Pages

Wednesday, October 21, 2015

STUDI ISLAM "METODE DAN PENDEKATAN" OLEH: EDI SUCIPNO



STUDI ISLAM
"METODE DAN PENDEKATAN"
OLEH: EDI SUCIPNO


A. Pendahuluan
            Islam diyakini sebagai agama terakhir yang diwahyukan Tuhan. Sebagai agama, Islam bukan hanya sebatas agama yang terdiri atas seperangkat sistem kepercayaan, lambang-lambang nilai moral atau kumpulan dari upacara dan ritual-ritual keagamaan. Namun kita meyakini bahwa Islam merupakan sebuah sistem yang sempurna yang mencakup semua aspek kehidupan, baik dalam lingkup kehidupan individu maupun sosial. Islam dapat menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan yang muncul belakangan ini. Sifat rahmat Islam tidak terbatas pada golongan, bangsa dan ras tertentu. Islam berlaku untuk seluruh manusia dan sepanjang zaman (rahmatan lil’alamin).[1]           
            Agar sifat rahmat Islam tersebut dapat dirasakan secara realistis oleh manusia, Islam harus dikaji dan dipelajari dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode tertentu untuk kemudian dipedomani dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Kegiatan pengkajian Islam dalam berbagai aspeknya ini kemudian  yang dikenal dengan istilah studi Islam.
            Studi Islam berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik di dunia Islam maupun non Islam. Pusat-pusat studi Islam di dunia Islam terdapat di universitas al-Azhar di Mesir, universitas Ummul Qura di Arab Saudi dan Universitas Teheran di Teheran. Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan di beberapa negara seperti di India, Chicago, Los Angeles, London dan Kanada. Sementara di Indonesia, studi Islam dipelajari pada perguruan  tinggi agama Islam dan beberapa perguruan tinggi swasta di Indonesia.[2]
            Berkenaan dengan studi Islam, hal yang termasuk perangkat mendasar adalah rumusan pengertian studi Islam, makna Islam, metode, metodologi, pendekatan, paradigma, yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Oleh karena itu,

B. Pengertian Islam, Muslim dan Islamisasi
1. Pengertian Islam
            Dari segi etimologis kata Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima (سلم) yang diartikan نجا و برئ من عـيـب وآفة " ” [selamat dan terlepas dari cacat dan penyakit].[3] Kata salima juga dapat diartikan selamat, sentosa dan damai. Dari kata salima kemudian diubah ke dalam bentuk wazn af’ala menjadi aslama dengan menambahkan huruf hamzah di awal (أسلم – يسلم - إسلاما) yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. [4] Yatimin Abdullah berpendapat kata Islam dapat berasal dari kata silmun yang artinya keselamatan atau perdamaian. Kata silmun terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah/2 :  128 (sic) dan Q.S Muhammad/47 :  35.[5]
Selaras dengan beberapa pengertian etimologis di atas, menurut Afif ‘Abd al-Fatah Thabarah kata Islam berasal dari kata as-salamu, as-salmu, dan as-silmu yang berarti menyerahkan diri, pasrah, tunduk dan patuh dari manusia terhadap Tuhannya atau makhluk terhadap Khalik Tuhan Yang Maha Esa.[6]
Dengan demikian, secara antropologis perkataan Islam sudah menggambarkan fitrah dan kodrat manusia sebagai makhluk yang harus patuh dan tunduk kepada Tuhannya. Pengertian ini menimbulkan pemahaman bahwa manusia yang tidak patuh dan tunduk pada Tuhannya adalah wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya.[7]
            Secara terminologis, kata Islam berarti agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui nabi Muhammad saw sebagai rasul mengenai berbagai aspek dalam kehidupan manusia.[8] Menurut Maulana Muhammad Ali bahwa Islam adalah agama perdamaian dengan dua ajaran pokok yaitu keesaan Tuhan dan persaudaraan umat manusia. Kedua ajaran pokok tersebut menjadi bukti nyata akan keselarasan Islam dengan namanya. [9]
            Adapun Arkoun, seorang guru besar studi Islam, membantah pemaknaan Islam yang diinterpretasikan oleh banyak kalangan dengan mengambil terjemahan ke dalam bahasa Prancis dengan arti “tunduk dan patuh”.  Menurutnya ada hal lain yang tidak hanya tunduk dan patuh yang harus dimuat oleh kata Islam secara terminologi, tetapi juga merasakan getaran cinta kepada Allah SWT dan rasa ingin menyandarkan diri kepada semua yang diperintahkanNya.[10]
            Para orientalis sering mengidentikkan Islam dengan istilah Muhammaddanism dan Muhammaden. Peristilahan ini muncul disebabkan pada umumnya agama di luar Islam sering diidentikkan dengan pendirinya. Seperti agama Budha yang disandarkan kepada tokoh pendirinya Sidharta Gautama Budha dan agama Yahudi yang disandarkan kepada orang-orang Yahudi (Jews), asal nama dari negara Juda (Judea) atau Yahuda.[11]
            Penyebutan istilah Muhammaddanism dan Muhammaden untuk agama Islam bukan saja tidak tepat, akan tetapi secara prinsipil salah. Peristilahan tersebut dapat mengandung arti pemujaan dan pengkultusan terhadap nabi Muhammad saw dan menyebabkan pemahaman yang salah. Analogi nama dengan agama-agama lainnya tidaklah mungkin bagi Islam.[12]
2. Pengertian Muslim, Islami dan Islamisasi
            Secara etimologis kata muslim berasal dari bahasa arab mengambil bentuk ism’ fā’il (kata benda yang menyatakan subjek) أسلم – يسلم – إسلاما - وهو مُسْـلِمٌ yang dapat diartikan “Man Kana Ala Din Al-Islam” ( من كان على دين الاسلام) [orang yang memeluk agama Islam] [13]  atau orang yang berserah diri pada Allah.[14]
Arkoun memaknai muslim secara etimologis adalah orang yang menyerahkan dirinya. Sedangkan secara terminologis,  adalah orang yang melakukan penyerahan diri dan komitmen wujudnya kepada Tuhan dan nabi-Nya secara sukarela.[15] Dengan demikian, pengertian ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam kata Islam yang berarti penyerahan diri pasrah, tunduk dan patuh dari manusia terhadap Tuhannya. Jika kata Islam mengacu kepada perbuatannya, maka kata muslim mengacu kepada subjeknya (orang yang melakukan perbuatan tersebut).
            Hal yang menyangkut dengan sifat keislaman disebut dengan islami. Artinya adalah hal-hal yang telah disifatkan dengan Islam dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam berbagai aspek kehidupan seorang muslim.
            Istilah islamisasi dapat diartikan sebagai perbuatan atau proses memasukkan nilai-nilai Islam. Pengertian ini sesuai dengan pendapat Mulyanto yang berbendapat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah penerapan etika-etika Islam dalam ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata lain Islam hanya berlaku sebagai etika-etika keagamaan di luar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi dasarnya adalah ilmu pengetahuan adalah bebas, maka konsekuensi logisnya adalah mustahil muncul ilmu pengetahuan Islami.[16]

C. Islam Sebagai Sumber, Sebagai Pemikiran, Sebagai Pengamalan (Budaya/Peradaban);  Studi Normatif dan non-Normatif
Pada tataran sebagai sumber, agama Islam adalah agama samawi yang dibawa oleh Rasulullah SAW dengan kitab suci Alquran sebagai sumbernya pokoknya.[17] Muhammad Abduh, mendudukkan fungsi Alquran dengan fungsi yang tertinggi. Dalam arti, walaupun akal sehat mampu mengetahui yang salah dan benar, yang baik dan yang buruk, tetapi ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang gaib.[18]
Lebih dari itu, fungsi Alquran sebagai sumber nilai objektif, universal dan abadi. Karena ia diturunkan dari zat yang maha tinggi. Kehujahan sumber hukum Islam ini dapat dibenarkan, karena ia merupakan sumber segala macam aturan tentang hukum sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dan sebagainya.
Diakui bahwa Alquran bukanlah “kitab ensiklopedia” yang berbicara tentang segala macam ilmu pengetahuan secara rinci, tetapi ia berbicara tentang segala hal ilmu pengetahuan secara global :  mulai dari masalah aqidah, ibadah, dan akhlaq sampai masalah politik ekonomi, hukum budaya, antropologi, biologi, fisika, kimia, bahkan teknologi perang dan sebagainya.[19]
Dalam masalah ilmu pengetahuan contohnya, Alquran tidak mencakup teori-teori ilmiah yang baru dan berubah serta merupakan hasil usaha-usaha manusia dalam penelitian dan eksprimen. Tetapi lebih terletak pada dorongannya untuk berfikir dan menggunakan akal. Di mana hal ini tidak banyak diungkap oleh kitab-kitab agama terdahulu (sebelum Alquran).[20] Sebagaimana yang telah terkandung dalam al-Quran surat Al-‘Alaq/96 :  1-5.
1.  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.  Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.  Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.  Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5.  Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. [21]

            Pada tataran pemikiran atau pemahaman, Islam memberikan ruang kajian ilmiah yang tidak kalah luasnya dengan Islam sebagai wahyu. Banyak perdebatan-perdebatan antar kelompok-kelompok teologi merupakan perdebatan dalam tataran kedua ini. Contohnya adalah masalah tingkah laku seorang manusia, apakah ia mempunyai kehendak sendiri ataukah pekerjaannya sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Perdebatan dalam masalah ini ramai diperbincangkan oleh kaum Mu’tazilah, As’ariyah dan golongan lainnya.
            Selain itu, mengkaji proses Mu’tazilah kemudian menganut paham free-will juga termasuk dalam kajian Islam sebagai pemikiran. Bagaimana kemudian memahami kata kutiba yang ada dalam ayat puasa kemudian diartikan menjadi wajib juga merupakan contoh dari studi Islam pada tataran kedua.
            Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui  sebagai sumber-sumber Islam, seperti Alquran al-karim, hadits, ijma’ dan lain sebagainya. Selain itu, mengkaji Islam pada tataran pemikiran ini juga akan memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh suatu masyarakat. Contohnya seperti “konsep wihdatul wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah menurut MUI” misalnya dan lain sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.
            Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian keislaman yang sungguh luas. Konsep kajian Islam sebagai pengamalan berangkat dari pertanyaan dasar:  bagaimanakah suatu masyarakat mengamalkan Islam? Dari kajian keislaman pada tingkat kedua dan ketiga inilah kemudian nantinya muncul studi wilayah, yakni memahami Islam pada suatu masyarakat, daerah, bangsa atau etnis Islam.
            Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta.      Contoh kajian pada tataran pengamalan ini adalah “pengaruh konsep wihdatul wujud pada aliran Tarikat Naqsyabandiah”,  atau “mazhab Ciputat” dan lain sebagainya.  
Dalam kajian-kajian keislaman tiga tataran ini memang perlu dijelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pengkaji dengan pembacanya.
           
D. Defenisi metode, metodologi, paradigma dan pendekatan dalam kajian ilmiah
            Secara etimologi, metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang) dan hodos (jalan). Sehingga metode dapat diartikan sebagai suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah yang ditempuh dalam suatu disiplin ilmu tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.[22] Secara terminologi, metode berarti ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasanya digunakan dalam penyelidikan ilmiah. [23] Hugo F. Reading menyatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitian ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.[24]
Berkaitan  dengan istilah metode dan metodologi, Noeng Muhadjir menyebutkan bahwa metodologi penelitian membahas konsep teoritik berbagai metode, baik kelebihan dan kekurangannya dalam kajian ilmiah, yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan metode yang terbaik untuk digunakan. Sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitiannya.[25] Istilah lain yang erat kaitannya dengan dua istilah ini, yakni tekhnik yaitu cara yang spesifik dalam memecahkan  masalah tertentu yang ditemukan dalam melaksanakan prosedur.[26]
            Sedangkan paradigma menurut etimologi berarti contoh, tasrif dan teladan, sedangkan istilah paradigma dalam penilitan ilmiah bisa diartikan dengan pedoman yang dipakai untuk menunjukkan gugusan sistem pemikiran, bentuk kasus, dan pola pemecahannya.[27] Dalam suatu sumber lain disebutkan bahwa paradigma adalah model dalam teori ilmu pengetahuan dan kerangka berpikir.[28]
            Sementara  pendekatan adalah cara pandang, orang juga sering menyamakannya dengan paradigma, yang terdapat dalam suatu bidang ilmu  yang selanjutnya digunakan untuk memahami agama.[29]
Menurut Muhaimin dkk., ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam studi Islam :  [30]
1.       Pendekatan historis     :  tinjauan suatu masalah dari sudut tinjauan sejarah, dan menjawab serta menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis sejarah.
2.       Pendekatan filosofis   :  melihat suatu masalah dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha memecahkan masalah dengan mengggunakan metode analisis spekulatif.
3.       Pendekatan ilmiah :  tinjauan dan analisa suatu masalah dengan menggunakan metode ilmiah.
4.       Pendekatan doktriner :  pendekatan studi Islam secara konvensional, di mana agama Islam sebagai objek studi diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan doktrin-doktrin ilahi yang memiliki nilai kebenaran yang absolut dan universal.
Menurut Yatimin ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam memahami agama Islam yaitu :  pendekatan historis, pendekatan sosiologi, pendekatan teologis normatif, pendekatan sosial-budaya, pendekatan antropologi, dan pendekatan psikologi. [31]
Agar studi keislaman dapat mencapai tujuan dengan maksimal, maka berbagai pendekatan haruslah dilakukan secara integral dan sistemis, bukan sebagai pendekatan yang dilaksanakan secara parsial dan disholistik.
Adapun tujuan studi Islam, menurut Muhaimin dapat dirumuskan sebagai berikut : [32]
  1. Untuk mempelajari secara mendalam tentang hakikat agama Islam, bagaimana posisinya serta hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya manusia.
  2. Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok ajaran agama Islam yang asli. Bagaimana penjabaran dan operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradaban Islam sepanjang sejarahnya.
  3. Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran Islam yang tetap abadi dan dinamis, serta bagaimana aktualisasinya sepanjang sejarahnya.
  4. Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama Islam, dan bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern ini.
           
E. Makna Dan Ruang Lingkup Dari Studi Islam
1. Makna Studi Islam 
Studi Islam (Islamic Studies), dapat diartikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau berbagai hal yang berkaitan dengan agama Islam. Baik berhubungan dengan ajaran, praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari, sejarah dan lain-lain.[33] Menurut Jacques Waarderburg, studi Islam adalah kajian tentang agama Islam dan aspek-aspek dari kebudayaan dan masyarakat muslim.[34]
            Sayyed Nasher dalam Affandi Mochtar menyatakan bahwa studi Islam merupakan wacana yang dikembangkan dalam proses pemahaman, penafsiran, dan penelitian masalah-masalah keislaman.[35] Menurut ia, hal ini dikarenakan bahwa :
Islam bukan hanya sekedar sebuah agama dalam pengertian yang biasa, tetapi juga sebuah kerangka sosial-politik, pandangan keduniaan, dan pandangan hidup yang mencakup semua aspek fisik, mental, dan spiritual manusia. Islam, menurut ia lebih jauh lagi, merupakan sebuah tradisi yang walaupun esensinya bersifat tunggal, namun meliputi berbagai tingkat pengertian dan derajat pelaksanaan.

Penekanan studi Islam yang disampaikan oleh Charles J. Adams dalam Affandi Mochtar sedikit berbeda dengan beberapa pendapat para ahli tentang studi Islam yang telah disampaikan sebelumnya. Ia lebih menekankan studi Islam pada segi lembaga-lembaga kajian keislaman, bukan pada tataran wacana keislaman yang dikembangkan melalui proses pemahaman ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama Islam. Oleh karena itu, lebih menekankan bahasan tentang perkembangan institusi kajian keislaman yang ada di universitas-universitas Amerika dan Kanada, antara lain The Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.[36]
Sebuah simposium tentang Islamic Studies pernah diselenggarakan di Amsterdam tanggal 18-19 Oktober 1973 yang diikuti oleh para sarjana Barat. Tema-tema yang dibahas adalah kajian historis tentang Islam, baik di dalam lingkup wilayah Arab, maupun non Arab termasuk India, Pakistan dan Indonesia. Dengan demikian, Islamic studies yang dimaksudkan dalam simposium tersebut adalah pemikiran, interpetasi, atau hasil penelitian para sarjana mengenai Islam yang berkembang di wilayah-wilayah tertentu. [dimiringkan].[37]
Ziauddin Sardar, dalam salah satu bab karyanya “Islamic Future” memberikan perhatian tentang masa depan kajian keislaman dengan menggunakan judul The Future of Islamic Studies. Pada dasarnya, istilah studi islam digunakan dengan pengertian umum yaitu kajian keislaman tingkat akademik. Namun, ia mengakui adanya islaimic studies ala Barat, yang menurutnya berakar pada sejarah kolonial. Lebih tegas sardar menyatakan :
Warisan kolonial sangat nampak pada kebanyakan pelajaran dalam Islamic Studies di universitas-universitas Barat. .. Kaitannya dengan kebijakan luar negeri (Barat) tidak pernah lenyap. Namun Islamic Studies di Barat benar-benar memiliki keunggulan :  sebab Islam dikaji sebagai “masalah”, sehingga dari sudut pandang nilai dan kebudayaan Barat terdapat tekanan yang sangat kuat pada proses analisis. Sebagai contoh, The Venture of Islam dan Arab Civilization to AD 1500, masing-masing oleh Hodgson dan Dunlop, adalah karya-karya analisis terbaik dari kajian tentang masalah ketimuran.[38]

Berdasarkan beberapa uraian pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa Islamic Studies pada dasarnya adalah tradisi kajian Islam yang dikembangkan atas dasar kecenderungan ilmiah modern ala Barat. Tradisi Islamic Studies tersebut termanifestasi dalam bentuk lembaga, karya-karya ilmiah dan pemikiran. Dalam perkembangannya, Islamic Studies tidak saja melibatkan sarjana Barat, tetapi juga sarjana muslim, dengan tetap menjaga karakter kritis dan analisis.

2. Ruang lingkup Studi Islam
            Di kalangan para ahli, masih terdapat perdebatan sekitar permasalah apakah studi islam dapat dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu atau tidak. Mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Perdebatan sekitar masalah tersebut menyebabkan sulitnya menentukan dan mengembangkan ruang lingkup studi Islam.
Amin Abdullah menyatakan, pangkal tolak kesulitan pengembangan ruang lingkup kajian studi Islam berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas. Pada tataran normativitas, Islam kelihatan kurang tepat untuk dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, sedang pada tataran historisitas Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu.
            Dari segi normatif, Islam merupakan agama yang tidak dapat diperlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan. Yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis dan subyektif. Sedangkan jika dilihat dari segi historis yakni Islam dalam pengertian yang dipraktekkan oleh manusia, serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atau Islamic studies.[39]
            Menurut Jacques Waardernburg, ada tiga kajian yang menjadi ruang lingkup dalam studi Islam :
a) Studi normatif tentang agama Islam :  kajian ini biasanya dilakukan oleh orang muslim dalam rangka mendapatkan pengetahuan tentang kebenaran agamanya. Yang mencakup kajian tentang ilmu-ilmu keagamaan seperti tafsir, ilmu hadits, fiqih, ilmu kalam dan lain-lain. Namun, kajian ini juga dapat dilakukan oleh orang-orang non muslim yang ingin mempelajari agama Islam karena ketertarikan dan keinginannya untuk menjadi muslim.
b)         Studi non-normatif tentang agama Islam :  kajian ini biasanya dilaksanakan di tingkat universitas. Kajian ini bertujuan untuk mencari fakta-fakta kebenaran ajaran Islam dan mengkaji sikap keberagamaan muslim secara faktual (living Islam). Studi non-normatif ini dapat dilakukan oleh seorang muslim atau non-muslim melalui penelitian-penelitian ilmiah.  Penelitian inilah yang secara umum dikatakan Islamic studies.
c)  Studi non-normatif tetang aspek keislaman dari kebudayaan dan masyarakat muslim. Makna lebih luas dari studi ini tidak berhubungan dengan Islam saja. Dalam konteks lebih luas membutuhkan perhatian dan pertimbangan, suatu pendekatan Islam dari sudut pandang  sejarah dan literatur atau sudut antropologi budaya sosiologi, dan tidak secara spesifik dilihat dari perspektif studi agama.[40]
            Sementara menurut Affandi Mochtar, kajian keislaman modern menaruh perhatian penuh pada hampir semua aspek keislaman. Secara umum, bidang-bidang perhatian yang sejauh ini dikembangkan meliputi :  latar belakang kemunculan Islam – bangsa Arab pra-Islam – figur Muhammad, kitab Alquran, hadits, kalam, fiqih, tasawuf, filsafat, beberapa konsep kunci tentang agama dalam Islam dan praktik-praktik keislaman dalam masyarakat. Selain bidang-bidang tersebut di atas, mulai muncul juga kajian keislaman yang menyangkut perkembangan Islam kontemporer, baik di negara-negara Islam sendiri maupun di Barat modern.[41]       

F. Kesimpulan
Islam mempunyai banyak aspek ajaran untuk dikaji secara ilmiah, baik itu aspek sejarah, tasawuf, sains, hukum, teologi dan aspek-aspek lainnya. Kajian tentang keislaman ini dikenal dengan istilah studi Islam/Islamic Studies/ad-dirasah al-Islamiyah, baik pada tataran Islam sebagai sumber atau sebagai pemikiran atau sebagai pengamalan (budaya/peradaban).
Yang menjadi wilayah kajian studi Islam adalah tentang seluk beluk atau berbagai hal yang berkaitan dengan agama Islam. Baik berhubungan dengan ajaran, praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari, sejarah dan lain-lain.
            Dalam kajian-kajian keislaman diperlukan perangkat-perangkat yang akan mengantar pengkaji kepada kesimpulan yang benar, baik dalam pendekatannya, metodologi, metode, tekhnik, dan lain sebagainya. Semua perangkat-perangkat ini sangat berpengaruh dalam menghasilkan suatu kesimpulan dalam kajian-kajian keislaman.
            
Daftar Pustaka


Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Abdullah, M. Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amza, 2006.
Ali, Atabik dan Ahmad  Zuhdi Mudlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Jokjakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta, 1996.
Ali, Maulana Muhammad. Islamologi. Dinul Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru – Van Hoeve, 1980.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru cet. III. Jakarta: Kalimah, 2001.
Departemen Agama. Al-Quran dan  Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 1985.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:  Balai Pustaka, 2001.
Donzel, E. Van. (et. al.). Studies on Islam :  a Symposium on Islamic Studies Organized in Coperation with the Academia Dei Lincei in Rome.  Amesterdam. 18-19 October 1973. Amesterdam: North-Holland Publishing Company, 1974.
Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. cet. 8, 2006.
Hodgson, Marshall. The Venture of Islam. Chicago:  Chicago University Press, 1974.
Hoeve, Van dan Elsevier. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ikhtiar Baru, 1991.
Lubis, Nur A. Fadhil (ed.).Introductory Readings Islamic Studies. Medan: IAIN Press, 1998.
Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi al-Lughati wa al-A’lām. Beirut: Dār al-Masriq. cet. 28. 1986.
Mochtar, Affandi. Membedah Diskursus Pendidikan Islam. Jakarta: Kalimah, 2001.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penilitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002.
Muhaimin. (et. al.). Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Kencana, 2005.
Mulyanto. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta:  Pustaka Cidesindo, 2000.
Muqim, Mohammad.(ed.). Research Methodology in Islamic Perspective. Kuala Lumpur: Sinergy Book Internasional, 1999.
Myrda, M. Ensiklopedi Nasional Indonesia. cet. 3. Jakarta: Delta Pamungkas, 1997.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.. Jakarta: UI Press, 1979.
_________. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah.  Jakarta: UI-Press, 1987.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada. cet. 7, 2002.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:  Arkola, 2001.
Putro. Suadi. Muhammad Arkoun Tentang Islam Dan Modernitas. Jakarta:  Paramadina, 1998.
Razak, Nasruddin. Dienul Islam. Bandung: Ma’arif. cet. II, 1977.
Reading, Hugo F. Kamus Ilmu Sosial. cet. 1. Jakarta: Rajawali, 1986.
Sani, Abdul. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo, t.t.
Sardar, Zianuddin. Islamic Future The Shape of Ideas to Come. Selangor: Pelanduk Publication, 1988.
Schacht, Joseph.  Introduction To Islamic Law. Inggris:  Oxford Press, 1971.
Shihab, Umar. Kontekstualitas  Alquran (Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Alquran). Jakarta:  PT. Permadani, 2003.
Sumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Thabara, Afif ‘Abd al-Fatah.  Ruh al-Din al-Islami. Damaskus: Syarif Khalil Sakar, 1966.















[1] Abdul Haque Ansari, “Nature and Scope Islamic Research,” dalam Mohammad Muqim (ed.), Research Methodology in Islamic Perspective (Kuala Lumpur: Sinergy Book Internasional, 1999), h. 39.
[2] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. 8, 2006), h. 11.
[3] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughati wa al-A’lām (Beirut: Dār al-Masriq, cet. 28, 1986), h. 347.
[4] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam) (Jakarta: Ikhtiar Baru – Van Hoeve, 1980), h. 2
[5] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Amzah, 2006), h. 6.
[6] Afif ‘Abd al-Fatah Thabarah, Ruh al-Din al-Islami (Damaskus: Syarif Khalil Sakar, 1966), h. 18.
[7] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. 7, 2002), h. 63.
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1979), Jilid I , h. 24.
[9] Ali, Islamologi, h. 2.
[10] Suadi Putro, Muhammad Arkoun Tentang Islam Dan Modernitas (Jakarta:  Paramadina, 1998) h. 30.
[11] Nasruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: Ma’arif, cet. II, 1977), h. 55.
[12] Nata, Metodologi, h. 65.
[13] Atabik Ali dan Ahmad  Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Jokjakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta, 1996), h. 1722.
[14] Abdullah, Studi, h. 7.
[15] Putro, Muhammad, h. 30.
[16] Mulyanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta:  Pustaka Cidesindo, 2000), h.  51.
[17] Abdullah, Studi, h. 8.
[18] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI-Press, 1987), h. 60.
[19] Umar Shihab, Kontekstualitas  Alquran (Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Alquran) (Jakarta:  PT. Permadani, 2003), h.  31
[20] Muhaimin, et. al., Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Kencana, 2005), h. 93.
[21] Q.S. Al-Alaq/96: 1-5
[22] M. Myrda, Ensiklopedi Nasional Indonesia, cet. 3 (Jakarta: Delta Pamungkas, 1997), h. 296.
[23] Van Hoeve dan Elsevier, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1991), h. 2231.
[24] Hugo F. Reading, Kamus Ilmu Sosial, cet. 1 (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 249.
[25] Noeng Muhadjir, Metodologi Penilitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002), h. 3.
[26] Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 328.
[27] Pius A. Partanto dan M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:  Arkola, 2001), h. 566.
[28] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:  Balai Pustaka, 2001), h. 828.
[29] Nata, Metodologi., h. 28.
[30] Muhaimin, Kawasan, h. 12-14.
[31] Abdullah,  Studi, h. 59-70.
[32] Muhaimin, Kawasan, h. 9-12.
[33] Muhaimin, Kawasan, h. 1.
[34] Jacques Waadenberg, “Islamic Studies,” dalam Nur A. Fadhil Lubis (ed.), Introductory Readings Islamic Studies (Medan: IAIN Press, 1998), h. 1.
[35] Affandi Mochtar, Membedah Diskursus Pendidikan Islam (Jakarta: Kalimah, 2001), h. 4.
[36] Ibid., h. 3.
[37] E. Van Donzel, et. al., Studies on Islam :  a Symposium on Islamic Studies Organized in Coperation with the Academia Dei Lincei in Rome (Amesterdam, 18-19 October 1973) (Amesterdam: North-Holland Publishing Company, 1974).
[38] Zianuddin Sardar, Islamic Future The Shape of Ideas to Come (Selangor: Pelanduk Publication, 1988), h. 310-312.
[39] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 106.
[40] Lubis (ed.), Introductory,  h. 2.
[41] Mochtar, Membedah, h. 25.

0 komentar:

Post a Comment