Pages

Saturday, October 17, 2015

Urgensi Pendidikan Akhlak (Membentuk Karakter Islami) oleh: Edi Sucipno







                                                               PENDAHULUAN
Dewasa ini kita menyaksikan fenomena kemerosotan akhlaq yang semakin meluas, baik pada level individu maupun masyarakat. Indikasinya dapat dilihat dari semakin meningkatnya berbagai kasus nir akhlaq, seperti tawuran dan kerusakan massal, konsumsi narkoba, perzinahan, tindakan kriminal, terorisme, korupsi, dan lain-lain. Tidak hanya kaum muda dan remaja, kasus-kasus nir akhlaq tersebut juga dilakukan para orang tua. Begitu juga, tidak hanya orang awam, perilaku nir akhlaq tersebut juga melibatkan kelompok elit dan terdidik, seperti pejabat Negara dan anggota DPR. Padahal, sebagaimana dinyatakan penyair Syauqi : Sesungguhnya kejayan suatu umat atau bangsa terletak pada kemuliaan akhlaqnya. Ketika mereka tidak lagi berakhlaq mulia (umat itu kehilangan akhlaqnya), maka jatuhlah umat atau bangsa itu”.[1]
Fenomena kemerosotan akhlaq tersebut semakin mempertegas urgensi dan pentingnya pemberdayaan kembali pendidikan akhlaq. Hemat penulis, pendidikan akhlaq merupakan faktor penentu atau instrument kunci dalam upaya memproduk, membangun, atau mengembangkan individu dan masyarakat yang beradab, sesuai dengan nilai-nilai akhlaq al karimah.
Persoalannya adalah, selama ini sebenarnya kita telah melaksanakan pendidikan akhlaq, baik di rumah maupun lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti sekolah dan madrasah. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional sendiri secara eksplisit ditegaskan bahwa salah satu tujuan pelaksanaan pendidikan Nasional adalah membentuk manusia yang berakhlaq mulia.[2] Namun, sepertinya kita gagal dalam membentuk manusia yang berakhlaq mulia itu. Fenomena sebagaimana dideskripsikan di atas merupakan salah satu bukti akan ‘kegagalan’ tersebut. Karenanya, mencermati hal itu maka diskusi akan perbincangan tentang pendidikan akhlaq semakin menemukan urgensinya. Sebab, salah satu persoalan krusial yang harus direspon dan diatasi oleh dunia pendidikan adalah masalah akhlaq.

KEDUDUKAN AKHLAQ DALAM ISLAM
Dalam Islam, akhlaq menempati posisi sentral (Inti Ajaran Islam). Pembuktian statemen ini didasarkan pada pengakuan Muhammad Saw bahwa misi kerasulan beliau adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.[3]  Ini bermakna bahwa Islam didakwahkan Rasulullah adalah suatu sistem syari’ah yang menata idealitas hubungan seorang muslim dengan Allah Swt, dengan diri sendiri, sesama manusia, dan alam semesta.
Sebagai sistem syari’ah akhlaq bersumber dari Allah Swt, Sang Pencipta, Pengatur, Pemelihara, Pendidik seluruh makhluk-Nya. Akhlaq merupakan nilai, norma, dan kaedah yang mendasari seluruh dimensi kehidupan manusia muslim. Dalam konteks ini, akhlaq merupakan aturan normatif yang menata prilaku manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam Islam, akhlaq merupakan akar dari segala kebaikan dan keutamaan yang akan memberi nilai seseorang di hadapan Tuhan dan makhluk lainnya. Keimanan dan keislaman seseorang dinilai kurang, bahkan tidak sempurna, jika tidak dilandasi dan dibingkai dengan akhlaq yang mulia. Dalam Islam, iman saja tidak cukup untuk mengangkat kedudukan seorang muslim atau suatu umat ke derajat yang tinggi. Iman harus didasarkan pada al’ilm, al’ilm harus diwujudkan dalam bentuk amal saleh, dan amal saleh harus didasarkan serta dibingkai dengan akhlaq yang mulia.

URGENSI PENDIDIKAN AKHLAQ
Pendidikan akhlaq pada dasarnya adalah suatu proses edukasi untuk membantu setiap individu muslim mengaktualisasi potensi dirinya, baik jasmani maupun rohani (al-’aql, al- qalb, dan al-nafs), agar berkemampuan menata hubungan baik dengan Allah Swt, diri sendiri, sesama manusia, dan alam semesta.
Berdasarkan definisi di atas, maka tujuan pendidikan akhlaq adalah untuk menanamkan dan mendisiplinkan nilai-nilai, norma-norma, atau kaedah-kaedah tentang baik-buruk atau terpuji-tercela ke dalam diri dan kepribadian manusia muslim agar mereka berkemampuan memilih untuk menampilkan prilaku yang baik atau terpuji dan menghindari atau meninggalkan prilaku buruk atau tercela dalam kehidupannya. Dengan demikian, produk akhir dari pendidikan akhlaq adalah terbentuknya “Insan Adaby”,  yaitu manusia muslim yang mampu mendisiplinkan al-jism, al-‘aql, al-qalb, dan al-nafs-nya dengan akhlaq yang mendorong mereka untuk senantiasa menampilkan prilaku mulia sepanjang hidupnya.
Pengertian dan tujuan di atas, menjelaskan bahwa pendidikan akhlaq sangat berperan penting dalam upaya menciptakan individu dan masyarakat yang beradab. Tanpa pendidikan akhlaq, tidak akan tercipta individu dan masyarakat yang memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk menampilkan prilaku mulia dalam kehidupan spiritual, sosial dan peradaban, apalagi saat ini kita berada pada era globalisasi, yang memang harus dituntut memiliki akhlaq mulia sebagai filter dalam bertindak dan berbuat sesuatu.
Menyadari pentingnya pendidikan akhlaq dalam Islam, maka proses edukasi untuk menta’lim, mentarbiyah atau menta’dibkannya ke dalam hati setiap muslim adalah merupakan sebuah keniscayaan. Dalam sejarah Muhammad Saw, di samping menanamkan keimanan kepada Allah Swt, tarbiyah al-akhlaq merupakan aktivitas yang beliau lakukan sepanjang kehidupannya. Pensucian jiwa dan penguatan keimanan adalah tujuan utama dari dasar-dasar sistem pendidikan Islam yang telah diletakkan Rasulullah.[4] Menurut Harun Nasution, jika diperhatikan riwayat hidup Rasulullah, maka akan tampak bahwa hampir setengah dari kepemimpinannya sebagai Rasul dipergunakan untuk membina jiwa atau ruhani para pengikutnya.[5]
Berdasarkan praktik pendidikan yang dilakukan Rasulullah Saw, dapat dikemukakan bahwa pendidikan akhlaq merupakan dimensi terpenting dalam membangun dan membina individu dan umat Islam. Ia telah membuktikan bahwa kehidupan umat yang dibangun lewat pendidikan akhlaq telah menghasilkan peradaban yang unggul. Output pendidikan yang dihasilkannya adalah sahabat dan tabi’in yang kuat keimanannya dan suci nuraninya, sehingga lahir sifat-sifat kebaikan dan keutamaan yang menghidupi kreaktivitas dan karya mereka sepanjang kehidupannya. Kemenangan dimedan pertempuran, harta kekayaan, pencapaian material, dan jabatan, tidak membuat mereka lupa diri, melainkan tetap teguh menampilkan prilaku yang memiliki kualifikasi akhlaq al-karimah.
Cara Rasulullah dalam melaksanakan pendidikan akhlaq yaitu[6] :
Pertama, kurikulum pendidikan akhlaq bersumber kepada ayat-ayat Allah Swt, yang terhimpun dalam alqur’an.
Kedua, melakukan proses pensucian diri umatnya (tazkiyah al-Nafs) yaitu, hati atau jiwa dari berbagai penyakit, seperti : “AIDS”, (Angkuh, Iri, Dengki dan sombong) atau “SMS”, (senang melihat orang susah, susah melihat orang senang). Beliau juga mentazkiyahkan akal pikiran manusia dari berbagai hal yang dapat menggelincirkan akal dari kebenaran : Penyakit  “SPILIS”,  (Skulerisme,   Pluralisme,   Liberalisme,   Idealisme   dan   Skeptisme), dan Rasul juga mentazkiyahkan al-nafs, agar mampu mengendalikan diri dari berbagai kecenderungan syahwat yang merusak seperti, penykit “HMP” (hedonisme, materialisme dan pragmatisme).
Ketiga, menta’limkan ilmu dan akhlaq, inilah proses edukasi Rasulullah Saw. Sebagaimana firman Allah Swt dalam alqur’an : “Dialah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang ummy seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan (tazkiyah) mereka dan mengajarkan (ta’lim) mereka al-kitab dan al-hikmah (al-sunnah), dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata”.[7]

Pendidikan akhlaq adalah pembentukan prilaku yang mulia atau terpuji, maka metode yang diterapkan Rasulullah Saw adalah metode pemberian ketauladanan (uswah hasanah), pembimbingan, pelatihan, dan pembiasaan. Dalam konteks pemberian ketauladan, Rasulullah Saw secara konsisten dan kontiniu menampilkan dirinya sebagai model (modeling) dari seluruh nilai, norma dan kaedah prilaku mulia yang dididikannya. Beliau tidak pernah meminta atau menuntut umatnya melakukan sesuatu kecuali beliau berada di depan dalam mempraktikkan atau mengamalkannya. Inilah yang harus kita lakukan, siapapun orangnya, apa ia seorang guru, siswa, pegawai, pedagang dan pejabat negara sekalipun harus menjadikan Rasulullah sebagai contoh tauladan, agar terwujud negara yang Baldhatun Tauyibatul Warabbul Ghofur.  

PENUTUP
Pendidikan akhlaq dapat membentuk karakter Islami, manakalah kita mampu menjadikan Rasulullah Saw sebagai contoh tauladan dalam berbicara, berbuat dan bersikap, karena pada diri Rasulullah terdapat uswatun hasanah.
Akhlaq al-karimah, sebagai filter dalam melakukan sesuatu perbuatan di era globalisasi yang menuntut pengembangan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan berkaca kepada praktik pendidikan yang dilakukan Rasulullah Saw.
Potensi diri, atau kualitas sumber daya manusia tidak saja ditentukan oleh kecerdasan intelektual dan keterampilan teknikal, tetapi juga oleh kemuliaan atau keluhuran akhlaq. Berapa banyak bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang cerdas secara intelektual dan terampil secara teknikal, namun karena ketiadaan akhlaq mengalami kemunduran bahkan kehancuran. Karenanya, dalam mendidik generasi muda ke depan, pencapaian akademik adalah penting, sama pentingnya dengan penguasaan keahlian atau keterampilan teknikal. Tetapi, kemuliaan akhlaq adalah suatu hal yang lebih penting dari semua itu. Sebab mendidik manusia agar berakhlaq atau berprilaku mulia adalah pelaksanaan konkrit dari misi kerasulan Muhammad saw.


[1] Umar bin Ahmad Baraja, Akhlak Lil Banin, (Surabaya: Nabhan, Juz .II, tt), h. 2.
[2] UU Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Diknas, 2007), h. 8.
[3] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, (Beirut: Dar al Fikr,Jilid II, 1991), h. 381.
[4] Syed Ausaf Ali, Islam and Modern Education, dalam Muslim Education Quartelly (1987), h. 37.
[5] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan, 1995), h. 42.
[6] Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan (Bandung: Ciputatan, Media, 2008), h. 142-143.
[7] Q.S. al-Jumu’ah [62]: 2

0 komentar:

Post a Comment