PENDAHULUAN
Dewasa ini kita menyaksikan fenomena kemerosotan akhlaq yang semakin meluas,
baik pada level individu maupun masyarakat. Indikasinya dapat dilihat dari
semakin meningkatnya berbagai kasus nir
akhlaq, seperti tawuran dan kerusakan massal, konsumsi narkoba, perzinahan,
tindakan kriminal, terorisme, korupsi, dan lain-lain. Tidak hanya kaum muda dan
remaja, kasus-kasus nir akhlaq tersebut juga dilakukan para orang tua. Begitu
juga, tidak hanya orang awam, perilaku nir
akhlaq tersebut juga melibatkan kelompok elit dan terdidik, seperti pejabat
Negara dan anggota DPR. Padahal, sebagaimana dinyatakan penyair Syauqi : “Sesungguhnya kejayan suatu umat atau bangsa
terletak pada kemuliaan akhlaqnya. Ketika mereka tidak lagi berakhlaq mulia
(umat itu kehilangan akhlaqnya), maka jatuhlah umat atau bangsa itu”.[1]
Fenomena kemerosotan akhlaq tersebut semakin mempertegas urgensi dan
pentingnya pemberdayaan kembali pendidikan akhlaq. Hemat penulis, pendidikan
akhlaq merupakan faktor penentu atau instrument kunci dalam upaya memproduk,
membangun, atau mengembangkan individu dan masyarakat yang beradab, sesuai
dengan nilai-nilai akhlaq al karimah.
Persoalannya adalah, selama ini sebenarnya kita telah melaksanakan
pendidikan akhlaq, baik di rumah maupun lembaga-lembaga pendidikan formal,
seperti sekolah dan madrasah. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
sendiri secara eksplisit ditegaskan bahwa salah satu tujuan pelaksanaan
pendidikan Nasional adalah membentuk
manusia yang berakhlaq mulia.[2]
Namun, sepertinya kita gagal dalam membentuk manusia yang berakhlaq mulia itu.
Fenomena sebagaimana dideskripsikan di atas merupakan salah satu bukti akan
‘kegagalan’ tersebut. Karenanya, mencermati hal itu maka diskusi akan
perbincangan tentang pendidikan akhlaq semakin menemukan urgensinya. Sebab,
salah satu persoalan krusial yang harus direspon dan diatasi oleh dunia
pendidikan adalah masalah akhlaq.
KEDUDUKAN AKHLAQ DALAM ISLAM
Dalam Islam, akhlaq menempati
posisi sentral (Inti Ajaran Islam). Pembuktian statemen ini didasarkan pada
pengakuan Muhammad Saw bahwa misi kerasulan beliau adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.[3] Ini bermakna bahwa Islam didakwahkan
Rasulullah adalah suatu sistem syari’ah yang menata idealitas hubungan seorang
muslim dengan Allah Swt, dengan diri sendiri, sesama manusia, dan alam semesta.
Sebagai sistem syari’ah akhlaq bersumber dari Allah Swt, Sang Pencipta,
Pengatur, Pemelihara, Pendidik seluruh makhluk-Nya. Akhlaq merupakan nilai,
norma, dan kaedah yang mendasari seluruh dimensi kehidupan manusia muslim.
Dalam konteks ini, akhlaq merupakan aturan normatif yang menata prilaku manusia
sebagai makhluk sosial.
Dalam Islam, akhlaq merupakan akar dari segala kebaikan dan keutamaan
yang akan memberi nilai seseorang di hadapan Tuhan dan makhluk lainnya.
Keimanan dan keislaman seseorang dinilai kurang, bahkan tidak sempurna, jika
tidak dilandasi dan dibingkai dengan akhlaq yang mulia. Dalam Islam, iman saja
tidak cukup untuk mengangkat kedudukan seorang muslim atau suatu umat ke
derajat yang tinggi. Iman harus didasarkan pada al’ilm, al’ilm harus diwujudkan dalam bentuk amal saleh, dan amal
saleh harus didasarkan serta dibingkai dengan akhlaq yang mulia.
URGENSI PENDIDIKAN AKHLAQ
Pendidikan akhlaq pada dasarnya adalah suatu proses edukasi untuk
membantu setiap individu muslim mengaktualisasi potensi dirinya, baik jasmani
maupun rohani (al-’aql, al- qalb, dan
al-nafs), agar berkemampuan menata hubungan baik dengan Allah Swt, diri
sendiri, sesama manusia, dan alam semesta.
Berdasarkan definisi di atas, maka tujuan pendidikan akhlaq adalah untuk
menanamkan dan mendisiplinkan nilai-nilai, norma-norma, atau kaedah-kaedah
tentang baik-buruk atau terpuji-tercela ke dalam diri dan kepribadian manusia
muslim agar mereka berkemampuan memilih untuk menampilkan prilaku yang baik
atau terpuji dan menghindari atau meninggalkan prilaku buruk atau tercela dalam
kehidupannya. Dengan demikian, produk akhir dari pendidikan akhlaq adalah
terbentuknya “Insan Adaby”, yaitu manusia muslim yang mampu mendisiplinkan
al-jism, al-‘aql, al-qalb, dan
al-nafs-nya dengan akhlaq yang mendorong mereka untuk senantiasa
menampilkan prilaku mulia sepanjang hidupnya.
Pengertian dan tujuan di atas, menjelaskan bahwa pendidikan akhlaq sangat
berperan penting dalam upaya menciptakan individu dan masyarakat yang beradab.
Tanpa pendidikan akhlaq, tidak akan tercipta individu dan masyarakat yang
memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk menampilkan prilaku mulia dalam
kehidupan spiritual, sosial dan peradaban, apalagi saat ini kita berada pada
era globalisasi, yang memang harus dituntut memiliki akhlaq mulia sebagai
filter dalam bertindak dan berbuat sesuatu.
Menyadari pentingnya pendidikan akhlaq dalam Islam, maka proses edukasi
untuk menta’lim, mentarbiyah atau menta’dibkannya ke dalam
hati setiap muslim adalah merupakan sebuah keniscayaan. Dalam sejarah Muhammad
Saw, di samping menanamkan keimanan kepada Allah Swt, tarbiyah al-akhlaq merupakan aktivitas yang beliau lakukan
sepanjang kehidupannya. Pensucian jiwa dan penguatan keimanan adalah tujuan
utama dari dasar-dasar sistem pendidikan Islam yang telah diletakkan Rasulullah.[4]
Menurut Harun Nasution, jika diperhatikan riwayat hidup Rasulullah, maka akan
tampak bahwa hampir setengah dari kepemimpinannya sebagai Rasul dipergunakan
untuk membina jiwa atau ruhani para pengikutnya.[5]
Berdasarkan praktik pendidikan yang dilakukan Rasulullah Saw, dapat
dikemukakan bahwa pendidikan akhlaq merupakan dimensi terpenting dalam
membangun dan membina individu dan umat Islam. Ia telah membuktikan bahwa
kehidupan umat yang dibangun lewat pendidikan akhlaq telah menghasilkan
peradaban yang unggul. Output pendidikan
yang dihasilkannya adalah sahabat dan tabi’in yang kuat keimanannya dan suci
nuraninya, sehingga lahir sifat-sifat kebaikan dan keutamaan yang menghidupi
kreaktivitas dan karya mereka sepanjang kehidupannya. Kemenangan dimedan pertempuran,
harta kekayaan, pencapaian material, dan jabatan, tidak membuat mereka lupa
diri, melainkan tetap teguh menampilkan prilaku yang memiliki kualifikasi akhlaq al-karimah.
Cara Rasulullah dalam melaksanakan pendidikan akhlaq yaitu[6] :
Pertama, kurikulum pendidikan akhlaq
bersumber kepada ayat-ayat Allah Swt, yang terhimpun dalam alqur’an.
Kedua, melakukan proses pensucian diri
umatnya (tazkiyah al-Nafs) yaitu,
hati atau jiwa dari berbagai penyakit, seperti : “AIDS”, (Angkuh, Iri, Dengki
dan sombong) atau “SMS”, (senang melihat orang susah, susah melihat orang
senang). Beliau juga mentazkiyahkan akal pikiran manusia dari berbagai hal yang
dapat menggelincirkan akal dari kebenaran : Penyakit “SPILIS”,
(Skulerisme, Pluralisme, Liberalisme, Idealisme dan
Skeptisme), dan Rasul juga mentazkiyahkan al-nafs, agar mampu mengendalikan diri dari berbagai kecenderungan
syahwat yang merusak seperti, penykit “HMP” (hedonisme, materialisme dan
pragmatisme).
Ketiga, menta’limkan ilmu dan akhlaq,
inilah proses edukasi Rasulullah Saw. Sebagaimana firman Allah Swt dalam
alqur’an : “Dialah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang ummy seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan (tazkiyah) mereka
dan mengajarkan (ta’lim) mereka
al-kitab dan al-hikmah (al-sunnah), dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata”.[7]
Pendidikan akhlaq adalah pembentukan prilaku yang mulia atau terpuji,
maka metode yang diterapkan Rasulullah Saw adalah metode pemberian ketauladanan
(uswah hasanah), pembimbingan,
pelatihan, dan pembiasaan. Dalam konteks pemberian ketauladan, Rasulullah Saw
secara konsisten dan kontiniu menampilkan dirinya sebagai model (modeling) dari seluruh nilai, norma dan
kaedah prilaku mulia yang dididikannya. Beliau tidak pernah meminta atau
menuntut umatnya melakukan sesuatu kecuali beliau berada di depan dalam
mempraktikkan atau mengamalkannya. Inilah yang harus kita lakukan, siapapun
orangnya, apa ia seorang guru, siswa, pegawai, pedagang dan pejabat negara
sekalipun harus menjadikan Rasulullah sebagai contoh tauladan, agar terwujud
negara yang Baldhatun Tauyibatul Warabbul
Ghofur.
PENUTUP
Pendidikan akhlaq dapat membentuk karakter Islami, manakalah kita mampu menjadikan Rasulullah
Saw sebagai contoh tauladan dalam berbicara, berbuat dan bersikap, karena pada
diri Rasulullah terdapat uswatun hasanah.
Akhlaq al-karimah, sebagai
filter dalam melakukan sesuatu perbuatan di era globalisasi yang menuntut
pengembangan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan berkaca kepada
praktik pendidikan yang dilakukan Rasulullah Saw.
Potensi diri, atau kualitas sumber daya manusia tidak saja ditentukan
oleh kecerdasan intelektual dan keterampilan teknikal, tetapi juga oleh
kemuliaan atau keluhuran akhlaq. Berapa banyak bangsa yang memiliki sumber daya
manusia yang cerdas secara intelektual dan terampil secara teknikal, namun
karena ketiadaan akhlaq mengalami kemunduran bahkan kehancuran. Karenanya,
dalam mendidik generasi muda ke depan, pencapaian akademik adalah penting, sama
pentingnya dengan penguasaan keahlian atau keterampilan teknikal. Tetapi,
kemuliaan akhlaq adalah suatu hal yang lebih penting dari semua itu. Sebab
mendidik manusia agar berakhlaq atau berprilaku mulia adalah pelaksanaan
konkrit dari misi kerasulan Muhammad saw.
[1] Umar bin Ahmad Baraja, Akhlak Lil Banin, (Surabaya: Nabhan, Juz .II,
tt), h. 2.
[2] UU Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Diknas, 2007),
h. 8.
[3] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, (Beirut:
Dar al Fikr,Jilid II, 1991), h. 381.
[4] Syed Ausaf Ali, Islam and Modern Education, dalam Muslim
Education Quartelly (1987), h. 37.
[5] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan,
1995), h. 42.
[6] Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, Membangun
Kerangka Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan (Bandung: Ciputatan,
Media, 2008), h. 142-143.
[7] Q.S. al-Jumu’ah [62]: 2
0 komentar:
Post a Comment