Idul Fitri
Dalam Konteks Kekinian
Oleh: H. Edi
Sucipno, MA[1]
Pendahuluan
Bagi muslim yang diterima puasanya
karena mampu menundukan hawa nafsu duniawi selama bulan Ramadhan dan
mengoptimalkan ibadah dengan penuh keikhlasan, maka Idul Fitri adalah hari
kemenangan sejati, dimana hari ini Allah Swt akan memberikan penghargaan teramat
istimewa yang selalu dinanti-nanti oleh siapapun, termasuk para nabi dan
orang-orang shaleh, yaitu ridha dan magfirah-Nya, sebagai
ganjaran atas amal baik yang telah dilakukannya.[2]
Allah Swt juga pernah berjanji, tak satupun kaum muslimin yang berdoa pada hari
raya Idul Fitri, kecuali akan dikabulkan.[3]
Pertanyaannya, kira-kira puasa kita
diterima apa tidak? Atau yang kita lakukan ini hanya ritual-simbolik, sebatas
menahan lapar dan haus, seperti yang pernah disinyalir Nabi Muhamad Saw?
Jawabnya, Allahu ‘alam, kita tak tahu sejatinya. Tapi menurut para
ulama, ada beberapa indikasi, seseorang dianggap berhasil dalam menjalankan
ibadah puasa: ketika kualitas kesalehan individu dan sosialnya meningkat.
Ketika jiwanya makin dipenuhi hawa keimanan. Ketika hatinya sanggup berempati
dan peka atas penderitaan dan musibah saudaranya di ujung sana. Artinya
penghayatan mendalam atas Ramadhan akan membawa efek fantastik, individu,
maupun sosial.
Penghayatan dan pengamalan yang baik
terhadap bulan ini akan mendorong kita untuk kembali kepada fitrah sejati
sebagai makhluk sosial, yang selain punya hak, juga punya kewajiban, individu
dan sosial. Sudahkan kita merasakannya? Itulah rahasia kenapa selamat hari raya
Idul Fitri seringkali diakhiri dengan ucapan Minal ‘Âidîn wal Faizîn[4]
(Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali pada fitrah sejati manusia dan
mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat). Selain sebagai doa dan harapan,
ucapan ini juga bak pengingat, bahwa puncak prestasi tertinggi bagi mereka yang
menjalankan ibadah puasa paripurna, lahir dan bathin, adalah kembali kepada
fitrahnya (suci tanpa dosa).
Arti dan Makna Idul Fitri
Idul Fitri (Bahasa Arab: عيد الفطر ‘Īdul-Fiṭr) adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada penanggalan Hijriyah. Karena penentuan 1 Syawal yang berdasarkan peredaran bulan
tersebut, maka Idul Fitri atau Hari Raya Puasa jatuh pada tanggal yang
berbeda-beda setiap tahunnya apabila dilihat dari penanggalan Masehi. Cara menentukan 1 Syawal juga bervariasi, sehingga boleh
jadi ada sebagian umat Islam yang merayakannya pada tanggal Masehi yang berbeda.
Bagi sebagian orang di Indonesia,
khususnya umat muslim, Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran[5]
begitu sangat identik dengan tradisi mudik, halal bihalal, kesuka citaan,
hidangan kue lebaran dan lain sebagainya. Namun apakah
makna sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri? Makna Idul Fitri itu sendiri
memiliki beberapa pengertian dan pemaknaan, di antaranya yaitu:
Idul Fitri diartikan sebagai puncak
atau klimaks dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Idul Fitri
sendiri memiliki keterkaitan makna dengan tujuan akhir yang ingin diraih dari
pelaksanaan kewajiban berpuasa. Idul Fitri secara bahasa atau etimologi bisa
berarti Hari Raya Kesucian atau bisa juga diartikan sebagai Hari Kemenangan
umat Islam. Kemenangan disini adalah bentuk dari kemenangan dalam menggapai
kesucian atau perwujudan dari kembali kepada keadaan fitrah.[6]
Fitrah berarti kesucian, ini dapat
dipahami bahkan dirasakan maknanya pada saat anda duduk termenung seorang diri.
Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat
teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajak anda untuk berdialog,
mendekat bahkan menyatu dengan suara totalitas wujud Yang Maha Mutlak, yang
mengantar anda untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, dan
betapa kuasanya dan perkasa Dia Yang Maha Agung itu. Suara yang anda dengarkan
itu adalah suara fitrah manusia, yakni suara kesucian. Hal ini dilukiskan oleh
Ibn Sina dalam Al-Isyarat wa Al-Tanbihat.[7]
Dari penjabaran tersebut berarti
kata Idul Fitri atau kembali kepada fitrah merupakan pengertian yang sangat
relevan atau berhubungan dengan makna sebenarnya dari keberhasilan yang
diperoleh setelah berakhirnya pelaksanaan ibadah puasa. Beberapa sumber juga
menganalogikan Idul Fitri atau Lebaran sebagai jalan menuju kepada keadaan
fitrah manusia layaknya seperti seorang bayi yang baru dilahirkan, bersih dan
tanpa dosa. Hal tersebut merujuk pada perjanjian awal atau "Perjanjian
Primordial"[8]
yang berisi pengakuan manusia terhadap Ke-Esa-an Allah sebagai satu-satunya
Tuhan yang patut di sembah.
Pengertian atau makna dari Idul
Fitri (Lebaran) yang berikutnya adalah: Idul Fitri merupakan
penggabungan kata "Ied" yang berarti Hari Raya dan "Fitri"
yang artinya berbuka puasa. Jadi Idul Fitri bisa juga diartikan sebagai hari
berbuka secara massal kaum muslimin setelah sebulan lamanya menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Kebahagiaan yang dirasakan pada saat
menjelang waktu berbuka puasa di waktu maghrib selama sebulan seakan
dimanifestasikan pada tanggal 1 Syawal di Hari Raya Idul Fitri. Idul Fitri
merupakan bentuk dari pengekspresian sebagai ”Iduna Ahlil Islam”, sabda
Nabi, (Hari Raya kami penganut Islam) sebab Hari Raya Idul Fitri adalah hari
makan-minum serta bersuka cita.
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ سَمِعَ أَبَا
عُبَيْدٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ
الْخُطْبَةِ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ أَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ
فَفِطْرُكُمْ مِنْ صَوْمِكُمْ وَأَمَّا يَوْمُ الْأَضْحَى فَكُلُوا مِنْ لَحْمِ
نُسُكِكُمْ
|
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dia mendengar
Abu Ubaid berkata; aku menghadiri shalat 'Aid bersama Umar, kemudian dia
memulai dengan shalat sebelum khutbah dan berkata; "Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang berpuasa pada dua hari ini,
adapun hari Aidul fitri adalah hari berbukanya
kalian dari berpuasa, adapun hari Aidul Adlha makanlah daging kurban
kalian."
Oleh karena Idul Fitri bermakna Hari
bersuka cita, maka pada hari besar itu semua harus terbebas dari kesedihan,
kesusahan dan jangan sampai ada orang yang meminta-minta. Makna sebenarnya dari
kalimat tersebut adalah diwajibkan bagi umat muslim yang mampu untuk membayar
zakat yang berupa zakat fitrah kepada fakir miskin sebagai bentuk dari berbagi
kebahagiaan dari mereka yang tidak berpunya agar bisa merasakan suka cita pada
hari tersebut.
1. Ied bermakna kembali dalam arti
rutinitas tahunan.
2. Ied bermakna rahmat. Allah Swt
kembali memberikan rahmat, ampunan, rezeki, dan berkah-Nya kepada manusia lebih
banyak di hari Ied.
3. Ied bermakna saling kembalinya
(mengunjungi) kepada sesama manusia dengan saling memberi satu sama lain.
4. Ied bermakna majazi sebagai hari
paling mulia.
Dalam alquran ada disebut mengenai
kata 'Ied, yaitu ketika alquran mengisahkan mengenai Nabi Isa as., sebagai
berikut:
قَالَ
عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ
السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Artinya:
"Isa putera Maryam berdoa:
"Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit
(yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang
bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan
Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling
Utama"
Kata 'ied dalam konteks ayat di atas
diartikan sebagai hari raya, hari yang berbeda dari hari-hari biasa.
Arti 'Ied yang lebih jelas dapat
dilihat dari perkataan Ali ibn Abi Thalib ra yang diucapkan juga oleh Hasan al-Bishri,
berikut ini:
كل
يوم لامعصية الله فيه فهو عيد.
Artinya:
"Setiap hari di mana tidak
dilakukan maksiat kepada Allah Swt maka hari itu adalah hari 'Ied".
Maksud dari perkataan Ali ibn Abi
Thalib ra di atas adalah, bahwa hari Ied adalah hari di mana manusia tidak
melakukan maksiat kepada Allah Swt. Hal ini lebih luas cakupannya bukan hanya
di hari raya Idul Fitri, tetapi juga di hari-hari lain. Ketika dalam
sehari-hari kita tidak berbuat maksiat kepada Allah Swt maka jiwa kita tetap
pada kondisi 'ied, yaitu terbebas dari dosa atau terjaga kesuciannya.
Idul Fitri dalam hadis lain dimaknai
sebagai hari "kembali pada kesucian", bahkan disebut kembali suci
sebagaimana pada saat bayi dikeluarkan dari rahim ibunya:
عن أبى سلمة بن عبدالرحمن بن عوف قال:
حدثني أبي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: (إن الله عز وجل فرض
عليكم صيام رمضان، وسننت لكم قيامه، فمن صامه إيمانا واحتسابا خرج من ذنوبه
كيوم
ولدته
أمه (اخرجه الطبراني).
Artinya:
"Sesungguhnya Allah 'Azza wa
Jalla telah mewajibkan bagi kalian berpuasa di bulan Ramadhan, dan mensunatkan
shalat malam, maka barangsiapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan berserah
diri, akan terbebas dosa-dosanya bagaikan bayi yang dilahirkan dari rahim
ibunya"
Segala dosa yang menjadi kotoran
jiwa dan badan akan menjadi suci kembali. Inilah keistimewaan utama puasa
sebagai zakat badan, sebagai pembersih jasad/badan yang bersifat bukan fisik.
Melainkan badan yang terdiri dari daging, lemak, dan lain-lain yang tumbuh dari
hasil usaha manusia yang boleh jadi syubhat atau dari barang haram.
Dari pengertian 'ied di atas, sudah
sepantasnya momentum Idul Fitri dipahami sebagai momentum pembinaan karakter
individual yang berefek pada karakter sosial. Masyarakat dibentuk oleh
individu-individu. Basis masyarakat Islam adalah individu. Individu
mencerminkan kehidupan sosial. Jika individu sebagai anggota dari masyarakat
sosialnya baik maka masyarakatnya pun akan baik.
Puasa jika dilihat dari dhahirnya
merupakan ibadah individual karena hanya dirinyalah yang tahu dirinya berpuasa
ataukah tidak. Tetapi jika digali lebih jauh, karena masyarakat dibentuk oleh
individu, maka puasa yang tujuannya melatih individu muslim, jelas memiliki
output yang nyata bagi kehidupan sosial yang lebih luas.
Seseorang yang berhasil dalam
puasanya dapat dilihat dari keseharian setelah menjalani puasa di hari-hari
atau bulan yang lain selain Ramadhan. Ramadhan adalah semacam sekolah ruhani,
implementasi nyatanya adalah pada hari-hari setelahnya. Jika dalam puasa tidak
boleh menggunjing dan mengadu domba orang lain, maka orang yang berhasil dalam
puasanya tidak akan melakukan hal itu di hari yang lain. Inilah tonggak utama
dalam pembentukan karakter sosial.
Idul Fitri dalam Konteks Kekinian
Idul fitri dalam konteks kekinian dipahami sebagai suatu sikap
masyarakat Islam yang sedang merayakan hari raya pada situasi sekarang ini atau
pola hidup dan prilaku masyarakat Islam saat ini.
Jika kita melihat dan mengamati secara umum, pola hidup dan prilaku
masyarakat Islam saat ini yang sedang melaksanakan hari raya sangat identik
dengan pola hidup yang konsumtif dan mubajir, hal ini ditandai dengan
kecenderungan masyarakat yang lebih mengutamakan kemewahan dan kemegahan
dalam segala aspek kehidupan dunia untuk memenuhi kebutuhan skunder seperti
baju baru, rumah baru, rekreasi ke tempat hiburan yang kurang mengandung
manfaat bahkan lebih terlihat pernak pernik kemewahan yang ada di dalam rumah
tangganya. Padahal sikap dan pola hidup berhari raya dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Saw tidaklah seperti itu.
Setidaknya ketika kita merayakan
Idul Fitri minimal ada beberapa sikap
yang harus kita lakukan yaitu:
1.
Adanya
rasa penuh harap kepada Allah Swt (Raja’). Harap akan diampuni dosa-dosa
yang berlalu. Janji Allah Swt akan ampunan itu sebagai buah dari “kerja keras”
sebulan lamanya menahan hawa nafsu dengan berpuasa.
2.
Melakukan
evaluasi diri pada ibadah puasa yang telah dikerjakan. Apakah puasa yang kita
lakukan telah syarat dengan makna, atau hanya puasa menahan lapar dan dahaga
saja di siang bulan Ramadhan kita berpuasa, tetapi hati kita, lidah kita tidak
bisa ditahan dari perbuatan atau perkataan yang menyakitkan orang lain.
3.
Mempertahankan
nilai kesucian yang baru saja diraih. Tidak kehilangan semangat dalam ibadah
karena lewatnya bulan Ramadhan, karena predikat taqwa seharusnya berkelanjutan
hingga akhir hayat.
4.
Melakukan
kembali berpuasa dibulan syawal sebanyak enam hari kecuali di awal syawal upaya
melengkapi dan sekaligus meningkatkan amal ibadah kita.
5.
Berusaha
untuk membangun komitmen dalam diri dalam meningkatkan (makna syawal) atau
perbaikan (islah) yakni: islahul aqidah, ibadah, akhlak dan jamaah.
Tradisi yang lebih dikenal saat hari
raya idul fitri disebut dengan istilah halal bihalal. Halal bihalal
adalah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal, diimpit
oleh satu huruf (kata penghubung) ba’ (baca/bi), yakni “acara maaf-memaafkan
pada hari lebaran”, maka dalam halal bihalal terdapat unsur
silaturahim.
Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil
dari kata bahasa Arab, shilat dan rahim. Kata shilat berakar
dari kata washl yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”. Ini berarti
hanya yang putus dan terserak yang dituju oleh shilat itu. Sedangkan
kata rahim pada mulanya berarti “kasih sayang”, kemudian berkembang
sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung
selalu mendapatkan curahan kasih sayang.
Salah satu bukti yang paling konkret
tentang silaturahim yang berintikan rasa rahmat dan kasih sayang itu adalah
pemberian yang tulus. Karena itu, kata shilat diartikan pula dengan
“pemberian” atau “hadiah”.
Sabda Nabi Saw:
حَدَّثَنَا يَعْلَى حَدَّثَنَا
فِطْرٌ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّحِمَ مُعَلَّقَةٌ
بِالْعَرْشِ وَلَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي
إِذَا انْقَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ya'la telah menceritakan kepada kami
fithr dari Mujahid dari Abdullah bin Amr dia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya kasih sayang (hubungan silaturahim)
itu bergantungan dengan Arsy. Dan Al Washil (orang yang
menyambungnya) bukanlah mereka yang memenuhi (kebutuhan) akan tetapi Al
Washil itu ialah siapa yang menyambungnya ketika (hubungan silaturahim itu) terputus."
Istilah halal bihalal, tidak ditemukan dalam alquran dan
hadis, istilah ini memang khas Indonesia. Menurut penulis, istilah ini dapat
menimbulkan makna yang berbeda dari paradigma setiap orang yang akan memberikan
interpretasinya.
Jika dilihat dari segi hukum, kata halal adalah lawan dari kata
haram. Haram adalah “sesuatu yang terlarang” atau “suatu aktivitas mukallaf yang melahirkan dosa dan dapat mengakibatkan
siksa”.
Halal, yang oleh para
ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks
halal bihalal, akan memberi kesan bahwa dengan acara tersebut mereka
yang melakukannya akan terbebas dari dosa. Dengan demikian, halal bihalal menurut
tinjauan hukum, menjadikan sikap kita yang tadinya haram, atau yang tadinya
berdosa, menjadi halal, atau tidak berdosa lagi.
Tinjauan berikutnya dari segi linguistik, kata halal, berakar
dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan
makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain
adalah “menyelesaikan problem atau kesulitan”,
atau “meluruskan benang kusut”,
atau “mencairkan yang membeku”, atau “melepaskan ikatan yang
membelenggu”. Dengan demikian, kalau kita pahami, seakan-akan kita menginginkan
adanya sesuatu yang mengubah hubungan kita yang tadinya keruh menjadi jernih,
dari yang beku menjadi cair, dan dari yang terikat menjadi terlepas atau bebas,
walaupun kesemuanya yang disebut di atas
belum tentu haram.
Pengertian kebahasaan (lingustik) ini ditunjang dan dilengkapi
dengan pengertian ketiga, yakni dari tinjauan Qurani serta kesan-kesan
penggunaan kata halal dalam alquran.
Dalam alquran, kata halal dapat ditemukan dalam 6 (enam)
ayat, yang terdapat dalam 5 (lima) surah. Dua di antaranya dirangkaikan dengan
kata haram, dan dikemukakan dalam konteks kecaman (negatif).
Sedangkan 4 (empat) sisanya selalu dirangkaikan dengan kata kulu (makanlah)
dan kata thayibbah (yang baik)
Dari ketiga sudut pandangan di atas, baik dalam segi hukum, bahasa
dan konteks qurani, maka makna halal bilhalal memiliki kesan bukan saja
menuntut seseorang agar memaafkan orang lain, tetapi juga agar berbuat baik
terhadap siapapun. Itulah landasan filosofis dari semua aktivitas manusia yang
dituntut oleh alquran, dan itu juga yang harus menjadi landasan filosofis bagi
setiap yang melaksanakan hahal bihalal. Hal tersebut sekaligus juga
berarti bahwa hakekat yang dituju oleh acara halal bihalal tidak harus
dibatasi waktunya saat beridul fitri, tetapi setiap saat yang menyangkut segala
aktivitas manusia. Walaupun memang harus diakui bahwa acara maaf-memaafkan dan
silaturahim itu sangat sesuai dengan hakikat “Idul Fitri”.
Penutup
Analisa kajian idul fitri dalam konteks kekinian sangat luas dan
bermakna generalisasi, oleh karenanya penulis ini mengajak kita semua lebih
cermat dan teliti dalam mengamati fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat
yang heterogen secara faktual, dan memiliki paradigma dari stratifikasi yang
berbeda-beda pula. Sehingga tidak sama sikap dan prilaku yang tampil pada
kelompok masyarakat tersebut.
Muhammad bin Ziyad, berkata: "Ketika itu aku bersama Abu
Umamah Al-Bahili ra dan sebagian sahabat Nabi Saw yang lain, lalu apabila
mereka pulang sebagian mengucapkan kepada sebagian lainnya: (Taqabbalallahu
minna waminkum) (Semoga Allah menerima amal kami dan kalian), Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
"Sanadnya baik." Dari Ibnu At-Turkimani dalam kitabnya Al-Jauhar An-Naqiy Hasyiah
Al-Baihaqi (3/320-321).
Wiegers, Gerard. "Ritual". Encyclopedia
of Islam and the Muslim world, hal. 600, Di Indonesia sering
mengucapkan doa Minal 'Aidin wal-Faizin, sebenarnya itu adalah tradisi
masyarakat Asia Tenggara. Menurut sebagian besar ulama ucapan tersebut tidak berdasarkan dari ucapan Nabi
Muhammad Saw. Adapun ucapan yang disunnahkan olehnya adalah
Taqabbalallahu minna wa minkum.
Menurut
Nurcholish Madjid dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta:
Paramadina, 1994), h.182, Lebaran adalah suasana kemanusiaan, sesungguhnya pada
hari itu kita dituntut untuk mampu menunjukkan nilai kemanusiaan kita
masing-masing “in optima forma”, dalam
bentuk yang setinggi-tingginya. Sikap hidup dengan rasa kemanusiaan yang tinggi
ini disebut dalam alquran sebagai “al-aqabah”, yakni jalan yang
sulit tapi mulia dan benar. Lihat QS. Al-Balad [90]: 11-17.
0 komentar:
Post a Comment