Pages

Friday, October 23, 2015

KEDUDUKAN AKHLAK DALAM ISLAM OLEH EDI SUCIPNO



Kedudukan Akhlak Dalam Islam
Oleh: Edi Sucipno

A.    Pendahuluan
Ajaran tentang nilai etis dalam Islam disebut akhlak. Wilayah akhlak Islam memiliki cakupan luas, sama luasnya dengan perilaku dan sikap manusia. Nabi Saw bahkan menempatkan akhlak sebagai pokok kerasulannya. Melalui akal dan qalbunya, manusia mampu memainkan peranannya dalam menentukan baik-buruknya tindakan dan sikap yang ditampilkannya. Ajaran Islam secara keseluruhan mengandung nilai akhlak yang luhur, mencakup akhlak terhadap Allah, diri sendiri, sesama manusia, dan alam sekitar.

B.     Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu khuluqun yang berarti tabi’at atau budi pekerti.[1] Kata akhlak adalah bentuk plural dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai dan tingkah laku. Dalam kamus al-Munjid, kata tersebut memiliki akar kata yang sama dengan kata khalqun (kejadian), khaliqun (pencipta), dan makhluqun (yang diciptakan).[2] Berdasarkan pada pengertian akhlak tersebut, defenisi terminologis mengenai akhlak yang diberikan oleh ulama juga mengacu pada masalah tabiat atau kondisi bathin yang mempengaruhi perilaku manusia.
Dalam kitabnya Tahzib al-Akhlaq, Ibnu Maskawih menyebutkan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.[3] Sejalan dengan ini, al-Ghazali juga mengatakan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa seseorang, yang mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran.[4]
Bertolak dari pengertian ini, maka ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaan. Akhlak dalam Islam bukanlah norma ideal yang tidak dapat diimplementasikan, dan bukan pula sekedar kumpulan etika yang lepas dari norma kebaikan sejati.

C.    Ciri-ciri Akhlak Islamiyah
Akhlak dalam Islam berasaskan takwa. Takwa berarti memelihara diri dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa juga berarti taat kepada Allah dan ingin mendapatkan pahala dari-Nya, serta mengandung pengertian takut kepada siksa-Nya.
Takwa merupakan asas yang kokoh yang tidak berganti dan tidak berubah, tidak tunduk kepada hawa nafsu dan pertimbangan perorangan. Orang yang bertakwa kepada Allah menghindari perbuatan-perbuatan yang pada akhirnya akan mendatangkan siksa. Orang yang bertakwa mengetahui dengan sungguh-sungguh bahwa Islam adalah sumber akhlak dan pusatnya adalah takwa, yang akan melahirkan sifat utama seperti dermawan, berani, adil, dapat dipercaya, jujur, dan sifat-sifat terpuji lainnya.
Dalam berbagai literatur, uraian tentang akhlak secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (akhlak al-karimah) dan akhlak yang buruk (akhlak al-mazmumah).
Secara teori, macam-macam akhlak tersebut berinduk pada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu akal fikiran yang berpusat di kepala, amarah yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat yang berpusat di perut.[5]
Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah, yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian, inti akhlak akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki manusia.[6]
Sebaliknya, akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan tiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar sehingga menipu; akal yang digunakan secara lemah akan menimbulkan sikap dungu. Dengan demikian, akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak tercela.

D. Tanggung jawab dan Kriteria Perbuatan Manusia
Manusia adalah makhluk Allah Swt yang dibekali sejumlah potensi dan pengetahuan untuk mengetahui, memilih dan bertindak. Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia diberi kepercayaan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan status ini, manusia dipercaya mengelola alam semesta sesuai sunnatullah dan syari’at. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam manusia diberi kebebasan untuk bertindak dan menggunakan akal pikirannya demi kemashlahatan umat manusia.[7]
Dalam kenyatannya, perilaku manusia selalu bergerak dan berubah-ubah dalam dua kategori, yaitu perilaku baik dan perilaku buruk. Adanya pergeseran dan perubahan tingkah laku manusia (antara baik dan buruk) terlihat secara jelas dalam perjalanan hidup Nabi Adam As beserta isterinya. Dengan demikian, harapan agar manusia sepenuhnya berlaku baik dan benar merupakan harapan yang berlebihan dalam ajaran akhlak Islam, yang terpenting justru tindakan dan perbuatan manusia harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Dari kedua potensi tersebut, manusia pada dasarnya berkecenderungan untuk memelihara perbuatan baik. Meskipun dalam aktualisasinya, kecenderungan dasar atau kecenderungan awal itu dapat dikalahkan oleh kecenderungan buruk. Akan tetapi dalam kesadaran akhlak yang mulia, kecenderungan berbuat buruk yang sudah terlanjur teraktualisasikan itu pun sangat mungkin untuk kembali pada kecenderungan berbuat baik.
Kisah Nabi Adam As secara kronologis hingga akhirnya diangkat menjadi khalifah di muka bumi membuktikan adanya kemungkinan perubahan dan pergerakan kualitas perilaku manusia. Pada awalnya Adam adalah penghuni surga, tapi kemudian melakukan dosa dan kesalahan sehingga ia terjerat dalam kesesatan, sebagaimana dinyatakan Allah dalam Q.S Thaha 115-117. Namun demikian, meskipun tersesat, Nabi Adam tidak kehilangan potensi baiknya. Ini terbukti dengan kesadaran dan kesanggupan Adam untuk bertaubat sampai akhirnya di utus ke muka bumi.
Dalam ajaran Islam, potensi dasar manusia yang secara esensial tidak dapat diubah walaupun secara aktual tidak selalu muncul, dikenal dengan konsep fitrah. Dengan fitrahnya, manusia mengemban tanggung jawab secara mandiri dalam bertingkah laku. Apa yang diperbuat manusia pada akhirnya akan dikembalikan pada dirinya sendiri.
Dalam akhlak Islam, kebebasan memilih antara jalan yang baik dengan jalan yang buruk diberikan kepada manusia secara penuh, sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan tindakannya sendiri. Perbuatan yang dipertanggungjawabkan oleh manusia adalah tindakan yang lahir dari proses pemilihan atau usaha yang sadar. Artinya, perbuatan itu dilakukan atas dasar pengetahuan, kesadaran dan kemampuan sendiri. Sebaliknya, perbuatan yang dilakukan seseorang karena kelalaian atau paksaan tidak membebani Manusia untuk mempertanggungjawabkannya.[8]
Islam mengajarkan Manusia agar berbuat baik dengan unsur yang bersumber pada Allah, sebagaimana sudah diperlihatkan dalam perilaku Rasulullah. Apa yang menjadi sifat dan digariskan “baik” oleh Allah, dapat dipastikan “baik” secara esensial oleh Akal pikiran Manusia. Dalam hal ini, ketentuan Allah menjadi standar penentuan kriteria “baik” yang rumusannya dapat dibuktikan dan dikembangkan oleh akal.

E. Kewajiban Manusia
Ajaran akhlak dalam Islam, antara lain menggariskan bentuk kewajiban yang harus dijalankan manusia. Dengan demikian, dalam berperilaku sehari-hari manusia tidak mengandalkan keinginannya sendiri secara liar dan membabi buta tanpa memperhatikan kewajiban yang harus dipenuhinya.
Sebagai makhluk, Manusia memiliki kewajiban yang berhubungan dengan Sang Khalik. Sebagai pribadi yang mandiri, manusia juga mengemban kewajiban yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Kemudian sebagai bagian dari warga masyarakat dan lingkungan sekitarnya, manusia pun mempunyai kewajiban yang bertalian dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kewajiban manusia bertumpu pada háblum minallah dan hablum minannas.[9]
Di samping mengemban kewajiban, manusia juga memiliki hak yang merupakan kekhususan untuk dirinya secara individual. Dalam hal ini, seseorang dapat menuntut apa yang menjadi haknya, dan dengan sendirinya orang lain tidak dapat menghalang-halangi atau mencegahnya. Seorang muslim wajib merelakan seseorang untuk mendapatkan haknya. Dengan demikian, hak bagi seseorang untuk mendapatkan haknya menjadi kewajiban bagi orang lain untuk menyerahkan hak tersebut.
Berdasarkan ketentuan ini, manusia pada dasarnya dituntut untuk memperhatikan hak seseorang, sehingga apa yang harus dilakukannya adalah segala hal yang menjadi kewajiban dirinya sendiri. Dengan kata lain, etika dalam Islam mengajarkan agar manusia mengutamakan pelaksanaan tugas kewajibannya yang substansial, tanpa harus mengabaikan haknya sendiri.

F. Kedudukan Akhlak dalam Islam
Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama Islam dengan titik pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar percaya kepada Tuhan dan mengakui bahwa Dia-lah Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Pelindung terhadap segala makhluk-Nya. Di samping itu, agama Islam juga mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat lepada kebahagiaan. Semua ini terkandung dalam ajaran alquran yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Saw.
Alquran adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumber yang aslinya di dalam alquran.[10]
Sangat jelas bahwa dalam alquran terdapat banyak ayat-ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak, dan prinsip-prinsip perbuatan. Perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak dapat dilihat dari kandungan alquran yang banyak sekali berkaitan dengan perintah untuk melakukan kebaikan, berbuat adil, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat kejahatan dan kemungkaran, sebagaimana firman Allah Q.S. al-Nahl: 89 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Dalam Islam, akhlak menempati posisi sentral, bahkan dapat dinyatakan bahwa Inti ajaran Islam adalah akhlak. Pembuktian statemen ini didasarkan pada pengakuan Nabi Muhammad Saw bahwa misi kerasulannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.[11] Ini bermakna bahwa Islam yang didakwahkan oleh Rasul adalah suatu sistem syariah yang menata idealitas hubungan seorang muslim dengan Allah Swt, dengan diri sendiri, sesama manusia dan alam semesta.
Sebagai sistem syariah, akhlak merupakan norma dan kaedah yang mendasari seluruh dimensi kehidupan manusia muslim. Dalam konteks ini, akhlak bukanlah sekedar aturan normatif yang hanya menata perilaku manusia sebagai makhluk sosial, tetapi meliputi tata hubungan manusia dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan alam semesta. Sebagai sistem syariah, akhlak bersumber dari Allah Swt, sebagai pencipta, pengatur, pemelihara dan pendidik seluruh makhluk-Nya.
Dalam Islam, akhlak merupakan akar dari segala kebaikan dan keutamaan yang akan memberikan seseorang nilai dihadapan Tuhan dan makhluk lainnya. Keimanan dan keislaman seseorang dinilai kurang, bahkan tidak sempurna, jika tidak dilandasi dan dibingkai dengan akhlak yang mulia.[12]
Perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak lebih lanjut dapat dijelaskan dengan menunjukkan universalitas alquran mengenai jalan yang harus ditempuh manusia. Dengan demikian, manusia dalam melakukan perbuatan sosial dan individunya harus mempunyai tujuan tertentu. Selanjutnya perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak dapat dijumpai dari perhatian Nabi Muhammad Saw, sebagaimana terlihat dalam ucapan dan perbuatannya yang mengandung akhlak.
Ucapan-ucapan Nabi Muhammad berkenaan dengan pembinaan akhlak diikuti pula oleh perbuatan dan kepribadiannya. Beliau dikenal sebagai seorang yang shiddik, amanah, tabligh dan fathanah. Beliau juga sebagai orang yang taat pada perintah Allah, jauh dari perbuatan dosa.
Dalam ajaran Islam, akhlak yang terdapat dalam ajaran Islam di samping memiliki keabsolutan, keuniversalan dan kemutlakan juga memiliki perbedaan dan variasi dalam aplikasinya yang bermacam-macam. Variasi dalam aplikasi akhlak ini boleh jadi bersumber dari adat istiadat, kebudayaan, dan produk pemikiran manusia.[13]
Akhlak Islam memiliki dua corak, pertama, akhlak yang bercorak normatif, yang bersumber pada alquran dan sunnah, akhlak model ini bersifat mutlak, universal dan absolut. Kedua, akhlak yang bersifat rasional dan cultural yang didasarkan pada hasil pemikiran yang sehat serta adat istiadat kebudayaan yang berkembang. Akhlak model ini bersifat relatif, nisbi dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Namun demikian, kedua corak akhlak tersebut tidak saling bertentangan, melainkan saling mendukung dan melengkapi, sehingga terbentuk hubungan yang bersifat fungsional.[14]
Dalam ajaran agama, akhlak tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walau etika dan moral diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Ini disebabkan karena etika hanya terbatas pada sopan santun antara sesama manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriyah. Jadi, ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang menggunakan tolak ukur ketentuan Allah.[15] Quraish Shihab dalam hubungan ini mengatakan bahwa tolak ukur kelakuan baik mestilah merujuk pada ketentuan Allah. Rumusan akhlak Islami yang demikian itu menurut Quraish Shihab adalah rumusan yang diberikan oleh kebanyakan ulama.

G.    Penutup
Akhlak dalam Islam berkaitan erat dengan akidah agama. Secara umum, akhlak dipahami sebagai perilaku yang baik, sementara perilaku yang buruk disebut tidak berakhlak. Meskipun dalam kajian akademis, akhlak bisa berarti baik dan juga bisa berarti buruk. Artinya ada akhlak yang baik dan ada akhlak yang buruk.
Islam menempatkan akhlak sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena merupakan standar penilaian terhadap kualitas manusia. Akhlak merupakan salah satu acuan penting dalam ukuran patron sosial. Tak hanya itu, akhlak juga merupakan ukuran keberlangsungan suatu komunitas.
Dalam Islam, akhlak menempati posisi sentral, bahkan dapat dinyatakan bahwa inti ajaran Islam adalah akhlak. Pembuktian statemen ini didasarkan pada pengakuan Nabi Muhammad Saw bahwa misi kerasulannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

  
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press, 2009

Affandi Muchtar, dalam ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Akhlak), Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, t.t

Allamah M.H. Thabathaba’I, Mengungkap Rahasia Alquran, Terj. A. Malik MAdany dan Hamim Ilyas, Judul asli al-Quran fi al-Islam, Bandung: Mizan, 1990

A.W Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-indonesia Terlengkap, Jakarta: Pustaka Progresif, 1997

Ibnu Maskawih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-‘Araq, Mesir: al-Mathba’ah al-Mishriyah, 1934

Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr,1991

Harun Nasution, Falsafah dan Mistitisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983

Louis ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1989

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung:, Mizan, 1996

Nur A. Fadhil lubis, Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Islam, Bahan Semiloka Nasional, Medan 05 Oktober 2010


[1]Lihat A.W Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-indonesia Terlengkap, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 364
[2]Louis ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1989), h. 164
[3]Ibnu Maskawih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-‘Araq, (Mesir: al-Mathba’ah al-Mishriyah, 1934), cet. I, h. 40
[4]Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 56
[5]Harun Nasution, Falsafah dan Mistitisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 17
[6]Baca Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 44
[7]Baca Affandi Muchtar, dalam ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Akhlak), (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, t.t.), h.326
[8]Ibid.
[9]Ibid., h. 328
[10]Allamah M.H. Thabathaba’I, Mengungkap Rahasia Alquran, Terj. A. Malik MAdany dan Hamim Ilyas dari judul asli al-Quran fi al-Islam, (Bandung: Mizan, 1990), cet. III, h. 21
[11]Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr,1991), h. 381
[12]Nur A. Fadhil lubis, Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Islam, Bahan Semiloka Nasional, Medan 05 Oktober 2010
[13]Abuddin Nata, h.78
[14]Abuddin Nata, h. 148
[15]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung:, Mizan, 1996), cet III, h. 205

0 komentar:

Post a Comment