Pages

Wednesday, October 21, 2015

TEOLOGI ISLAM



TEOLOGI ISLAM

A.    Pendahuluan
Persoalan teologi dalam kajian Islam dipahami sebagai hasil refleksi dari persoalan politik yang kemudian berkembang menjadi persoalan teologi. Peristiwa ini terjadi antara kaum muslimin kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan kelompok Ali bin Abi Thalib dalam melakukan arbitrase atau yang lebih dikenal dengan perdamaian. Perdamaian yang semula direncanakan untuk menyelesaikan konflik pihak Ali dan Mu’awiyah, ternyata merugikan pihak Ali. Terhadap masalah ini Ali hanya menerima arbitrase yang terkesan curang dan merugikan pihaknya sehingga melahirkan barisan yang pro dan kontra terhadap beliau.
Sebagian barisan Ali mengasingkan diri sebagai protes terhadap ketidaksetujuan mereka terhadap arbitrase yang dihasilkan oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Ali. Kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan kelompok khawarij, kelompok ini merupakan aliran teologi pertama yang terfokus dalam persoalan politik. Agama hanya dijadikan legitimasi pemahaman dan doktrin mereka sehingga mereka memunculkan istilah “kafir”. Kelompok ini kemudian menghukum kafir barisan Mu’awiyah, Ali, Abu Musa al-Ay’ari, Amr bin Ash dan semua pihak yang pro terhadap arbitrase.
Dari doktrin kafir yang diluncurkan oleh golongan khawarij berkembang dan melahirkan berbagai perdebatan di kalangan kaum muslimin. Oleh karena persoalan ini lahir dari persoalan politik, maka lahir pula berbagai aliran politik selanjutnya sebagai respon terhadap doktrin khawarij. Aliran-aliran tersebut adalah murji’ah, qadariah, mu’tazilah, dan asy’ariyah. Sehingga persoalan politik resmi berubah menjadi persoalan teologi.[1] Polemik pemikiran teologi pun sudah semakin kompleks sehingga kajian teologi pun semakin banyak diminati dan dipelajari oleh para sarjana muslim pada khususnya dan kaum muslimin peminat ilmu pengetahuan pada umumnya.
Untuk itu tulisan ini akan mencoba mengulas secara sederhana persoalan teologi Islam tersebut. Agar mencapai sasaran yang diharapkan dalam orientasi pengkajiannya, maka penulis membaginya dalam beberapa kajian, meliputi:
Ø  Defenisi Beberapa Istilah Kunci; Tauhid, Kalam (theology) dan Ushuluddin
Ø  Pertumbuhan dan Perkembangan Kajian Theologi dalam Islam
Ø  Islam Sebagai Sumber Kepercayaan
Ø  Aliran-aliran Utama dan Pendekatannya
Ø  Tokoh-tokoh dan Karya Utama

B.     Defenisi Beberapa Istilah Kunci; Tauhid, Kalam (theology) dan Ushuluddin
1.      Tauhid
Perkataan tauhid adalah bentuk masdar dari wahada yang secara etimologi berarti meyakini keesaan Allah Swt.[2] Sedangkan menurut terminologi,  Muhammad Abduh memaknai tauhid sebagai suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan pada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-Nya, juga membahas tentang rasul-rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh dihubungkan kepada mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka.[3]
2.      Kalam (teologi)
Istilah kalam, atau yang lazim disebut ilmu kalam (teologi) sebenarnya memiliki kesamaan makna dengan ilmu tauhid. Secara etimologi, istilah kalam berasal dari Bahasa Arab yang berarti “kata, firman atau pembicaraan.” Dalam ilmu bahasa, kalam merupakan susunan kalimat yang ada artinya. Kalangan mufassir menterjemahkan kalam dengan firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw kemudian digambarkan dengan huruf dan dikumpulkan menjadi Alquran.[4]
Sedangkan secara terminologi, ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada dan mustahil ada pada-Nya serta yang mungkin ada pada-Nya. Juga membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan untuk menetapkan kerasulannya, serta mengatahui sifat-sifat yang mesti ada, mustahil ada, serta sifat yang mungkin ada padanya.[5]
Sementara istilah teologi merupakan serapan dari Bahasa Yunani “theos” (yang berarti Tuhan) dan “logos” (yang bermakna ilmu). Maka teologi bermakna ilmu tentang ketuhanan baik membicarakan zat Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan alam.[6] Teologi merupakan bagian dari filsafat maka bersifat bebas, dapat bercorak agama dan bisa tidak. Karena itu teologi tidak akan pernah selesai pada jawaban yang terakhir tetapi akan berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran itu sendiri.

3.      Ushuluddin
Istilah ushul ad-din adalah gabungan kata ushul dan ad-din. Kata ushul adalah bentuk jamak yang berarti dasar atau pokok, sedangkan ad-din bermakna agama. Maka istilah ushul ad-din berarti ilmu yang berbicara tentang masalah-masalah keyakinan yang menjadi pokok kajian agama. Masalah-masalah pokok tersebut meliputi kepercayaan, keyakinan dan keimanan. Ilmu ini disebut juga dengan ilmu kalam, ilmu tauhid, ilmu akidah dan teologi Islam.[7]

C.    Pertumbuhan dan Perkembangan Kajian Teologi dalam Islam
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa telah menjadi fakta sejarah bahwa persoalan awal yang muncul dan menyebabkan kaum muslimin terpecah ke dalam berbagai firqah adalah persoalan politik. Persoalan politik inilah yang melahirkan berbagai kelompok dan aliran teologi dengan pandangan dan pendapat yang berbeda-beda.[8]
Pasca wafatnya Usman bin affan, lalu ali dibai’at menjadi khalifah oleh kaum muslimin. Namun ia segera mendapat tantangan dari pihak Thalhah, Zubeir dan Aisyah. Tantangan ini dapat diselesaikan oleh Ali sekalipun harus dilalui dengan peperangan. Kemudian muncullah tantangan kedua datang dari pihak Mu’awiyah yang tidak mengakui Ali sebagai khalifah dan menganggap Ali tidak serius dalam menangani kasus terbunuhnya Usman.[9] Perselisihan terjadi secara berlarut-larut bahkan menjadi pemicu perang saudara antara pihak Ali yang berkuasa ketika itu berhadapan dengan pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Maka pecahlah peperangan yang dikenal dengan perang shiffin.
Setelah pihak Mu’awiyah terdesak, maka digaungkanlah arbitrase untuk mengakhiri perselisihan yang terjadi antara kedua belah pihak. Perdamaian yang semula direncanakan untuk menyelesaikan konflik pihak Ali dan Mu’awiyah ternyata merugikan pihak Ali. Terhadap masalah ini, Ali hanya menerima arbitrase yang curang dan merugikan pihaknya sehingga melahirkan barisan yang pro dan kontra terhadap sikap beliau.
Sebagian barisan Ali mengasingkan diri sebagai protes terhadap ketidaksetujuan mereka terhadap arbitrase yang dihasilkan oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Ali. Kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan kelompok khawarij, kelompok ini merupakan aliran teologi pertama yang terfokus dalam persoalan politik. Agama hanya dijadikan legitimasi pemahaman dan doktrin mereka sehingga mereka memunculkan istilah “kafir”. Kelompok ini kemudian menghukum kafir barisan Mu’awiyah, Ali, Abu Musa al-Ay’ari, Amr bin Ash dan semua pihak yang pro terhadap arbitrase.[10] Seiring dengan ini muncul pula kelompok yang tetap setia pada Ali yang kemudian disebut kelompok Syi’ah. Kelompok syi’ah ini sebagai tandingan terhadap kelompok Mu’awiyah dan kelompok Khawarij.
Doktrin tuduhan kafir terhadap pelaku dosa besar didoktrinkan oleh pihak khawarij yang disertai oleh gerakan-gerakan politis mendapat reaksi pertentangan faham oleh sebagian kalangan muslim yang dikenal dengan kelompok murji’ah. Menurutnya pelaku dosa besar tidaklah kafir tetapi tetap mukmin. Masalah dosanya diserahkan kepada Allah apakah akan diampuni atau tidak.[11]
Respon selanjutnya muncul pula dari kelompok lainnya yang dikenal dengan Mu’tazilah. Kelompok ini terkesan pasif dan tidak mengambil bagian dalam hal menentukan persoalan teologi yang murni muncul dari konsfirasi politik ketika itu. Menurut kelompok ini bahwa pelaku dosa besar tidaklah mukmin dan tidak pula kafir melainkan hanya muslim saja.[12] Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama muncul ketiga aliran tersebut di atas.
Aliran Mu’tazilah yang pasif dan tidak masuk ke dalam persoalan politik praktis tetapi lebih terkonsentrasi pada persoalan ibadah dan keilmuan cukup ampuh menanamkan fondasi doktrin yang kuat sehingga pada masa bani Abbasiyah paham ini menjadi jaya. Bahkan pada masa khalifah al-Makmun paham ini dijadikan mazhab resmi negara yang bersifat authoritathive. Kesempatan ini digunakan oleh para tokoh Mu’tazilah untuk semakin meluaskan pahamnya kepada kaum muslimin bahkan mereka sampai melakukan pemaksaan. Dengan dukungan al-Makmun para ulama dan pejabat dipaksa berfaham Mu’tazilah.
Ternyata tindakan tersebut meresahkan masyarakat dan malah membuat sebagiannya antipati dengan Mu’tazilah dan tidak menyenangi tokoh-tokohnya. Sikap antipati tersebut juga muncul dari kalangan ulama seperti Ahmad bin Hanbal. Maka pada masa khalifah al-Mutawakkil mencabut ketetapan mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara. Maka sejak saat itu mazhab ini mengalami kemunduran.
Sekalipun sudah dibatalkan oleh khalifah al-Mutawakkil sebagai mazhab resmi negara, ternyata reaksi antipati terhadap paham mu’tazilah ini sudah berlangsung cukup lama dan terus terjadi dimana-mana. Sehingga lahir pulalah aliran-aliran sebagai reaksi dari doktrin mu’tazilah. Reaksi tersebut dipelopori oleh Abu Musa al-Asy’ari di Basrah (Irak) dan Abu Mansur al-Maturidi dari Samarkand (India). Dalam perkembangan selanjutnya kelompok ini dikenal dengan sebutan ahlu sunah wal jama’ah. Pada realitas selanjutnya, paham inilah yang banyak dianut oleh masyarakat dunia sekarang.[13]
Selain aliran di atas, muncul pula dua aliran yang kontradiksi yaitu qadariyah dan jabariyah. Aliran ini muncul karena perbedaan paham tentang perbuatan manusia, apakah manusia itu bebas melakukan perbuatannya atau tidak. Qadariyah berfaham bahwa manusia bebas berkehendak dan melakukan apa saja, sementara Jabariyah berfaham sebaliknya.[14]

D.    Islam Sebagai Sumber Kepercayaan
Konsep pokok dalam studi Islam adalah teologi ataupun ilmu tauhid. Tauhid dimaknai pembebasan manusia dari ketergantungan kepada makhluk menjadi makhluk yang benar-benar berserah diri kepada Allah Swt. Sehingga dengan tauhid (teologi Islam) maka kesempurnaan manusia sebagai hamba Tuhan dapat berwujud.
Dalam perjalanannya, berbagai pengaruh turut membentuk kepribadian dan paradigma seseorang. Hal tersebut dapat berbentuk perkembangan rasio dan pengaruh doktrin yang beraneka ragam. Hal tersebut adalah persoalan  yang biasa sebagai konsekuensi dari manusia sebagai makhluk yang berfilsafat dan berekspresi. Tetapi hal yang biasa tersebut akan sangat ironis dan menyedihkan jika tidak difilter dengan sebuah ajaran yang dijamin dan  teruji keabsolutannya. Karena itu segala transformasi pemikiran boleh dilakukan  tetapi dengan satu konsep bahwa Islam sebagai sebuah ajaran menjadi sumber keyakinan.
Islam sebagai sumber keyakinan dan  aliran dapat dipahami juga karena ajaran-ajaran dasar dalam Islam yang tertuang dalam Alquran dan Hadis bersifat ijmal ataupun global sehingga dapat dipahami dengan berbagai ragam pemahaman. Sejarah telah membuktikan hal tersebut sehingga berbagai aliran dan doktrin keyakinan muncul seperti aliran-aliran teologi yang dibahas dalam makalah ini.

E.     Aliran-aliran Utama dan Pendekatannya
  1. Aliran Khawarij
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka karena keluar dari barisan Ali.[15] Mereka keluar karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tahkim. Pada umumnya mereka terdiri dari masyarakat Arab Bawi, yaitu masyarakat yang hidup di padang pasir yang serba tandus sehingga wajar saja jiwa mereka keras, berani, bengis, tak takut mati dan suka kekerasan. Walaupun telah masuk Islam, namun wawasan keislamannya sempit sehingga mereka tidak dapat mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau dalam bentuk kecil sekalipun.[16]
Pemahaman mereka terhadap teks Alquran maupun Hadis bersifat tekstual atau lafziyah. Oleh karena itu iman dalam pandangan mereka bercorak sederhana, sempit, apalagi jika ditambah dengan dikap fanatik yang amat tinggi menyebabkan mereka tidak dapat mentolerir penyimpangan terhadap apa yang mereka pahami.[17]
Secara umum, ajaran pokok khawarij adalah:
a.       Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir
b.      Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan pelaku tahkim termasuk menerima dan membenarkannya dihukumkan kafir
c.       Khalifah haruslah dipilih secara langsung oleh rakyat.[18]

  1. Aliran Murji’ah
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap berkembangnya paham kafir mengkafirkan terhadap pelaku dosa besar. Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap semua pihak yang terlibat dalam peristiwa tahkim dihadapan Allah. Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang.
Golongan ini terdiri dari yang moderat dan yang ekstrim. Yang moderat menganggap bahwa pelaku dosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka serta memungkinkan Allah mengampuninya sehingga ia tidak tersentuh neraka sama sekali. Sementara yang ekstrim berpendapat bahwa orang yang beriman dalam hatinya sekalipun menyatakan kafir pada lisannya tidaklah menjadi kafir, karena iman tempatnya dalam hati manusia.[19]
Ajaran pokok murji’ah adalah:
    1. Iman hanya pengakuan, pembenaran dan keyakinan dalam hati
    2. Pendosa besar tidak dihukum kafir tetap mukmin selama meyakini syahadatain
    3. Sebagian besar kalangan pada aliran ini bersikap fatalisme
    4. Hukum terhadap perbuatan manusia ditunda hingga hari kiamat.[20]

  1. Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah adalah aliran yang memisahkan diri atau menjauhi persoalan politik di masanya. Kelompok ini membawa persoalan-persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat filosofis dan pembahasannya pun lebih bersifat rasionalis sehingga mereka dikenal sebagai kaum rasionalis Islam.[21] Aliran yang dibawa oleh Wasil bin Atha’ ini muncul pada abad kedua hijrah, tepatnya pada masa Bani Umayyah dan jaya pada masa Abbasiyah.
Pendekatan pemahaman aliran ini melalui pendekatan verbal (lahiriyah) dan substansial (maknawiyah). Mu’tazilah berfaham bahwa pelaku dosa besar tidaklah mukmin dan tidak pula kafir, tetapi berada di tengah-tengah (manzilah baina manzilatain).
Ada lima pokok ajaran beliau meliputi tauhid (keesaan Allah), al-’adl (keadilan Tuhan), al-wa’d wa wa’id (janji dan ancaman),  al-manzilah baina al-manzilatain (posisi di sntara dua posisi), serta amar ma’ruf nahi munkar.

  1. Ahlus Sunah wal Jama’ah
Aliran ini dinisbahkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari (873 M – 943 M). Ia lahir di Bashrah pada masa dinasti Bani Abbasiyah. Ia berguru pada Abul ’Ali al-Juba’i seorang tokoh mu’tazilah. Dan tidak sedikit umurnya yang ia habiskan untuk mengarang buku-buku kemu’tazilahan.[22]
Sekalipun ia termasuk orang yang sangat ahli dalam paham kemu’tazilahan, tetapi ia selalu merasakan keraguan akan doktrin ajaran tersebut sampai pada suatu ketika setelah merenung selama 15 hari, ia pun memutuskan untuk keluar dari mu’tazilah. Peristiwa tersebut terjadi menjelang akhir hayat gurunya (al-Juba’i) saat ia berusia 40 tahun, ia naik mimbar dan berpidato di depan masyarakat untuk meninggalkan keyakinan lamanya diganti dengan keyakinan yang baru. Sejak saat itu resmilah terbentuknya mazhab baru yang diberi nama ahlus sunnah waljamaah. Beliau sangat gigih dalam menyebarkan ajaran tersebut.
Perlu diketahui bahwa asy’ari sebenarnya tidak menjauhkan diri dari penggunaan akal fikiran dalam argumentasinya. Hal ini disebabkan bahwa beliau adalah ulama mu’tazilah sebelumnya. Akan tetapi, asy’ari menentang keras orang yang berlebih-lebihan dalam menggunakan akal fikiran, yakni golongan mu’tazilah itu sendiri. Fungsi akal menurut beliau adalah sebagai penguat dan memperjelas pemahaman terhadap nash itu sendiri.
Berikut beberapa kepercayaan ahlu sunah wal jama’ah antara lain:
1.      Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala kelak di akhirat
2.      Sifat-sifat Tuhan seperti qudrat, iradat dan seterusnya adalah sifat-sifat yang lain dari zat Tuhan
3.      Alquran sebagai manifestasi kalamullah yang qadim sedangkan huruf merupakan suara yang baharu
4.      Kasb manusia diciptakan Tuhan , bukan penciptaan manusia itu sendiri
5.      Muslim pendosa besar meninggal dunia yang belum sempat bertaubat tetap mukmin dan tidak kafir, tidak pula terletak diantara mukmin dan kafir seperti pendapat mu’tazilah.[23]

F.     Tokoh-tokoh dan Karya Utama
Adapun tokoh-tokoh berbagai aliran di atas adalah sebagai berikut:
1.      Abu Musa al-Asy’ari, lahir di bashrah tahun 260H/873M dan meninggal tahun 324H/935M. Tutup usia 62 tahun. Selama 22 tahun menyebarkan faham asy’ariyah. Beliau banyak menulis kitab dan yang paling utama adalah kitab Maqatul Islamiyyin.
2.      Abu Mansur al-Maturidi, lahir di Samarkand tahun 238H/852M dan meninggal tahun 333H/944M, tutup usia 52 tahun. Karya beliau yang utama adalah at-Tauhid.
3.      Abu Bakar Muhammad bin Tayyib al-Baqilani, lahir di Bashrah tahun 403H/1013M. Kitab beliau yang terkenal adalah at-Tamhid.
4.      Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Ghazali laihir di Thus tahun 450H/1059M dan meninggal tahun 505H/1111M. Beliau adalah tokoh pada aliran asy-’Ariyah yang banyak sekali mengarang kitab, diantaranya Ihya Ulum ad-Din serta Qawa’id al-Aqaid al-Iqtishad.
5.      Abdul fatah Muhammad bin Abi bakar as-Syarastani, lahir di Khurasda tahun 479H serta wafat 574H. Diantara kitab termashur beliau adalah al-Milal wa an-Nihal.

G.    Penutup   
Pendekatan teologi dalam studi Islam memiliki arti yang cukup besar dalam memahami islam secara paripurna dan komprehensif. Ini karena teologi dipandang sebagai pokok ajaran agama Islam itu sendiri. Keberadaannya dapat dibentuk oleh faktor rasionalitas tetapi dalam rangka menjelaskan wahyu yang diturunkan Allah Swt.
Melalui pendekatan teologi dalam studi Islam, kita dapat mengetahui hal-hal yang menjadi penggerak masyarakat. Fenomena masyarakat erat kaitannya dengan keyakinan yang dimilikinya. Dari  keyakinan, akan terimplikasi ke dalam perbuatan nyata.

 DAFTAR PUSTAKA


A. Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan bintang, 1991

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, cet II, 1998

Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Sejarah analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986

­­­­­­­­­­­_____________, Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, Jakarta: UI Press, 1986

Imam Abu Zahrah, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam, alih bahasa Abd.

Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikri, 1983

M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos, 1996

Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1997

Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet I, 2000
















[1]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 31.
[2]Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikri, 1983), h. 891. Pengertian ini señalan dengan pengertiannya dalam Bahasa Indonesia yaitu “keesaan Allah”, mentauhidkan Allah Berardi “mengesakan Allah” atau  “mengakui keesaan Allah” . Lihat Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, cet II, 1998), h. 907.

[3]Dikutip M. Yusran asmuni dalam bukunya, Ilmu Tauhid, (Jakarta: raja Grafindo Persada, 1996), h. 1-2.

[4]Lihat Abu Bakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), (Jakarta: Tinta Mas, 1996), h. 30-31.
[5]A. Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan bintang, 1991), h. 1.
[6]Ibid., h. 2.
[7]Lihat Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet I, 2000), h. 1.

[8]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Sejarah analisa Perbandingan, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 1.
[9]Mu’awiyah adalah mantan Gubernur Damaskus yang masih kerabat Usman bin Affan. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) h. 39.

[10]Kelompok khawarij adalah kelompok yang menentang keputusan Ali dalam menerima tahkim, bahkan kelompok ini mengkafirkan Ali, Thalhah dan Zubair. Lihar Imam Abu Zahrah, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam, alih bahasa Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), h. 70.
[11]Ibid., h. 143.
[12]Mu’tazilah adalah kelompok yang mengasingkan diri dari kehidupan politik dan terkonsentrasi pada persoalan ibadah dan ilmu saja. Golongan ini muncul pada masa Bani Umayyah, tetapi baru menghebohkan dunia Teologi Islam pada masa Bani Abbasiyah. Lihat Ibid., h. 149-150.

[13]M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 93-96.
[14]Ibid., h. 96.

[15]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 13.
[16]Ibid., h. 15.
[17]Abudin Nata, Ilmu Kalam Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 105.

[18]M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. 105.
[19]Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 4.
[20]Muhammad abu Zahrah, Aliran Politik …, h. 143-144.

[21]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 40.
[22]A. Hanafi,  h. 161.
[23]Ibid., h. 127.

0 komentar:

Post a Comment