HUKUM ISLAM
A. Pendahuluan
Berbicara mengenai hukum
secara sederhana segera terlintas dibenak kita peraturan-peraturan atau
seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat,
baik peraturan maupun norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat atau
peraturan yang sengaja dibuat oleh penguasa dengan bentuk dan cara tertentu.
Bentuknya mungkin berupa hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis dalam
peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat yang dipakai di Indonesia.
Konsepsi perundang-undangan Barat yang diatur oleh hukum hanya semata-mata
hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda dalam masyarakat .
Ketika mengkaji tentang Islam,
aspek yang ada didalamnya tidak lepas membicarakan tentang hukum (peraturan)
yang ada di dalam Islam itu sendiri, aspek hukum di dalam Islam biasa disebut
dengan hukum Islam yang punya konsep dasar dan hukumnya ditetapkan oleh Allah,
tidak hanya mengatur tentang hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga
hubungan-hubungan lainnya baik itu hubungan dengan Tuhan, manusia dengan
manusia, manusia dengan masyarakat serta dengan alam sekitar.
Hukum
Islam adalah hukum yang bersumber dari Alqur’an dan Sunnah yang menjadi
bagian dari agama Islam, sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa istilah
kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, kadang kala membingungkan kalau tidak
tahu persis maknanya, dalam kajian makalah studi hukum Islam ini penulis akan
mengawali pembahasan dari istilah-istilah
kunci dalan hukum Islam (Syari’ah, Fiqh, Ushul Fiqh, Mazhab, Fatwa,
Qaul), Islam sebagai norma hukum dan etika, Mazhab utama dan
pendekatan hukum yang mereka pakai terhadap kajian hukum Islam sampai kepada
disiplin-disiplin utama studi hukum dan cabang cabangnya serta yang terakhir
mengenai tokoh dan karya terpenting dalam perkembangan mutakhir kajian-kajian
hukum Islam.
B.
Pengertian Syari’ah,
Fiqh, Ushul Fiqh, Mazhab, Fafwa dan Qawl
- Pengertian Syari’ah
Secara etimologi syari’ah mempunyai dua pengertian,
pertama syari’ah berarti jalan yang
lurus.[1]
Hal ini seperti yang dinyatakan Allah dalam Alqur’an
pada surah al-Jastsiyah ayat 18:
Artinya: kemudian Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka
ikutilah maka ikutilah jalan yang lurus itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui.[2]
Kedua syari’ah adalah sumber jalan air
mengalir atau air mengalir yang digunakan untuk minum. Ini seperti perkataan
orang Arab:
شرعت الابل dikatakan unta itu keluar menuju sumber air untuk minum.[3]
شرعت الابل dikatakan unta itu keluar menuju sumber air untuk minum.[3]
Kata
syari’ah muncul dalam beberapa ayat Alqur’an seperti pada surah al-Maidah:
ayat 48:
Artinya:
dan Kami telah turunkan kepadamu Alqur’an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan jalan kebenaran yang telah datang kepadamu.[4]
Surah al-Syura ayat 13:
Artinya:
Syari’ah mengandung arti
“jalan yang jelas membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini syari’ah dipandang sebagai agama yang
ditetapkan Allah untuk manusia sebagai jalan untuk menuju jalan kemenangan. Kesamaan
syari’ah dengan air adalah barang siapa
mengikuti syari’ah ia akan mengalir
dan membersihkan jiwanya.[5]
Makna yang terkandung dari kata syari’ah
sebagai jalan air adalah bahwa syari’ah itu mampu membersihkan jiwa
manusia seperti air membersihkan kotoran. Allah menjadikan air penyebab kehidupan
tumbuh-tumbuhan dan hewan, demikian juga Allah menjadikan syari’ah
sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia.[6]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa syari’ah adalah segala khitab
Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia, atau dengan kata lain syari’ah
merupakan nama aturan atau hukum yang diturunkan Allah yang bersifat amaliah.[7]
Menurut para ahli ahli, defenisi syari’ah
adalah segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar
yang mengenai akhlak, dengan demikian syari’ah
adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amalaiah. Para
fuqaha mengartikan syari’ah merupakan
hukum yang ditetapkan Allah untuk hambanya, agar mereka beriman dan mendapatkan
kebahagian dan diakhirat.[8]
Selanjutnya syari’ah mengandung dua makna, yakni dalam arti luas dan sempit.
Dalam arti luas syari’ah dimaksudkan
sebagai keseluruhan ajaran dan norma-norma yang dibawa oleh nabi Muhammad yang
mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek kepercayaannya maupun dalam aspek
tingkah laku praktisnya. Singkatnya syari’ah
adalah ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri, yang dibedakan menjadi dua aspek:
ajaran tentang kepercayaan (akidah) dan ajaran tentang tingkah laku (amaliah).
Dalam arti sempit syari’ah merupakan kumpulan ajaran atau
norma yang mengatur tingkah laku manusia secara konkrit. Syari’ah dalam arti sempit inilah
diidentikkan dan diterjemahkan sebagai hukum Islam, hanya saja syari’ah lebih luas dari sekedar hukum
pada umumnya, karena syari’ah tidak
saja meliputi norma hukum itu saja tetapi juga norma etika dan
kesusilaan, norma sosial, dan norma keagamaan seperti ibadah yang diajarkan
dalam agama Islam.
Untuk memudahkan dalam memahami tentang syari’ah
ini, penulis memberikan satu pemahaman bahwa syari’ah merupakan tuntunan,
bimbingan, dan sapaan Ilahi kepada manusia sebagai subjeknya yang menyangkut
tentang akidah, ibadah, dan akhlak yang bersumber kepada Alqur’an dan Hadits
Rasul dengan tujuan agar manusia selamat dan akhira.
2.
Pengertian Fiqh
Kata fiqh
berasal dari bahasa Arab al-fiqh yang
mengandung arti tahu atau paham.[9]
Sebagai istilah, fiqh dipakai dalam dua arti: dalam arti ilmu hukum (jurisprudence)
dan dalam arti hukum itu sendiri (law).
Fiqh dalam arti ilmu hukum Islam mengandung arti
suatu cabang studi yang mengkaji norma-norma syari’ah dalam kaitannya
dengan tingkah laku konkret manusia dalam berbagai dimensi hubungannya. Baik
hukum-hukum itu ditetapkan langsung di dalam Alqur’an dan Sunnah
Nabi maupun yang merupakan hasil ijtihad, yaitu interpretasi dan
penjabaran oleh para ahli hukum Islam (fuqaha) terhadap kedua sumber
yaitu Alqur’an dan Sunnah Nabi.
Secara defenitif fiqh
berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’i
yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili. Dalam defenisi ini fiqh diibaratkan dengan ilmu fiqh, karana fiqh itu sendiri semacam ilmu pengetahuan. Fiqh tidak sama dengan ilmu seperti disebut diatas, karena fiqh
bersifat zhanni.
Secara harfiah, fiqh artinya pemahaman.
Sedangkan menurut terminologi, fiqh
diartikan sebagai “ilmu tentang hukum-hukum syara’
yang amaliyah (praktis), yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci”. Dengan demikian fiqh
bukanlah Alqur’an, bukan Hadits, dan bukan pula agama. Melainkan fiqh adalah pemahaman. Tepatnya pemahaman
seorang mujtahid terhadap Alqur’an atau terhadap Hadits. Jadi, boleh dikatakan, fiqh adalah tafsir Alqur’an maupun tafsir Hadits. Khususnya yang berkaitan dengan amaliyah.
3.
Ushul Fiqh
Ushul fiqh terdiri dari dua kata yakni ushul
dan fiqh dalam arti etimologi bahasa Arab, kata ushul merupakan
jamak dari kata ashl yang berarti asal, dasar, sumber, asas, pokok, atau
landasan. Ia juga merupakan lawan dari kata far’ yang bermakna
cabang atau bagia. Sedangkan fiqh secara etimologi berarti paham
atau mengerti.
Adapun (الأصل) secara terminologi
yang digunakan para ulama memiliki beberapa arti, yaitu:
1.
Dalil, misalnya:
الأصل فى هذالمسألة الكاب والسنه
Dalil dalam
masalah ini adalah Alqur’an dan dalil Sunnah
2.
kaidah yang berlaku, misalnya:
اباجة الميت للمضطرعلى خلاف الأصل
Dibolehkan
memakan bangkai bagi orang yang terpaksa (darurat) itu bertentangan dengan
kaidah yang berlaku.
3.
Suatu bentuk yang analog (qiyas), mislanya:
الخمر اصل النبيذ
Hukum arak itu
diqiyaskan dengan hukumnya perasan anggur
Selanjutnya para ulama seperti Ibn
Hajib, Ibn Qudamah, al-Thufi dan lain-lain mendefenisikan ushul fiqh adalah:
العلم بالأدلة الاجمالية التى تبنى عليهاالعلم بالأحكم الشرعية
العملية المكتسب من أدلتهاالتفصلية
“Ilmu dengan dalil-dalil globalnya yang merupakan pondasi bagi
ilmu dengan hukum-hukum syara’ amali (ilmu fiqh) yang
diambil dari dalil-dalil rinci”.[10]
Dengan demikian usul al-fiqh
adalah ilmu tyang digunakan untuk memperoleh pemahaman tentang maksud syari’ah,
atau usul al-fiqh merupakan suatu
sistem (metodologi) dari ilmu fiqh untuk menetapkan suatu hukum yang
bersumber kepada Alqur’an dan Sunnah.
4.
Mazhab
Madzhab (الْمَذْهَبُ) berasal dari kata ذهب, يذهب,
ذهابا, وذهوبا, ومذهبا yang
berarti “pergi menurut tujuan dan jalannya”. Dan menurut istilah syari’at
yaitu: “Kumpulan dari hasil penelitian ilmiyah para ulama yang terikat oleh
suatu metode tertentu”.[11]
Mazhab menurut istilah adalah
jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam
menetapkan suatu hukum Islam dari Alqur’an dan Hadit.[12]
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam muztahid
dalam memecahkan masalah atau mengistimbathkan hukum Islam.
Selanjutnya,
mazhab berkembang menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istimbath
imam mujtahid tertantu tentang pendapat mereka yang berkaitan dengan
masalah hukum Islam. Upaya yang sungguh-sungguh untuk dapat menghasilkan suatu
kesimpulan hukum berdasarkan dalil-dalilnya disebut ijtihad (الإِجْتِهَادُ), dan orang yang melakukan ijtihad
disebut mujtahid (الْمُجْتَهِدُ).[13]
Dan mujtahid yang memiliki metode ijtihad sendiri disebut dengan mujtahid
muthlaq atau pencetus madzhab, seperti : Imam Abu Hanifah, Imam
Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Dawud Azh-Zhohiri dan lain-lainnya.[14]
Sedangkan para ‘ulama yang berijtihad dengan mengikuti metode seorang mujtahid
muthlaq disebut dengan mujtahid muqoyyad atau imam madzhab.
Penggunaan
ijtihat dalam rangka merumuskan hukum terhadap kasus-kasus baru yang
tidak diatur secara tegas oleh nass, Rasul telah melegitimasi
praktek ijtihat tersebut melalui Hadits beliau yaitu ketika
beliau mengutus Mu’adz untuk menggunakan ijtihat dalam menyelesaikan
kasus-kasus baru yang hukumnya tidak diatur secara tegas di dalam Alqur’an
dan Sunnah.[15]
عن معاذ بن
جبل قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كيف اذاعرض لك قضاء؟ قال: اقضي بكتاب
الله. قال: فان لم فجد في كتاب الله؟ فسنة رسول الله. قال: فان لم فجد في سنة رسول
الله ولا في كتاب الله؟ قال: أجتهد رأيى ولاالو. فضرب رسول الله صلى الله عليه
وسلم بيده على صدره, وقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرض رسول الله (رواه
أبوداود).
artinya: dari
Mua’az bin Jabal ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “bagaimana usaha
kamu dalam menyelesaikan suatu masalah perkara yang diajukan kepadamu? Mua’az
menjawab, akan aku putuskan berdasarkan Kitabullah (Alqur’an), kemudian
nabi bertanya lagi, bagaimana jika kamu tidak menjumpai dalil-dalinya dalam Alqur’an?
Mua’az menjawab, aku akan selesaikan berdasarkan dalil-dali yang ada dalam Sunnah
Rasulullah, kemudian Rasulullah bertanya lagi, Bagaimana seandainya tidak kamu
dapati dari Alqur’an dan Sunnah untuk menyelesaikanya? Mua’z menjawab,
aku akan berijtihat dengan menggunakan rasioku dan mengabaikannya,
kemudian Rasullah menepuk dada Mua’az, sambil bersabda, segala puji bagi Allah
yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya terhadap apa yang
direstui oleh Rasulullah. (H.R. Abu Daud).[16]
Bermadzhab
tidak dilarang, meskipun juga tidak diperintahkan. Yang wajib atas seorang
muslim yaitu ittiba’ (الإِتِّبَاعُ) yakni mengikuti sesuatu dengan mengetahui dalilnya,
dan dilarang untuk taqlid (التَّقْلِيْدُ) yaitu mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui
dalilnya.[17]
5.
Fatwa
Berbicara tentang fatwa tidak akan terlepas dari
bahasan mengenai maslah ijtihad dengan segala perangkatnya. Sebab dua
hal itu senantiasa memeberikan warna terhdap perubahan dan perkembangan hukum
Islam dari masa ke masa. Sebuah fatwa memang lahir sebagai respon
terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. fatwa tidak
lahir atas pertimbangan satu orang saja, atau demi kepentingan segelintir
orang. Fatwa lahir karena pertimbangan kemaslahatan umat (mashalihul
ummah).[18]
Fatwa merupakan jawaban atas pertanyaan yang berkaitan
dengan hukum suatu benda atau tindakan. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh
dan usul fiqh disebut mufti, sedangkan pihak yang meminta fatwa
disebut al-mustafti. Dalam kajian ushul fiqh, fatwa merupakan
pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus
atau benda, yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa
tersebut bisa pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Fatwa yang
dikemukakan mujtahid atau faqih tidak mesti diikuti sekalipun
oleh orang yang meminta fatwa. Dalam hal ini, fatwa lebih
merupakan nasihat, namun bisa dijadikan referensi dan pertimbangan hukum oleh
orang atau lembaga yang akan menggunakannya.
Mufti (pemberi fatwa), dalam kajian usul
fiqh, berbeda dengan mujtahid. Mujtahid berupaya menyimpulkan
(meng-istinbath) hukum dari sumber hukum Islam yang orisinal (Alquran
dan Sunah) dalam berbagai kasus, baik diminta pihak lain maupun tidak.[19]
Sedangkan mufti tidak mengeluarkan fatwanya, kecuali apabila
diminta dan persoalan dijawab sesuai dengan pengetahuannya. Oleh karena itu,
dalam menghadapi suatu persoalan hukum mufti harus benar-benar
mengetahui secara rinci masalah yang dipertanyakan, mempertimbangkan
kemaslahatan bagi peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan
yang ingin dicapai dari meminta fatwa tersebut. Sebuah kaidah usul
fiqh menyebutkan, "Akibat dari suatu fatwa terkadang lebih
berat dari mengeluarkan fatwa itu sendiri’".[20]
Mufti berbeda dengan hakim, dilihat dari sudut
kekuatan produk hukum yang dikeluarkannya. Sebagaimana disebutkan, fatwa
seorang mufti tidak mengikat sekalipun kepada pihak yang meminta fatwa
(al-mustafti).[21]
Seseorang atau lembaga yang meminta fatwa, dan mufti memberikan
jawaban hukum, boleh mengindahkan fatwa tersebut dan boleh juga menolak
serta tidak mengamalkannya. Ini berbeda dengan hukum yang diputuskan hakim.
Putusan hakim bersifat mengikat dan harus dilaksanakan pihak yang dihukum.
Mayoritas ulama usul fiqh lintas mazhab seperti
Ibn Al-Qasim dari mazhab Maliki, Abu Yusuf dari Mazhab Hanafi,
dan Abu Ibrahim Ismail Al-Muzzani dari mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa mufti
boleh saja memfatwakan pendapat mujtahid yang masih hidup, dengan syarat
mufti tersebut mengetahui landasan hukum serta jalan pikiran yang dipergunakan
sang mujtahid yang dijadikan referensi. Adapun memfatwakan pendapat atau
hasil ijtihad para mujtahid yang telah wafat (seperti dari
kitab-kitab kuning yang ditulis mereka), menurut kesepakatan ulama usul fiqh,
adalah boleh dengan syarat sang mufti tersebut mengetahui landasan hukum
dan jalan pikiran yang dipergunakan mujtahid yang telah wafat itu.
Berkenaan dengan hal ini, Al-Syafi‘i berkata, "Suatu pendapat tidak ikut
wafat bersama orang yang mengemukakannya".[22]
Dibeberapa negara Islam Timur Tengah, mufti memegang
peran penting dan merupakan lembaga resmi yang mengurus berbagai persoalan umat
Islam, seperti di Arab Saudi, Suriah, dan Mesir. Sebagai salah satu jabatan
keagamaan, mufti tidak bisa hanya terikat oleh salah satu mazhab,
tetapi harus mempertimbangkan pandangan lintas mazhab, dengan mempertimbangkan
kemaslahatan, sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sementara itu, di
sisi lain, mufti terikat dengan perundang-undangan yang disusun
negaranya. Dalam hal ini, setiap pendapat yang dikeluarkan oleh mufti
tidak boleh bertentangan atau melawan isi undang-undang yang dibuat oleh
negara.
Dalam praktiknya, fatwa diminta oleh al-mustafti
(peminta fatwa) untuk menjawab keraguan yang menimpanya atas suatu
perbuatan atau benda. Al-mustafti tidak memiliki pengetahuan penuh
tentang hukum perbuatan atau benda tersebut. Dalam praktik fatwa,
peminta fatwa bukan mengajukan secara langsung agar suatu tindakan atau
benda dinyatakan tegas status hukumnya (seperti minta dinyatakan haram atau
halal), tetapi sekadar meminta pendapat. Oleh karena itu, belum tentu pemberi fatwa
(mufti) akan mengeluarkan fatwa sesuai dengan yang diinginkan
oleh peminta.
- Qaul
Kata Qaul secara etimologi
adalah bentuk masdar dari kata kerja Qala-Yaqulu.
Kata Qaul dapat bermakna kata yang tersusun lisan, baik sempurna maupun
tidak.10 kiranya secara simpel Qaul dapat diartikan sebagai ujaran,
ucapan, perkataan. Dalam istilah fiqh kata Qaul dinisbatkan kepada imam atau pemimpin suatu mazhab atau
ulama fiqh yaitu berupa perkataan maupun ucapan daripada imam fiqh
tersebut. Istilah ini juga dikenal dalam fiqh Imam Syafi’i, yaitu Qaul Qadim dengan Jadid. Qaul Qadim adalah
pendapat beliau ketika berada di Irak, sedangakan Qaul Jadid adalah pendapat beliau ketika berada di Mesir.11
C.
Islam Sebagai Sumber Norma, Hukum dan Etika
Islam sebagai agama yang
diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-Nya merupakan agama yang mencakup
seluruh aspek hidup atau kehidupan manusia diantaranya sebagai sumber norma,
hukum dan etika hidup manusia, norma dalam artian kata adalah kaidah
yakni tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku
atau perbuatan manusia dan benda.12
Pengertian norma erat dengan pengertian hukum. Maka pembicaraan seputar Islam
sebagai norma, hukum, dan etika tidak lepas kaitannya dengan sumber norma,
hukum, etika dalam Islam itu sendiri.
Adapun sumber norma dan hukum
dalam Islam yang pokok ada dua yaitu, Alqur’an dan Sunnah,
disamping kedua pokok terdapat pula sumber tambahan yaitu, Ijtihad.
a. Alqur’an
Alqur’an
merupakan sumber azasi yang pertama norma dan hukum dalam Islam, ialah kitab
kodifikasi firman Allah kepada umat manusia. Pada garis besarnya Alqur’an
memuat Akidah, Syariah (Ibadah dan
Muamalah), Akhlak, kisah-kisah lampau
berita-berita yang akan datang serta berita-berita dan pengetahuan lainnya.
b. Sunnah
Sunnah
(Sunnatun Rasul) sumber azasi yang kedua norma dan nilai dalam Islam,
ialah segala ucapan, perbuatan dan sikap Muhammad SAW sebagai rasul Allah, yang
berfungsi sebagai penafsir dan pelengkap bagi Alqur’an .
c. Ijtihad
Ijtihad,
sumber tambahan norma, hukum nilai dan etika dalam Islam, ialah usaha
sungguh-sungguh seseorang atau beberapa orang tertentu, yang memiliki syarat-syarat
tertentu untuk memastikan kepastian hukum secara tegas dan positif yang tidak
terkandung dalam Alqur’an dan Sunnah.13
Secara
garis besar berbicara tentang Islam sebagai norma hukum dan etika maka
tidak lepas pula pembicaraan tersebut mengacu pada tiga hal pokok diatas yang
mana ketiganya merupakan rujukan, tolak ukur dan panduan ummat Islam dalam
kehidupan mulai dari hal yang terkecil sampai kepada hal yang terbesar dalam
mengarungi kehidupan ini. Ketiga bidang di atas baik itu norma, hukum dan etika
yang dalam Alqur’an, etika disebut dengan akhlak. Adapun konsep
akhlak dalam Islam lebih luas cakupannya dari pada konsep etika yang
biasa kita kenal selama ini, semua ini tidak terlepas dari isi Alqur’an,
Sunnah serta Ijtihad seperti yang telah diuraikan di atas.14
Lebih
lanjut bisa dijelaskan bahwa apabila dilihat dari ilmu hukum, Syari’at
merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh
orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam
hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam
masyarakat. Norma-norma hukum dasar ini dijelaskan dan dirinci lebih lanjut
oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Agama Islam meliputi juga akhlak, atau etika
yang berarti perangai, sikap, tingkah laku watak, budi pekerti, yang berkenaan
dengan sikap dan perbuatan manusia terhadap Tuhan dan sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Dalam
pengertian modern hukum adalah aturan yang hanya dapat diberlakukan oleh otoritas
politik, sementara para ulama Islam memahamkan hal ini sebagai: setiap tindak
tanduk dan perilaku manusia bahkan kegiatan nurani manusia sekalipun syari’ah
juga berkepentingan dengan niat, seperti ada pada pelaksanaan sholat, puasa,
berzakat, sebagaimana pula pada pelaksanaan hukum keluarga dan pidana.
Di
dalam Islam iman bukanlah doktrin teologi yang dogmatis,
atau bukan keyakinan intelektual, atau bukan pula proposisi filosofis.
Ia justru harus diwujudkan dalam suatu tindakan kegiatan sehari-hari, yang
meluap dari sikap bathin menjadi sikap lahiriyah, dari skala
pribadi memancar berskala masyarakat, dan dari moral ke hukum adalah syari’ah
yang mewujudkan citra imani dan moral menjadi sasaran-sasaran bentuk-bentuk dan
kode-kode yang gamblang terumuskan, layak, serta nyata, yang ada dalam
jangkauan setiap perorangan dalam mewujudkannya. Inilah salah satu alasan pula
bahwa ia merupakan salah satu karunia dan rahmat Allah yang terbesar dan juga
salah satu sarana untuk mencapai kemajuan kemanusiaan.15
Hanya
manusialah yang bisa dan wajib untuk mewujudkan citra iman dan moral ke dalam
tindakan dan amalan. Sebagian orang telah berusaha memisahkan kedua hal
tersebut, sedang sebagian lainnya telah terjerumus ke dalam perbincangan
filsafat yang tiada akhir. Bahkan mutakhirnya tidak mampu lagi merumuskan
apakah yang etis, bermoral, beretika, ataupun yang baik. Inilah sekilas
penjelasan bahwa Islam merupakan sumber norma hukum dan etika yang ketiganya
harus tumbuh dan berkembang dalam bentuk tindakan manusia.
D.
Mazhab Hukum Utama dan Pendekatan Mereka
Terhadap Kajian Hukum
Mazahib (aliran-aliran) dan arti secara sastranya
adalah “jalan untuk pergi”. Dalam karya-karya tentang agama Islam, istilah mazahab
erat kaitannya dengan hukum Islam adapun mazhab hukum yang terkenal
sampai saat ini ada 4 mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hanbali. Ini adalah hanya beberapa mazhab yang ada dalam Islam
dan mereka bukanlah hukum sunni yang refresentatif karena sejak
dari abad pertama sampai kepada permulaan abad keempat tidak kurang dari 19 mazhab
hukum atau lebih dalam Islam yang dalam arti kata muslim terdahulu tidak henti-hentinya
untuk menyesuaikan hukum dengan peradaban yang berkembang.16
Timbulnya mazhab-mazhab ini
disebabkan oleh beberapa faktor yang oleh Ali As-Sais dan Muhammad Syaltut
mengemukakanya :
-
Perbedaan
dalam memahami tentang lafaz Nash
-
Perbedaan
dalam memahami Hadist
-
Perbedaan
dalam memahami kaidah lughawiyah Nash
-
Perbedaan
tentang Qiyas
-
Perbedaan
tentang penggunaan dali-dalil hukum
-
Pebedaan
dalam pemahaman Illat hukum
-
Perbedaan
dalam masalah Nasakh.17
Berbagai
kemungkinan yang menjadi penyebab timbulnya selain yang dikemukakan di atas,
lahirnya mazhab juga terjadi karena perbedaan lingkungan tempat tinggal
mereka, para fuqaha’ terus mengembangkan istinbath hukum
yang mereka gunakan secara individu dari
berbagai persoalan hukum yang mereka hadapi dan metode yang mereka gunakan
terus melembaga dan terus di ikuti oleh para pengikutnya yaitu para murid-murid
mereka.
Mazhab hukum yang
terkenal dan pendekatannya terhadap kajian hukum
Sebagaimana telah disinggung,
bahwa lahirnya berbagai mazhab yang ada dilatar belakangi oleh faktor
yang pada dasarnya perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan metodologi
dalam melahirkan hukum. Perbedaan ini melahirkan mazhab yang berkembang
luas di berbagai wilayah Islam sampai saat ini diantaranya adalah mazhab
dari golongan Syi’ah dan dari golongan Sunni:
a) Imam Ja’far
Nama lengkapnya Ja’far bin
Muhammad al Baqir bin Ali Zainal- Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Beliau adalah ulama besar dalam banyak bidang ilmu Filsafat, Tasawuf, Fiqih,
dan juga ilmu kedokteran.
Fiqh Ja’fari adalah fiqh dalam mazhab
Syi’ah pada zamannya karena sebelum dan pada masa Ja’far Ash-Shadiq tidak
ada perselisihan. Perselisihan itu muncul sesudah masanya. Dasar istinbat
yang beliau pakai dalam mengambil kepastian hukun adalah Alqur’an, Sunnah,
Ijma’, ‘Aqal (Ra’yu).18
Pengikutnya banyak di Iran dam
negara sekitarnya, Turki, Syiria, dan Afrika Barat. Mazhab ini diikuti
juga oleh ummat Islam negara lainnya meskipun jumlahnya tidak banyak.
b) Mazhab Hanafi
Mazhab ini dihubungkan dengan Imam Abu Hanifah,
ia di kenal sebagai pendiri mazhab hanafi. Nama lengkapnya adalah Nukman
bin Tsabit bin Zuthyi keturunan Parsi yang cerdas dan punya kepribadian yang
kuat serta berbuat, didukung oleh faktor lingkungan sehingga mengantar beliau
menuju jenjang karier yang sukses dalam bidang ilmiyah. Dasar istinbat
yang beliau pakai dalam mengambil kepastian hukum fiqh adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’, Qawlu Shahaby,
Qiyas, Istihsan, ‘Uruf.[23]
Pola fiqih
Abu Hanifah adalah:
-
Kelapangan
dan kelonggaran dalam pengalaman ibadah
-
Dalam
memberi keputusan dan fatwa, lebih memperhatikan kepentingan golongan
miskin dan orang lemah
-
Menghormati
hak kebebasan seseorang sebagai manusia
-
Fiqh Abu Hanifah diwarnai dengan masalah fardhiyah
(Perkara yang diada-adakan). Banyak kejadian atau perkara yang belum terjadi,
tetapi telah difikirkan dan telah ditetapkan hukumnya.[24]
c). Mazhab Maliki
Dasar istinbat
fiqh Imam Malik adalah Alquran,
Sunnah, Qiyas, Masalihul Mursalah, ‘Uruf, Qaulu Shahabi. Adapum pola fiqh Imam Malik meliputi:
-
Fiqhnya lebih banyak didasarkan pada Maslahah
-
Fatwa Sahabat dan keputusan-keputusan pada masa
sahabat, mewarnai penjabaran pengembangan
hukum Imam Malik.
Diantara beberapa murid-murid
Imam Malik yang mengembangkan ajarannya adalah Abdullah bin Wahab, Abdul Rahman
bin Kosim, Asyhab bin Abdul Aziz, Abdurrahman bin Hakam, Ashbaga bin al Faraz al
Umawi.20
d). Mazhab Syafi’i
Mazhab ini dibentuk oleh Muhammad bin Idris bin
al-Abbas bin Utsman bin al-Saib bin Abdul Yazid bin Hasim. Dan kemudian, dia dipopulerkan
dengan nama imam Syafi’i. Ia merupakan seorang muntaqil ras Arab asli
dari keturunan Quraiys dan berjumpa nasab dengan Rasullulah pada Abdul al Manaf.
Adapun sumber istinbat beliau mengenai hukum fiqih adalah Alqur’an, As-Sunnah, Ijma’, Perkataan
Sahabat, Qias, Istishab.21 banyak karya-karya imam Syafi’i dalam
memberikan keterangan kajian fiqh, karya imam Syafi’i diantaranya kitab ar-Risalah.
al-Um, serta banyaknya pengikut mazhab ini sampai sekarang. Pola pikir imam
Syafi’i
1. Ciri khas yang dapat dipetik dari fiqh
Syafi’i ialah polanya mengawinkan antara cara yang ditempuh Imam Malik dengan
Imam Hanafi.
2. Pembatasan hukum dibatasi pada urusan atau
kejadian yang benar-benar terjadi.
3. Terdapat banyak perbedaan antara pendapat
Syafi’i sendiri, antara Qaul Qodim
(pendaptnya sewakyu di Irak) dengan Qaul
Jadid (pendapatnya sewaktu di Mesir). Sahabat-sahabatnya yang menyebarkan mazhab
ini antaranya Ahmad Ibnu Hambal, al Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabah
Az-Zakfani, Abu Ali al Husein bin Ali Qarabisy, Yusuf bin Yahyah Al Buaithy,
Abu Ibrahim Ismail Yahya al Muzani dan Ar-Rabik bin Sulaiman al Murady.
e). Mazhab Hanbali
Imam Ahmad adalah tokoh dari mazhab ini beliau
bernama Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal. Beliau berpegang teguh pada
ayat Alquran dipahami secara lahir dan secara mafhum adapun dasar
istinbat mengenai hukum fiqih adalah Alqur’an,
Sunnah, Fatwa sahabat, Qiyas.[26]
Adapun pola fikir imam Hanbal adalah:
1. al
Nushush dari Alqur’an
dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalan alqur’an maka Ia mengambil
makna yang tersurat, makna yang tersirat dia abaikan.
2. Apabila tidak ada ketentuan dalam Alqur’an
dan Sunnah maka ia mengambil atau menukil fatwa sahabat yang
disepakati dari sahabat sebelumya.
3. Apabla fatwa sahabat berbeda-beda
maka ia mengambil fatwa sahabat yang paling dekat dengan dalil yang ada
dalam Alqur’an dan Sunnah.
4. beiau menggunakan hadist mursal dan hadist
dha’if apabila tidak ada ketentuan
sahabat, atsar, ataupun ijmak yang
menyalahinya.
5. Apabila hadist mursal dan dhaif tidak
ada maka ia menggunakan metode Qiyas
dalam keadaan terpaksa.22
6. langkah terakhir adalah menggunakan Sadd al-Dzar’i.
Beliau tidak memiliki karya
yang dia buat sendiri hanya saja para muridnya mengembangkan ajarannya dan
membuat karya-karya tentang istinbat hukum yang beliau lakukan, salah
satu contoh dari kitab mazhab ini adalah sahabat al-Jamik al-Kabir karya Ahmad bin Muhammad bin Harun. Adapun tokoh
yang menyebarkan ajarannya adalah Ahmad bin Muhammad bin Harun, Ahmad bin
Muhammad ibn Hajjaj al Maruzi, Ishak bin Ibrahim, Shalih ibn Hanbal, ‘Abdul
Malik ibn ‘Abdul Hamid ibn Mahran al-Maumuni.23
E.
Disiplin Utama Ilmu Studi Hukum dan
Cabang-Cabangnya
Disisplin
Hukum adalah sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada
dalam hidup di tengah pergaulan. Menghadapi kenyataan yang terjadi dalam
pergaulan hidup yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi
kenyataan tertentu.
Berbicara disiplin hukum, maka ruang lingkup utamanya tiga
yaitu:
1. Ilmu Hukum adalah Ilmu tentang hukum yang
paling umum, sebagai aturan yang paling luas dan konsep yang paling penting.
Ilmu hukum ini bisa di defenisikan
sebagai ilmu kaidah yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem
kaidah-kaidah dengan dogmatik hukum dan sistiematik hukum. Cabang
ilmu hukum diantaranya Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum.
2. Filsafat Hukum adalah Ilmu pengetahuan
tentang hakikat hukum, yang isinya dasar-dasar kekuatan yang mengikat dari
hukum atau perenungan dan perumusan nilai-nilai, termasuk penyesuain
nilai-nilai.
3. Politik Hukum adalah disiplin hukum tentang
mengkhususkan diri pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang di
cita-citakan oleh masyarakat tertentu atau kegiatan-kegiatan mencari dan
memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai tersebut bagi hukum dalam mencapai
tujuannya.24
Adapun disiplin utama studi
hukum dalam hukum Islam tidak lepas dari beberapa kajian yaitu: Disiplin utama Syari’ah, Tarekh Tasyri’, Ushul fiqh, fiqh
selanjutnya akan berkembang menjadi cabang-cabang kajian studi hukum lain
seperti: Ilmu Fiqh (Fiqh Siyasah,
Muamalat, Jinayah, Munakahat dan sebagainya) selanjutnya ada juga kajian Qawaid Fiqhiyah dan Ushuliyah, fatwa,
Qanun, Qadha’ dan lain nya.
F.
Tokoh dan Karya Terpenting Perkembangan Mutakhir
Kajian Hukum Islam
Perkembangan terakhir dalam
kajian hukum Islam ini terjadi setelah adanya persentuhan budaya dengan barat.
Bisa dikatakan kalau awal perkembangan mutakhir dalam hukum Islam ini dimulai
di Turki dan Mesir yang menyadari bahwa Islam semakin tertinggal dari Barat
maka mulai saat itulah muncul toko-tokoh dalam Islam yang mencoba mereformasi
hukum Islam dengan mengangkat tema bahwa pintu ijtihad telah terbuka demi perkembangan Islam dari zaman ke zaman.
Dalam
berbagai bidang muncul tokoh-tokoh yang mencoba memberikan sumbangan fikirannya
dalam perkembangan Islam dan hukum Islam sebagai contoh Abdul Qadir Audah
dengan bukunya Tasyri’ul jina’i Al-Islamy bi al-Qonun al-Wadhie yang
memcoba membandingkan antara hukum Perancis dengan hukum Islam. Muhammad Baqir
Al-Sadr seorang ulama Syi’ah dari Irak, Sayyid Abu a’la Al-Maududi seorang idiolog
fundamentalis dalam Islam khususnya Pakistan, Ali Abd Al-Razik yang menulis
buku Al-Islam wa Ushul Al-hukum, buku ini menimbulkan kontroversi
di Mesir dan juga negeri-negeri lain karna buku ini mengemukakan mengenai
pembenaran dihapuskannya kesulthanan Utsmaniyah di Turki dan berpendapat Islam
tidak menentukan bentuk pemerintahan.25
Di
Indonesia sendiri pengkajian hukum Islam terus berkembang dengan didirikannya
IAIN serta banyaknya universitas-universitas swasta yang mengkaji Islam di
berbagai daerah di Indonesia khususnya di fakultas syari’ah yang
benar-benar kajian utama dari fakultas ini adalah hukum Islam. Selain itu
adanya MUI yang selalu memberikan fatwa yang sesuai yang dengan keadaan
Islam di Indonesia dalam memberikan istinbat hukum sesuai dengan masalah
yang ada serta majelis-majelis lainnya disetiap organisasi Islam di Indonesia,
seperti majelis tarjihnya Muhammadiyah. Hal ini merupakan suatu karya yang
penting bagi ummat Islam Indonesia serta perkembangan yang baik dalam pembaruan
hukum Islam. Selanjutnya perkembangan yang paling besar yang ada di Indonesia
ini adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam
yang merupakan fiqhnya Indonesia serta telah banyaknya dimulai pembentukan
Undang-undang di Indonesia berasaskan hukum Islam.
Belakangan
ini beredar wacana bahwa KHI yang ada
ini sudah tidak cocok lagi menurut kemajuan zaman untuk itu beberapa tokoh
Islam mencoba memberikan pembaruan KHI yang biasa saat ini dikenal dengan Counter
Legal Draft KHI (CLD KHI) yang sampai saat ini masih belum
selesai di perbincangkan karena masih terjadi pro dan kontra atas isi dari CLD
KHI tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan sebagian pihak memandang bahwa
sejumlah pasal yang ada di dalam CLD KHI itu melanggar ajaran Islam,
perbincangan dan wacana akan hal ini sangat menyorot perhatian para tokoh-tokoh
Islam.
Kontroversi
ini terus di perdebatkan hingga saat ini, Siti Musadah Mulia merupakan dengan
beberapa anggota kelompoknya adalah penyusun dari CLD KHI ini, ironisnya hal
ini tidak diterima oleh kalangan kebanyakan Ulama. Karena rancangan KHI ini
dianggap nyeleneh dan tidak sesuai dengan Alqur’an dan Sunnah.26
Sebagian
ulama telah menghitung, tidak kurang dari 39 kesalahan dalam CLD KHI. Sebagian
yang lain mengakulasi ada 19 kesalahan. Karena itu harus segera dicabut dari
peredaran agar tidak membingungkan dan semakin meresahkan masayarakat, hal ini
dikenukakan oleh ulana yang tidak mendukung sama sekali tentang pembaharuan
ini. Diantara hal-hal yang paling kontroversial dalam pasal-pasal CLD KHI ini adalah
adanya iddah bagi kaum lelaki, tidak diperbolehkannya berpoligami, anak
berbeda agama mendapat warisan, wanita bisa menikahkan dirinya sendiri dan
banyak lagi hal-hal yang menimbulkan pro dan kontra dalam CLD KHI ini.
Meskipun demikian hal ini
merupakan salah satu contoh dari adanya Usaha tokoh-tokoh Islam mengadakan
pembaruan dalam hukum Islam adapun metode yang mereka pijak dalam pembuatan CLD
KHI ini salah satunya adalah kaidah ushul yang mengatakan jawaz naskh al-nushush bi al-maslahah
serta yang pasti mengikuti metode ulama
terdahulu ataupun dengan metode baru. Patutlah hal ini dijadikan momentum
adanya usaha pembaruan hukum Islam serta keseriusan tokoh Islam membuka kembali
pintu ijtihad. Upaya mengaktualkan hukum Islam adalah suatu keniscayaan
yang tidak dapat di tawar-tawar lagi, upaya tersebut harus segera dilakukan
jika tidak mau hukum Islam tersebut ditinggalkan.
G. PENUTUP
Secara garis besar saat kajian hikum Islam jadi
pembahasan awal dari pembahasan ini tidak lepas dari pemahaman atas Syar’iah,
Fiqh, Ushul Al-fiqh, serta hal lain yang berkenaan dengan dasar pembentukan
hukun Islam yang kesemuanya bisa dikatakan merupakan asas dari aturan dan
kaidah dalam Islam sebagai pengatur kehidupan Ummat Islam dari masa ke-masa
yang tidak lepas dari sumber utamanya yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada
Rasulnya yaitu Alqur’an dan Sunnah Rasulullah itu sendiri serta
dilengkapi dengan ijtihad ulama-ulama faqh dalam pengistinbatan
hukum Islam yang belum ada kepastian hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah.
Yang
paling dikenal ada beberapa ulama hukum yang sumbangan fikirannya sampai saat
ini masih dikenal dan dipakai dalam kehidupan ummat muslim di seluruh Dunia
yaitu Imam Ja’fary, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
Ibn Hanbal. Kelima ulama ini banyak memberikan wacana hukum dan penyelesaian
hukum dalam berbagai kasus hukum dalam dunia Islam serta pembuka wacana
keilmuan dalam ilmu hukum Islam yang dikenal dengan fiqh dan pada akhirnya disiplin ilmu yang bercabang-cabang dan
terus berkembang dan dikembangkan oleh para ulama-ulama fiqh setelahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Khursid dkk, Shari’ah: the way of god, the Islamic
Fondation. terj. Nashir Budiman dan Mujibah Utami. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Anshari, Endang Saifuddin. Kuliah Al-Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet III 1992.
As-Sayis, Syekh Muhammad Ali. Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta: Akademika Presindo. 1994.
Esposito, Jhon L. Ensiklopedi
Oxford: Dunia Islam Modern. Bandung:
Mizan, 2002.
Ghazali, M. Bahri. Perbandingan Mazha. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
Ghazali, Abdul Moqsith. Argumen
Metodologi CLD KHI. www.Islam lib.com.
Hasbi AR, Perbandingan Mazhab
Suatu Pengantar, Medan:
Naspar Djaja 1985.
Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal (Beirud: Dar al-Fikr, t.th
Rahman, Fazlur. Membuka Pintu Ijtihad. Terjemahan Anas
Mahyuddin. Bandung:
Pustaka, 1995.
Zahrah, Muhammad Abu. Muhadarat fil Ushul al-Fiqh al-Ja’fary.
Muhadharat ad-Dirasah al-Arabiyah al-‘Aliyah, 1995.
M. Ali As-Sais dan Mahmud
Syaltut, Perbandingan Mazhab dalam
Masalah Fiqh, terj. Ismuha, Jakarta:
Bulan Bintang. 1987.
Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi
Al-Lughat. Beirut:
Dar al-Masyriq, tth.
Mansur, Asep Saefuddin. Kedudukan Mazhab Dalam Hukum Islam. Jakarta: Pustaka
al-Hasanah, 1998.
Marasiah, Lajnah. Buhutsu fi Fiqhi
ala Mazhabi li Imam Syafi’i Kairo:Maktabu
Mubarak, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Remaja Rosyda
Karya, 2000.
Ramadan, Said. Islamic Law its Scope and Equity. Jakarta:Gaya
Media Pratama, 1996.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan
Pranata Sosial. Jakarta:
Raja Grafindo Persada 1996.
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Penerbit Attahiriyah. 1976, Cet. 17.
______________Risalah Wathabi’iayah, 2000.
Sisworo, Soedjono Dirjo. Pengantar
Ilmu Hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000.
Syarifuddin, H. Amir. Ushul
Fiqh. Jakarta: Kencana. 2008.
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum
Islam. Bandung:
LPPM Universitas Bandung, 1995.
Yanggo, Huzaimah Tohido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos, 1997.
Yuslem, Nawir. al-Burhan fi Ushul al-Fiqh Kitab Induk Usul Fikih
Konsep Masalah Imam al-Haramaini al-Juwayni dan Dinamika Hukum Islam. Bandung: Citapustaka
Media, 2007.
Wadud, Romadlon Abdul. Ushul Fiqh Lighairi al Hanafiyah. Kairo
Mesir: Universitas al-Azhar, tth.
Zahrah, Muhammad Abu, Muhadarat
fil Ushul al-Fiqh al-Ja’fary. Muhadharat ad-Dirasah al-Arabiyah al-‘Aliyah,
1995.
Zuhaili, Wahbah. Al- Fiqh al-Islam
wa-Adillatuhu. jld I, Damaskus: Darul Fikri,1997.
[1]
Syekh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo,
1994), h. 1.
[2]
Q.S. Al-jastsiyah: 18.
[3]
As-Sayis, Sejarah. h. 1.
[4]
Q.S. Al-Maidah: 48.
[6]
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta:
Penerbit Attahiriyah. 1976), Cet. 17, h. 18.
[7]
Rasyid. Fiqh. h. 19.
[8] H.
Amir syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana. 2008), h. 2.
[9] Syarifuddin.
Ushul. h. 4.
[10]
Romadlon Abdul Wadud, Ushul Fiqh Lighairi al Hanafiyah (Kairo Mesir:
Universitas al-Azhar, tth), h. 21
[11]
Asep Saefuddin Mansur, Kedudukan Mazhab Dalam Hukum Islam (Jakarta:
Pustaka al-Hasanah, 1998), h. 16.
[12]
Huzaimah Tohido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos,
1997), h. 71.
[13]
M. Bahri Ghazali, Perbandingan Mazha (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992),
h. 5.
[14]
Yanggo. Pengantar. h. 74.
[15]
Nawir Yuslem, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh Kitab Induk Usul Fikih Konsep
Masalah Imam al-Haramaini al-Juwayni dan Dinamika Hukum Islam ( Bandung: Citapustaka
Media, 2007), h. 1.
[16] Musnad
al-Imam Ahmad ibn Hambal (Beirud: Dar al-Fikr, tth) juz 5, h. 230.
[17]
Ghazali. Perbandingan. h. 9.
[18]
Ghazali, Perbandingan. h. 27.
[19]
Ghazali, Perbandingan. h. 31.
[20]
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terjemahan Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka), 1995.
h. 33.
[21]
Rahman, Membuka. h. 33.
[22]
Rahman, Membuka. h. 35.
10 Lisan
al-Arab, jld XI (Beirut:
Dar-Sadr, tth), h.572
11 Abdul Azis Dahlan. h,326
12 Muhammad
Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cet II 2004),
h.44
13 Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, cet III 1992), H.78
14 Muhammad Daud Ali, Hukum Isla., h. 41
15 Khursid Ahmad dkk, Shari’ah: the way of god, the Islamic
Fondation, terj. Nashir Budiman dan Mujibah Utami (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 80
16 Said Ramadan, Islamic Law its Scope and Equit (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1996), h. 66.
17 M. Ali As-Sais dan Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh,
terj. Ismuha (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 16-18.
18 Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fil
Ushul al-Fiqh al-Ja’fary (Muhadharat ad-Dirasah al-Arabiyah al-‘Aliyah,
1995), h. 28.
[23]
Zahrah. Muhadarat. h. 35
[24]
Zahrah. Muhadarat. h. 40
[25]
Zahrah. Muhadarat. h. 47
20 Zahrah,
Muhadarat. h. 83.
21 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada
1996), h. 151.
[26]
Rosyada, Hukum. h. 159.
22 Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 2000), h. 118.
24 Soedjono Dirjo Sisworo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000), h. 46.
25 Jhon L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Moderm (Bandung:
Mizan, 2002), h. 209-210.
0 komentar:
Post a Comment