TEOLOGI ISLAM
A. Pendahuluan
Persoalan teologi dalam kajian
Islam dipahami sebagai hasil refleksi dari persoalan politik yang kemudian
berkembang menjadi persoalan teologi. Peristiwa ini terjadi antara kaum
muslimin kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan kelompok Ali bin Abi Thalib
dalam melakukan arbitrase atau yang lebih dikenal dengan perdamaian.
Perdamaian yang semula direncanakan untuk menyelesaikan konflik pihak Ali dan
Mu’awiyah, ternyata merugikan pihak Ali. Terhadap masalah ini Ali hanya
menerima arbitrase yang terkesan curang dan merugikan pihaknya sehingga
melahirkan barisan yang pro dan kontra terhadap beliau.
Sebagian barisan Ali mengasingkan
diri sebagai protes terhadap ketidaksetujuan mereka terhadap arbitrase
yang dihasilkan oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Ali. Kelompok inilah yang
kemudian dikenal dengan kelompok khawarij, kelompok ini merupakan aliran
teologi pertama yang terfokus dalam persoalan politik. Agama hanya dijadikan
legitimasi pemahaman dan doktrin mereka sehingga mereka memunculkan istilah
“kafir”. Kelompok ini kemudian menghukum kafir barisan Mu’awiyah, Ali, Abu Musa
al-Ay’ari, Amr bin Ash dan semua pihak yang pro terhadap arbitrase.
Dari doktrin kafir yang diluncurkan
oleh golongan khawarij berkembang dan melahirkan berbagai perdebatan di
kalangan kaum muslimin. Oleh karena persoalan ini lahir dari persoalan politik,
maka lahir pula berbagai aliran politik selanjutnya sebagai respon terhadap
doktrin khawarij. Aliran-aliran tersebut adalah murji’ah, qadariah, mu’tazilah,
dan asy’ariyah. Sehingga persoalan politik resmi berubah menjadi persoalan
teologi.[1]
Polemik pemikiran teologi pun sudah semakin kompleks sehingga kajian teologi
pun semakin banyak diminati dan dipelajari oleh para sarjana muslim pada
khususnya dan kaum muslimin peminat ilmu pengetahuan pada umumnya.
Untuk itu tulisan
ini akan mencoba mengulas secara sederhana persoalan teologi Islam tersebut.
Agar mencapai sasaran yang diharapkan dalam orientasi pengkajiannya, maka
penulis membaginya dalam beberapa kajian, meliputi:
Ø Defenisi Beberapa Istilah Kunci; Tauhid,
Kalam (theology) dan Ushuluddin
Ø Pertumbuhan dan Perkembangan Kajian Theologi
dalam Islam
Ø Islam Sebagai Sumber Kepercayaan
Ø Aliran-aliran Utama dan Pendekatannya
Ø Tokoh-tokoh dan Karya Utama
B. Defenisi Beberapa Istilah Kunci; Tauhid,
Kalam (theology) dan Ushuluddin
1. Tauhid
Perkataan tauhid adalah
bentuk masdar dari wahada yang secara etimologi berarti meyakini
keesaan Allah Swt.[2]
Sedangkan menurut terminologi, Muhammad
Abduh memaknai tauhid sebagai suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah,
sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan
pada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-Nya, juga
membahas tentang rasul-rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh
dihubungkan kepada mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri
mereka.[3]
2. Kalam (teologi)
Istilah kalam, atau yang
lazim disebut ilmu kalam (teologi) sebenarnya memiliki kesamaan makna dengan
ilmu tauhid. Secara etimologi, istilah kalam berasal dari Bahasa Arab
yang berarti “kata, firman atau pembicaraan.” Dalam ilmu bahasa, kalam
merupakan susunan kalimat yang ada artinya. Kalangan mufassir
menterjemahkan kalam dengan firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw kemudian digambarkan dengan huruf dan dikumpulkan menjadi Alquran.[4]
Sedangkan secara terminologi, ilmu
kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat
yang mesti ada dan mustahil ada pada-Nya serta yang mungkin ada pada-Nya. Juga
membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan untuk menetapkan kerasulannya, serta
mengatahui sifat-sifat yang mesti ada, mustahil ada, serta sifat yang mungkin
ada padanya.[5]
Sementara istilah teologi merupakan
serapan dari Bahasa Yunani “theos” (yang berarti Tuhan) dan “logos”
(yang bermakna ilmu). Maka teologi bermakna ilmu tentang ketuhanan baik
membicarakan zat Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan alam.[6]
Teologi merupakan bagian dari filsafat maka bersifat bebas, dapat bercorak
agama dan bisa tidak. Karena itu teologi tidak akan pernah selesai pada jawaban
yang terakhir tetapi akan berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran itu
sendiri.
3. Ushuluddin
Istilah ushul ad-din adalah gabungan
kata ushul dan ad-din. Kata ushul adalah bentuk jamak yang
berarti dasar atau pokok, sedangkan ad-din bermakna agama. Maka istilah ushul
ad-din berarti ilmu yang berbicara tentang masalah-masalah keyakinan yang
menjadi pokok kajian agama. Masalah-masalah pokok tersebut meliputi
kepercayaan, keyakinan dan keimanan. Ilmu ini disebut juga dengan ilmu kalam,
ilmu tauhid, ilmu akidah dan teologi Islam.[7]
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Kajian
Teologi dalam Islam
Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya bahwa telah menjadi fakta sejarah bahwa persoalan awal yang muncul
dan menyebabkan kaum muslimin terpecah ke dalam berbagai firqah adalah
persoalan politik. Persoalan politik inilah yang melahirkan berbagai kelompok
dan aliran teologi dengan pandangan dan pendapat yang berbeda-beda.[8]
Pasca wafatnya Usman bin affan,
lalu ali dibai’at menjadi khalifah oleh kaum muslimin. Namun ia segera mendapat tantangan dari pihak
Thalhah, Zubeir dan Aisyah. Tantangan ini dapat diselesaikan oleh Ali sekalipun
harus dilalui dengan peperangan. Kemudian muncullah tantangan kedua datang dari
pihak Mu’awiyah yang tidak mengakui Ali sebagai khalifah dan menganggap Ali
tidak serius dalam menangani kasus terbunuhnya Usman.[9]
Perselisihan terjadi secara berlarut-larut bahkan menjadi pemicu perang saudara
antara pihak Ali yang berkuasa ketika itu berhadapan dengan pihak Mu’awiyah bin
Abi Sufyan. Maka pecahlah peperangan yang dikenal dengan perang shiffin.
Setelah pihak Mu’awiyah
terdesak, maka digaungkanlah arbitrase untuk mengakhiri perselisihan
yang terjadi antara kedua belah pihak. Perdamaian yang semula direncanakan
untuk menyelesaikan konflik pihak Ali dan Mu’awiyah ternyata merugikan pihak
Ali. Terhadap masalah ini, Ali hanya menerima arbitrase yang curang dan
merugikan pihaknya sehingga melahirkan barisan yang pro dan kontra terhadap
sikap beliau.
Sebagian barisan Ali mengasingkan
diri sebagai protes terhadap ketidaksetujuan mereka terhadap arbitrase
yang dihasilkan oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Ali. Kelompok inilah yang
kemudian dikenal dengan kelompok khawarij, kelompok ini merupakan aliran
teologi pertama yang terfokus dalam persoalan politik. Agama hanya dijadikan
legitimasi pemahaman dan doktrin mereka sehingga mereka memunculkan istilah
“kafir”. Kelompok ini kemudian menghukum kafir barisan Mu’awiyah, Ali, Abu Musa
al-Ay’ari, Amr bin Ash dan semua pihak yang pro terhadap arbitrase.[10]
Seiring dengan ini muncul pula kelompok yang tetap setia pada Ali yang
kemudian disebut kelompok Syi’ah. Kelompok syi’ah ini sebagai tandingan
terhadap kelompok Mu’awiyah dan kelompok Khawarij.
Doktrin tuduhan kafir terhadap
pelaku dosa besar didoktrinkan oleh pihak khawarij yang disertai oleh
gerakan-gerakan politis mendapat reaksi pertentangan faham oleh sebagian
kalangan muslim yang dikenal dengan kelompok murji’ah. Menurutnya pelaku
dosa besar tidaklah kafir tetapi tetap mukmin. Masalah dosanya diserahkan
kepada Allah apakah akan diampuni atau tidak.[11]
Respon selanjutnya muncul pula
dari kelompok lainnya yang dikenal dengan Mu’tazilah. Kelompok ini terkesan pasif dan tidak
mengambil bagian dalam hal menentukan persoalan teologi yang murni muncul dari
konsfirasi politik ketika itu. Menurut kelompok ini bahwa pelaku dosa besar
tidaklah mukmin dan tidak pula kafir melainkan hanya muslim saja.[12]
Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama muncul ketiga aliran tersebut di atas.
Aliran
Mu’tazilah yang pasif dan tidak masuk ke dalam persoalan politik praktis tetapi
lebih terkonsentrasi pada persoalan ibadah dan keilmuan cukup ampuh menanamkan
fondasi doktrin yang kuat sehingga pada masa bani Abbasiyah paham ini menjadi
jaya. Bahkan pada masa khalifah al-Makmun paham ini dijadikan mazhab resmi
negara yang bersifat authoritathive. Kesempatan ini
digunakan oleh para tokoh Mu’tazilah untuk semakin meluaskan pahamnya kepada
kaum muslimin bahkan mereka sampai melakukan pemaksaan. Dengan dukungan
al-Makmun para ulama dan pejabat dipaksa berfaham Mu’tazilah.
Ternyata
tindakan tersebut meresahkan masyarakat dan malah membuat sebagiannya antipati
dengan Mu’tazilah dan tidak menyenangi tokoh-tokohnya. Sikap antipati tersebut
juga muncul dari kalangan ulama seperti Ahmad bin Hanbal. Maka pada masa
khalifah al-Mutawakkil mencabut ketetapan mu’tazilah sebagai mazhab resmi
negara. Maka sejak saat itu mazhab ini mengalami kemunduran.
Sekalipun
sudah dibatalkan oleh khalifah al-Mutawakkil sebagai mazhab resmi negara,
ternyata reaksi antipati terhadap paham mu’tazilah ini sudah berlangsung cukup
lama dan terus terjadi dimana-mana. Sehingga lahir pulalah aliran-aliran
sebagai reaksi dari doktrin mu’tazilah. Reaksi tersebut dipelopori oleh Abu
Musa al-Asy’ari di Basrah (Irak) dan Abu Mansur al-Maturidi dari Samarkand
(India). Dalam perkembangan selanjutnya kelompok ini dikenal dengan sebutan ahlu
sunah wal jama’ah. Pada realitas selanjutnya, paham inilah yang
banyak dianut oleh masyarakat dunia sekarang.[13]
Selain
aliran di atas, muncul pula dua aliran yang kontradiksi yaitu qadariyah
dan
jabariyah. Aliran ini muncul karena perbedaan paham tentang perbuatan manusia,
apakah manusia itu bebas melakukan perbuatannya atau tidak. Qadariyah berfaham
bahwa manusia bebas berkehendak dan melakukan apa saja, sementara Jabariyah
berfaham sebaliknya.[14]
D. Islam Sebagai Sumber Kepercayaan
Konsep pokok dalam studi Islam
adalah teologi ataupun ilmu tauhid. Tauhid dimaknai pembebasan manusia dari
ketergantungan kepada makhluk menjadi makhluk yang benar-benar berserah diri
kepada Allah Swt. Sehingga dengan tauhid (teologi Islam) maka kesempurnaan
manusia sebagai hamba Tuhan dapat berwujud.
Dalam perjalanannya, berbagai
pengaruh turut membentuk kepribadian dan paradigma seseorang. Hal tersebut
dapat berbentuk perkembangan rasio dan pengaruh doktrin yang beraneka ragam.
Hal tersebut adalah persoalan yang biasa
sebagai konsekuensi dari manusia sebagai makhluk yang berfilsafat dan
berekspresi. Tetapi hal yang biasa tersebut akan sangat ironis dan menyedihkan
jika tidak difilter dengan sebuah ajaran yang dijamin dan teruji keabsolutannya. Karena itu segala
transformasi pemikiran boleh dilakukan
tetapi dengan satu konsep bahwa Islam sebagai sebuah ajaran menjadi
sumber keyakinan.
Islam sebagai
sumber keyakinan dan aliran dapat
dipahami juga karena ajaran-ajaran dasar dalam Islam yang tertuang dalam
Alquran dan Hadis bersifat ijmal ataupun global sehingga dapat dipahami dengan
berbagai ragam pemahaman. Sejarah telah membuktikan hal tersebut sehingga
berbagai aliran dan doktrin keyakinan muncul seperti aliran-aliran teologi yang
dibahas dalam makalah ini.
E. Aliran-aliran Utama dan Pendekatannya
- Aliran Khawarij
Khawarij berasal dari kata kharaja
yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka karena keluar dari
barisan Ali.[15]
Mereka keluar karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tahkim.
Pada umumnya mereka terdiri dari masyarakat Arab Bawi, yaitu masyarakat yang
hidup di padang pasir yang serba tandus sehingga wajar saja jiwa mereka keras,
berani, bengis, tak takut mati dan suka kekerasan. Walaupun telah masuk Islam,
namun wawasan keislamannya sempit sehingga mereka tidak dapat mentolerir
penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau dalam bentuk
kecil sekalipun.[16]
Pemahaman mereka terhadap teks
Alquran maupun Hadis bersifat tekstual atau lafziyah. Oleh karena itu
iman dalam pandangan mereka bercorak sederhana, sempit, apalagi jika ditambah
dengan dikap fanatik yang amat tinggi menyebabkan mereka tidak dapat mentolerir
penyimpangan terhadap apa yang mereka pahami.[17]
Secara umum, ajaran pokok
khawarij adalah:
a. Kaum muslimin yang melakukan dosa besar
adalah kafir
b. Orang-orang yang terlibat dalam perang
jamal dan pelaku tahkim termasuk menerima dan membenarkannya dihukumkan kafir
c. Khalifah haruslah dipilih secara langsung
oleh rakyat.[18]
- Aliran Murji’ah
Aliran ini muncul sebagai
reaksi terhadap berkembangnya paham kafir mengkafirkan terhadap pelaku dosa
besar. Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap semua pihak yang terlibat
dalam peristiwa tahkim dihadapan Allah. Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman
seseorang.
Golongan ini terdiri dari yang
moderat dan yang ekstrim. Yang moderat menganggap bahwa pelaku dosa besar
bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka serta memungkinkan Allah mengampuninya
sehingga ia tidak tersentuh neraka sama sekali. Sementara yang ekstrim
berpendapat bahwa orang yang beriman dalam hatinya sekalipun menyatakan kafir
pada lisannya tidaklah menjadi kafir, karena iman tempatnya dalam hati manusia.[19]
Ajaran pokok murji’ah adalah:
- Iman hanya pengakuan, pembenaran dan keyakinan dalam hati
- Pendosa besar tidak dihukum kafir tetap mukmin selama meyakini syahadatain
- Sebagian besar kalangan pada aliran ini bersikap fatalisme
- Hukum terhadap perbuatan manusia ditunda hingga hari kiamat.[20]
- Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah adalah
aliran yang memisahkan diri atau menjauhi persoalan politik di masanya.
Kelompok ini membawa persoalan-persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat
filosofis dan pembahasannya pun lebih bersifat rasionalis sehingga mereka
dikenal sebagai kaum rasionalis Islam.[21]
Aliran yang dibawa oleh Wasil bin Atha’ ini muncul pada abad kedua hijrah,
tepatnya pada masa Bani Umayyah dan jaya pada masa Abbasiyah.
Pendekatan pemahaman aliran
ini melalui pendekatan verbal (lahiriyah) dan substansial (maknawiyah).
Mu’tazilah berfaham bahwa pelaku dosa besar tidaklah mukmin dan tidak pula
kafir, tetapi berada di tengah-tengah (manzilah baina manzilatain).
Ada lima pokok ajaran beliau
meliputi tauhid (keesaan Allah), al-’adl (keadilan Tuhan), al-wa’d
wa wa’id (janji dan ancaman), al-manzilah baina al-manzilatain (posisi
di sntara dua posisi), serta amar ma’ruf nahi munkar.
- Ahlus Sunah wal Jama’ah
Aliran ini dinisbahkan kepada
Abu Hasan al-Asy’ari (873 M – 943 M). Ia lahir di Bashrah pada masa
dinasti Bani Abbasiyah. Ia
berguru pada Abul ’Ali al-Juba’i seorang tokoh mu’tazilah. Dan tidak sedikit
umurnya yang ia habiskan untuk mengarang buku-buku kemu’tazilahan.[22]
Sekalipun ia termasuk
orang yang sangat ahli dalam paham kemu’tazilahan, tetapi ia selalu merasakan
keraguan akan doktrin ajaran tersebut sampai pada suatu ketika setelah merenung
selama 15 hari, ia pun memutuskan untuk keluar dari mu’tazilah. Peristiwa
tersebut terjadi menjelang akhir hayat gurunya (al-Juba’i) saat ia berusia 40
tahun, ia naik mimbar dan berpidato di depan masyarakat untuk meninggalkan
keyakinan lamanya diganti dengan keyakinan yang baru. Sejak saat itu resmilah
terbentuknya mazhab baru yang diberi nama ahlus sunnah waljamaah. Beliau sangat
gigih dalam menyebarkan ajaran tersebut.
Perlu diketahui bahwa
asy’ari sebenarnya tidak menjauhkan diri dari penggunaan akal fikiran dalam
argumentasinya. Hal ini disebabkan bahwa beliau adalah ulama mu’tazilah
sebelumnya. Akan tetapi, asy’ari menentang keras orang yang berlebih-lebihan
dalam menggunakan akal fikiran, yakni golongan mu’tazilah itu sendiri. Fungsi
akal menurut beliau adalah sebagai penguat dan memperjelas pemahaman terhadap
nash itu sendiri.
Berikut beberapa
kepercayaan ahlu sunah wal jama’ah antara lain:
1. Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala kelak di akhirat
2. Sifat-sifat Tuhan seperti qudrat,
iradat dan seterusnya adalah sifat-sifat yang lain dari zat Tuhan
3. Alquran sebagai manifestasi
kalamullah yang qadim sedangkan huruf merupakan suara yang baharu
4. Kasb manusia diciptakan Tuhan , bukan
penciptaan manusia itu sendiri
5. Muslim pendosa besar meninggal dunia yang
belum sempat bertaubat tetap mukmin dan tidak kafir, tidak pula terletak
diantara mukmin dan kafir seperti pendapat mu’tazilah.[23]
F. Tokoh-tokoh dan Karya Utama
Adapun tokoh-tokoh berbagai
aliran di atas adalah sebagai berikut:
1. Abu Musa al-Asy’ari, lahir di bashrah
tahun 260H/873M dan meninggal tahun 324H/935M. Tutup usia 62 tahun. Selama 22
tahun menyebarkan faham asy’ariyah. Beliau banyak menulis kitab dan yang paling
utama adalah kitab Maqatul Islamiyyin.
2. Abu Mansur al-Maturidi, lahir di
Samarkand tahun 238H/852M dan meninggal tahun 333H/944M, tutup usia 52 tahun.
Karya beliau yang utama adalah at-Tauhid.
3. Abu Bakar Muhammad bin Tayyib
al-Baqilani, lahir di Bashrah tahun 403H/1013M. Kitab beliau yang terkenal
adalah at-Tamhid.
4. Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad
Ghazali laihir di Thus tahun 450H/1059M dan meninggal tahun 505H/1111M. Beliau
adalah tokoh pada aliran asy-’Ariyah yang banyak sekali mengarang kitab,
diantaranya Ihya Ulum ad-Din serta Qawa’id al-Aqaid al-Iqtishad.
5. Abdul fatah Muhammad bin Abi bakar
as-Syarastani, lahir di Khurasda tahun 479H serta wafat 574H. Diantara kitab
termashur beliau adalah al-Milal wa an-Nihal.
G. Penutup
Pendekatan teologi dalam
studi Islam memiliki arti yang cukup besar dalam memahami islam secara
paripurna dan komprehensif. Ini
karena teologi dipandang sebagai pokok ajaran agama Islam itu sendiri.
Keberadaannya dapat dibentuk oleh faktor rasionalitas tetapi dalam rangka menjelaskan
wahyu yang diturunkan Allah Swt.
Melalui pendekatan teologi
dalam studi Islam, kita dapat mengetahui hal-hal yang menjadi penggerak
masyarakat. Fenomena masyarakat erat kaitannya dengan keyakinan yang
dimilikinya. Dari keyakinan, akan
terimplikasi ke dalam perbuatan nyata.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan bintang, 1991
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, cet
II, 1998
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Sejarah analisa Perbandingan,
Jakarta: UI Press, 1986
_____________, Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, Jakarta:
UI Press, 1986
Imam Abu Zahrah, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam, alih bahasa
Abd.
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikri, 1983
M. Yusran Asmuni, Ilmu
Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Rahman Dahlan dan Ahmad
Qarib, Jakarta: Logos, 1996
Sudarsono, Filsafat
Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1997
Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet I, 2000
[1]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya,
(Jakarta: UI Press, 1986), h. 31.
[2]Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah,
(Beirut: Dar al-Fikri, 1983), h. 891. Pengertian ini señalan dengan
pengertiannya dalam Bahasa Indonesia yaitu “keesaan Allah”, mentauhidkan Allah
Berardi “mengesakan Allah” atau
“mengakui keesaan Allah” . Lihat Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar bahasa Indonesia, cet II, 1998), h. 907.
[3]Dikutip M. Yusran asmuni dalam bukunya, Ilmu Tauhid, (Jakarta:
raja Grafindo Persada, 1996), h. 1-2.
[4]Lihat Abu Bakar Aceh, Ilmu Ketuhanan
(Ilmu Kalam), (Jakarta: Tinta Mas, 1996), h. 30-31.
[5]A. Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam),
(Jakarta: Bulan bintang, 1991), h. 1.
[7]Lihat Syahrin Harahap, Metodologi Studi
dan penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet
I, 2000), h. 1.
[8]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Sejarah analisa
Perbandingan, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 1.
[9]Mu’awiyah adalah mantan Gubernur Damaskus yang masih kerabat Usman
bin Affan. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000) h. 39.
[10]Kelompok khawarij adalah kelompok yang menentang keputusan
Ali dalam menerima tahkim, bahkan kelompok ini mengkafirkan Ali, Thalhah
dan Zubair. Lihar Imam Abu
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam, alih bahasa Abd. Rahman Dahlan
dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), h. 70.
[12]Mu’tazilah adalah kelompok yang
mengasingkan diri dari kehidupan politik dan terkonsentrasi pada persoalan
ibadah dan ilmu saja. Golongan ini muncul pada masa
Bani Umayyah, tetapi baru menghebohkan dunia Teologi Islam pada masa Bani
Abbasiyah. Lihat Ibid.,
h. 149-150.
[13]M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 93-96.
[15]Harun Nasution, Teologi Islam, h.
13.
[17]Abudin Nata, Ilmu Kalam Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 105.
[18]M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h.
105.
[19]Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1997), h. 4.
[20]Muhammad abu Zahrah, Aliran Politik …, h. 143-144.
[21]Harun Nasution, Teologi Islam, h.
40.
[22]A. Hanafi,
h. 161.
0 komentar:
Post a Comment