Oleh: Edi Sucipno
Substansi ajaran Islam pada intinya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Pada tataran aktualisasinya, martabat dan kemuliaan manusia akan
terwujud manakala manusia tersebut mampu mendekatkan diri kepada Allah, karena memang dia berasal dari Allah dan akan kembali
kepada Allah. Islam merupakan agama
fitrah yang mengusung kemaslahatan bagi umat manusia.
Alquran yang merupakan
sumber utama dalam Islam tak jarang berbicara mengenai fitrah, yang secara
normative syarat dengan nilai-nilai
transendental-ilahiyah dan insaniyah. Artinya, di satu sisi
memusatkan perhatian pada fitrah manusia dengan sumber daya manusianya,
baik jasmaniah maupun ruhaniah sebagai potensi yang siap dikembangkan dan
ditingkatkan kualitasnya melalui proses humanisering sehingga keberadaan
manusia semakin bermakna. Di sisi lain, pengembangan kualitas sumber daya
manusia tersebut dilaksanakan selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid
rububiyah maupun tauhid uluhiyah.[1]
Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan
kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk
pertama kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya telah
memiliki agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama
fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga
dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal
ini menjadikan eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang sempurna.
Arti dan Makna Fitrah
Secara lughatan (etimologi) berasal dari kosa kata bahasa Arab
yakni fa-tha-ra yang berarti “kejadian”, oleh karena kata fitrah
itu berasal dari kata kerja yang berarti menjadikan.[2] Pada
pengertian lain interpretasi fitrah
secara etimologis berasal
dari kata fathara yang sepadan
dengan kata khalaqa dan ansy’a yang artinya mencipta. Biasanya
kata fathara, khalaqa dan ansy’a digunakan dalam Al-Qur’an untuk
menunjukkan pengertian mencipta,
menjadikan sesuatu yang sebelumnya
belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Dalam
Kamus al Munjid diterangkan bahwa
makna harfiah dari fitrah adalah al Ibtida’u wa al ikhtira’u, yakni al shifat allati yattashifu biha kullu
maujudin fi awwali zamani khalqihi. Makna lain adalah shifatu al insani al thabi’iyah. Lain daripada itu ada yang
bermakna al dinu wa al sunnah.[3]
Abu a’la al-Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini
oleh ibunya sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada
Tuhan, tetapi di lain pihak manusia bebas untuk menjadi muslim atau non muslim.[4]
Sehingga ada hubungannya dalam aspek terminologi fitrah selain memiliki potensi manusia beragama
tauhid, manusia secara fitrah juga bebas untuk mengikuti atau tidaknya
ia pada aturan-aturan lingkungan dalam mengaktualisasikan potensi tauhid
(ketaatan pada Allah) itu, tergantung seberapa tinggi tingkat pengaruh
lingkungan positif serta negatif yang mempengaruh diri manusia secara fitrah-nya.
Sehingga uraian Al-Maududi mengenai peletakan pengertian konsep fitrah
secara sederhana yakni menunjukkan kepada kalangan pembaca bahwa meskipun
manusia telah diberi kemampuan potensial untuk berpikir, berkehendak bebas dan
memilih, namun pada hakikatnya ia dilahirkan sebagai muslim, dalam arti bahwa
segala gerak dan lakunya cenderung berserah diri kepada Khaliknya.[5]
Mengenai fitrah kalangan fuqoha telah menetapkan hak fitrah
manusia, sebagaimana dirumuskan oleh mereka, yakni meliputi lima ha: 1). Din
(agama), 2) jiwa, 3). Akal, 4). Harga diri, dan 5). Cinta
Menurut Armai, bila interpretasi lebih luas konsep fitrah
dimaksud bisa berarti bermacam-macam, sebagaimana yang telah diterjemahkan dan
didefenisikan oleh banyak pakar di atas, di antara arti-artinya yang dimaksud
adalah: 1) Fitrah berarti “thuhr’
(suci), 2) fitrah berarti “Islam”,
3) fitrah berarti “Tauhid” (mengakui keesaan Allah), 4) fitrah
berarti “Ikhlash” (murni), 5) fitrah berarti kecenderungan
manusia untuk menerima dan berbuat kebenaran, 6) fitrah berarti “al-Gharizah”
(insting), 7) fitrah berarti potensi dasar untuk mengabdi kepada Allah,
8) fitrah berarti ketetapan atas manusia, baik kebahagiaan maupun
kesengsaraan.[6]
Kata ini juga dipakaikan kepada anak yang baru dilahirkan karena
belum terkontaminasi dengan sesuatu sehingga anak tersebut sering disebut dalam
keadaan fitrah (suci). Pengaruh dari pengertian inilah maka semua kata
fitrah sering diidentikkan dengan kesucian sehingga 'id al-fitri sering
pula diartikan dengan kembali kepada kesucian demikian juga zakat al-fitrah.
Pengertian ini tidak selamanya benar kata fitrah itu sendiri digunakan
juga terhadap penciptaan langit dan bumi dengan pengertian keseimbangan
sebagaimana yang tertera dalam alquran.
Kata-kata yang
biasanya digunakan dalam alquran untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan
pola dasar ciptaan-Nya untuk melengkapi penciptaan itu adalah kata ja’ala
yang artinya “menjadikan”, yang diletakan dalam satu ayat setelah kata khalaqah
dan ansy’a. Perwujudan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan pada
manusia.[7]
ياايها الناس انا خلقناكم
من ذكر وانثي وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان
الله عليم خبير[8]
Artinya:
Hai Manusia,
sesungguhnya kami telah menciptakan (khalaqna) kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan serta menjadikan (ja’alna) kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal (QS. al Hujurat/49: 13).
قل هو
الذي انشأكم وجعل لكم السمع والابصار والافئدة قليلا ما تشكرون[9]
Artinya:
Katakanlah; Dialah yang
menciptakan kamu (ansya’akum) dan menjadikan (ja’ala) bagimu
pendengaran, penghihatan dan hati (fuad), akan tetapi amat sedikit kamu
bersyukur (QS. al Mulk/67: 23).
فاقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين
القيمولكن اكثر الناس لا يعلمون[10]
Artinya:
Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah,
tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan (fathara)
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. al Rum/30: 30).
Mengenai kata fitrah
menurut istilah (terminologi) dapat
dimengerti dalam uraian arti yang luas, sebagai dasar pengertian itu tertera
pada surah al-Rum ayat 30, maka dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada
asal kejadian yang pertama-pertama diciptakan oleh Allah adalah agama (Islam)
sebagai pedoman atau acuan, di mana berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan
dalam kondisi terbaik. Oleh karena aneka ragam faktor negatif yang
mempengaruhinya, maka posisi manusia dapat “bergeser” dari kondisi fitrah-nya,
untuk itulah selalu diperlukan petunjuk, peringatan dan bimbingan dari Allah
yang disampaikan-Nya melalui utusannya (Rasul-Nya).[11]
Pengertian
sederhana secara terminologi menurut pandangan di atas, fitrah
mengandung potensi pada kemampuan berpikir manusia di mana rasio atau
intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya,[12]dalam
memahami agama Allah secara damai di dunia ini.
Quraish Shihab mengungkapkan dalam Tafsir al Misbah-nya, bahwa fitrah merupakan “menciptakan sesuatu pertama
kali/tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan mengikut sertakan pandangan Quraish
Shihab tersebut berarti fitrah sebagai unsur, sistem dan tata kerja
yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya sehingga menjadi
bawaannya, inilah yang disebut oleh beliau dengan arti asal kejadian,
atau bawaan sejak lahir.[13]
Ungkapan senada mengenai pengertian fitrah juga dilontarkan oleh
Arifin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam yakni secara keseluruhan
dalam pandangan Islam mengatakan bahwa kemampuan dasar/pembawaan itu disebut
dengan fitrah.[14]Ada yang mengemukakan bahwa fitrah merupakan kenyakinan tentang ke-Esaan Allah
Swt, yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan. Maka manusia sejak
lahirnya telah memiliki agama bawaan secara alamiah, yaitu agama tauhid.[15]
Istilah fitrah dapat dipandang
dalam dua sisi. Dari sisi bahasa, maka makna fitrah adalah suatu
kecenderungan bawaan alamiah manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna
keyakinan agama, yakni bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu mengesakan Tuhan.
Imam Nawawi mendefinisikan fitrah sebagai kondisi yang belum pasti (unconfirmed
state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar
keimanannya. Sementara menurut Abu
Haitam, fitrah berarti bahwa manusia yang dilahirkan dengan memiliki kebaikan
atau ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang berhubungan dengan
jiwa.[16]
Bila tidak berlebihan dalam memahami terminologi Abu Haitam dapat
dipahami, pada awalnya setiap makhluk yang diciptakan oleh Allah dibekal dengan
fitrah (keseimbangan) yang bilamana keseimbangan ini mampu dijaga dengan baik
maka yang bersangkutan akan senantiasa berada dalam kebaikan. Sebaliknya bila
keseimbangan ini sudah tidak mampu dipertahankan maka menyebabkan seseorang
akan terjerumus kepada ketidakbaikan. Fitrah adalah kata yang selalu digunakan
untuk menunjukkan kesucian sekalipun dalam bentuk abstrak keberadaannya selalu
dikaitkan dengan masalah akhlak. Keabstrakan ini meskipun selalu dipakai dalam
aspek-aspek tertentu namun pengertiannya hampir sama yaitu keseimbangan.
[1]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma
Humanisme-Teosentris (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 11-12.
[2]Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoristis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, cet V (Jakarta: Bumi
Aksara, 2000), h. 88.
[3]Luis Ma’luf, al Munjid fi al
lughah wa al a’lam (Bairut: Dar el Mashreq, 2000), h. 588. lihat Atabik Ali
dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia, cet. V (Yokjakarta: Multi Karya Grafika, 1996),
h. 1399. lihat juga, A.W. Munawwir, Kamus
al Munawwir; Arab-Indonesia, cet. XIV (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1063.
[4]Abul A’la Al-Maududi, Towards Understanding Islam, Islamic
Publication LTD, Lahore-Dacca. 1966.
[6]Arief, Pengantar ,h 7
[7]Achmadi, Ideologi
Pendidikan, h. 41
[8]QS. al Hujurat/49: 13.
[9]QS. al Mulk/67: 23.
[10]QS. al Rum/30: 30.
[11]LPKUB, Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama,
P.Sipahutar dan Arifinsyah ( Ed.) edisi 2 (Bandung: Citapustaka Media), 2003.
h.118
[12] Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, cet. VI (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 158.
[13] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, Vol 11 (Jakarta: Lentera Hati,2002), h 53.
[14]Arifin, Ilmu Pendidikan, h. 88.
[15]Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami Studi Tentang Elemen Psikologi
dari Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.148.
[16] Ia mendasarkannya pada hadits
yang cukup populer, “setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka
orangtuanya yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Dalam keterangan lainnya Juhaya S, Praja mengemukakan dalam tulisannya bahwa fitrah
merupakan bawaan manusia sejak lahir.
0 komentar:
Post a Comment