nabi sebagaimana telah kami sebutkan, akan tetapi mayoritas kata wahyu tersebut digunakan untuk para nabi. Sebagai contoh, Allah Swt berfirman:
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُدَ زَبُورًا

Artinya:
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah berikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi kemudiannya, dan Kami telah berikan wahyu pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak-anak cucunya. Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud.
Dan dalam surah Yusuf Allah Swt berfirman:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ القَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا القُرْآنَ وَإِن كُنتَ مِن قَبْلِهِ لَمِنَ الغَافِلِينَ  
Artinya:
Dan Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan alqur’an kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukannya) adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.

Asbabun Nuzul dan Munasabah Wahyu
Pertama, Taklimullah (Allah Swt berbicara langsung) kepada Nabi-Nya dari belakang tabir/hijab. Yaitu Allah Swt menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur.
Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah Swt berbicara langsung dengan Musa As, dan juga dengan Nabi Muhammad Saw pada peristiwa isra' dan mi'raj. Allah Swt berfirman tentang nabi Musa:
وَكَلَّمَ اللّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا  
Artinya:
Dan Allah swt telah berbicara kepada Musa dengan langsung.

Adapun contoh ketika dalam keadaan tidur, yaitu sebagaimana diceritakan dalam hadis dari Ibnu Abbas dan Mu'adz bin Jabal. Rasulullah Saw bersabda:
أَتَانِي رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَبِّ وَسَعْدَيْكَ قَالَ فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى قُلْتُ رَبِّ لَا أَدْرِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيَّ فَوَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيَيَّ فَعَلِمْتُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ فَقُلْتُ لَبَّيْكَ رَبِّ وَسَعْدَيْكَ قَالَ فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى قُلْتُ ...
Artinya:
Aku didatangi (dalam mimpi) oleh Rabb-ku dalam bentuk terbaik, lalu Dia berfirman: "Wahai, Muhammad!" Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika."
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"Aku menjawab, "Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu," lalu Dia meletakkan tangan-Nya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan barat. Allah Swt berfirman, "Wahai, Muhammad!" Aku menjawab, "Labbaik wa sa'daika! "Dia berfirman, "Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?" Aku menjawab,"………".

Dalam hal wahyu ini, para ulama salaf, Ahli Sunnah wal Jama'ah memegangi pendapat, bahwa Nabi Musa As dan Nabi Muhammad Saw, keduanya pernah mendengar kalamullah al azaliy al qadim, yang merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah Swt.
Kedua, Allah Swt menyampaikan risalah-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu:
1.    Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali: pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi Saw setelah masa vakum dari wahyu, yakni setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi Saw tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Saw melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah Saw dimi'rajkan.
2.    Malaikat Jibril as terkadang datang kepada Nabi Saw dalam wujud seorang lelaki. Dalam penyampaian wahyu seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam hadis Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
3.    Malaikat Jibril mendatangi Nabi Saw, namun ia tidak terlihat. Nabi Saw mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah Saw, sehingga dilukiskan saat menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Saw berubah. Meski pada cuaca yang sangat dingin, beliau saw bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Saw berubah secara mendadak. Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit ra, dia berkata: "Allah Swt menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw, sementara itu paha beliau Saw sedang berada di atas pahaku. Lalu paha beliau Saw menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku akan hancur". (HR. Bukhari).
4.    Wahyu disampaikan dengan cara dibisikkan ke dalam kalbu, yaitu Allah Swt atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu yang hendak disampaikan ke dalam kalbu Nabi Saw disertai pemberitahuan bahwa, ini merupakan dari Allah Swt. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al Qana'ah, dan Ibnu Majah, serta al Hakim dalam al Mustadrak. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوْعِي : لَنْ تَمُوْتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ وَلاَ يَحْمِلَنَّ أَحَدَكُمْ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُنَالُ مَاعِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
Artinya:
Sesungguhnya Ruhul Quds (Malaikat Jibril) meniupkan ke dalam kalbuku: "Tidak akan ada jiwa yang mati sampai Allah Swt menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah keterlambatan rizki membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah Swt. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah Swt tidak akan bisa diraih, kecuali dengan mentaati-Nya".

5.    Wahyu diberikan Allah Swt dalam bentuk ilham, yaitu Allah Swt memberikan ilmu kepada Nabi Saw, saat beliau berijtihad pada suatu masalah.
6.    Wahyu diturunkan melalui mimpi, yaitu Allah Swt terkadang memberikan wahyu kepada para nabi-Nya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh, yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim As agar menyembelih anaknya. Peristiwa ini diceritakan oleh Allah Swt:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ  
Artinya:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! "Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Demikian cara-cara penerimaan wahyu Allah Swt yang diberikan kepada Rasulullah Saw. Semua jenis wahyu ini dibarengi dengan keyakinan dari si penerima wahyu, bahwa apa yang diterima tersebut benar-benar datang dari Allah Swt, bukan bisikan jiwa, apalagi tipu daya setan.
Pendapat Para Ahli Tentang Wahyu
Ada beberapa pendapat para ahli yang berbeda mengenai kajian wahyu, hal ini dikarenakan paradigma, kualifikasi ilmu serta latar belakang pendekatan pemikiran yang mendasar dilahirkan masing-masing ahli tersebut, seperti pendekatan bayani  (pengamatan), irfani (hati) dan burhani (akal), di antaranya ahli ilmu kalam dan teologi, serta filosofis.
Menurut Muhammad Abduh, wahyu adalah firman Allah Swt yang diberikan kepada orang yang menjadi pilihan-Nya (nabi dan rasul) untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidupnya agar  dalam perjalanan hidupnya senantiasa padajalur  yang benar.
Wahyu mempunyai peran  yang  sangat penting dalam perjalanan hidupmanusia, merupakan sumber utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Muhammmad Abduh menguraikan wahyu sendiri pada klasifikasikannya menjadi dua, yakni wahyu Qauliyah dan wahyu Kauniyah.
Dalam prespektif teologi keberadaan wahyu mendapatkan perhatian yang serius dari kalangan umat Islam. Hal tersebut ditandai oleh kuatnya pertentangan yang terjadi pada sebagian aliran teologi dalam Islam seperti Mu’tazilah dan Ahlussunah.
Menurut Mu’tazilah tanpa bantuan wahyu manusia dapat mengetahui akan adanya Tuhan sekalipun kendati dengan Akal. Apun fungsi wahyu adalah sebagai konfirmasi dan informasi atas apa yang telah diketahui oleh akal. Sedangkan menurut Ahlussunah khusus pada firqah Asy’ariah menyatakan bahwa betul manusia dengan akalnya dapat mengetahui adanyaTuhan, namun untuk mengetahui tatacara menyembahnya (beribadah) diperlukan wahyu.
Dari dua pandangan aliran teologi di atas jika dibuat perbandingan keduanya mengenai fungsi wahyu adalah nampak dalam bagan berikut ini :
Aliran
Fungsi Akal
Fungsi Wahyu
Mu’tazilah
1.    Mengetahui adanya Tuhan
2.    Kewajiban Mengetahui Tuhan
3.    Mengetahui Baik dan buruk
4.    Kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk
Hanya sebagai alat untuk konfirmasi dan informasi atas apa yang di dapat melalui akal
Asy’ariah
Untuk mengetahui adanya Tuhan (MT)
1.   Kewajiban mengetahui adanya Tuhan (KMT)
2.   Mengetahui baik dan buruk (MBB)
3.   Kewajiban mengerjakan yang  baik dan meninggalkan yang buruk (KMBB)
Maturidiah
·  Samarkand

·  Bukhara
1.   MT
2.   KMT
3.   MBB
1.   MT
2.   MBB
1.   KMBB
2.   KMT

1.   KMBB
Al-Juwaini
1.   MT
2.   MST (Mengetahui Sifat Tuhan)
3.   MBJ (M) Mengetahui baik dan jahat menurut hukum manusia
4.   MKJ (Mengetahui Kebangkitan Jasmani)
1.    MWT (Mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan)
2.    MBJ (S) Mengetahui baik dan jahat menurut hukum syariat
3.    MWTT (Mengetahui kewajiban terhadap Tuhan)
4.    MWBJ (S) Mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat menurut syariat
Di sisi lain, para ahli ilmu teologi/kalam telah tengelam dalam cara-cara para filosof dalam menjelaskan wahyu Allah itu dengan sebutan Kalam Allah, sehingga mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus. Mereka membagi kalam Allah menjadi dua bagian: kalam nafsi yang kekal yang ada pada zat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula bahasa. Dan kalam lafzi (verbal), yaitu yang diturunkan kepada para Nabi As, yang di antaranya adalah empat buah kitab. Para ahli ilmu teologi/kalam ini semakin terbenam dalam perselisihan skolastik yang mereka adakan: apakah qur’an dalam pengertian kalam lafzi, makhluk atau bukan? Mereka memperkuat pendapat bahwa qur’an dalam pengertian kalam lafzi di atas adalah makhluk. Dengan demikian, mereka telah keluar dari jalan para mujtahid dahulu dalam hal yang tidak ada nashnya dalam kitab dan sunnah. Mereka juga menggarap sifat-sifat Allah dengan analisis filosofis yang hanya menimbulkan keraguan dalam akidah tauhid.
Sedang mazhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sudah ditetapkan oleh Allah atau ditetapkan oleh Rasulullah Saw dalam hadis shahih yang datang dari Nabi. Bagi kita sudah cukup dengan beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat di antara sekian sifat Allah. Allah berfirman. “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung”.(QS. an-Nisa’: [4] 164), demikian pula alqur’anul karim, wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Saw adalah kalamullah, bukan makhluk, sebagaimana tersirat dalam ayat yang artinya: “Jika orang di antara orang-orang musryik itu yang meminta perlindungan kepadamu, lindungilah dia supaya dia sempat mendengar kalam Allah” (QS. At-Taubah: [9] 6).
Dalam penafsiran M. Quraish Shihab mengatakan bahwa wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan, dan menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw dan fungsi utamanya menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia, petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa disebut syariat.
Hal senada diungkapkan oleh Muhammad Husain Al-Thabathaba’iy, yang mengatakan bahwa wahyu itu berkaitan dengan sifat dan ciri-ciri yang diperkenalkan menyangkut diri Allah, yang tetap dapat ditemukan sebagaimana keadaannya.
Menurut analisis falsafat dan tasawwuf atau mistisisme dalam Islam, wahyu adalah suatu bentuk komunikasi antara Tuhan yang bersifat imateri dan manusia yang bersifat materi, seperti contoh pada falsafat emanasi, jiwa dan akal manusia yang telah mencapai derajat perolehan, dapat mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh, yang dalam penjelasan Ibn Sina adalah Jibril. Komunikasi itu bisa terjadi karena akal perolehan telah begitu terlatih dan begitu kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni. Akal demikian mempunyai kekuatan suci (qudsiah) dan diberi nama hads. Akal ini hanya diperoleh oleh para Nabi dan Rasul Allah.
Menurut ajaran tasawwuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari, dengan cara menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa, baik jiwa maupun kata-kata, baik isi maupun bentuknya, “adalah suci dan diwahyukan”.
Selanjutnya Al-Farabi, filosof Islam mengatakan bahwa wahyu itu dipancarkan Tuhan melalui akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti daya fikir, dan dari daya fikir inilah selanjutnya memancarkan materi. Konsep inilah Tuhan sebagai sumber energi, dan energi itu memadat menjadi materi.

Penutup
Dalam penafsiran alqur’an dengan mengangkat tema “wahyu” melalui tafsir tematik, pada hakekatnya tidak atau belum mengemukakan seluruh kandungan ayat alqur’an yang ditafsirkannya itu.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Aridh, Ali Hasan, Sejarah Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1994.
Al-Farabi dalam Mysterieuze Krachten van de Geest, Amsterdam Book, 1976.
Al-Qattan Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1994.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1-4, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Ash-Shabuni, Syaikh Muhammad Ali, Ikhtisar ‘Ulumul Quran, Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
Al-Thabathaba’iy, Muhammad Husain, Al-Qur’an fi Al-Islam, Taheran: Markaz I’lam Al-Dzikra Al-Khamisah li Intizhar Al-Tsawrah Al-Islamiyah,tt.
Kiswati, Tsuroya,  Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2002.
Munawwir,  Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwar, Yogyakarta: 1984.
Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, London: Allen and Unwin, 1975.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Shalahuddin, Henri, Serangan Terhadap Konsep Wahyu dan Tafsir di Zaman Modern, www.scribd.com, www.insist.net
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1993.


 Ali Hasan Al-Aridh, Sejarah Metodologi Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1994), h. 40.
 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwar, Yogyakarta, 1984.
 Maksudnya: penduduk dunia seluruhnya
 QS. Asy Syuura [42]: 7
 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-PRESS, 1986), h. 15.
 Ibnu Katsir dalam Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1994), h. 35.
 Ibid, h. 36.
 QS. An-Nahl: [16] 68.  
 QS. Fushilat: [41] 11-12
 QS. Thaha: [20] 38-39.
 QS. Qashash: [28] 7.
 QS. Maryam: [19] 10-11.
 QS. al-Maidah: [5] 111.
  QS. al-Anfal: [8] 12.
 QS. al-An’am: [6] 121.
  QS. Al-An’am: [6] 112.
 QS. an-Nisa: [4] 163.
 QS. Yusuf: [12] 3.
 Ruhul Bayan, jilid 8, hal. 344.
 QS. An-Nisaa`:[4] 164.
 An-Nihayah, jilid 5, hal. 143.
 HR. Bukhari dan Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibn Majah.
 QS. ash Shaffat: [37] 102.
 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, h. 65.
 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1993), h. 27.
 Muhammad Husain Al-Thabathaba’iy, Al-Qur’an fi Al-Islam (Taheran: Markaz I’lam Al-Dzikra Al-Khamisah li Intizhar Al-Tsawrah Al-Islamiyah,tt), h. 175.
 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, h. 17.
 Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: Allen and Unwin, 1975), h. 42
 Al-Farabi dalam Mysterieuze Krachten van de Geest (Amsterdam Book, 1976), h. 107.