Pages

Saturday, October 17, 2015

Idul Fitri Dalam Konteks Kekinian oleh: Edi Sucipno



Idul Fitri Dalam Konteks Kekinian
Oleh: H. Edi Sucipno, MA[1]

Pendahuluan
Bagi muslim yang diterima puasanya karena mampu menundukan hawa nafsu duniawi selama bulan Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh keikhlasan, maka Idul Fitri adalah hari kemenangan sejati, dimana hari ini Allah Swt akan memberikan penghargaan teramat istimewa yang selalu dinanti-nanti oleh siapapun, termasuk para nabi dan orang-orang shaleh, yaitu ridha dan magfirah-Nya, sebagai ganjaran atas amal baik yang telah dilakukannya.[2] Allah Swt juga pernah berjanji, tak satupun kaum muslimin yang berdoa pada hari raya Idul Fitri, kecuali akan dikabulkan.[3]
Pertanyaannya, kira-kira puasa kita diterima apa tidak? Atau yang kita lakukan ini hanya ritual-simbolik, sebatas menahan lapar dan haus, seperti yang pernah disinyalir Nabi Muhamad Saw? Jawabnya, Allahu ‘alam, kita tak tahu sejatinya. Tapi menurut para ulama, ada beberapa indikasi, seseorang dianggap berhasil dalam menjalankan ibadah puasa: ketika kualitas kesalehan individu dan sosialnya meningkat. Ketika jiwanya makin dipenuhi hawa keimanan. Ketika hatinya sanggup berempati dan peka atas penderitaan dan musibah saudaranya di ujung sana. Artinya penghayatan mendalam atas Ramadhan akan membawa efek fantastik, individu, maupun sosial.
Penghayatan dan pengamalan yang baik terhadap bulan ini akan mendorong kita untuk kembali kepada fitrah sejati sebagai makhluk sosial, yang selain punya hak, juga punya kewajiban, individu dan sosial. Sudahkan kita merasakannya? Itulah rahasia kenapa selamat hari raya Idul Fitri seringkali diakhiri dengan ucapan Minal ‘Âidîn wal Faizîn[4] (Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali pada fitrah sejati manusia dan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat). Selain sebagai doa dan harapan, ucapan ini juga bak pengingat, bahwa puncak prestasi tertinggi bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa paripurna, lahir dan bathin, adalah kembali kepada fitrahnya (suci tanpa dosa).

Arti dan Makna Idul Fitri
Idul Fitri (Bahasa Arab: عيد الفطر ‘Īdul-Fiṭr) adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada penanggalan Hijriyah. Karena penentuan 1 Syawal yang berdasarkan peredaran bulan tersebut, maka Idul Fitri atau Hari Raya Puasa jatuh pada tanggal yang berbeda-beda setiap tahunnya apabila dilihat dari penanggalan Masehi. Cara menentukan 1 Syawal juga bervariasi, sehingga boleh jadi ada sebagian umat Islam yang merayakannya pada tanggal Masehi yang berbeda.
Bagi sebagian orang di Indonesia, khususnya umat muslim, Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran[5] begitu sangat identik dengan tradisi mudik, halal bihalal, kesuka citaan, hidangan kue lebaran dan lain sebagainya. Namun apakah makna sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri? Makna Idul Fitri itu sendiri memiliki beberapa pengertian dan pemaknaan, di antaranya yaitu:
Idul Fitri diartikan sebagai puncak atau klimaks dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Idul Fitri sendiri memiliki keterkaitan makna dengan tujuan akhir yang ingin diraih dari pelaksanaan kewajiban berpuasa. Idul Fitri secara bahasa atau etimologi bisa berarti Hari Raya Kesucian atau bisa juga diartikan sebagai Hari Kemenangan umat Islam. Kemenangan disini adalah bentuk dari kemenangan dalam menggapai kesucian atau perwujudan dari kembali kepada keadaan  fitrah.[6]
Fitrah berarti kesucian, ini dapat dipahami bahkan dirasakan maknanya pada saat anda duduk termenung seorang diri. Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajak anda untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suara totalitas wujud Yang Maha Mutlak, yang mengantar anda untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, dan betapa kuasanya dan perkasa Dia Yang Maha Agung itu. Suara yang anda dengarkan itu adalah suara fitrah manusia, yakni suara kesucian. Hal ini dilukiskan oleh Ibn Sina dalam Al-Isyarat wa Al-Tanbihat.[7]
Dari penjabaran tersebut berarti kata Idul Fitri atau kembali kepada fitrah merupakan pengertian yang sangat relevan atau berhubungan dengan makna sebenarnya dari keberhasilan yang diperoleh setelah berakhirnya pelaksanaan ibadah puasa. Beberapa sumber juga menganalogikan Idul Fitri atau Lebaran sebagai jalan menuju kepada keadaan fitrah manusia layaknya seperti seorang bayi yang baru dilahirkan, bersih dan tanpa dosa. Hal tersebut merujuk pada perjanjian awal atau "Perjanjian Primordial"[8] yang berisi pengakuan manusia terhadap Ke-Esa-an Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut di sembah.
Pengertian atau makna dari Idul Fitri (Lebaran) yang berikutnya adalah: Idul Fitri merupakan penggabungan kata "Ied" yang berarti Hari Raya dan "Fitri" yang artinya berbuka puasa. Jadi Idul Fitri bisa juga diartikan sebagai hari berbuka secara massal kaum muslimin setelah sebulan lamanya menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Kebahagiaan yang dirasakan pada saat menjelang waktu berbuka puasa di waktu maghrib selama sebulan seakan dimanifestasikan pada tanggal 1 Syawal di Hari Raya Idul Fitri. Idul Fitri merupakan bentuk dari pengekspresian sebagai ”Iduna Ahlil Islam”, sabda Nabi, (Hari Raya kami penganut Islam) sebab Hari Raya Idul Fitri adalah hari makan-minum serta bersuka cita.
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ سَمِعَ أَبَا عُبَيْدٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ أَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صَوْمِكُمْ وَأَمَّا يَوْمُ الْأَضْحَى فَكُلُوا مِنْ لَحْمِ نُسُكِكُمْ


Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dia mendengar Abu Ubaid berkata; aku menghadiri shalat 'Aid bersama Umar, kemudian dia memulai dengan shalat sebelum khutbah dan berkata; "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang berpuasa pada dua hari ini, adapun hari Aidul fitri adalah hari berbukanya kalian dari berpuasa, adapun hari Aidul Adlha makanlah daging kurban kalian."

Oleh karena Idul Fitri bermakna Hari bersuka cita, maka pada hari besar itu semua harus terbebas dari kesedihan, kesusahan dan jangan sampai ada orang yang meminta-minta. Makna sebenarnya dari kalimat tersebut adalah diwajibkan bagi umat muslim yang mampu untuk membayar zakat yang berupa zakat fitrah kepada fakir miskin sebagai bentuk dari berbagi kebahagiaan dari mereka yang tidak berpunya agar bisa merasakan suka cita pada hari tersebut.
Al-Wa'ily menyebutkan bahwa terdapat empat jenis arti dari kata "Ied":
1.    Ied bermakna kembali dalam arti rutinitas tahunan.
2.    Ied bermakna rahmat. Allah Swt kembali memberikan rahmat, ampunan, rezeki, dan berkah-Nya kepada manusia lebih banyak di hari Ied.
3.    Ied bermakna saling kembalinya (mengunjungi) kepada sesama manusia dengan saling memberi satu sama lain.
4.    Ied bermakna majazi sebagai hari paling mulia.
Dalam alquran ada disebut mengenai kata 'Ied, yaitu ketika alquran mengisahkan mengenai Nabi Isa as., sebagai berikut:
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ  

Artinya:
"Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama"
Kata 'ied dalam konteks ayat di atas diartikan sebagai hari raya, hari yang berbeda dari hari-hari biasa.
Arti 'Ied yang lebih jelas dapat dilihat dari perkataan Ali ibn Abi Thalib ra yang diucapkan juga oleh Hasan al-Bishri, berikut ini:
كل يوم لامعصية الله فيه فهو عيد.
Artinya:
"Setiap hari di mana tidak dilakukan maksiat kepada Allah Swt maka hari itu adalah hari 'Ied".
Maksud dari perkataan Ali ibn Abi Thalib ra di atas adalah, bahwa hari Ied adalah hari di mana manusia tidak melakukan maksiat kepada Allah Swt. Hal ini lebih luas cakupannya bukan hanya di hari raya Idul Fitri, tetapi juga di hari-hari lain. Ketika dalam sehari-hari kita tidak berbuat maksiat kepada Allah Swt maka jiwa kita tetap pada kondisi 'ied, yaitu terbebas dari dosa atau terjaga kesuciannya.
Idul Fitri dalam hadis lain dimaknai sebagai hari "kembali pada kesucian", bahkan disebut kembali suci sebagaimana pada saat bayi dikeluarkan dari rahim ibunya:
عن أبى سلمة بن عبدالرحمن بن عوف قال:  حدثني أبي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: (إن الله عز وجل فرض عليكم صيام رمضان، وسننت لكم قيامه، فمن صامه إيمانا واحتسابا خرج من ذنوبه كيوم ولدته أمه (اخرجه الطبراني).
Artinya:
"Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla telah mewajibkan bagi kalian berpuasa di bulan Ramadhan, dan mensunatkan shalat malam, maka barangsiapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan berserah diri, akan terbebas dosa-dosanya bagaikan bayi yang dilahirkan dari rahim ibunya"
Segala dosa yang menjadi kotoran jiwa dan badan akan menjadi suci kembali. Inilah keistimewaan utama puasa sebagai zakat badan, sebagai pembersih jasad/badan yang bersifat bukan fisik. Melainkan badan yang terdiri dari daging, lemak, dan lain-lain yang tumbuh dari hasil usaha manusia yang boleh jadi syubhat atau dari barang haram.
Dari pengertian 'ied di atas, sudah sepantasnya momentum Idul Fitri dipahami sebagai momentum pembinaan karakter individual yang berefek pada karakter sosial. Masyarakat dibentuk oleh individu-individu. Basis masyarakat Islam adalah individu. Individu mencerminkan kehidupan sosial. Jika individu sebagai anggota dari masyarakat sosialnya baik maka masyarakatnya pun akan baik.
Puasa jika dilihat dari dhahirnya merupakan ibadah individual karena hanya dirinyalah yang tahu dirinya berpuasa ataukah tidak. Tetapi jika digali lebih jauh, karena masyarakat dibentuk oleh individu, maka puasa yang tujuannya melatih individu muslim, jelas memiliki output yang nyata bagi kehidupan sosial yang lebih luas.
Seseorang yang berhasil dalam puasanya dapat dilihat dari keseharian setelah menjalani puasa di hari-hari atau bulan yang lain selain Ramadhan. Ramadhan adalah semacam sekolah ruhani, implementasi nyatanya adalah pada hari-hari setelahnya. Jika dalam puasa tidak boleh menggunjing dan mengadu domba orang lain, maka orang yang berhasil dalam puasanya tidak akan melakukan hal itu di hari yang lain. Inilah tonggak utama dalam pembentukan karakter sosial.

Idul Fitri dalam Konteks Kekinian
Idul fitri dalam konteks kekinian dipahami sebagai suatu sikap masyarakat Islam yang sedang merayakan hari raya pada situasi sekarang ini atau pola hidup dan prilaku masyarakat Islam saat ini.
Jika kita melihat dan mengamati secara umum, pola hidup dan prilaku masyarakat Islam saat ini yang sedang melaksanakan hari raya sangat identik dengan pola hidup yang konsumtif dan mubajir, hal ini ditandai dengan kecenderungan masyarakat yang lebih mengutamakan kemewahan dan kemegahan dalam segala aspek kehidupan dunia untuk memenuhi kebutuhan skunder seperti baju baru, rumah baru, rekreasi ke tempat hiburan yang kurang mengandung manfaat bahkan lebih terlihat pernak pernik kemewahan yang ada di dalam rumah tangganya. Padahal sikap dan pola hidup berhari raya dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw tidaklah seperti itu.
Setidaknya ketika kita merayakan Idul Fitri minimal ada  beberapa sikap yang harus kita lakukan yaitu:
1.        Adanya rasa penuh harap kepada Allah Swt (Raja’). Harap akan diampuni dosa-dosa yang berlalu. Janji Allah Swt akan ampunan itu sebagai buah dari “kerja keras” sebulan lamanya menahan hawa nafsu dengan berpuasa.
2.        Melakukan evaluasi diri pada ibadah puasa yang telah dikerjakan. Apakah puasa yang kita lakukan telah syarat dengan makna, atau hanya puasa menahan lapar dan dahaga saja di siang bulan Ramadhan kita berpuasa, tetapi hati kita, lidah kita tidak bisa ditahan dari perbuatan atau perkataan yang menyakitkan orang lain.
3.        Mempertahankan nilai kesucian yang baru saja diraih. Tidak kehilangan semangat dalam ibadah karena lewatnya bulan Ramadhan, karena predikat taqwa seharusnya berkelanjutan hingga akhir hayat.
4.        Melakukan kembali berpuasa dibulan syawal sebanyak enam hari kecuali di awal syawal upaya melengkapi dan sekaligus meningkatkan amal ibadah kita.
5.        Berusaha untuk membangun komitmen dalam diri dalam meningkatkan (makna syawal) atau perbaikan (islah) yakni: islahul aqidah, ibadah, akhlak dan jamaah.

Tradisi yang lebih dikenal saat hari raya idul fitri disebut dengan istilah halal bihalal. Halal bihalal adalah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal, diimpit oleh satu huruf (kata penghubung) ba’ (baca/bi), yakni “acara maaf-memaafkan pada hari lebaran”, maka dalam halal bihalal terdapat unsur silaturahim.
Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata bahasa Arab, shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata washl yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”. Ini berarti hanya yang putus dan terserak yang dituju oleh shilat itu. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti “kasih sayang”, kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.
Salah satu bukti yang paling konkret tentang silaturahim yang berintikan rasa rahmat dan kasih sayang itu adalah pemberian yang tulus. Karena itu, kata shilat diartikan pula dengan “pemberian” atau “hadiah”.
Sabda Nabi Saw:
حَدَّثَنَا يَعْلَى حَدَّثَنَا فِطْرٌ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّحِمَ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ وَلَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا انْقَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ya'la telah menceritakan kepada kami fithr dari Mujahid dari Abdullah bin Amr dia berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya kasih sayang (hubungan silaturahim) itu bergantungan dengan Arsy. Dan Al Washil (orang yang menyambungnya) bukanlah mereka yang memenuhi (kebutuhan) akan tetapi Al Washil itu ialah siapa yang menyambungnya ketika (hubungan silaturahim itu) terputus."

Istilah halal bihalal, tidak ditemukan dalam alquran dan hadis, istilah ini memang khas Indonesia. Menurut penulis, istilah ini dapat menimbulkan makna yang berbeda dari paradigma setiap orang yang akan memberikan interpretasinya.
Jika dilihat dari segi hukum, kata halal adalah lawan dari kata haram. Haram adalah “sesuatu yang terlarang” atau “suatu aktivitas mukallaf  yang melahirkan dosa dan dapat mengakibatkan siksa”.
Halal, yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal, akan memberi kesan bahwa dengan acara tersebut mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa. Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum, menjadikan sikap kita yang tadinya haram, atau yang tadinya berdosa, menjadi halal, atau tidak berdosa lagi.
Tinjauan berikutnya dari segi linguistik, kata halal, berakar dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain adalah “menyelesaikan problem atau kesulitan”,  atau “meluruskan benang kusut”,  atau “mencairkan yang membeku”, atau “melepaskan ikatan yang membelenggu”. Dengan demikian, kalau kita pahami, seakan-akan kita menginginkan adanya sesuatu yang mengubah hubungan kita yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dan dari yang terikat menjadi terlepas atau bebas, walaupun kesemuanya yang disebut  di atas belum tentu haram.
Pengertian kebahasaan (lingustik) ini ditunjang dan dilengkapi dengan pengertian ketiga, yakni dari tinjauan Qurani serta kesan-kesan penggunaan kata halal dalam alquran.
Dalam alquran, kata halal dapat ditemukan dalam 6 (enam) ayat, yang terdapat dalam 5 (lima) surah. Dua di antaranya dirangkaikan dengan kata haram, dan dikemukakan dalam konteks kecaman (negatif). Sedangkan 4 (empat) sisanya selalu dirangkaikan dengan kata kulu (makanlah) dan kata thayibbah (yang baik)
Dari ketiga sudut pandangan di atas, baik dalam segi hukum, bahasa dan konteks qurani, maka makna halal bilhalal memiliki kesan bukan saja menuntut seseorang agar memaafkan orang lain, tetapi juga agar berbuat baik terhadap siapapun. Itulah landasan filosofis dari semua aktivitas manusia yang dituntut oleh alquran, dan itu juga yang harus menjadi landasan filosofis bagi setiap yang melaksanakan hahal bihalal. Hal tersebut sekaligus juga berarti bahwa hakekat yang dituju oleh acara halal bihalal tidak harus dibatasi waktunya saat beridul fitri, tetapi setiap saat yang menyangkut segala aktivitas manusia. Walaupun memang harus diakui bahwa acara maaf-memaafkan dan silaturahim itu sangat sesuai dengan hakikat “Idul Fitri”.

Penutup
Analisa kajian idul fitri dalam konteks kekinian sangat luas dan bermakna generalisasi, oleh karenanya penulis ini mengajak kita semua lebih cermat dan teliti dalam mengamati fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat yang heterogen secara faktual, dan memiliki paradigma dari stratifikasi yang berbeda-beda pula. Sehingga tidak sama sikap dan prilaku yang tampil pada kelompok masyarakat tersebut.




 Disampaikan pada Muzakarah Ramadhan 1434 H, Sabtu, 18 Ramadhan 1434 H bertepatan 27 Juli 2013 M, Penulis adalah Sekretaris DP MUI Kab. Asahan.
 Muhammad bin Ziyad, berkata: "Ketika itu aku bersama Abu Umamah Al-Bahili ra dan sebagian sahabat Nabi Saw yang lain, lalu apabila mereka pulang sebagian mengucapkan kepada sebagian lainnya: (Taqabbalallahu minna waminkum) (Semoga Allah menerima amal kami dan kalian), Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Sanadnya baik." Dari Ibnu At-Turkimani dalam kitabnya Al-Jauhar An-Naqiy Hasyiah Al-Baihaqi (3/320-321).
 QS. Al-Baqarah [2]: 186
 Wiegers, Gerard. "Ritual". Encyclopedia of Islam and the Muslim world, hal. 600,                 Di Indonesia sering mengucapkan doa Minal 'Aidin wal-Faizin, sebenarnya itu adalah tradisi masyarakat Asia Tenggara. Menurut sebagian besar ulama ucapan tersebut tidak berdasarkan dari ucapan Nabi Muhammad Saw. Adapun ucapan yang disunnahkan olehnya adalah Taqabbalallahu minna wa minkum.
 Menurut Nurcholish Madjid dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1994), h.182, Lebaran adalah suasana kemanusiaan, sesungguhnya pada hari itu kita dituntut untuk mampu menunjukkan nilai kemanusiaan kita masing-masing  “in optima forma”, dalam bentuk yang setinggi-tingginya. Sikap hidup dengan rasa kemanusiaan yang tinggi ini disebut dalam alquran sebagai “al-aqabah”, yakni jalan yang sulit tapi mulia dan benar. Lihat QS. Al-Balad [90]: 11-17.
 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), h. 320.
 Disadur dari Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kutub Al-Lubnaniy, 1982, h. 430.
 Lihat QS. Al-A’raf [7]: 172.
 HR. Ahmad No. 158.
 الكتب » حلية الأولياء وطبقات الأصفياء » من الطبقة الأولى من التابعين » الحسن البصري
 QS. Al-Maaidah [5]: 114.
 HR. Thabrani
 مجموعة الخطبات احمد الوائلى
 KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
 Menurut Nurcholish Madjid dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 204,  kemewahan dan kemegahan adalah sumber malapetaka dan bahkan sebagai perbuatan syetan, makhluk kejahatan. Lihat QS. Al-Isra’[17]: 16 dan 27.
 HR. Ahmad No. 6873  مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
 Ungkapan Umar bin Khathab
 Lihat QS. Ali Imran [3]: 102.
 HR. Ahmad No. 6873   مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَسِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَقَدْ صَامَ الدَّهْرَ
 KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
 HR. Ahmad No. 6238.
 Lihat QS. Al-Nahl [16]: 116 dan QS. Yunus [10]: 59.
 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 168, QS. Al-Anfaal [8]: 69, QS. Al-Maidah [5]: 88 dan QS. Al-Nahl [16]: 114.

0 komentar:

Post a Comment