Pages

Thursday, October 22, 2015

HUKUM ISLAM



HUKUM ISLAM

 A.      Pendahuluan

Berbicara mengenai hukum secara sederhana segera terlintas dibenak kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan maupun norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang  di dalam masyarakat atau peraturan yang sengaja dibuat oleh penguasa dengan bentuk dan cara tertentu. Bentuknya mungkin berupa hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat yang dipakai di Indonesia. Konsepsi perundang-undangan Barat yang diatur oleh hukum hanya semata-mata hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda dalam masyarakat .
Ketika mengkaji tentang Islam, aspek yang ada didalamnya tidak lepas membicarakan tentang hukum (peraturan) yang ada di dalam Islam itu sendiri, aspek hukum di dalam Islam biasa disebut dengan hukum Islam yang punya konsep dasar dan hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur tentang  hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya baik itu hubungan dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat serta dengan alam sekitar.
            Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Alqur’an dan Sunnah yang menjadi bagian dari agama Islam, sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, kadang kala membingungkan kalau tidak tahu persis maknanya, dalam kajian makalah studi hukum Islam ini penulis akan mengawali  pembahasan dari istilah-istilah kunci dalan hukum Islam (Syari’ah, Fiqh, Ushul Fiqh, Mazhab, Fatwa, Qaul), Islam sebagai norma hukum dan etika, Mazhab utama dan pendekatan hukum yang mereka pakai terhadap kajian hukum Islam sampai kepada disiplin-disiplin utama studi hukum dan cabang cabangnya serta yang terakhir mengenai tokoh dan karya terpenting dalam perkembangan mutakhir kajian-kajian hukum Islam.

B.       Pengertian Syari’ah, Fiqh, Ushul Fiqh, Mazhab, Fafwa dan Qawl
  1. Pengertian Syari’ah
Secara etimologi syari’ah mempunyai dua pengertian, pertama syari’ah berarti jalan yang lurus.[1] Hal ini seperti yang dinyatakan Allah dalam Alqur’an pada surah al-Jastsiyah ayat 18:
Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah maka ikutilah jalan yang lurus itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.[2]
Kedua syari’ah adalah sumber jalan air mengalir atau air mengalir yang digunakan untuk minum. Ini seperti perkataan orang Arab:
شرعت الابل dikatakan unta itu keluar menuju sumber air untuk minum.[3]
            Kata syari’ah muncul dalam beberapa ayat Alqur’an seperti pada surah al-Maidah: ayat 48:
Artinya: dan Kami telah turunkan kepadamu Alqur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan jalan kebenaran yang telah datang kepadamu.[4]

Surah al-Syura ayat 13:
Artinya: Syari’ah mengandung arti “jalan yang jelas membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini syari’ah dipandang sebagai agama yang ditetapkan Allah untuk manusia sebagai jalan untuk menuju jalan kemenangan. Kesamaan syari’ah dengan air adalah barang siapa mengikuti syari’ah ia akan mengalir dan membersihkan jiwanya.[5]
             Makna yang terkandung dari kata syari’ah sebagai jalan air adalah bahwa syari’ah itu mampu membersihkan jiwa manusia seperti air membersihkan kotoran. Allah menjadikan air penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan, demikian juga Allah menjadikan syari’ah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia.[6] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa syari’ah adalah segala khitab Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia, atau dengan kata lain syari’ah merupakan nama aturan atau hukum yang diturunkan Allah yang bersifat amaliah.[7]
Menurut para ahli ahli, defenisi syari’ah adalah segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlak, dengan demikian syari’ah adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amalaiah. Para fuqaha mengartikan syari’ah merupakan hukum yang ditetapkan Allah untuk hambanya, agar mereka beriman dan mendapatkan kebahagian dan diakhirat.[8]
            Selanjutnya syari’ah mengandung dua makna, yakni dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas syari’ah dimaksudkan sebagai keseluruhan ajaran dan norma-norma yang dibawa oleh nabi Muhammad yang mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek kepercayaannya maupun dalam aspek tingkah laku praktisnya. Singkatnya syari’ah adalah ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri, yang dibedakan menjadi dua aspek: ajaran tentang kepercayaan (akidah) dan ajaran tentang tingkah laku (amaliah).
            Dalam arti sempit syari’ah merupakan kumpulan ajaran atau norma yang mengatur tingkah laku manusia secara konkrit. Syari’ah dalam arti sempit inilah diidentikkan dan diterjemahkan sebagai hukum Islam, hanya saja syari’ah lebih luas dari sekedar hukum pada umumnya, karena syari’ah tidak saja meliputi norma hukum itu saja tetapi juga norma etika dan kesusilaan, norma sosial, dan norma keagamaan seperti ibadah yang diajarkan dalam agama Islam.
             Untuk memudahkan dalam memahami tentang syari’ah ini, penulis memberikan satu pemahaman bahwa syari’ah merupakan tuntunan, bimbingan, dan sapaan Ilahi kepada manusia sebagai subjeknya yang menyangkut tentang akidah, ibadah, dan akhlak yang bersumber kepada Alqur’an dan Hadits Rasul dengan tujuan agar manusia selamat dan akhira.

2.      Pengertian Fiqh
Kata fiqh berasal dari bahasa Arab al-fiqh yang mengandung arti tahu atau paham.[9] Sebagai istilah, fiqh dipakai dalam dua arti: dalam arti ilmu hukum (jurisprudence) dan dalam arti hukum itu sendiri (law).
Fiqh dalam arti ilmu hukum Islam mengandung arti suatu cabang studi yang mengkaji norma-norma syari’ah dalam kaitannya dengan tingkah laku konkret manusia dalam berbagai dimensi hubungannya. Baik hukum-hukum itu ditetapkan langsung di dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi maupun yang merupakan hasil ijtihad, yaitu interpretasi dan penjabaran oleh para ahli hukum Islam (fuqaha) terhadap kedua sumber yaitu Alqur’an dan Sunnah Nabi.
            Secara defenitif fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili. Dalam defenisi ini fiqh diibaratkan dengan ilmu fiqh, karana fiqh itu sendiri semacam ilmu pengetahuan. Fiqh tidak sama dengan ilmu seperti disebut diatas, karena fiqh bersifat zhanni.
Secara harfiah, fiqh artinya pemahaman. Sedangkan menurut terminologi, fiqh diartikan sebagai “ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang amaliyah (praktis), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci”. Dengan demikian fiqh bukanlah Alqur’an, bukan Hadits, dan bukan pula agama. Melainkan fiqh adalah pemahaman. Tepatnya pemahaman seorang mujtahid terhadap Alqur’an atau terhadap Hadits. Jadi, boleh dikatakan, fiqh adalah tafsir Alqur’an maupun tafsir Hadits. Khususnya yang berkaitan dengan amaliyah.

3.      Ushul Fiqh
Ushul fiqh terdiri dari dua kata yakni ushul dan fiqh dalam arti etimologi bahasa Arab, kata ushul merupakan jamak dari kata ashl yang berarti asal, dasar, sumber, asas, pokok, atau landasan. Ia juga merupakan lawan dari kata far’ yang bermakna cabang atau bagia. Sedangkan fiqh secara etimologi berarti paham atau mengerti.
Adapun (الأصل) secara terminologi yang digunakan para ulama memiliki beberapa arti, yaitu:

1.      Dalil, misalnya:
الأصل فى هذالمسألة الكاب والسنه
Dalil dalam masalah ini adalah Alqur’an dan dalil Sunnah
2.      kaidah yang berlaku, misalnya:
اباجة الميت للمضطرعلى خلاف الأصل
Dibolehkan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa (darurat) itu bertentangan dengan kaidah yang berlaku.
3.      Suatu bentuk yang analog (qiyas), mislanya:
الخمر اصل النبيذ
Hukum arak itu diqiyaskan dengan hukumnya perasan anggur
            Selanjutnya para ulama seperti Ibn Hajib, Ibn Qudamah, al-Thufi dan lain-lain mendefenisikan ushul fiqh adalah:
العلم بالأدلة الاجمالية التى تبنى عليهاالعلم بالأحكم الشرعية العملية المكتسب من أدلتهاالتفصلية
“Ilmu dengan dalil-dalil globalnya yang merupakan pondasi bagi ilmu dengan hukum-hukum syara’ amali (ilmu fiqh) yang diambil dari dalil-dalil rinci”.[10]
            Dengan demikian usul al-fiqh adalah ilmu tyang digunakan untuk memperoleh pemahaman tentang maksud syari’ah, atau usul al-fiqh merupakan suatu sistem (metodologi) dari ilmu fiqh untuk menetapkan suatu hukum yang bersumber kepada Alqur’an dan Sunnah.

4.      Mazhab
Madzhab (الْمَذْهَبُ) berasal dari kata ذهب, يذهب, ذهابا, وذهوبا, ومذهبا yang berarti “pergi menurut tujuan dan jalannya”. Dan menurut istilah syari’at yaitu: “Kumpulan dari hasil penelitian ilmiyah para ulama yang terikat oleh suatu metode tertentu”.[11]
Mazhab menurut istilah adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Alqur’an dan Hadit.[12] Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam muztahid dalam memecahkan masalah atau mengistimbathkan hukum Islam.
Selanjutnya, mazhab berkembang menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istimbath imam mujtahid tertantu tentang pendapat mereka yang berkaitan dengan masalah hukum Islam. Upaya yang sungguh-sungguh untuk dapat menghasilkan suatu kesimpulan hukum berdasarkan dalil-dalilnya disebut ijtihad (الإِجْتِهَادُ), dan orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid (الْمُجْتَهِدُ).[13] Dan mujtahid yang memiliki metode ijtihad sendiri disebut dengan mujtahid muthlaq atau pencetus madzhab, seperti : Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Dawud Azh-Zhohiri dan lain-lainnya.[14] Sedangkan para ‘ulama yang berijtihad dengan mengikuti metode seorang mujtahid muthlaq disebut dengan mujtahid muqoyyad atau imam madzhab.
Penggunaan ijtihat dalam rangka merumuskan hukum terhadap kasus-kasus baru yang tidak diatur secara tegas oleh nass, Rasul telah melegitimasi praktek ijtihat tersebut melalui Hadits beliau yaitu ketika beliau mengutus Mu’adz untuk menggunakan ijtihat dalam menyelesaikan kasus-kasus baru yang hukumnya tidak diatur secara tegas di dalam Alqur’an dan Sunnah.[15]
عن معاذ بن جبل قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كيف اذاعرض لك قضاء؟ قال: اقضي بكتاب الله. قال: فان لم فجد في كتاب الله؟ فسنة رسول الله. قال: فان لم فجد في سنة رسول الله ولا في كتاب الله؟ قال: أجتهد رأيى ولاالو. فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم بيده على صدره, وقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرض رسول الله (رواه أبوداود).
artinya:   dari Mua’az bin Jabal ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “bagaimana usaha kamu dalam menyelesaikan suatu masalah perkara yang diajukan kepadamu? Mua’az menjawab, akan aku putuskan berdasarkan Kitabullah (Alqur’an), kemudian nabi bertanya lagi, bagaimana jika kamu tidak menjumpai dalil-dalinya dalam Alqur’an? Mua’az menjawab, aku akan selesaikan berdasarkan dalil-dali yang ada dalam Sunnah Rasulullah, kemudian Rasulullah bertanya lagi, Bagaimana seandainya tidak kamu dapati dari Alqur’an dan Sunnah untuk menyelesaikanya? Mua’z menjawab, aku akan berijtihat dengan menggunakan rasioku dan mengabaikannya, kemudian Rasullah menepuk dada Mua’az, sambil bersabda, segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya terhadap apa yang direstui oleh Rasulullah. (H.R. Abu Daud).[16]

Bermadzhab tidak dilarang, meskipun juga tidak diperintahkan. Yang wajib atas seorang muslim yaitu ittiba’ (الإِتِّبَاعُ) yakni mengikuti sesuatu dengan mengetahui dalilnya, dan dilarang untuk taqlid (التَّقْلِيْدُ) yaitu mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui dalilnya.[17]

5.      Fatwa
Berbicara tentang fatwa tidak akan terlepas dari bahasan mengenai maslah ijtihad dengan segala perangkatnya. Sebab dua hal itu senantiasa memeberikan warna terhdap perubahan dan perkembangan hukum Islam dari masa ke masa. Sebuah fatwa memang lahir sebagai respon terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. fatwa tidak lahir atas pertimbangan satu orang saja, atau demi kepentingan segelintir orang. Fatwa lahir karena pertimbangan kemaslahatan umat (mashalihul ummah).[18]
Fatwa merupakan jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum suatu benda atau tindakan. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh dan usul fiqh disebut mufti, sedangkan pihak yang meminta fatwa disebut al-mustafti. Dalam kajian ushul fiqh, fatwa merupakan pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus atau benda, yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau faqih tidak mesti diikuti sekalipun oleh orang yang meminta fatwa. Dalam hal ini, fatwa lebih merupakan nasihat, namun bisa dijadikan referensi dan pertimbangan hukum oleh orang atau lembaga yang akan menggunakannya.
Mufti (pemberi fatwa), dalam kajian usul fiqh, berbeda dengan mujtahid. Mujtahid berupaya menyimpulkan (meng-istinbath) hukum dari sumber hukum Islam yang orisinal (Alquran dan Sunah) dalam berbagai kasus, baik diminta pihak lain maupun tidak.[19] Sedangkan mufti tidak mengeluarkan fatwanya, kecuali apabila diminta dan persoalan dijawab sesuai dengan pengetahuannya. Oleh karena itu, dalam menghadapi suatu persoalan hukum mufti harus benar-benar mengetahui secara rinci masalah yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemaslahatan bagi peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin dicapai dari meminta fatwa tersebut. Sebuah kaidah usul fiqh menyebutkan, "Akibat dari suatu fatwa terkadang lebih berat dari mengeluarkan fatwa itu sendiri’".[20]
Mufti berbeda dengan hakim, dilihat dari sudut kekuatan produk hukum yang dikeluarkannya. Sebagaimana disebutkan, fatwa seorang mufti tidak mengikat sekalipun kepada pihak yang meminta fatwa (al-mustafti).[21] Seseorang atau lembaga yang meminta fatwa, dan mufti memberikan jawaban hukum, boleh mengindahkan fatwa tersebut dan boleh juga menolak serta tidak mengamalkannya. Ini berbeda dengan hukum yang diputuskan hakim. Putusan hakim bersifat mengikat dan harus dilaksanakan pihak yang dihukum.
Mayoritas ulama usul fiqh lintas mazhab seperti Ibn Al-Qasim dari mazhab Maliki, Abu Yusuf dari Mazhab Hanafi, dan Abu Ibrahim Ismail Al-Muzzani dari mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa mufti boleh saja memfatwakan pendapat mujtahid yang masih hidup, dengan syarat mufti tersebut mengetahui landasan hukum serta jalan pikiran yang dipergunakan sang mujtahid yang dijadikan referensi. Adapun memfatwakan pendapat atau hasil ijtihad para mujtahid yang telah wafat (seperti dari kitab-kitab kuning yang ditulis mereka), menurut kesepakatan ulama usul fiqh, adalah boleh dengan syarat sang mufti tersebut mengetahui landasan hukum dan jalan pikiran yang dipergunakan mujtahid yang telah wafat itu. Berkenaan dengan hal ini, Al-Syafi‘i berkata, "Suatu pendapat tidak ikut wafat bersama orang yang mengemukakannya".[22]
Dibeberapa negara Islam Timur Tengah, mufti memegang peran penting dan merupakan lembaga resmi yang mengurus berbagai persoalan umat Islam, seperti di Arab Saudi, Suriah, dan Mesir. Sebagai salah satu jabatan keagamaan, mufti tidak bisa hanya terikat oleh salah satu mazhab, tetapi harus mempertimbangkan pandangan lintas mazhab, dengan mempertimbangkan kemaslahatan, sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sementara itu, di sisi lain, mufti terikat dengan perundang-undangan yang disusun negaranya. Dalam hal ini, setiap pendapat yang dikeluarkan oleh mufti tidak boleh bertentangan atau melawan isi undang-undang yang dibuat oleh negara.
Dalam praktiknya, fatwa diminta oleh al-mustafti (peminta fatwa) untuk menjawab keraguan yang menimpanya atas suatu perbuatan atau benda. Al-mustafti tidak memiliki pengetahuan penuh tentang hukum perbuatan atau benda tersebut. Dalam praktik fatwa, peminta fatwa bukan mengajukan secara langsung agar suatu tindakan atau benda dinyatakan tegas status hukumnya (seperti minta dinyatakan haram atau halal), tetapi sekadar meminta pendapat. Oleh karena itu, belum tentu pemberi fatwa (mufti) akan mengeluarkan fatwa sesuai dengan yang diinginkan oleh peminta.

  1. Qaul
Kata Qaul secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata kerja Qala-Yaqulu. Kata Qaul dapat bermakna kata yang tersusun lisan, baik sempurna maupun tidak.10 kiranya secara simpel Qaul dapat diartikan sebagai ujaran, ucapan, perkataan. Dalam istilah fiqh kata Qaul dinisbatkan kepada imam atau pemimpin suatu mazhab atau ulama fiqh yaitu berupa perkataan maupun ucapan daripada imam fiqh tersebut. Istilah ini juga dikenal dalam fiqh Imam Syafi’i, yaitu Qaul Qadim dengan Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat beliau ketika berada di Irak, sedangakan Qaul Jadid adalah pendapat beliau ketika berada di Mesir.11


C.    Islam Sebagai Sumber Norma, Hukum dan Etika
Islam sebagai agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-Nya merupakan agama yang mencakup seluruh aspek hidup atau kehidupan manusia diantaranya sebagai sumber norma, hukum dan etika hidup manusia, norma dalam artian kata adalah kaidah yakni tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.12 Pengertian norma erat dengan pengertian hukum. Maka pembicaraan seputar Islam sebagai norma, hukum, dan etika tidak lepas kaitannya dengan sumber norma, hukum, etika dalam Islam itu sendiri.
Adapun sumber norma dan hukum dalam Islam yang pokok ada dua yaitu, Alqur’an dan Sunnah, disamping kedua pokok terdapat pula sumber tambahan yaitu, Ijtihad.
a.      Alqur’an
            Alqur’an merupakan sumber azasi yang pertama norma dan hukum dalam Islam, ialah kitab kodifikasi firman Allah kepada umat manusia. Pada garis besarnya Alqur’an memuat Akidah, Syariah (Ibadah dan Muamalah), Akhlak, kisah-kisah lampau berita-berita yang akan datang serta berita-berita dan pengetahuan lainnya.
b.      Sunnah
            Sunnah (Sunnatun Rasul) sumber azasi yang kedua norma dan nilai dalam Islam, ialah segala ucapan, perbuatan dan sikap Muhammad SAW sebagai rasul Allah, yang berfungsi sebagai penafsir dan pelengkap bagi Alqur’an .
c.       Ijtihad
            Ijtihad, sumber tambahan norma, hukum nilai dan etika dalam Islam, ialah usaha sungguh-sungguh seseorang atau beberapa orang tertentu, yang memiliki syarat-syarat tertentu untuk memastikan kepastian hukum secara tegas dan positif yang tidak terkandung dalam Alqur’an dan Sunnah.13
            Secara garis besar berbicara tentang Islam sebagai norma hukum dan etika maka tidak lepas pula pembicaraan tersebut mengacu pada tiga hal pokok diatas yang mana ketiganya merupakan rujukan, tolak ukur dan panduan ummat Islam dalam kehidupan mulai dari hal yang terkecil sampai kepada hal yang terbesar dalam mengarungi kehidupan ini. Ketiga bidang di atas baik itu norma, hukum dan etika yang dalam Alqur’an, etika disebut dengan akhlak. Adapun konsep akhlak dalam Islam lebih luas cakupannya dari pada konsep etika yang biasa kita kenal selama ini, semua ini tidak terlepas dari isi Alqur’an, Sunnah serta Ijtihad seperti yang telah diuraikan di atas.14
            Lebih lanjut bisa dijelaskan bahwa apabila dilihat dari ilmu hukum, Syari’at merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Norma-norma hukum dasar ini dijelaskan dan dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Agama Islam meliputi juga akhlak, atau etika yang berarti perangai, sikap, tingkah laku watak, budi pekerti, yang berkenaan dengan sikap dan perbuatan manusia terhadap Tuhan dan sesama makhluk ciptaan Tuhan.
            Dalam pengertian modern hukum adalah aturan yang hanya dapat diberlakukan oleh otoritas politik, sementara para ulama Islam memahamkan hal ini sebagai: setiap tindak tanduk dan perilaku manusia bahkan kegiatan nurani manusia sekalipun syari’ah juga berkepentingan dengan niat, seperti ada pada pelaksanaan sholat, puasa, berzakat, sebagaimana pula pada pelaksanaan hukum keluarga dan pidana.
            Di dalam Islam iman bukanlah doktrin teologi yang dogmatis, atau bukan keyakinan intelektual, atau bukan pula proposisi filosofis. Ia justru harus diwujudkan dalam suatu tindakan kegiatan sehari-hari, yang meluap dari sikap bathin menjadi sikap lahiriyah, dari skala pribadi memancar berskala masyarakat, dan dari moral ke hukum adalah syari’ah yang mewujudkan citra imani dan moral menjadi sasaran-sasaran bentuk-bentuk dan kode-kode yang gamblang terumuskan, layak, serta nyata, yang ada dalam jangkauan setiap perorangan dalam mewujudkannya. Inilah salah satu alasan pula bahwa ia merupakan salah satu karunia dan rahmat Allah yang terbesar dan juga salah satu sarana untuk mencapai kemajuan kemanusiaan.15
            Hanya manusialah yang bisa dan wajib untuk mewujudkan citra iman dan moral ke dalam tindakan dan amalan. Sebagian orang telah berusaha memisahkan kedua hal tersebut, sedang sebagian lainnya telah terjerumus ke dalam perbincangan filsafat yang tiada akhir. Bahkan mutakhirnya tidak mampu lagi merumuskan apakah yang etis, bermoral, beretika, ataupun yang baik. Inilah sekilas penjelasan bahwa Islam merupakan sumber norma hukum dan etika yang ketiganya harus tumbuh dan berkembang dalam bentuk tindakan  manusia. 
           
D.    Mazhab Hukum Utama dan Pendekatan Mereka Terhadap Kajian Hukum
Mazahib (aliran-aliran) dan arti secara sastranya adalah “jalan untuk pergi”. Dalam karya-karya tentang agama Islam, istilah mazahab erat kaitannya dengan hukum Islam adapun mazhab hukum yang terkenal sampai saat ini ada 4 mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali. Ini adalah hanya beberapa mazhab yang ada dalam Islam dan mereka bukanlah hukum sunni yang refresentatif karena sejak dari abad pertama sampai kepada permulaan abad keempat tidak kurang dari 19 mazhab hukum atau lebih dalam Islam yang dalam arti kata muslim terdahulu tidak henti-hentinya untuk menyesuaikan hukum dengan peradaban yang berkembang.16
            Timbulnya mazhab-mazhab ini disebabkan oleh beberapa faktor yang oleh Ali As-Sais dan Muhammad Syaltut mengemukakanya :
-          Perbedaan dalam memahami tentang lafaz Nash
-          Perbedaan dalam memahami Hadist
-          Perbedaan dalam memahami kaidah lughawiyah Nash
-          Perbedaan tentang Qiyas
-          Perbedaan tentang penggunaan dali-dalil hukum
-          Pebedaan dalam pemahaman Illat hukum
-          Perbedaan dalam masalah Nasakh.17
            Berbagai kemungkinan yang menjadi penyebab timbulnya selain yang dikemukakan di atas, lahirnya mazhab juga terjadi karena perbedaan lingkungan tempat tinggal mereka, para fuqaha’ terus mengembangkan istinbath hukum yang  mereka gunakan secara individu dari berbagai persoalan hukum yang mereka hadapi dan metode yang mereka gunakan terus melembaga dan terus di ikuti oleh para pengikutnya yaitu para murid-murid mereka.
Mazhab hukum yang terkenal dan pendekatannya terhadap kajian hukum
Sebagaimana telah disinggung, bahwa lahirnya berbagai mazhab yang ada dilatar belakangi oleh faktor yang pada dasarnya perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan metodologi dalam melahirkan hukum. Perbedaan ini melahirkan mazhab yang berkembang luas di berbagai wilayah Islam sampai saat ini diantaranya adalah mazhab dari golongan Syi’ah dan dari golongan Sunni:
a) Imam Ja’far
Nama lengkapnya Ja’far bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal- Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah ulama besar dalam banyak bidang ilmu Filsafat, Tasawuf, Fiqih, dan juga ilmu kedokteran.
Fiqh Ja’fari adalah fiqh dalam mazhab Syi’ah pada zamannya karena sebelum dan pada masa Ja’far Ash-Shadiq tidak ada perselisihan. Perselisihan itu muncul sesudah masanya. Dasar istinbat yang beliau pakai dalam mengambil kepastian hukun adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’, ‘Aqal (Ra’yu).18
Pengikutnya banyak di Iran dam negara sekitarnya, Turki, Syiria, dan Afrika Barat. Mazhab ini diikuti juga oleh ummat Islam negara lainnya meskipun jumlahnya tidak banyak.
b) Mazhab Hanafi
Mazhab ini dihubungkan dengan Imam Abu Hanifah, ia di kenal sebagai pendiri mazhab hanafi. Nama lengkapnya adalah Nukman bin Tsabit bin Zuthyi keturunan Parsi yang cerdas dan punya kepribadian yang kuat serta berbuat, didukung oleh faktor lingkungan sehingga mengantar beliau menuju jenjang karier yang sukses dalam bidang ilmiyah. Dasar istinbat yang beliau pakai dalam mengambil kepastian hukum fiqh adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’, Qawlu Shahaby, Qiyas, Istihsan, ‘Uruf.[23]
Pola fiqih Abu Hanifah adalah:
-          Kelapangan dan kelonggaran dalam pengalaman ibadah
-          Dalam memberi keputusan dan fatwa, lebih memperhatikan kepentingan golongan miskin dan orang lemah
-          Menghormati hak kebebasan seseorang sebagai manusia
-          Fiqh Abu Hanifah diwarnai dengan masalah fardhiyah (Perkara yang diada-adakan). Banyak kejadian atau perkara yang belum terjadi, tetapi telah difikirkan dan telah ditetapkan hukumnya.[24]
c). Mazhab Maliki
Dasar istinbat fiqh Imam Malik adalah Alquran, Sunnah, Qiyas, Masalihul Mursalah, ‘Uruf, Qaulu Shahabi. Adapum pola fiqh Imam Malik meliputi:
-          Ushul fiqh Imam Malik lebih luwes, lafadz ‘Am atau Muthlaq dalam nash Alqur’an dan Sunnah.[25]
-          Fiqhnya lebih banyak didasarkan pada Maslahah
-          Fatwa Sahabat dan keputusan-keputusan pada masa sahabat, mewarnai penjabaran pengembangan  hukum Imam Malik.
Diantara beberapa murid-murid Imam Malik yang mengembangkan ajarannya adalah Abdullah bin Wahab, Abdul Rahman bin Kosim, Asyhab bin Abdul Aziz, Abdurrahman bin Hakam, Ashbaga bin al Faraz al Umawi.20
d). Mazhab Syafi’i
         Mazhab ini dibentuk oleh Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin al-Saib bin Abdul Yazid bin Hasim. Dan kemudian, dia dipopulerkan dengan nama imam Syafi’i. Ia merupakan seorang muntaqil ras Arab asli dari keturunan Quraiys dan berjumpa nasab dengan Rasullulah pada Abdul al Manaf. Adapun sumber istinbat beliau mengenai hukum fiqih adalah Alqur’an, As-Sunnah, Ijma’, Perkataan Sahabat, Qias, Istishab.21 banyak karya-karya imam Syafi’i dalam memberikan keterangan kajian fiqh, karya imam Syafi’i diantaranya kitab ar-Risalah. al-Um, serta banyaknya pengikut mazhab ini sampai sekarang. Pola pikir imam Syafi’i
1.      Ciri khas yang dapat dipetik dari fiqh Syafi’i ialah polanya mengawinkan antara cara yang ditempuh Imam Malik dengan Imam Hanafi.
2.      Pembatasan hukum dibatasi pada urusan atau kejadian yang benar-benar terjadi.
3.      Terdapat banyak perbedaan antara pendapat Syafi’i sendiri, antara Qaul Qodim (pendaptnya sewakyu di Irak) dengan Qaul Jadid (pendapatnya sewaktu di Mesir). Sahabat-sahabatnya yang menyebarkan mazhab ini antaranya Ahmad Ibnu Hambal, al Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabah Az-Zakfani, Abu Ali al Husein bin Ali Qarabisy, Yusuf bin Yahyah Al Buaithy, Abu Ibrahim Ismail Yahya al Muzani dan Ar-Rabik bin Sulaiman al Murady.
e). Mazhab Hanbali
         Imam Ahmad adalah tokoh dari mazhab ini beliau bernama Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal. Beliau berpegang teguh pada ayat Alquran dipahami secara lahir dan secara mafhum adapun dasar istinbat mengenai hukum fiqih adalah Alqur’an, Sunnah, Fatwa sahabat, Qiyas.[26] Adapun pola fikir imam Hanbal adalah:
1.      al Nushush dari Alqur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalan alqur’an maka Ia mengambil makna yang tersurat, makna yang tersirat dia abaikan.
2.      Apabila tidak ada ketentuan dalam Alqur’an dan Sunnah maka ia mengambil atau menukil fatwa sahabat yang disepakati dari sahabat sebelumya.
3.      Apabla fatwa sahabat berbeda-beda maka ia mengambil fatwa sahabat yang paling dekat dengan dalil yang ada dalam Alqur’an dan Sunnah.
4.      beiau menggunakan hadist mursal dan hadist dha’if apabila tidak ada ketentuan sahabat, atsar, ataupun ijmak yang menyalahinya.
5.      Apabila hadist mursal dan dhaif tidak ada maka ia menggunakan metode Qiyas dalam keadaan terpaksa.22
6.      langkah terakhir adalah menggunakan Sadd al-Dzar’i.
Beliau tidak memiliki karya yang dia buat sendiri hanya saja para muridnya mengembangkan ajarannya dan membuat karya-karya tentang istinbat hukum yang beliau lakukan, salah satu contoh dari kitab mazhab ini adalah sahabat al-Jamik al-Kabir karya Ahmad bin Muhammad bin Harun. Adapun tokoh yang menyebarkan ajarannya adalah Ahmad bin Muhammad bin Harun, Ahmad bin Muhammad ibn Hajjaj al Maruzi, Ishak bin Ibrahim, Shalih ibn Hanbal, ‘Abdul Malik ibn ‘Abdul Hamid ibn Mahran al-Maumuni.23

E.      Disiplin Utama Ilmu Studi Hukum dan Cabang-Cabangnya
Disisplin Hukum adalah sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dalam hidup di tengah pergaulan. Menghadapi kenyataan yang terjadi dalam pergaulan hidup yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kenyataan tertentu.
         Berbicara disiplin hukum, maka ruang lingkup utamanya tiga yaitu:
1.      Ilmu Hukum adalah Ilmu tentang hukum yang paling umum, sebagai aturan yang paling luas dan konsep yang paling penting. Ilmu hukum ini bisa  di defenisikan sebagai ilmu kaidah yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem kaidah-kaidah dengan dogmatik hukum dan sistiematik hukum. Cabang ilmu hukum diantaranya Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum.
2.      Filsafat Hukum adalah Ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum, yang isinya dasar-dasar kekuatan yang mengikat dari hukum atau perenungan dan perumusan nilai-nilai, termasuk penyesuain nilai-nilai.
3.      Politik Hukum adalah disiplin hukum tentang mengkhususkan diri pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang di cita-citakan oleh masyarakat tertentu atau kegiatan-kegiatan mencari dan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai tersebut bagi hukum dalam mencapai tujuannya.24
Adapun disiplin utama studi hukum dalam hukum Islam tidak lepas dari beberapa kajian yaitu: Disiplin utama Syari’ah, Tarekh Tasyri’, Ushul fiqh, fiqh selanjutnya akan berkembang menjadi cabang-cabang kajian studi hukum lain seperti: Ilmu Fiqh (Fiqh Siyasah, Muamalat, Jinayah, Munakahat dan sebagainya) selanjutnya ada juga kajian Qawaid Fiqhiyah dan Ushuliyah, fatwa, Qanun, Qadha’ dan lain nya.

 F.     Tokoh dan Karya Terpenting Perkembangan Mutakhir Kajian Hukum Islam
Perkembangan terakhir dalam kajian hukum Islam ini terjadi setelah adanya persentuhan budaya dengan barat. Bisa dikatakan kalau awal perkembangan mutakhir dalam hukum Islam ini dimulai di Turki dan Mesir yang menyadari bahwa Islam semakin tertinggal dari Barat maka mulai saat itulah muncul toko-tokoh dalam Islam yang mencoba mereformasi hukum Islam dengan mengangkat tema bahwa pintu ijtihad telah terbuka demi perkembangan Islam dari zaman ke zaman.
            Dalam berbagai bidang muncul tokoh-tokoh yang mencoba memberikan sumbangan fikirannya dalam perkembangan Islam dan hukum Islam sebagai contoh Abdul Qadir Audah dengan bukunya Tasyri’ul jina’i Al-Islamy bi al-Qonun al-Wadhie yang memcoba membandingkan antara hukum Perancis dengan hukum Islam. Muhammad Baqir Al-Sadr seorang ulama Syi’ah dari Irak, Sayyid Abu a’la Al-Maududi seorang idiolog fundamentalis dalam Islam khususnya Pakistan, Ali Abd Al-Razik yang menulis buku Al-Islam wa Ushul Al-hukum, buku ini menimbulkan kontroversi di Mesir dan juga negeri-negeri lain karna buku ini mengemukakan mengenai pembenaran dihapuskannya kesulthanan Utsmaniyah di Turki dan berpendapat Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan.25
            Di Indonesia sendiri pengkajian hukum Islam terus berkembang dengan didirikannya IAIN serta banyaknya universitas-universitas swasta yang mengkaji Islam di berbagai daerah di Indonesia khususnya di fakultas syari’ah yang benar-benar kajian utama dari fakultas ini adalah hukum Islam. Selain itu adanya MUI yang selalu memberikan fatwa yang sesuai yang dengan keadaan Islam di Indonesia dalam memberikan istinbat hukum sesuai dengan masalah yang ada serta majelis-majelis lainnya disetiap organisasi Islam di Indonesia, seperti majelis tarjihnya Muhammadiyah. Hal ini merupakan suatu karya yang penting bagi ummat Islam Indonesia serta perkembangan yang baik dalam pembaruan hukum Islam. Selanjutnya perkembangan yang paling besar yang ada di Indonesia ini adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam yang merupakan fiqhnya Indonesia serta telah banyaknya dimulai pembentukan Undang-undang di Indonesia berasaskan hukum Islam.
            Belakangan ini  beredar wacana bahwa KHI yang ada ini sudah tidak cocok lagi menurut kemajuan zaman untuk itu beberapa tokoh Islam mencoba memberikan pembaruan KHI yang biasa saat ini dikenal dengan Counter Legal Draft KHI (CLD KHI) yang sampai saat ini masih belum selesai di perbincangkan karena masih terjadi pro dan kontra atas isi dari CLD KHI tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan sebagian pihak memandang bahwa sejumlah pasal yang ada di dalam CLD KHI itu melanggar ajaran Islam, perbincangan dan wacana akan hal ini sangat menyorot perhatian para tokoh-tokoh Islam.
            Kontroversi ini terus di perdebatkan hingga saat ini, Siti Musadah Mulia merupakan dengan beberapa anggota kelompoknya adalah penyusun dari CLD KHI ini, ironisnya hal ini tidak diterima oleh kalangan kebanyakan Ulama. Karena rancangan KHI ini dianggap nyeleneh dan tidak sesuai dengan Alqur’an dan Sunnah.26
            Sebagian ulama telah menghitung, tidak kurang dari 39 kesalahan dalam CLD KHI. Sebagian yang lain mengakulasi ada 19 kesalahan. Karena itu harus segera dicabut dari peredaran agar tidak membingungkan dan semakin meresahkan masayarakat, hal ini dikenukakan oleh ulana yang tidak mendukung sama sekali tentang pembaharuan ini. Diantara hal-hal yang paling kontroversial dalam pasal-pasal CLD KHI ini adalah adanya iddah bagi kaum lelaki, tidak diperbolehkannya berpoligami, anak berbeda agama mendapat warisan, wanita bisa menikahkan dirinya sendiri dan banyak lagi hal-hal yang menimbulkan pro dan kontra dalam CLD KHI ini.
Meskipun demikian hal ini merupakan salah satu contoh dari adanya Usaha tokoh-tokoh Islam mengadakan pembaruan dalam hukum Islam adapun metode yang mereka pijak dalam pembuatan CLD KHI ini salah satunya adalah kaidah ushul yang mengatakan jawaz naskh al-nushush bi al-maslahah serta  yang pasti mengikuti metode ulama terdahulu ataupun dengan metode baru. Patutlah hal ini dijadikan momentum adanya usaha pembaruan hukum Islam serta keseriusan tokoh Islam membuka kembali pintu ijtihad. Upaya mengaktualkan hukum Islam adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat di tawar-tawar lagi, upaya tersebut harus segera dilakukan jika tidak mau hukum Islam tersebut ditinggalkan.

G.      PENUTUP
            Secara garis besar saat kajian hikum Islam jadi pembahasan awal dari pembahasan ini tidak lepas dari pemahaman atas Syar’iah, Fiqh, Ushul Al-fiqh, serta hal lain yang berkenaan dengan dasar pembentukan hukun Islam yang kesemuanya bisa dikatakan merupakan asas dari aturan dan kaidah dalam Islam sebagai pengatur kehidupan Ummat Islam dari masa ke-masa yang tidak lepas dari sumber utamanya yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulnya yaitu Alqur’an dan Sunnah Rasulullah itu sendiri serta dilengkapi dengan ijtihad ulama-ulama faqh dalam pengistinbatan hukum Islam yang belum ada kepastian hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah.
            Yang paling dikenal ada beberapa ulama hukum yang sumbangan fikirannya sampai saat ini masih dikenal dan dipakai dalam kehidupan ummat muslim di seluruh Dunia yaitu Imam Ja’fary, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibn Hanbal. Kelima ulama ini banyak memberikan wacana hukum dan penyelesaian hukum dalam berbagai kasus hukum dalam dunia Islam serta pembuka wacana keilmuan dalam ilmu hukum Islam yang dikenal dengan fiqh dan pada akhirnya disiplin ilmu yang bercabang-cabang dan terus berkembang dan dikembangkan oleh para ulama-ulama fiqh setelahnya.
 
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Khursid dkk, Shari’ah: the way of god, the Islamic Fondation. terj. Nashir Budiman dan Mujibah Utami. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Anshari, Endang Saifuddin. Kuliah Al-Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet III 1992.

As-Sayis, Syekh Muhammad Ali. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta: Akademika Presindo. 1994.

Esposito, Jhon L. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 2002.

Ghazali, M. Bahri. Perbandingan Mazha. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.

Ghazali, Abdul Moqsith. Argumen Metodologi CLD KHI. www.Islam lib.com.

Hasbi AR, Perbandingan Mazhab Suatu Pengantar, Medan: Naspar Djaja 1985.

Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal (Beirud: Dar al-Fikr, t.th

Rahman, Fazlur. Membuka Pintu Ijtihad. Terjemahan Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1995.

Zahrah, Muhammad Abu. Muhadarat fil Ushul al-Fiqh al-Ja’fary. Muhadharat ad-Dirasah al-Arabiyah al-‘Aliyah, 1995.

M. Ali As-Sais dan Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh, terj. Ismuha, Jakarta: Bulan Bintang. 1987.

Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi Al-Lughat. Beirut: Dar al-Masyriq, tth.

Mansur, Asep Saefuddin. Kedudukan Mazhab Dalam Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-Hasanah, 1998.

Marasiah, Lajnah. Buhutsu fi Fiqhi ala Mazhabi li Imam Syafi’i Kairo:Maktabu

Mubarak, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Remaja Rosyda Karya, 2000.

Ramadan, Said. Islamic Law its Scope and Equity. Jakarta:Gaya Media Pratama, 1996.

Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada 1996.

Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Penerbit Attahiriyah. 1976, Cet. 17.

______________Risalah Wathabi’iayah, 2000.

Sisworo, Soedjono Dirjo. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Syarifuddin, H. Amir. Ushul Fiqh.  Jakarta: Kencana. 2008.

Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung: LPPM Universitas Bandung, 1995.

Yanggo, Huzaimah Tohido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos, 1997.

Yuslem, Nawir. al-Burhan fi Ushul al-Fiqh Kitab Induk Usul Fikih Konsep Masalah Imam al-Haramaini al-Juwayni dan Dinamika Hukum Islam. Bandung: Citapustaka Media, 2007.

Wadud, Romadlon Abdul. Ushul Fiqh Lighairi al Hanafiyah. Kairo Mesir: Universitas al-Azhar, tth.

Zahrah, Muhammad Abu, Muhadarat fil Ushul al-Fiqh al-Ja’fary. Muhadharat ad-Dirasah al-Arabiyah al-‘Aliyah, 1995.

Zuhaili, Wahbah. Al- Fiqh al-Islam wa-Adillatuhu. jld I, Damaskus: Darul Fikri,1997.

 

[1] Syekh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1994), h. 1.
[2] Q.S. Al-jastsiyah: 18.
[3] As-Sayis, Sejarah. h. 1.
[4] Q.S. Al-Maidah: 48.
[5] Q.S. Al-Syura: 13.
[6] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Penerbit Attahiriyah. 1976), Cet. 17, h. 18.
[7] Rasyid. Fiqh. h. 19.
[8] H. Amir syarifuddin, Ushul Fiqh  (Jakarta: Kencana. 2008), h. 2.
[9] Syarifuddin. Ushul. h. 4.
[10] Romadlon Abdul Wadud, Ushul Fiqh Lighairi al Hanafiyah (Kairo Mesir: Universitas al-Azhar, tth), h. 21
[11] Asep Saefuddin Mansur, Kedudukan Mazhab Dalam Hukum Islam (Jakarta: Pustaka al-Hasanah, 1998), h. 16.
[12] Huzaimah Tohido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos, 1997), h. 71.
[13] M. Bahri Ghazali, Perbandingan Mazha (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 5.
[14] Yanggo. Pengantar. h. 74.
[15] Nawir Yuslem, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh Kitab Induk Usul Fikih Konsep Masalah Imam al-Haramaini al-Juwayni dan Dinamika Hukum Islam ( Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 1.
[16] Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal (Beirud: Dar al-Fikr, tth) juz 5, h. 230.
[17] Ghazali. Perbandingan. h. 9.
[18] Ghazali, Perbandingan. h. 27.
[19] Ghazali, Perbandingan. h. 31.
[20] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terjemahan Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka), 1995. h. 33.
[21] Rahman, Membuka. h. 33.
[22] Rahman, Membuka. h. 35.
10 Lisan al-Arab, jld XI (Beirut: Dar-Sadr, tth), h.572
11 Abdul Azis Dahlan. h,326
12 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cet II 2004), h.44
13 Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet III 1992), H.78
14 Muhammad Daud Ali, Hukum Isla., h. 41
15 Khursid Ahmad dkk, Shari’ah: the way of god, the Islamic Fondation, terj. Nashir Budiman dan Mujibah Utami (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 80
16 Said Ramadan, Islamic Law its Scope and Equit  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 66.
17 M. Ali As-Sais dan Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh, terj. Ismuha (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 16-18.
18 Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fil Ushul al-Fiqh al-Ja’fary (Muhadharat ad-Dirasah al-Arabiyah al-‘Aliyah, 1995), h. 28.
[23] Zahrah. Muhadarat. h. 35
[24] Zahrah. Muhadarat. h. 40
[25] Zahrah. Muhadarat. h. 47
20 Zahrah, Muhadarat.  h. 83.
21 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1996), h. 151.
[26] Rosyada, Hukum. h. 159.
22 Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 2000), h. 118.
23 Mubarak. Sejarah.  h.116
24 Soedjono Dirjo Sisworo, Pengantar Ilmu Hukum  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 46.
25 Jhon L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Moderm  (Bandung: Mizan, 2002), h. 209-210.
26 Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Metodologi CLD KHI, www.Islam lib.com

0 komentar:

Post a Comment