Pages

Wednesday, November 4, 2015

PEMIKIRAN ISLAM TENTANG LIBERAL Oleh: Edi Sucipno



PEMIKIRAN ISLAM TENTANG LIBERAL 
Oleh: Edi Sucipno 

Pendahuluan
Sejak lebih dari dua dekade yang lalu dikalangan umat Islam Indonesia dihadapkan pada gagasan tentang betapa perlu menghidupkan kembali "teologi rasional". Usaha menghidupkan kembali "teologi rasional" itu dianggap perlu untuk mengejar keterbelakangan umat Islam yang diakibatkan, menurut penganjur gagasan tersebut, antara lain karena mereka terbelenggu oleh "teologi tradisional" yang mereka anut. Teologi ini terutama dikaitkan dengan paham jabariah atau fatalisme, yang dianggap melahirkan sikap pasif, pasrah dan menyerah pada suratan takdir.
Prof. Dr. Harun Nasution adalah salah seorang penganjur utama "teologi rasional" itu. Karena itu beliau dianggap sebagai pelopor kebangkitan apa yang disebut sebagai "Neo-Mu'tazilah". Tentu saja kita bisa mempertanyakan validitas konstalasi tersebut dilihat dari segi faktual. Bersamaan dengan itu muncul pula gagasan tentang keperluan usaha pembaharuan dalam pemikiran umat Islam. Salah seorang penganjur utamanya adalah Cak Nur (Dr. Nurcholish).
Begitu juga Islam liberal yang merupakan wacana pemikiran kontemporer bagi masyarakat Islam khususnya di Indonesia. Hadirnya Islam liberal diawali dari ketidakpuasan golongan minoritas yang selama ini memandang bahwa agama telah dijadikan kendaraan untuk melakukan monopoli ajaran dan kekuasaan, ketidakadilan, pembodohan yang berakibat pada sublimasi pemahaman Islam.
Selain dari itu, Islam liberal berupaya melihat realitas-realitas umat Islam saat ini. Adanya kemunduran yang terjadi dalam dunia Islam di satu pihak dan kemajuan peradaban Barat di pihak lain menunjukkan adanya something wrong terhadap pemahaman ajaran Islam sendiri. Padahal Islam diyakini  ya’lu wa laa yu’la alaih. Argumentasi-argumentasi tersebut merupakan pijakan awal Islam liberal dalam mengaktualisasikan dirinya ke dalam masyarakat Islam untuk menciptakan Islam yang membebaskan dirinya dari kebodohan, kejumudan, keterpurukan, penindasan, dan berbagai masalah yang terjadi dalam dinamika umat Islam kini.
Tentu saja kita tidak bisa menerima kebenaran-kebenaran tersebut tanpa ada sikap kritis. Islam liberal memang telah menjadi selebriti yang banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak. Berbagai tanggapan dan komentar baik yang pro maupun kontra bermunculan dengan segala dasar argumentasinya harus menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan sikap terhadap gerakan Islam liberal. Untuk itu, dalam pembahasan berikutnya akan sedikit dipaparkan apa dan bagaimana Islam liberal, juga ide-ide dan dokrin/ajaran keislaman yang dikembangkannya serta tokoh-tokohnya.

Pengertian dan Latar Belakang Islam Liberal
Memahami Islam liberal maka perlu merujuk pada dua kata yang tercakup di dalamnya yaitu kata Islam dan liberal. Makna Islam bila dikaitkan dengan makna liberal, yaitu sebagai “suatu bentuk penafsiran” atau “pemahama.”[1]
Sementara kata liberal memiliki banyak makna. Dalam Oxford dictionary terdapat tujuh macam arti liberal, lima di antaranya; 1) memberikan kebebasan, banyak, berlimpah ruah, 2) berfikiran terbuka dan tidak berprasangka, 3) tidak tekstual, 4) memperluas wawasan pemikiran, 5) merubah pemahaman-pemahaman tradisional yang tidak sesuai lagi dengan pemahaman modern.[2]
Dari pengertian di atas, maka makna yang dimaksudkan dengan Islam liberal adalah Islam yang memberikan banyak kebebasan kepada penganutnya dalam berfikir dan bertindak, tidak tekstualis, memiliki wawasan yang luas dan berpaham modern.[3]
Jadi main stream Islam liberal berkenaan terhadap bentuk penafsiran tertentu atas teks-teks keislaman. Dengan demikian Islam liberal adalah Islam percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional terhadap teks adalah prinsip-prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca atau keadaan. Untuk itu, penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahhiyat (teologi).[4]
Di Indonesia gagasan Islam liberal diteliti oleh Dr. Greg Barton yang ditulis dalam disertasi doktornya di Monash University, Melbourne, Australia. Penelitian ditekankan mulai tahun 1960 sampai 1990. Gerakan dan pemikiran ini telah memelopori perkembangan lslam liberal yang disebut neo-modernisme. Islam yang telah berpengaruh pada tataran keagamaan, sosial, dan politik. Gerakan ini secara luas tumbuh di lingkungan para intelektual yang memiliki latar belakang modern, yang dikombinasikan dengan pendidikan Islam klasik.
Kehadirannya di Indonesia merupakan pendorong bagi terbitnya kebangkitan baru satu generasi Muslim, terutama kelas menengah kota, sehingga mampu berperan secara lebih liberal dan progresif untuk sebuah Indonesai baru.
Guna menopang, menyertai, melakukan dan mengarahkan perubahan sosial bagi masyarakat Indonesia, kita harus mampu melepaskan diri dari sikap-sikap yang tidak kondusif bagi pembangunan dan modernisasi. Secara positif, kita harus menciptakan sikap mental baru yang “ilmiah”. Bila dikongkretkan dengan melihat latar belakang yang ada, maka pada saat ini, perlu sekali mengadakan liberalisasi (pembebasan dari nilai tradisional yang bersifat menghambat), sekulerisasi (pembebasan masalah-masalah dan urusan-urusan duniawi dari belenggu-belenggu keagamaan yang tidak pada tempatnya), serta bentuk-bentuk sikap pembebasan (liberating attitude)[5]
Wujud keberadaan Islam liberal terwadahkan dalam suatu komunitas yang bernama JIL (Jaringan Islam Liberal). Jaringan ini senantiasa intens dalam menyuarakan pemahamannya dengan menggunakan media komputerisasi dan      e-mail, di samping media-media cetak seperti buku-buku dan artikel-artikel.
Islam liberal memang memiliki wadah atau komunitas. Namun jika kita kembali pada defenisi di atas, maka setiap orang yang punya pemahaman terbuka, tidak tekstual, tidak mau diintervensi oleh pemahaman lain dan sebagainya juga masuk kategori Islam liberal, karena Islam liberal menyangkut banyak makna, walaupun tidak harus masuk ke dalam komunitas JIL.

Ide Pokok dan Dokrin Islam Liberal
Islam liberal memberikan kesempatan untuk membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, dalam situs islamlib.com, dijelaskan bahwa ide pokok Islam liberal yaitu “mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural”. Gagasan tentang kebenaran sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.[6]
Islam liberal di Indonesia memiliki pemahaman yang diyakini dan menjadi dokrin/ ajaran sudah sampai pada pemahaman pluralisme, menganggap semua agama itu sama atau parallel, semua menuju keselamatan, dan tidak boleh memandang agama orang lain dengan agama yang kita peluk.[7]
Sejalan dengan paradigmanya, corak Islam liberal menjamin adanya kebebasan berpikir dalam mencari solusi terbaik bagi kehidupan umat. Berkaitan dengan hal ini, seperti dikatakan Kurzman, ada tiga unsur kerangka berpikir islam liberal:
Pertama, syari’ah itu sendiri bersifat liberal pada dirinya sendiri. Misalnya kebijakan Nabi dalam memerintah negara Madinah yang menjamin hak-hak non-muslim di bawah pemerintahan muslim merupakan bukti bagaimana syari’ah memecahkan masalah-masalah kontemporer secara liberal.
Kedua, syari’ah yang diam (silent shari’a), adalah bentuk penafsiran ketika wahyu tidak ada menyinggung secara tegas mengenai masalah-masalah tertentu, atau belum pernah dipraktikkan dalam sejarah Islam. Jadi, jika alquran tidak menyebutkan sesuatu, hal ini menunjukkan bahwa berarti sesuatu itu dibolehkan, kecuali dalam masalah-masalah ibadah.
Ketiga, syariah yang ditafsirkan (interpreted shari’a) adalah pandangan bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia. Pandangan ini berdasarkan hadis Nabi yang berbunyi: “Perbedaan-perbedaan di kalangan umatku yang terpelajar merupakan rahmat Tuhan.” Demikian juga, dalam hadis lainnya dikatakan bahwa: “Alquran bersifat lentur, terbuka terhadap berbagai jenis penafsiran, oleh karena itu tafsirkanlah menurut kemungkinan cara yang terbaik”.[8]

Bahkan alquran sendiri menegaskan

Artinya:
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.[9]

Pada ayat yang lain

Artinya:
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.[10]

Ada beberapa lagi ide-ide yang dikembangkan Islam liberal seperti, memihak pada yang minoritas dan tertindas, meyakini kebebasan beragama karena tidak seorangpun manusia yang berhak memaksakan suatu pendapat dan kepercayaan kepada orang lain, dan ingin memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi serta otoritas agama dan politik. Ringkasnya ‘Islam liberal’ adalah Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial politik yang menindas.[11]
Dalam pandangan Islam, kebebasan manusia adalah kewajiban sosial dan tugas Ilahi yang di atasnya dibangun amanah responsibilitas dan risalah kekhalifahan yang merupakan tujuan utama diciptakannya manusia oleh Allah Swt.
Batasan Islam terhadap kebebasan manusia ini yang mengikat kebebasan berinisiatif “sebagai kewajiban manusia” dengan “kewajiban-kewajiban syari’at Ilahi” dan melihat hak-hak manusia dalam hubungannya dengan hak-hak Allah. Dialah yang menjadikan kebebasan, dalam pandangan Islam sebagai jalan bagi keamanan sosial manusia, tidak semata di dunia saja, namun juga bagi kehidupan setelah kehidupan dunia ini. Yaitu, dengan membatasi kebebasan berinisiatif dan bertindak manusia di dunia dari melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghasilkan azab, ketakutan, dan keburukan di akhirat nanti.[12] Namun oleh kelompok Islam liberal, tidak memberikan batasan akan kebebasan bagi manusia, karena manusia diberi potensi akal untuk berfikir, berbuat dan melakukan sesuai kehendak dan kemampuannya.
Islam adalah gerakan pembebasan, yakni pembebasan dari belenggu kemusryikan yang telah mengerangkeng kemanusiaan dalam periode paganisme yang irasional. Dengan semangat pembebasan itu pula rasulullah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita. Oleh karena itu, Islam memang harus muncul sebagai agama liberal dengan memberi respon terhadap perkembangan yang terjadi.[13]
Selain ide di atas, ide Islam liberal  dimansyurkan dengan sebutan pembaharu. Hal ini dikemukakan oleh Harun Nasution ataupun kurikulum di IAIN menamakan seluruh tokoh Islam liberal itu dengan sebutan kaum modernis atau pembaharu, dan dimasukkan dalam mata kuliah yang disebut aliran-aliran modern dalam Islam. Yaitu membahas apa yang disebut dengan pemikiran dan gerakan pembaharuan dalam Islam. Kemudian istilah yang dibuat-buat itu masih dikuat-kuatkan lagi dengan istilah bikinan yang mereka sebut Periode Modern dalam Sejarah Islam.[14]
Selanjutnya, ide atau pokok pemikiran Islam liberal yakni memposisikan diri berbeda dengan Islam adat (customary Islam)[15] yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai lokal. Demikian juga, Islam liberal membuat garis pemisah dengan Islam revivalis (revivalist Islam)[16] atau yang biasa dikenal dengan Islam fundamentalisme yang tidak mentolelir interpretasi adat. Islam fundamental lebih mengedepankan simbol-simbol Islam, seperti penggunaan bahasa Arab orientasi kepada masa klasik Islam, dan dalam taraf tertentu menggunakan cara-cara kekerasan. Sementara Islam liberal (liberal Islam) berbeda dengan dua tradisi keberagamaan umat Islam. Islam liberal menghadirkan masa lalu untuk kepentingan masa depan. Islam liberal menganggap kedua tradisi Islam, adat dan fundamentalisme Islam sebagai “keterbelakangan” yang menghalang-halangi dunia Islam menikmati buah modernitas dan kemajuan. Ketiga arus pemikiran Islam tersebut di atas hingga sekarang mewarnai wacana pemikiran dunia Islam hingga kini.[17]
Dari beberapa ide dan dokrin, sebenarnya tema sentral dari pokok-pokok pemikiran kaum Islam liberal adalah rasionalisasi dan modernisasi terhadap Islam serta tak jarang menuju kepada sekularisasi.
Menurut analisa penulis, lahirnya pemikiran para tokoh kaum Islam liberal itu disebabkan karena beberapa hal:
1.      Faktor penjajahan panjang yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam di segala bidang.
2.      Faktor kebodohan dan kejumudan umat Islam yang mengakibatkan setagnasi pemikiran dan keterbelakangan pendidikan.
3.      Apa yang mereka saksikan dari pengamatan langsung ke dunia Barat. Mereka sampai terkesima melihat kemajuan Barat. Hal ini melahirkan sikap untuk membawa umat Islam ke arah kemajuan Barat, yang tidak jarang mereka sikapi dengan apologi yang berlebihan.
Pada hakikatnya ada titik-titik kelebihan dan kelemahan pada pemikiran kaum Islam liberal. Titik kelebihan yang menonjol bahwa mereka telah merangsang kebangkitan kaum tradisionalis untuk bangkit berijtihad dan melakukan berbagai perubahan. Tetapi, titik-titik kelemahannya cukup banyak. Paling tidak sikap reaktif mereka terhadap kenyataan tidak dibarengi dengan implementasi riil yang dapat dirasakan oleh umat secara luas. Juga, tidak jarang lebih banyak bersifat teoritik dan mencibir serta apologetik dan berbangga diri sehingga melahirkan arogansi intelektual.
Pemikiran kaum liberal ternyata banyak memiliki kelemahan-kelemahan pokok antara lain:
1.      Tidak punya landasan/ dalil yang benar
2.      Tidak punya paradigma ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan
3.      Tidak mengakui realita yang tanpak nyata
4.      Tidak mengakui sejarah yang benar adanya
5.      Tidak punya rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan[18]

Berdasarkan alasan di atas, maka kelemahan pokok pemikiran kaum liberal dapat dibagi menjadi dua yakni, lemah dari segi metode keilmuan dan lemah dari segi tinjauan keyakinan atau teologi. Hal ini disebabkan kecenderungan kaum liberalis selalu menggunakan analisa berfikir (rasional), kendali tetap mengkonsultasikan pada konsep kebenaran yang datangnya dari Tuhan, karena tuntutan yang terjadi disebabkan perkembangan zaman modern dan kebebasan untuk berbuat sesuai dengan hak azasi manusia.

Tokoh-tokoh Islam Liberal Kontroversi
Di antara tokoh-tokoh yang mengilhami dan memberikan konstribusi lahirnya pemikiran Islam liberal yang tergabung pada komunitas JIL (Jaringan Islam Liberal) di Indonesia sebagai berikut:
1.      Nurcholish Madjid
Pendapat Nurcholish Madjid yang dianggap kontroversi bahwa Islam itu hanya ad-din yang artinya agama, berarti tidak ada sangkutannya dengan pengurusan negara. Atau dengan kata lain, Ia beranggapan bahwa ad-din bukan agama semata-mata, melainkan juga meliputi bidang lain, yang akhirnya melahirkan apresiasi ideologis, dan politik.
Nurcholish Madjid juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".”  Inilah paham pluralisme tentang agama.[19]
2.      Jalaluddin  Rahmat.
Jalaluddin Rahmat berpendapat: semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa.” [20]
3.      Ulil Abshar Abdalla.
Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” [21] dan dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”[22]
4.      Sumanto Al Qurtuby
Dia berpendapat: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil  menunjukkan surga-Nya yang Maha luas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!”[23] 
Selain tokoh-tokoh Islam liberal di atas, masih banyak lagi sejumlah tokoh lainnya yakni: Azyumardi Azra, Masdar F. Mas’udi, Goenawan Mohammad, Nasaruddin Umar, Komaruddin Hidayat, Said Agil Siraj, Denny JA, Rizal Mallarangeng, Budi Munawar Rahman, Taufiq Adnan Amal, Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukanie, Ade Armando, dan Syamsurizal Panggabean.
Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut JIL (Jaringan Islam Liberal).

Penutup
Perkembangan aqidah yang dianut masyarakat Islam Indonesia salah satunya bercorak liberal. Islam liberal sebagaimana yang dilekatkan kepada orang-orang yang menganut pikiran bebas tidaklah tepat jika dicap sebagai sesuatu yang negatif, seperti murtad, syirik, dan fasik, apalagi dianggap seolah-olah sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Kalau boleh kita jujur, kelompok Islam liberal tidak jauh berbeda dengan kelompok umat Islam lain yang memiliki pikiran-pikiran dan pandangan yang beda antara satu dengan yang lain. Yang lebih memprihatinkan kita adalah tuduhan negatif terhadap Islam liberal ini justru disebabkan karena ketidaktahuan kita terhadap apa itu Islam liberal.
Jika memang demikian kenyataannya tentu kita pantas berduka, sekaligus malu tentang realitas sebagian umat Islam saat ini yang begitu mudah memberikan hujatan terhadap persoalan-persoalan yang sesungguhnya baginya belum begitu jelas. Mereka menganggap pandangannya saja yang benar, di luar mereka semua salah. Pandangan seperti ini sama halnya mendirikan agama di atas agama, atau lebih tegas lagi, sebagaimana yang dikatakan Karl Mark bahwa “agama diarahkan sebagai candu masyarakat“ yang meninabobokkan masyarakat, memberikan angin surga sesaat, tetapi sesaat dalam waktu yang tidak terbatas.
Oleh sebab itu, agaknya mempertimbangkan suatu gagasan baru dalam pemikiran keagamaan merupakan suatu keharusan, jika kita tidak ingin dalam beragama hanya taklid buta, tanpa reserve yang memadai. Pemahaman dan penafsiran atas doktrin agama Islam tampak jelas harus senantiasa diperbaharui dan diperkaya agar tidak ketinggalan zaman, serta tidak lapuk oleh tumpukan peristiwa. Oleh sebab itu, Islam liberal hadir dengan mengedepankan wacana penafsiran (ijtihad) yang lebih relevan, tentu saja keinginan  Islam liberal dengan Islam-Islam lainnya sama, yaitu menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
AKIBAT PAHAM LIBERAL


                                  


                                 




 




 DAFTAR BACAAN


 Arif, Syamsyuddin., Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008.

Aslan, Adnan., Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (terj) Munir,  Bandung: Alifya, 2004.

Baso, Ahmad dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, Bandung: Kerjasama Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005.

Biyanto., Pluralisme Keagamaan dalam perdebatan Pandangan Kaum Muda MuhamMadiyah, Malang: UMMPRESS, 2009.

Budiman, Arief., dalam Dialog Kritik dan Identitas Agama, Seri Dian I/Tahun I Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993.

Ghazali, Abd Ghazali., Argumen Pluralisme Agama, Depok: Katakita, 2009.

Husaini, Adian dan Hidayat, Nuaim., Islam Liberal Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabanya, Jakarta: Gema Insani, 2002.

______________, Pluralisme Agama Parasit Bagi Agama-Agama, Jakarta: Media Da`wah, 2006,

Imarah, Muhammad, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Islmail, Faisal., Sekulerisasi Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid, Yogyakarta: Pessantren Nawasea, 2008.

Jaiz, Ahmad, Hartono, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

__________________, Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001.

Katimin, Politik Masyarakat Pluralis, Bandung: Citapustaka, 2010.

______, Isu-Isu Islam Kontemporer, Bandung: Citapustaka, 2006.

Lagenhausen, Muhammad., (terj) Arif Muladi, Satu Agama atau Banyak Agama, Jakarta: Lentera, 2002.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.

________________, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.

___________________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, 1993.

Mulkhan, Abdul Munir., Satu Tuhan  Beribu Tafsir, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Munawar-Rahman, Budhy., Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004.

Qodir, Zuly., Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (Edisi Revisi) 2007.

__________, Muhammadiyah dan Pluralisme Agama," dalam Pluralisme dan Liberalisme: Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah, (ed.) Imron Nasri,  Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005.

Shihab, Alwi., Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997.

Subkhan, Imam., Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, Bandung: Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005.

Thoha, Anis Malik., Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif 2005.

Wahid, Abdurrahman (ed), Dialog Pemikiran Islam Realitas Empirik, Yogyakarta: LKPSM NU 1993.

Yusuf, Yunan, PERTA, Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, volume 5, Jakarta: 2002.

Zarkasyi, Hamid Fahmy., Paham Pluralisme Agama, Makalah disampaikan pada Acara Training Da'i tetang Aqidah dan Pemikiran Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, di Cilegon Banten, pada Ahad, tanggal 27 Mei 2007.

____________________, Liberalisasi Pemikiran Islam, Ponorogo, Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007.







[1] Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut: a) Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, b) mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks, c) mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural,            d) memihak pada minoritas dan tertindas, e) meyakini kebebasan beragama, f) memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.                                                             Lihat, http://www.islamlib.com/page.php
[2] Lihat: The Oxford Reference Dictionary, Oxford University Press, second edition, (New York, 1996), h. 825
[3] Katimin & Ahmad Dayan Lubis, Isu-Isu Islam Kontemporer, (Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 132.
[4] Ibid, h. 133.
[5] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), h. 235.
[6] Dalam situs islamlib.com disebutkan, terdapat tiga misi Jaringan Islam Liberal (JIL), yaitu: 1) Mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak. 2) Mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. 3) Mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
[7] Yang dikembangkan dalam Islam liberal adalah inklusivisme dan pluralisme. Inklusivisme itu menegaskan, kebenaran setiap agama harus terbuka. Perasaan solider sebagai penghuni tunggal pulau kebenaran cukup dihindari oleh faksi inklusif ini. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut. Tapi, paradigma ini tetap tidak kedap kritik. Oleh paradigma pluralis, ia dianggap membaca agama lain dengan kacamata agamanya sendiri. Sedang paradigma plural (pluralisme): setiap agama adalah jalan keselamatan. Perbedaan agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipil. Pandangan plural ini tidak hanya berhenti pada sikap terbuka, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu sikap yang memandang semua agama sebagai jalan-jalan yang sejajar. Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001), h. 116-117.  
[8] Kurzman, dalam Katimin, Politik Masyarakat Pluralis, Menuju Tatanan Masyarakat Berkeadilan dan Berperadaban, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), h. 113.
[9] Q.S. Huud, [11]: 118.
[10] Q.S. Yunus, [10]: 19. Maksudnya: manusia pada mulanya hidup rukun, bersatu dalam satu agama, sebagai satu keluarga, tetapi setelah mereka berkembang biak dan setelah kepentingan mereka berlain-lain, timbullah berbagai kepercayaan yang menimbulkan perpecahan. Oleh karena itu Allah mengutus Rasul yang membawa wahyu dan untuk memberi petunjuk kepada mereka (baca ayat 213 surat al-Baqarah). Ketetapan Allah itu ialah bahwa, perselisihan manusia di dunia itu akan diputuskan di akhirat. Maksudnya: diberi keputusan di dunia.
[11] Katimin, Isu-Isu Islam Kontemporer, h. 134.
[12] Muhammad Imarah, Islam dan Keamanan Sosial, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 114.
[13] Yunan Yusuf, PERTA, Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, volume 5, (Jakarta: 2002), h. 42.
[14] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 216.
[15] Islam adat (customary Islam) yaitu, tradisi ini ditandai oleh kombinasi kebiasaan-kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan-kebiasaan yang juga berlaku di seluruh dunia Islam. Misalnya tentang kepercayaan-kepercayaan umat Islam terhadap roh-roh, perayaan tahun baru Islam dan hari-hari suci lainnya. Kebiasaan lokal itu, tanpa disadari, bisa jadi bertentangan dengan rukun Islam.
[16] Islam revivalis (revivalist Islam) yaitu, tradisi yang menyerang interpretasi adat (customary interpretation) yang kurang memberi perhatian terhadap inti dokrin Islam. Menghadapi penyimpangan lokal, tradisi revivalis menginginkan penekanan (pentingnya) bahasa Arab kembali sebagai bahasa wahyu, menegaskan kepalsuan institusi-institusi lokal (sebagai “perebut” kedaulatan Tuhan).
[17] Katimin, Politik Masyarakat Pluralis, Menuju Tatanan Masyarakat Berkeadilan dan Berperadaban, h. 113.
[18] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, h. 232.
[19] Nurcholish Madjid, Tiga Agama Satu Tuhan,  (Bandung: Mizan, 1999), hal. 19.

[20] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi, 2006), h. 34
[21] Ulil Abshar Abdalla, GATRA, 21 Desember 2002.
[22] Ulil Abshar Abdalla, Kompas, 18 November 2002.
[23] Sumanto Al Qurtuby, Semarang dalam Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta: Rumah Kata, 2005), h. 45.

0 komentar:

Post a Comment