PEMIKIRAN
ISLAM TENTANG LIBERAL
Oleh: Edi Sucipno
Pendahuluan
Sejak lebih dari dua dekade yang lalu dikalangan umat Islam Indonesia
dihadapkan pada gagasan tentang betapa perlu menghidupkan kembali "teologi rasional". Usaha
menghidupkan kembali "teologi
rasional" itu dianggap perlu untuk mengejar keterbelakangan umat Islam
yang diakibatkan, menurut penganjur gagasan tersebut, antara lain karena mereka
terbelenggu oleh "teologi
tradisional" yang mereka anut. Teologi
ini terutama dikaitkan dengan paham jabariah
atau fatalisme, yang dianggap
melahirkan sikap pasif, pasrah dan menyerah pada suratan takdir.
Prof. Dr. Harun Nasution adalah salah seorang penganjur utama
"teologi rasional" itu.
Karena itu beliau dianggap sebagai pelopor kebangkitan apa yang disebut sebagai
"Neo-Mu'tazilah". Tentu
saja kita bisa mempertanyakan validitas
konstalasi tersebut dilihat dari segi faktual. Bersamaan dengan itu muncul
pula gagasan tentang keperluan usaha pembaharuan dalam pemikiran umat Islam.
Salah seorang penganjur utamanya adalah Cak Nur (Dr. Nurcholish).
Begitu juga Islam liberal
yang merupakan wacana pemikiran kontemporer
bagi masyarakat Islam khususnya di Indonesia. Hadirnya Islam liberal diawali dari ketidakpuasan
golongan minoritas yang selama ini memandang bahwa agama telah dijadikan kendaraan
untuk melakukan monopoli ajaran dan kekuasaan, ketidakadilan, pembodohan yang
berakibat pada sublimasi pemahaman
Islam.
Selain dari itu, Islam liberal
berupaya melihat realitas-realitas umat Islam saat ini. Adanya kemunduran yang
terjadi dalam dunia Islam di satu pihak dan kemajuan peradaban Barat di pihak
lain menunjukkan adanya something wrong terhadap pemahaman ajaran Islam
sendiri. Padahal Islam diyakini ya’lu
wa laa yu’la alaih. Argumentasi-argumentasi tersebut merupakan pijakan awal
Islam liberal dalam
mengaktualisasikan dirinya ke dalam masyarakat Islam untuk menciptakan Islam
yang membebaskan dirinya dari kebodohan, kejumudan,
keterpurukan, penindasan, dan berbagai masalah yang terjadi dalam dinamika umat
Islam kini.
Tentu saja kita tidak bisa menerima kebenaran-kebenaran
tersebut tanpa ada sikap kritis. Islam liberal
memang telah menjadi selebriti yang banyak mendapat sorotan dari berbagai
pihak. Berbagai tanggapan dan komentar baik yang pro maupun kontra bermunculan
dengan segala dasar argumentasinya harus menjadi pertimbangan-pertimbangan
dalam menentukan sikap terhadap gerakan Islam liberal. Untuk itu, dalam pembahasan berikutnya akan sedikit
dipaparkan apa dan bagaimana Islam liberal,
juga ide-ide dan dokrin/ajaran keislaman yang dikembangkannya serta
tokoh-tokohnya.
Pengertian
dan Latar Belakang Islam Liberal
Memahami Islam liberal maka
perlu merujuk pada dua kata yang tercakup di dalamnya yaitu kata Islam dan
liberal. Makna Islam bila dikaitkan
dengan makna liberal, yaitu sebagai “suatu
bentuk penafsiran” atau “pemahama.”[1]
Sementara kata liberal memiliki banyak makna. Dalam Oxford dictionary terdapat tujuh macam
arti liberal, lima di antaranya; 1)
memberikan kebebasan, banyak, berlimpah ruah, 2) berfikiran terbuka dan tidak
berprasangka, 3) tidak tekstual, 4)
memperluas wawasan pemikiran, 5) merubah pemahaman-pemahaman tradisional yang
tidak sesuai lagi dengan pemahaman modern.[2]
Dari pengertian di atas, maka
makna yang dimaksudkan dengan Islam liberal
adalah Islam yang memberikan banyak kebebasan kepada penganutnya dalam
berfikir dan bertindak, tidak tekstualis,
memiliki wawasan yang luas dan berpaham modern.[3]
Jadi main stream Islam liberal berkenaan terhadap bentuk
penafsiran tertentu atas teks-teks
keislaman. Dengan demikian
Islam liberal adalah Islam percaya
bahwa ijtihad atau penalaran rasional
terhadap teks adalah prinsip-prinsip utama yang memungkinkan Islam terus
bisa bertahan dalam segala cuaca atau keadaan. Untuk itu, penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau
secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam sendiri, sebab dengan demikian
Islam akan mengalami pembusukan. Islam liberal
percaya bahwa ijtihad bisa
diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat
(interaksi sosial), ubudiyyat (ritual),
dan ilahhiyat (teologi).[4]
Di Indonesia gagasan Islam liberal diteliti oleh Dr. Greg Barton
yang ditulis dalam disertasi doktornya di Monash
University, Melbourne, Australia.
Penelitian ditekankan mulai tahun 1960 sampai 1990. Gerakan dan pemikiran ini
telah memelopori perkembangan lslam liberal
yang disebut neo-modernisme. Islam
yang telah berpengaruh pada tataran keagamaan, sosial, dan politik. Gerakan ini
secara luas tumbuh di lingkungan para intelektual yang memiliki latar belakang modern, yang dikombinasikan dengan
pendidikan Islam klasik.
Kehadirannya di Indonesia
merupakan pendorong bagi terbitnya kebangkitan baru satu generasi Muslim,
terutama kelas menengah kota,
sehingga mampu berperan secara lebih liberal
dan progresif untuk sebuah
Indonesai baru.
Guna menopang, menyertai,
melakukan dan mengarahkan perubahan sosial bagi masyarakat Indonesia, kita harus mampu
melepaskan diri dari sikap-sikap yang tidak kondusif bagi pembangunan dan modernisasi. Secara positif, kita harus
menciptakan sikap mental baru yang “ilmiah”. Bila dikongkretkan dengan melihat
latar belakang yang ada, maka pada saat ini, perlu sekali mengadakan liberalisasi (pembebasan dari nilai
tradisional yang bersifat menghambat), sekulerisasi
(pembebasan masalah-masalah dan urusan-urusan duniawi dari belenggu-belenggu
keagamaan yang tidak pada tempatnya), serta bentuk-bentuk sikap pembebasan (liberating attitude)[5]
Wujud keberadaan Islam liberal terwadahkan dalam suatu
komunitas yang bernama JIL (Jaringan Islam Liberal).
Jaringan ini senantiasa intens dalam
menyuarakan pemahamannya dengan menggunakan media komputerisasi dan e-mail, di samping media-media cetak
seperti buku-buku dan artikel-artikel.
Islam liberal memang memiliki wadah atau komunitas. Namun jika kita
kembali pada defenisi di atas, maka setiap orang yang punya pemahaman terbuka,
tidak tekstual, tidak mau diintervensi oleh pemahaman lain dan
sebagainya juga masuk kategori Islam liberal,
karena Islam liberal menyangkut
banyak makna, walaupun tidak harus masuk ke dalam komunitas JIL.
Ide Pokok dan Dokrin
Islam Liberal
Islam liberal memberikan kesempatan untuk membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, dalam
situs islamlib.com, dijelaskan bahwa ide pokok Islam liberal yaitu “mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural”.
Gagasan tentang kebenaran sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah
penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka,
sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan
benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara,
adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang
terus berubah-ubah.[6]
Islam liberal di Indonesia memiliki pemahaman yang diyakini dan menjadi
dokrin/ ajaran sudah sampai pada pemahaman pluralisme,
menganggap semua agama itu sama atau parallel,
semua menuju keselamatan, dan tidak boleh memandang agama orang lain dengan
agama yang kita peluk.[7]
Sejalan dengan paradigmanya, corak Islam liberal menjamin adanya kebebasan berpikir dalam mencari solusi
terbaik bagi kehidupan umat. Berkaitan dengan hal ini, seperti dikatakan
Kurzman, ada tiga unsur kerangka berpikir islam liberal:
Pertama,
syari’ah itu sendiri bersifat liberal
pada dirinya sendiri. Misalnya kebijakan Nabi dalam memerintah negara Madinah
yang menjamin hak-hak non-muslim di bawah pemerintahan muslim merupakan bukti
bagaimana syari’ah memecahkan masalah-masalah kontemporer secara liberal.
Kedua,
syari’ah yang diam (silent shari’a), adalah
bentuk penafsiran ketika wahyu tidak ada menyinggung secara tegas mengenai
masalah-masalah tertentu, atau belum pernah dipraktikkan dalam sejarah Islam.
Jadi, jika alquran tidak menyebutkan sesuatu, hal ini menunjukkan bahwa berarti
sesuatu itu dibolehkan, kecuali dalam masalah-masalah ibadah.
Ketiga,
syariah yang ditafsirkan (interpreted
shari’a) adalah pandangan bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia.
Pandangan ini berdasarkan hadis Nabi yang berbunyi: “Perbedaan-perbedaan di kalangan umatku yang terpelajar merupakan
rahmat Tuhan.” Demikian juga, dalam hadis lainnya dikatakan bahwa: “Alquran bersifat lentur, terbuka terhadap
berbagai jenis penafsiran, oleh karena itu tafsirkanlah menurut kemungkinan
cara yang terbaik”.[8]
Bahkan alquran sendiri menegaskan
Artinya:
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu
Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat.[9]
Pada ayat yang lain
Artinya:
Manusia dahulunya hanyalah satu umat,
kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah
ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka,
tentang apa yang mereka perselisihkan itu.[10]
Ada beberapa lagi ide-ide yang dikembangkan
Islam liberal seperti, memihak pada
yang minoritas dan tertindas, meyakini kebebasan beragama karena tidak seorangpun
manusia yang berhak memaksakan suatu pendapat dan kepercayaan kepada orang
lain, dan ingin memisahkan otoritas duniawi
dan ukhrawi serta otoritas agama dan
politik. Ringkasnya ‘Islam liberal’
adalah Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari
struktur sosial politik yang menindas.[11]
Dalam pandangan Islam,
kebebasan manusia adalah kewajiban sosial dan tugas Ilahi yang di atasnya
dibangun amanah responsibilitas dan
risalah kekhalifahan yang merupakan
tujuan utama diciptakannya manusia oleh Allah Swt.
Batasan Islam terhadap
kebebasan manusia ini yang mengikat kebebasan berinisiatif “sebagai kewajiban
manusia” dengan “kewajiban-kewajiban syari’at Ilahi” dan melihat hak-hak
manusia dalam hubungannya dengan hak-hak Allah. Dialah yang menjadikan
kebebasan, dalam pandangan Islam sebagai jalan bagi keamanan sosial manusia,
tidak semata di dunia saja, namun juga bagi kehidupan setelah kehidupan dunia
ini. Yaitu, dengan membatasi kebebasan berinisiatif dan bertindak manusia di
dunia dari melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghasilkan azab, ketakutan,
dan keburukan di akhirat nanti.[12]
Namun oleh kelompok Islam liberal, tidak
memberikan batasan akan kebebasan bagi manusia, karena manusia diberi potensi
akal untuk berfikir, berbuat dan melakukan sesuai kehendak dan kemampuannya.
Islam adalah gerakan
pembebasan, yakni pembebasan dari belenggu kemusryikan yang telah mengerangkeng
kemanusiaan dalam periode paganisme yang
irasional. Dengan semangat pembebasan
itu pula rasulullah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita. Oleh karena
itu, Islam memang harus muncul sebagai agama liberal dengan memberi respon terhadap perkembangan yang terjadi.[13]
Selain ide di atas, ide Islam liberal
dimansyurkan dengan sebutan pembaharu. Hal ini dikemukakan oleh
Harun Nasution ataupun kurikulum di IAIN menamakan seluruh tokoh Islam liberal itu dengan sebutan kaum modernis atau pembaharu, dan dimasukkan
dalam mata kuliah yang disebut aliran-aliran
modern dalam Islam. Yaitu membahas apa yang disebut dengan pemikiran dan gerakan
pembaharuan dalam Islam. Kemudian istilah yang dibuat-buat itu masih
dikuat-kuatkan lagi dengan istilah bikinan yang mereka sebut Periode Modern dalam Sejarah Islam.[14]
Selanjutnya, ide atau pokok
pemikiran Islam liberal yakni
memposisikan diri berbeda dengan Islam adat (customary
Islam)[15] yang
banyak diwarnai oleh nilai-nilai lokal. Demikian juga, Islam liberal membuat garis pemisah dengan
Islam revivalis (revivalist Islam)[16] atau
yang biasa dikenal dengan Islam fundamentalisme
yang tidak mentolelir interpretasi
adat. Islam fundamental lebih mengedepankan simbol-simbol Islam, seperti
penggunaan bahasa Arab orientasi kepada masa klasik Islam, dan dalam taraf
tertentu menggunakan cara-cara kekerasan. Sementara Islam liberal (liberal Islam) berbeda dengan dua tradisi keberagamaan
umat Islam. Islam liberal menghadirkan
masa lalu untuk kepentingan masa depan. Islam liberal menganggap kedua tradisi Islam, adat dan fundamentalisme Islam sebagai
“keterbelakangan” yang menghalang-halangi dunia Islam menikmati buah modernitas dan kemajuan. Ketiga arus
pemikiran Islam tersebut di atas hingga sekarang mewarnai wacana pemikiran
dunia Islam hingga kini.[17]
Dari beberapa ide dan dokrin,
sebenarnya tema sentral dari pokok-pokok pemikiran kaum Islam liberal adalah rasionalisasi dan modernisasi
terhadap Islam serta tak jarang menuju kepada sekularisasi.
Menurut analisa penulis,
lahirnya pemikiran para tokoh kaum Islam liberal
itu disebabkan karena beberapa hal:
1.
Faktor penjajahan panjang yang menyebabkan
keterbelakangan umat Islam di segala bidang.
2.
Faktor kebodohan dan kejumudan umat Islam yang mengakibatkan setagnasi pemikiran dan keterbelakangan pendidikan.
3.
Apa yang mereka saksikan dari pengamatan langsung ke
dunia Barat. Mereka sampai terkesima melihat kemajuan Barat. Hal ini melahirkan
sikap untuk membawa umat Islam ke arah kemajuan Barat, yang tidak jarang mereka
sikapi dengan apologi yang
berlebihan.
Pada hakikatnya ada titik-titik
kelebihan dan kelemahan pada pemikiran kaum Islam liberal. Titik kelebihan yang menonjol bahwa mereka telah
merangsang kebangkitan kaum tradisionalis
untuk bangkit berijtihad dan
melakukan berbagai perubahan. Tetapi, titik-titik kelemahannya cukup banyak.
Paling tidak sikap reaktif mereka
terhadap kenyataan tidak dibarengi dengan implementasi
riil yang dapat dirasakan oleh umat secara luas. Juga, tidak jarang lebih
banyak bersifat teoritik dan mencibir
serta apologetik dan berbangga diri
sehingga melahirkan arogansi
intelektual.
Pemikiran kaum liberal ternyata banyak memiliki
kelemahan-kelemahan pokok antara lain:
1.
Tidak punya landasan/ dalil yang benar
2.
Tidak punya paradigma ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan
3.
Tidak mengakui realita yang tanpak nyata
4.
Tidak mengakui sejarah yang benar adanya
5.
Tidak punya rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan[18]
Berdasarkan alasan di atas,
maka kelemahan pokok pemikiran kaum liberal
dapat dibagi menjadi dua yakni, lemah dari segi metode keilmuan dan lemah
dari segi tinjauan keyakinan atau teologi.
Hal ini disebabkan kecenderungan kaum liberalis
selalu menggunakan analisa berfikir (rasional),
kendali tetap mengkonsultasikan pada konsep kebenaran yang datangnya dari
Tuhan, karena tuntutan yang terjadi disebabkan perkembangan zaman modern dan
kebebasan untuk berbuat sesuai dengan hak azasi manusia.
Tokoh-tokoh Islam Liberal Kontroversi
Di antara tokoh-tokoh yang
mengilhami dan memberikan konstribusi lahirnya pemikiran Islam liberal yang tergabung pada komunitas
JIL (Jaringan Islam Liberal) di
Indonesia sebagai berikut:
1.
Nurcholish Madjid
Pendapat
Nurcholish Madjid yang dianggap kontroversi bahwa Islam itu hanya ad-din yang artinya agama, berarti tidak
ada sangkutannya dengan pengurusan negara. Atau dengan kata lain, Ia
beranggapan bahwa ad-din bukan agama
semata-mata, melainkan juga meliputi bidang lain, yang akhirnya melahirkan
apresiasi ideologis, dan politik.
Nurcholish
Madjid juga membagi agama pada level esoterik
(batin) dan eksoterik (lahir).
Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak
Jalan".” Inilah paham pluralisme tentang agama.[19]
2. Jalaluddin Rahmat.
Jalaluddin Rahmat
berpendapat: semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha,
Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk
menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil
alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk
dengan fatwa.” [20]
3. Ulil
Abshar Abdalla.
Ulil
Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran.
Jadi, Islam bukan yang paling benar.” [21]
dan dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah
tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar.
Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar
kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang
sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada
ujungnya.”[22]
4.
Sumanto Al Qurtuby
Dia
berpendapat: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan,
mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil
menunjukkan surga-Nya yang Maha luas, di sana ternyata telah menunggu
banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu
Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!”[23]
Selain
tokoh-tokoh Islam liberal di atas, masih
banyak lagi sejumlah tokoh lainnya yakni: Azyumardi Azra, Masdar F. Mas’udi,
Goenawan Mohammad, Nasaruddin Umar, Komaruddin Hidayat, Said Agil Siraj, Denny
JA, Rizal Mallarangeng, Budi Munawar Rahman, Taufiq Adnan Amal, Hamid Basyaib,
Luthfi Assyaukanie, Ade Armando, dan Syamsurizal Panggabean.
Mereka
itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut JIL (Jaringan Islam Liberal).
Penutup
Perkembangan aqidah yang dianut masyarakat Islam Indonesia salah
satunya bercorak liberal. Islam
liberal sebagaimana yang dilekatkan kepada orang-orang yang menganut pikiran
bebas tidaklah tepat jika dicap sebagai sesuatu yang negatif, seperti murtad,
syirik, dan fasik, apalagi dianggap seolah-olah sebagai musuh yang harus
dimusnahkan. Kalau boleh kita jujur, kelompok Islam liberal tidak jauh berbeda dengan kelompok umat Islam lain yang
memiliki pikiran-pikiran dan pandangan yang beda antara satu dengan yang lain.
Yang lebih memprihatinkan kita adalah tuduhan negatif terhadap Islam liberal
ini justru disebabkan karena ketidaktahuan kita terhadap apa itu Islam liberal.
Jika memang demikian kenyataannya tentu kita pantas berduka,
sekaligus malu tentang realitas sebagian umat Islam saat ini yang begitu mudah
memberikan hujatan terhadap persoalan-persoalan yang sesungguhnya baginya belum
begitu jelas. Mereka menganggap pandangannya saja yang benar, di luar mereka semua
salah. Pandangan seperti ini sama halnya mendirikan agama di atas agama, atau
lebih tegas lagi, sebagaimana yang dikatakan Karl Mark bahwa “agama diarahkan
sebagai candu masyarakat“ yang meninabobokkan masyarakat, memberikan angin
surga sesaat, tetapi sesaat dalam waktu yang tidak terbatas.
Oleh sebab itu, agaknya
mempertimbangkan suatu gagasan baru dalam pemikiran keagamaan merupakan suatu
keharusan, jika kita tidak ingin dalam beragama hanya taklid buta, tanpa reserve yang memadai. Pemahaman
dan penafsiran atas doktrin agama Islam tampak jelas harus senantiasa
diperbaharui dan diperkaya agar tidak ketinggalan zaman, serta tidak lapuk oleh
tumpukan peristiwa. Oleh sebab itu, Islam liberal
hadir dengan mengedepankan wacana penafsiran (ijtihad) yang lebih relevan,
tentu saja keinginan Islam liberal dengan Islam-Islam lainnya sama,
yaitu menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
AKIBAT PAHAM
LIBERAL
DAFTAR BACAAN
Arif, Syamsyuddin., Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Aslan, Adnan., Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan
Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (terj) Munir, Bandung: Alifya, 2004.
Baso, Ahmad dalam Sururin (ed), Nilai-nilai
Pluralisme dalam Islam, Bandung:
Kerjasama Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005.
Biyanto., Pluralisme Keagamaan
dalam perdebatan Pandangan Kaum Muda MuhamMadiyah, Malang: UMMPRESS, 2009.
Budiman, Arief., dalam Dialog Kritik dan Identitas Agama, Seri
Dian I/Tahun I Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993.
Ghazali, Abd Ghazali., Argumen
Pluralisme Agama, Depok: Katakita, 2009.
Husaini, Adian dan Hidayat, Nuaim., Islam Liberal Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabanya, Jakarta: Gema Insani, 2002.
______________, Pluralisme Agama Parasit Bagi Agama-Agama,
Jakarta: Media Da`wah, 2006,
Imarah, Muhammad, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Islmail, Faisal., Sekulerisasi Membongkar Kerancuan Pemikiran
Nurcholish Madjid, Yogyakarta: Pessantren Nawasea, 2008.
Jaiz, Ahmad, Hartono, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2008.
__________________, Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan, Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2001.
Katimin, Politik Masyarakat Pluralis, Bandung:
Citapustaka, 2010.
______, Isu-Isu Islam Kontemporer, Bandung:
Citapustaka, 2006.
Lagenhausen, Muhammad.,
(terj) Arif Muladi, Satu Agama atau Banyak
Agama, Jakarta: Lentera, 2002.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan
Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.
________________, Islam Agama
Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.
___________________,
Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, 1993.
Mulkhan, Abdul Munir., Satu
Tuhan Beribu Tafsir, Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
Munawar-Rahman, Budhy., Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004.
Qodir, Zuly., Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (Edisi Revisi) 2007.
__________, Muhammadiyah dan Pluralisme Agama,"
dalam Pluralisme dan Liberalisme: Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah,
(ed.) Imron Nasri, Jogjakarta: Citra
Karsa Mandiri, 2005.
Shihab, Alwi., Islam Inklusif,
Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung:
Mizan, 1997.
Subkhan, Imam., Hiruk Pikuk
Wacana Pluralisme di Yogya, Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, Bandung:
Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005.
Thoha, Anis Malik., Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, Jakarta:
Perspektif 2005.
Wahid, Abdurrahman (ed), Dialog Pemikiran Islam Realitas Empirik,
Yogyakarta: LKPSM NU 1993.
Yusuf, Yunan, PERTA,
Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, volume 5, Jakarta: 2002.
Zarkasyi, Hamid Fahmy., Paham
Pluralisme Agama, Makalah disampaikan pada Acara Training Da'i tetang
Aqidah dan Pemikiran Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, di Cilegon
Banten, pada Ahad, tanggal 27 Mei 2007.
____________________, Liberalisasi
Pemikiran Islam, Ponorogo, Centre for Islamic and Occidental Studies
(CIOS), 2007.
[1]
Islam liberal adalah suatu bentuk
penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut: a) Membuka
pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, b) mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks, c) mempercayai kebenaran
yang relatif, terbuka dan plural,
d) memihak pada minoritas dan tertindas, e) meyakini kebebasan beragama,
f) memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Lihat,
http://www.islamlib.com/page.php
[2] Lihat: The Oxford Reference Dictionary, Oxford University Press, second
edition, (New York, 1996), h. 825
[3]
Katimin & Ahmad Dayan Lubis, Isu-Isu
Islam Kontemporer, (Bandung:
Citapustaka Media, 2006), h. 132.
[5] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan,
1993), h. 235.
[6]
Dalam situs islamlib.com disebutkan, terdapat tiga misi Jaringan Islam Liberal (JIL), yaitu: 1) Mengembangkan
penafsiran Islam yang liberal sesuai
dengan prinsip-prinsip yang dianut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin
khalayak. 2) Mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Terbukanya ruang dialog
akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. 3) Mengupayakan
terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
[7] Yang dikembangkan dalam Islam liberal adalah inklusivisme dan pluralisme.
Inklusivisme itu menegaskan, kebenaran setiap agama harus terbuka. Perasaan
solider sebagai penghuni tunggal pulau kebenaran cukup dihindari oleh faksi inklusif ini. Menurutnya, tidak menutup
kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya
terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut. Tapi, paradigma ini tetap tidak
kedap kritik. Oleh paradigma pluralis,
ia dianggap membaca agama lain dengan kacamata agamanya sendiri. Sedang
paradigma plural (pluralisme): setiap agama adalah jalan keselamatan. Perbedaan
agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipil.
Pandangan plural ini tidak hanya
berhenti pada sikap terbuka, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu sikap yang
memandang semua agama sebagai jalan-jalan yang sejajar. Lihat Hartono Ahmad
Jaiz, Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan,
(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001), h. 116-117.
[8]
Kurzman, dalam Katimin, Politik Masyarakat Pluralis, Menuju Tatanan
Masyarakat Berkeadilan dan Berperadaban, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010),
h. 113.
[9] Q.S. Huud, [11]: 118.
[10] Q.S. Yunus, [10]: 19. Maksudnya:
manusia pada mulanya hidup rukun, bersatu dalam satu agama, sebagai satu
keluarga, tetapi setelah mereka berkembang biak dan setelah kepentingan mereka
berlain-lain, timbullah berbagai kepercayaan yang menimbulkan perpecahan. Oleh
karena itu Allah mengutus Rasul yang membawa wahyu dan untuk memberi petunjuk
kepada mereka (baca ayat 213 surat
al-Baqarah). Ketetapan Allah itu ialah bahwa, perselisihan manusia di dunia itu
akan diputuskan di akhirat. Maksudnya: diberi keputusan di dunia.
[11] Katimin, Isu-Isu Islam Kontemporer, h. 134.
[12] Muhammad Imarah, Islam dan Keamanan Sosial, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 114.
[13] Yunan Yusuf, PERTA, Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, volume 5,
(Jakarta: 2002), h. 42.
[14] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2008), h. 216.
[15] Islam adat (customary Islam) yaitu, tradisi ini ditandai oleh kombinasi
kebiasaan-kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan-kebiasaan yang juga berlaku di
seluruh dunia Islam. Misalnya tentang kepercayaan-kepercayaan umat Islam
terhadap roh-roh, perayaan tahun baru Islam dan hari-hari suci lainnya.
Kebiasaan lokal itu, tanpa disadari, bisa jadi bertentangan dengan rukun Islam.
[16] Islam revivalis
(revivalist Islam) yaitu, tradisi
yang menyerang interpretasi adat (customary
interpretation) yang kurang memberi perhatian terhadap inti dokrin Islam.
Menghadapi penyimpangan lokal, tradisi revivalis menginginkan penekanan
(pentingnya) bahasa Arab kembali sebagai bahasa wahyu, menegaskan kepalsuan
institusi-institusi lokal (sebagai “perebut” kedaulatan Tuhan).
[17] Katimin, Politik Masyarakat Pluralis, Menuju Tatanan Masyarakat Berkeadilan dan
Berperadaban, h. 113.
[18] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, h. 232.
[19] Nurcholish Madjid, Tiga Agama Satu
Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 19.
[20] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak
Quran Menyikapi Perbedaan, (Jakarta:
Serambi, 2006), h. 34
[21] Ulil Abshar Abdalla, GATRA, 21 Desember 2002.
[22]
Ulil Abshar Abdalla, Kompas, 18 November
2002.
[23] Sumanto Al Qurtuby, Semarang
dalam Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta:
Rumah Kata, 2005), h. 45.
0 komentar:
Post a Comment